open.mindedAvatar border
TS
open.minded
ILLUSI
Quote:


Quote:


Quote:
Polling
0 suara
menurut penghuni kos disini.. kalian mau kisah gw kaya gimana? (bisa milih banyak!!)
Diubah oleh open.minded 08-01-2022 11:27
drewzzzzzzz
ima.the.cat
Yoayoayo
Yoayoayo dan 199 lainnya memberi reputasi
188
2M
5.1K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
open.mindedAvatar border
TS
open.minded
#4419
Meminerut Omnia Amantes
*SLUUURP*

Seruput gw ke serai jahe yang gw buat khusus di pagi hari yang sejuk ini. Sekarang sudah memasuki musim panas di Finlandia, tapi udara sejuk masih bisa gw rasakan di kulit gw pagi ini, tidak heran, karena daerah Ivalo sendiri berada di utara Finlandia, dekat dengan perbatasan utara Norwegia dan kutub utara.

*SLUUURP* *SLUURP*

Bunyi seruputan terdengar kembali, namun bukan berasal dari gw, melainkan dari duo Bapak dan Anak bernama Valli yang sedang duduk selonjoran di kiri dan kanan gw.

“AHHH.. dada saya rasanya hangat sekali, dan rasa minuman ini unik sekali.” Ucap Bokapnya Valli.

“Aku tau resepnya pah! Nanti aku kasih ke Andre (Supir/Sekretaris/Assisten) ya!” jawab Valli.

“Mhm *SLuuuurpp* Ahhhh~ Ohya Adi, apakah kamu sudah pernah ke Finlandia sebelumnya?” tanya sang Bokap.

“Belum pak, ini yang pertama kalinya.” Jawab gw.

“Jadi kamu belum pernah mengunjungi tempat-tempat bagus disini dong ya?”

“Belum pak.”

“Hmmmm….”

“Ada apa pak?”

“Agak aneh kalau kamu memanggil saya dengan ‘Sir’ setiap kita berbicara.. kamu kan pasangan anakku, jadi harus lebih casual.. hmmm apa ya yang cocok?”
“OH!! OH!! How about from now on, you call me ‘Daddy’!!” lanjutnya.

*UHUK* *UHUK* *UHUK* *UHUK*

Gw dan Valli menyemburkan dan tersedak oleh minuman kami seccara bersamaan saat mendengar perkataan Papahnya. Badan gw merinding dan geli mendengar perkataan Papahnya itu, begitu juga dengan Valli. Secara bersamaan gw dan Valli saling menatap satu sama lain, terlihat air minum yang membuatnya tersedak mengalir keluar dari lubang hidungnya, begitu juga dengan gw, kami sama sama menyeka hidung satu sama lain.

“Ada apa? Kok kalian tiba tiba tersedak begitu?” tanya sang Bokap tanpa dosa.

“Ya gara gara papah lah! Lagian ada-ada aja ngomongnya, geli tau!” ucap Valli menjelaskan.
“Tuh liat Adi ga bisa ngomong apa apa! Badannya gemetar gitu!”

“Loh? Kenapa dengan omongan papah?”

“Haaaaah”

Valli menghela nafas sambil merogoh ponselnya. Ia pun menyodorkan microphone ponselnya ke arah papahnya.

“Coba ulang perkataan tadi..” ucap Valli dengan lemas.

“How about from now on, you call me ‘Daddy’?” ujar Papahnya tanpa dosa membuat gw merinding lagi mendengarnya.

*Click* Valli menekan tombol stop recording lalu memberikan handphonenya ke papahnya.

“Nah sekarang coba denger sendiri pah.”

Papahnya Valli langsung mengambil handphone Valli yang disodorkan ke arahnya. Ia mendekatkan speaker handphone itu ke telinganya lalu menekan tombol play di hape Valli. Terlihat mukanya yang tadinya datar, berubah menjadi pucat, disusul dengan badannya yang ikut begidik. Ia dengan cepat menekan tombol stop dan mengembalikan HP Valli.

“Menjijikan!!” gerutu Papahnya Valli.

“Suaramu sendiri Pah hahahaha. Hiiiii masih merinding aku ngigetnya.”

“Haaah. Terus papah dipanggil Adi apa dong?” tanyanya.

