nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"



Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
220K
1.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#571
Part 55-c
Sungguh, rasanya gue ingin bunuh diri atau jika itu terlalu kejam, setidaknya gue ingin menutup wajah gue dengan kantong kresek saat ini. Gue malu! Sangat! Saat gue harus berada dalam barisan yang seorang diri, mengikuti upacara bendera pertama gue di sekolah ini—gue telat lagi!

Ini sungguh menyebalkan, menjadi pusat perhatian. Apalagi saat melihat ke arah barisan adik-adik sekolah dasar, beberapa diantara mereka gue dapati sedang menertawakan. "Ashhhhh sialan!" Gumam gue dalam hati.

Matahari pagi ini begitu terik, seolah Semesta sengaja memberi hukuman pada gue karena telat datang ke sekolah lagi. Untung saja angin sedikit membangkang, dia berhembus memberi sedikit kesegaran diantara derita yang gue rasakan, "Thanks angin." Gumam gue dalam hati, lalu tiba-tiba saja terjadi kegaduhan di barisan anak-anak SMA. Seseorang tergeletak jatuh pingsan.

Beberapa guru terlihat bergegas menghampiri murid yang pingsan yang gue tidak tahu siapa itu. Upacara pun sempat terhenti sejenak sampai akhirnya dilanjutkan kembali setelah murid yang pingsan itu dibawa ke ruang uks yang berada satu gedung dengan perpustakaan.

"Mutia?" Gumam gue dalam hati saat mengetahui murid yang pingsan itu adalah Mutia. Gue mencoba untuk tidak menghiraukan itu, tapi apa yang gue baca pada halaman facebooknya terlalu sulit untuk gue tidak menghiraukan semua. 

Entah apa yang lebih tepat, gue kasihan padanya atau gue prihatin padanya. Yang jelas dari apa yang dia tulis di facebooknya, gue tahu kalau dia sedang mengalami masa-masa yang sulit dalam hidupnya saat ini. Keadaan keluarganya yang tidak baik-baik saja, ditambah gue juga tahu kalau dia mempunyai hubungan yang sebetulnya menurut gue tidak sehat—sebuah hubungan yang sehat tidak akan pernah saling mencaci apalagi dilakukan di media sosial yang notabenenya semua orang dapat melihat.

Atas dasar apa yang gue ketahui dari facebooknya, terlepas semua itu benar atau tidak. Gue menyayangkan semuanya harus terjadi padanya. I mean untuk urusan keluarganya gue mungkin tidak akan berkomentar, setiap keluarga punya masalahnya masing-masing. Namun gue sangat menyayangkan sebuah permata yang indah dan pastinya mahal diperlakukan dengan tidak semestinya.

"Sama gue, lo bakal jauh lebih indah dari permata!" Gumam gue dalam hati dan seketika gue menggelengkan kepala untuk menepis lagi apa yang baru saja gue gumamkan. 

Semua siswa membubarkan diri setelah upacara telah selesai namun itu tidak berlaku untuk gue. Gue harus sekali lagi mengulangi upacara, SEORANG DIRI, sebagai hukuman atas keterlambatan gue datang ke sekolah. 

...


Jika dihitung, gue sudah seminggu bersekolah disini dan sangat menikmati semuanya. Gue cukup nyaman dengan lingkungan di sekolah ini. Anak-anaknya cukup menyenangkan walaupun masih ada saja strata sosial di dalam lingkungan sekolah ini namun kondisinya tidak separah di SMP gue. Disini semuanya masih berbaur dengan cukup baik meski saat jam istirahat tiba si kaya akan berkumpul dengan si kaya lainnya, si biasa saja akan berkumpul dengan si biasa saja lainnya. 

Namun menurut gue itu semua masih dalam konteks yang wajar, karena tidak ada perundungan terjadi di antara si kaya dan si biasa saja. Satu-satu perundungan mungkin jika ada murid tingkat sepuluh atau sebelas yang berani-beraninya masuk ke dalam gedung olahraga indoor. Apapun alasannya, jika berani siap-siap saja menjadi badut atau jika menolak menjadi badut siap-siap saja untuk tidak disapa oleh satu sekolah. 

Gue serius, karena ada anak kelas sebelas yang saat ini sedang dianggap tidak ada sosoknya. Gue mengetahui itu dari anak kelas 12 yang datang ke kelas dan memberi tahu kami sekelas untuk tidak menyapa orang yang dimaksud. Dan pastinya siapapun yang berani menyapa orang (kami menyebutnya bounty) yang tengah mendapat bounty siap-siap saja untuk mendapatkan hal yang sama.

Ngomong-ngomong soal budaya bounty di sekolah gue. Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan seseorang mendapatkan "bounty", masuk kedalam hall basket untuk kelas 10 dan 11, kedapatan mencuri, merusak tanaman di taman sekolah, berkelahi apapun alasannya, membuat nama sekolah jelek di mata sekolah lain. 

