NidarZalukhuAvatar border
TS
NidarZalukhu
Memory 2020 | Luka Bahagia


sumber

***

Berawal dari kebersamaan, perasaan ini berhasil lari menjadi bukan milikku lagi. Namun aku tak mampu mengungkapkannya. Andai saja angin dapat bercerita, mungkin aku tak merasakan sakit ini. Andai saja waktu dapat kembali, aku ingin waktu bersamamu terhenti saat ini. Mustahil.

Aku menangis. Mengingat perpisahan akan terjadi esok hari. Seakan ada sesuatu yang menyesakkan di dadaku. Entahlah. Heningan malam menjadi temanku saat itu.

Aku duduk di samping tempat tidurku, sembari membenamkan kepalaku pada lipatan lututku. Sesak. Mengapa dulu ada pertemuan bila hanya sesaat ada di sisiku? Aku menyukaimu! teriak batinku yang tak berdaya. Entah angin apa yang mendorong hatiku mengatakan begitu. Beningan yang terbendung pun sudah tak kokoh lagi, sungguh tak mampu untuk mencegahnya.

Perlahan, aku meraih sebuah buku yang tak lain adalah diaryku dan tinta di atas meja, lalu mulai mencoret-coretnya.

Sejuta harapan tersimpan dalam khayalan kosong bersama mimpi yang tak ada arti. Gelap malamku berteman sepi. Terang rembulan tak mampu hiasi hati yang sakit. Apakah hati kembali berseri bila melepaskan engkau pergi?

"Koki jelek, kalo masak itu jangan pedas-pedas. Coba rasakan, ini asin banget. Kamu mesti banyak belajar sebelum kamu merried. Apa kata mertuamu nanti bila mengetahui hal seperti ini." Itulah panggilanku olehnya, Jhon Marchel. Sementara namaku Suci Prillia.

Jhon Marchel, lelaki berdarah Jerman-Indonesia. Ibunya seorang cheff terkenal di kota Jakarta. Ayahnya seorang direktur di perusahaan besar di Jerman.

"Aku cuma kasih cabainya sedikit, kok. Tapi entah kenapa bisa sepedas ini." Aku juga tak menyangka pada masakan yang super pedas ini.

"Selain dirimu jelek, kamu juga mengambil gelar spesialis garam dan cabai. Belajar di mana, sih? Lalu, butuh waktu berapa belajarnya?" Tawanya memenuhi ruangan dapur.


"Aku tahu, kamu anak kota. Dan aku anak desa. Tapi, asal kamu tahu, aku masak ini pake usaha! Sebelum dirimu datang, aku belom pernah memasak. Jadi, tolonglah untuk menghargai. Kalo seandainya kamu itu bukan tamu di rumahku, aku tak seberantakan begini." Aku sudah capek dengan kata-katanya yang selalu menggangguku. menyalahkanku. Mengejekku.
Aku menyadari bahwa kehadirannya hanyalah sementara, enam bulan. Tapi, apakah sepantasnya kah aku berkata begitu? Ah, sudahlah. Toh, juga tadi dia yang mulai bikin aku emosi. batinku

"Iyah, deh. Aku minta maaf."

Selain tugasnya yang menjadi guru, dia juga hobby sekali bermain piano. Setiap alunan musik yang dimainkannya, aku terbuai. Hingga membuatku tertidur nyaman.

***

Kilauan sinar di balik tirai putih, seakan membangunkanku.

"Yaampun, jam delapan. Bagaimana bisa aku tertidur pulas semalam?"

Aku langsung ke dapur membuat sarapan.
Aku terkejut melihat ayahku sedang duduk, dan sedang menikmati sarapan yang sudah tersedia di meja makan.

"Yah, siapa yang nyiapin sarapan sebanyak ini? Lalu, mengapa hanya ayah yang di sini, Jhon di mana?"

"Duduklah, mari sarapan. Jhon yang buat sarapan ini. Satu jam yang lalu, dia dijemput oleh seorang wanita cantik berkacamata hitam. Mereka tadi mengendarai sebuah mobil merah."

Sungguh tega hatimu. Saat pergi, dirimu tak mau memberitahuku. Inikah balasanmu setelah beberapa bulan tinggal di rumahku!