“Kenapa ga ‘Papah’ aja sih? Biar simpel.”

“Bosen ga sih di panggil papah mulu?”

“Hoo jadi bosen aku panggil Papah mulu? Mau aku panggil ‘Erno’ aja? Hm?” ucap Valli menatap Papahnya dengan tatapan yang setajam silet.

“Eh? Bukan gitu Valeryaaa. Maksud Papah kan biar lucu kalo dipanggil-panggilan yang berbeda.” Bela Papahnya.

“Hmh! Alesan aja!” ambek Valli.

“Hahahaha kalo ‘Daddy’ sepertinya terlalu horror untuk saya ucapkan pak. Bagaimana dengan sebutan ‘Pop’? seperti dalam film The Godfather”

“Pop? Hmmm saya suka bunyinya, simpel dan gampang diingat. Saya suka. Baiklah mulai sekarang kamu panggil saya dengan sebutan itu.”

“Ok. Pop.”

Bisa dibilang gw tidak pernah merasa bosan di tempat ini, banyak hal-hal yang kami lakukan sehabis pagi tadi. Dimulai dari menjelajahi hutan pinus bertiga, bersantai dan makan siang di gazebo tepat dipinggir sungai Ivalo, dan istirahat siang yang gw habiskan berdua dengan Valli di kamar gw. Sebenernya gw berusaha menolak kedatangan Valli dikamar gw ini, karena gw merasa tidak enak dengan Papahnya jika gw berduaan satu kamat dengan anak perempuannya. Namun asumsi gw salah, Papahnya malah oke-oke saja sambil begumam ‘anak muda’ lalu pergi entah kemana.

“Hitam, hitam, hitam, pink, hitam.” Ucap Valli menyebutkan warna baju yang gw bawa.
“Dan semuanya kaos oblong semua! Dan satu jeans yang kamu pake!”
“Kamu ga ada baju yang bagus apa Di?” tanyanya.

“Hm? Emang itu gak bagus?”

“Bagus sih. Tapi sama semua gini, ga ada variasinya. Ga bosen emangnya?”

“Engga bosen tuh. Lebih simpel aja. Kenapa? Emang aku jelek ya pake baju simpel gitu?”

“Engga siih. Cuma gemes aja, kamu ga ada baju yang ada design gitu gitu apa Di?”

“Hmm ga ada kayaknya, kalo ada pun kayaknya aku tinggal di Indonesia deh, itupun juga antara dikasih orang atau aku beli secondhand.” Ujar gw.

“Hmm aneh ya aku baru sadar kalo kamu pake baju itu itu aja.”

“Kurang perhatian berarti kamu ke aku hahah-” tawa gw terpotong oleh rasa pedas di paha gw.
“Adawwww!”

“Yaudah! Nanti kita pas udah pulang harus belanja baju!”

“Aduuh perih tau Val. Gausah deh, aku dah cukup baju mah.”

“Ga boleh protes! Kita beli baju brand bagus! Celana juga! Tas juga!” tegasnya.

“Gausah plisss. Sorry sorry tadi aku keceplosan!”

“Aneh kamu! Suka ngebeliin aku baju sama tas bagus, tapi kamu sendiri pake beginian. Pelit kok sama diri sendiri!”

“Ya aku beli itu karena aku tau kamu seneng. Kalo aku sih cukup yang begitu, atau kalau mau yang bagus aku design dan ku bikin sendiri di orang langgananku.”

“Sok tau kamu! Kok tau kalo aku seneng?”

“Ha? Kamu peluk-peluk, cium-cium, kaya gitu bukan tanda seneng?”

“Hehehe seneeng doong.”

Valli pun menghampiri gw yang sedang tiduran membaca buku dikasur ini. Ia langsung rebahan dan memeluk gw sambil menarik-narik tangan gw yang sedang memegang buku, tanda dia ingin berbicara. Gw taruh buku gw di meja kecil disamping kasur ini, lalu menoleh ke arah Valli, terlihat kepalanya yang sedang memendamkan mukanya di dada gw.

“Gimana Di?” tanya Valli.

“Gimana apanya?” tanya gw balik.