Status bounty tidak akan hilang sampai seseorang yang mendapat status itu membuat pengakuan, klarifikasi, atau permintaan maaf di depan semua murid. Tentunya beberapa kasus harus disertai hukuman. Dan orang yang berhak menentukan dan mencabut status bounty adalah ketua osis. 

That's why gue cukup nyaman berada di dalam lingkungan sekolah ini. Gue tidak menjumpai kakak kelas tengil, bocah tajir sengak, atau bocah sok jagoan yang ingin dibilang pentolan! Disini benar-benar damai, tentram dan of course sejuk.

...


Gue menikmati kesejukan kawasan sekolah gue ini di taman sekolah, duduk di salah satu kursi yang ada di taman sambil menunggu antrian untuk fitting seragam batik dan kaos olahraga di gedung A. Gue duduk bersama Agoy sambil berbincang-bincang, di depan gue terdapat gedung C tempat adik-adik SMP belajar. 

"Anying, ngantuk gue Goy. Anginnye udah kaya nina boboin gue." Ujar gue.

"Iye, Wid. Sama! Gue juga ngantuk. Enak bener di sini."  Sahut Agoy lalu perhatian kami teralihkan oleh dua orang kakak kelas perempuan yang melintas, mereka terlihat memandangi gue dan Agoy tersenyum sambil berbisik satu sama lain.

"Gue ganteng banget kali yak, sampe kakak kelas ngeliatin gue senyam-senyum gitu…" Ucapan Agoy terhenti dan kami saling beradu tatap kemudian langsung bangkit dari kursi itu.

"Sialan gue lupa!" Ujar gue sambil setengah berlari.

"baik lo, ngapain ngajakin gue duduk di situ." Ujar Agoy.

"Elu begok kaga sekolah! Bukannya ingetin gue." Sahut gue sambil menjambak rambutnya.

"Hahaha, gue juga lupa." Sahut Agoy.

"Rusak! Rusak! Image gue." Ujar gue.

Lalu saat gue dan Agoy sedang melangkah menjauhi bangku itu menuju ke depan ruangan tata usaha di gedung A. Kami berpapasan dengan Mutia, dia berjalan menunduk lesu sekali. Mutia sempat menghentikan langkahnya menegakan kepalanya, melihat wajah gue. "Wid, ayooo!" Ujar Agoy sedikit panik.

"Udah sehat, kak?" Sapa gue ramah dan membuat ekspresi wajah Mutia mendadak terbelalak, terkejut.

Agoy langsung menarik gue menjauh dari Mutia sementara gue melihat Mutia masih berdiri mematung menatap ke arah gue. Gue melemparkan senyum terbaik gue. "GILA LO YEE! KALO ADA YANG LIAT GIMANE!?" Ucap Agoy masih terlihat panik.

"Paling gue kena bounty juga!" Sahut gue santai.

"Gila lo! Mau ape lo kena bounty begitu?" 

"Mau. Hahaha." Jawab gue.

"Udeh gila emang lo!" Ujar Agoy lalu dia duduk di lantai di depan ruang TU.

"Gue gak gila. Gue cuma kasian ajah sama dia. Ya, walaupun gue gak tau dia kena bounty kenapa. Tapi menurut gue dia seharusnya gak dapetin itu, sih." 

"Gue juga sebenernya kasian, sih. Ngeliatnya, dari pas mos tampangnya sering keliatan pucet kaya orang gak semangat idup." Sahut Agoy.

"Hahaha, keliatan gak semangat hidup ajah tamparannya sakit. Gimana dia hidupnya semangat, yah?" 

"Emang pas lo ditampar dia sakit?"

"Lo mau ngetest? Gue panggil dia nih biar nampar lo…"

"Yee gila!!" 

"KAK! KAK MUTBBBBBB…" Agoy langsung membungkam mulut gue dengan tangannya.

"Gila lo yee!"

"Upsss sorry!" Sahut gue sambil melirik ke kiri dan ke kanan menyadari beberapa orang berpakaian seragam SMA memicingkan matanya menatap gue.

Memasuki jam istirahat kedua tiba-tiba suasana di kelas gue riuh ramai serta sedikit tegang untuk beberapa orang. Sementara gue masih duduk santai di tengah-tengah kakak kelas yang sedang mengerubungi gue layaknya semut mengerubungi gula. "Lo gak mau ngakuin kesalahan lo?" Tanya Kak Okta, dia adalah kakak kelas 12 yang juga menjabat sebagai ketua osis.

"Wid, udah mending lo ngaku salah ajah. Minta maaf sekarang disini, lo masih baru jadi kita semua masih bisa ngertiin." Kak Icha yang berdiri di belakang gue ikut menimpali.

"Okeh. Kak, gue mau nanya ajah. Apa kalo gue kena bounty gue boleh ngobrol sama orang yang bounty juga?"

"Wid! Lo sadar sama apa yang lo lakuin gak, sih?" Ujar Kak Icha yang sedari tadi keramaian ini mulai terlihat mencoba membela gue.

Gue tidak menggubris Kak Icha, "Gak ada yang jawab pertanyaan gue? Oke berarti gue anggap jawabannya iya, yah. So, do you jod, kak!" Ucap gue pada Kak Okta.