Sejuta harapan tersimpan dalam khayalan kosong, bersama mimpi yang tak ada arti. Gelap hariku nan berteman sepi. Terangnya rembulan tak mampu hiasi hati yang sakit. Apakah hati ini akan kembali berseri dengan melepaskan engkau pergi? Mengapa dirimu tega membuat luka seperti ini? Apakah dirimu tak merasakan apa yang kurasakan?


Satu bulan kemudian....

Aku berhenti menyirami bunga, ketika ada mobil berhenti di depan rumah. Eh, ternyata Jhon Marchel. Ada apa lagi sih?! Luka lama masih membekas, sekarang dirimu ingin menambah luka lagi?

"Assalamualaikum," sapanya.

"Wa'alaikumssalam." Aku mengajak dia masuk ke rumah. "Tumben, datang ke sini lagi. Mau nebus kesalahan yang kamu perbuat ke aku, ya?"

"Anggap saja begitu. Ayah ke mana?" tanya Jhon.

"Dia ke rumah paman. Kenapa?"

"Oh. Aku ke sini untuk melihat keadaan kalian, apakah baik-baik saja. Dan sekalian memberikan ini." Jhon menyodorkan sebuah surat undangan berpita keemasan padamu. "maaf, selama ini aku tidak memberitahumu." Mataku melihat ada namanya di undangan itu.

Aku bagai tersambar petir. Mematung. Dirimu sungguh kejam! Sangat kejam! Lebih kejam dari malaikat pencabut nyawa. Tidak puaskah dirimu menyakitiku?

Seribu satu kata terucap di dalam batinku. Beningan tak mampu aku mencegahnya. Kuhempaskan napas dengan kasar, lalu meraih undangan itu di tangan Jhon Marchel.

"Jangan khawatir. Kami pasti menghadirinya. Walau aku terus berlarut dalam kesedihanku, namun itu takkan mungkin dapat menahanmu untuk tidak pergi." Tanganku mengusap kasar butiran-butiran bening itu. "terimakasih atas segalanya. Semoga dirimu bahagia bersamanya."

"Hahaha... kamu ini bicara apa. Kamu pikir saya nikahnya sama siapa lagi, kalau bukan sama kamu. Di undangan itu nama siapa yang ada di dalam?" Mataku beralih ke surat undangan yang saat ini ada di tanganku. Apa-apan ini! Ini jelas namaku dan Jhon Marchel. Jadi, selama ini dia juga menyukaiku? Ini mimpikah? Aku sengaja mencubit-cubit pipiku dan kurasakan bahwa ini memang nyata.

"Selamat ulang tahun, Suciku. Semoga panjang umur dan semoga di tahun ini kita menikah dan membentuknya dengan penuh kasih dan sayang. Amin."

Mulutku bungkam. Air mataku mengalir deras, namun bukan kesedihan melainkan berubah menjadi airmata bahagia.

"Aku sudah berbicara dengan ayahku dan ayahmu, mereka merestui kita. Dan sebelum aku ke sini, aku sudah menghubungi ayahmu. Aku sengaja buat kejutan untukmu." Jhon mencubit pipiku dengan manja.

"Berarti ini adalah rencana kalian. Jahat." Kembali ku balik surat undangan itu dan ternyata pesta pertunangan aku dan Jhon Marchel. Mataku sempat melihat tanggal yang sudah ditentukan dalam surat itu. Gila. Apa-apaan ini. Secepat itu?

"Iyah. Karena aku mencintaimu."

"Tanpa sepengetahuanku, dengan beraninya dirimu memutuskan tanggal dan tempat pertunangan ini. Aku punya hak dalam hal ini. Aku mau pestanya yang sederhana saja. Bukan di tempat mewah seperti ini."

"Tidak. Aku mau memberitahukan kepada semua orang, bahkan seluruh dunia bahwa kamu itu adalah milikku. Hanya milikku."

Luka terbalut Bethadin. Perih. Tetapi, bisa mencegah bakteri. Begitu juga hal yang kurasakan saat ini, bahkan lebih dari itu. Luka yang tertancap di hati ini, sungguh sangat membuatku depresi. Dan akhirnya dapat terobati.
Perasaan ini aku namai ia dengan luka, lengkapnya LUKA BAHAGIA.
Diubah oleh NidarZalukhu 05-03-2021 04:36
senandikaputri
hestory
hengkits
hengkits dan 5 lainnya memberi reputasi
6
508
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
GBUalwaysAvatar border
GBUalways
#8
Tempat untuk latihan membuat thread dan menggunakan fitur-fitur posting di KASKUS.
0
Tutup