“Semuanyaa. Papahku, rumahku, negara asalku, budaya tempat aku lahir.. kepercayaanku.. sepertinya sudah semua deh Di. Semua tentangku udah aku tunjukin ke kamu saat ini. Ada yang masih kamu belum tau dari aku Di?”

Mendengar pertanyaan Valli ini, gw langsung tersenyum lalu mengusap rambutnya yang halus ini. “Masih banyak yang belum aku tau tentang kamu Valli, dan sepertinya itu tidak akan habis. Apa yang kita jalanin sekarang hanyalah awal dari perjalanan kita, dan aku yakin banyak hal-hal baru yang akan aku temui tentang kamu kedepannya nanti.”

“Kamu masih melihat masa depan berpasangan dengan aku?”

“Aku selalu menatap ke depan sayang. Kok ngomong begini sih?” tanya gw.

“Terus kenapa? Kenapa kamu tidak pernah nge share tentang kepercayaan mu ke aku? Bukannya dalam kepercayaanmu itu sebuah pasangan harus satu keyakinan?” tanyanya kali ini mengangkat kepalanya dari dada gw dan menatap mata gw secara langsung. Mata abu-abu yang terang seperti berusaha menembus otak gw dan mencari jawaban yang iya tanyakan.

“Siapa yang ngasih tau hal itu ke kamu? Pasti Mamahku ya?” tanya gw tajam.

“Jangan balik nanya! Jawab pertanyaanku! Kenapa Di?!”

“Haaaah.”
“Jaman sekarang, semua orang menganggap Agama sebagai sebuah aksesoris, tidak menghargai agama yang mereka miliki, karena mereka sudah diberi itu dari lahir.”
“Nenek moyangku butuh waktu ratusan tahun keliling dunia untuk mencari kebenaran dalam sebuah agama.”
“Apa yang aku percaya sekarang pun tidak diberikan dari lahir. Aku harus mempelajari semuanya sampai aku dibolehkan untuk memilih sendiri saat umur 10 tahun.”
“Untuk menjawab pertanyaanmu, kenapa aku tidak pernah menyinggung ini? Itu semua karena aku mau kamu lah yang memilih kepercayaanmu sendiri tanpa aku sodorkan ke mukamu, aku mau kamu berusaha, You need to earn it Valli.”

“Gimana bisa aku tau semua itu kalau kamu ga membimbingku Di? Gimana kalau aku salah meyakini sesuatu? Gimana kalau aku bertanya dengan orang yang salah?”

“Aku gak mau kamu terpaksa Valli.”

“Dan apakah aku terlihat seperti orang yang terpaksa?”

Gw hanya menjawab dengan gelengan kepala.

“Bimbing aku Di. Aku serius.”

“Hmm. Oke. Nanti pas sudah di rumah aku jadwalin ya.”

“Iya sayang.”

Abis itu pun kami hanya ngobrol ngobrol biasa dan tak terasa hari sudah berganti jadi malam. Kami melakukan makan malam bersama seperti malam sebelumnya, dihiasi dengan canda dan tawa. Sampai sekitar jam 12 malam, ketika Valli sudah tertidur pulas, gw sedang menghisap cerutu di balkon yang menghadap ke sungai Ivalo ini. Tiba-tiba ada suara ketukan pelan di pintu balkon ini, disana berdiri Bokapnya Valli atau sekarang gw panggil ‘Pop’.

“Cerutu? Wah taste kamu tinggi juga ya Di. Merek apa itu?” tanyanya.

“Hoyo de Monterrey. Kau mau juga Pop?”

“Boleh. Boleh. Saya membawa minuman yang kamu minum tadi pagi. The Ginger drink.”

Kami pun duduk dalam diam sambil menatap aliran sungai yang menentramkan hati ini. Hanya terdengar suara hisapan cerutu dan seruputan minuman serai jahe yang dibuat oleh Pop tadi.

“Sudah berapa lama kamu dengan Valerya?” tanyanya tiba-tiba.

“Sudah dua tahun lebih dikit Pop.”

“Siapa yang menyatakan duluan?”

“Valli duluan Pop.”

“Hahahahaha. Sama seperti Papahnya, tidak akan melepaskan yang dia suka.”
“Ngomong ngomong, kamu tau? Kalau nama saya juga Valli kan?”

“Hahahaha. Sorry sorry, udah kebiasaan saya memanggil nama Valli. Unik soalnya.”

“Tapi kalo disini panggil nama Valerya saja ya Di. Saya geli kalo nama saya dipanggil pas kamu lagi mesra-mesraan.” Ucapnya

“Hahahahahahaahaha. Saya mengerti apa yang kau katakan Pop!”

“Saya senang sekali dua hari ini Di. Saya bisa bertemu dengan anak saya, dan pasangannya. Hubungan saya dengan anak saya kembali seperti dulu lagi. Sayang besok kalian berdua kembali ke Russia.”

“Kau selalu bisa mengunjungi Valli kapan saja Pop.”

“Saya dulu memilih fokus ke kerjaan saya setelah istri saya meninggal, meninggalkan Valerya di rumah, sendirian. Itu alasan kenapa dia hubungan kita renggang selama ini. Saya baru sadar betapa kosongnya rumah ini ketika Valerya sudah bersama nenek nya di Russia.”
“Bayangkan betapa terkejutnya saya ketika ia menghubungi saya Di. Walaupun dia juga memberi kabar mendadak kalau dia sudah mempunyai pasangan. Tapi setelah melihat kamu, saya kembali tenang.”
“Apa yang kamu lakukan sehingga membuat Valerya mamaafkan semua kesalahan saya Di?”

“Saya tidak melakukan apa-apa. Bahakan saya gak tau kalau hubungan kalian buruk.”

Ia hanya tersenyum mendengar perkataan gw.

“Ada yang mau saya tanyakan Pop.”

“Tanya saja.”

“Vall- Valerya, ia tertarik dengan kepercayaan saya.” Ucap gw.

“Terus?”

“Apakah Pop memperbolehkannya?” tanya gw.

Ia tidak menjawab. Hanya menghisap dalam dalam cerutunya lalu mematikannya di asbak meja ini. Ia menegak habis serai jahe terakhirnya. Lalu berdiri dan membuka pintu balkon.

“Lima tahun saya menjadi Volunteer medis di perang Afghanistan. Disana semua kepercayaan bertemu, dan semua kepercayaan itu membunuh satu sama lain. Lalu saya berpikir. Satu-satunya yang jahat bukanlah semua kepercayaan itu. Satu-satunya yang jahat adalah manusia yang menggunakan kepercayaan sebagai senjata dan pengendali masa.”
“Saya percaya kamu akan memberikan yang terbaik untuk Valerya.”

Ucapnya sambil melemparkan senyuman lalu meninggalkan gw di balkon ini sendirian.

Pagipun datang. Setelah gw dan Valli selesai packing dan sudah siap, kami semua, sekeluarga, berjalan menuju mobil yang sama saat mengantar kami menuju kesini. Setelah semua bawaan kami sudah masuk ke bagasi, tidak lupa gw memberikan salaman perpisahan kepada Pop, setelah itu Valli memeluk papahnya dengan erat, ia terlihat membisikan sesuatu ke papahnya yang tidak bisa gw dengar. Setelah Valli melepaskan pelukannya, gw un merundukan badan gw ke arah Papah Valli lalu membuka pintu mobil ayng akan kita kendarai. Sampai gw mendengar ada suara Pop yang memanggil nama gw.

“Adi.”

Gw langsung memalingkan pandangan gw ke arah suara yang memanggil gw itu. Disana tampak Erno Valli, berdiri sambil membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Gw tau banget apa maksud gestur itu. Sebelum gw bisa berpikir panjang, badan gw sudah terlanjur didorong oleh Valli dari belakang, membuat kaki gw melangkah menuju Papahnya. Sebelum keraguan gw sempat menyerang kepala ini lagi, tubuh gw sudah lebih dulu dipeluk oleh Papahnya Valli. Pelukannya sangat erat. Gw bisa merasakan tangan kanannya menepu-nepuk punggung gw.

“Kamu akan selalu diterima disini, Adi.” Ucap nya.

“Ya.”

“Tolong jaga anak saya.”

“Selalu.”
fakhrie...
kkaze22
sormin180
sormin180 dan 29 lainnya memberi reputasi
30
Tutup