Kak Okta langsung berbalik badan, "Gue gak peduli, sekalipun lo anak yang punya yayasan…"

"What???" Sahut gue heran.

"...Tapi peraturan ini ada udah dari angkatan pertama sekolah ini (By the way, gue angkatan ke 4) waktu itu kita semua udah rembukan bareng-bareng. Peraturan ini ada biar gak ada anak-anak yang bisa belaga sok dalam hal apapun. Jadi sorry, Wid. Lo bisa temuin gue nanti, kapan ajah kalo lo mau tapi kalo lo ngelapor bokap lo, nyokap lo dan bikin kita semua kena. Kita semua jamin status bounty lo gak akan pernah dicabut. Sekali lagi sorry." Ucap Kak Okta lalu mulai melangkah, "JADI KALIAN SEMUA UDAH PAHAM, KAN? SAAT INI WIDI DI-BOUNTY!" Lanjutnya kemudian pergi meninggalkan kelas gue dan begitu juga kakak kelas yang lainnya.

"..." Icha sejenak berhenti dan menatap gue sambil menggelengkan kepalanya seolah tidak habis pikir dengan apa yang gue lakukan.

Gue berbalik badan menatap Agoy lalu tersenyum, "Agoyyyyy…" Ujar gue menggoda.

Agoy memalingkan hadapnya dan itu membuat gue sedikit tertawa, "Ah parah lu, Goy. Gue dicuekin. Males ah gak temen!" Ujar gue. Sementara Agoy terlihat sedikit geram. Dia lalu mengeluarkan buku dan pulpennya lalu menuliskan sesuatu.

"Kite smsan aje, nomer lo berape?"

"Hahahaha." Sahut gue sambil menuliskan nomer gue di bawah tulisannya Agoy. Lalu gue dan Agoy mengobrol lewat sms padahal kami duduk bersebelahan.

...


Sepulang sekolah, gue langsung menuju ke sebuah warung yang ada di pemukiman warga di seberang sekolahan gue—Agoy sebelumnya mengajak gue nongkrong terlebih dahulu sepulang sekolah. Gue sedikit kesulitan menemukan warung yang dimaksud karena letaknya cukup dalam, masuk ke dalam pemukiman. Gue menghubungi Agoy yang sudah jalan terlebih dahulu untuk memberikan gue arah jalan yang tepat. 

"Pokoknya lo masuk ke jalan itu, terus sebelah kanan ada gang. Lo masuk ke gang itu nanti keluar dari gang itu ada lapangan. Kita disini." 

"Kita?" Tanya gue.

"Iye, rame disini. Buruan, lo jalan gitu doang lama!"

"Iye lama lah, gue nyasar!"

"Lah, kok bisa nyasar?"

"Gue keterusan kayanya masuk ke jalan yang lo bilang, gue tadi kaga belok ke gang." 

"Ye sibego. Yaudah lo balik lagi, gue tungguin depan gang." 

Setelah gue menyusuri jalan yang sebelumnya gue lalui, akhirnya gue menemukan gang yang dimaksud. Pantas saja gue tidak menyadarinya, gang-nya sangat kecil bahkan motor tidak bisa masuk ke dalam gang itu.

Dari dalam gang gue melihat Agoy sedang berjalan, sepertinya dia hendak menjemput gue, "halah telat lo! Gue udah nemuin nih gangnya!" Ucap gue pada Agoy.

"Lo jalan tadi sampe mane?" Tanya Agoy.

"Noh sampe portal yang onoh."

"Anying jauh, hahaha."

Sesampainya di warung yang dimaksud (sebut saja warjung) ternyata ada cukup banyak anak-anak sekolah gue yang nongkrong di warung ini. Warungnya cukup asik, banyak pohon rindang yang seolah menjadi atap untuk sekitaran warung ini. Di depan warung ada sebuah kali dan sebuah pintu air kecil. Di pintu air itu pula terdapat sebuah jembatan yang di ujung jembatan itu atau di seberang kali dari Warjung ini terdapat sebuah lapangan badminton yang dialih fungsikan sebagai lahan parkir motor dan mobil.

Awalnya gue berpikir kalau kendaraan yang terparkir di sana adalah kendaraan milik karyawan yang bekerja di kantor dekat-dekat sini. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, rata-rata perkantoran di sekitaran sini memiliki lahan parkirnya sendiri. Gue benar-benar tidak berpikir kendaraan itu milik warga, rasanya rumah-rumah disana kebanyakan memiliki garasinya sendiri.

"Wid!!" Panggil seseorang dari meja lain yang gue lihat disana adalah kumpulan kakak kelas dan orang yang memanggil gue adalah Kak Icha.

Gue cukup terkejut Kak Icha berani memanggil gue, tapi melihat Agoy dan teman-teman gue yang lain biasa saja menyapa gue saat gue datang ke Warjung ini, gue menduga kalau status Bounty yang gue dapat tidak berlaku di luar sekolah. "Hei, kak. Negor gue kena bounty, lo." Sahut gue.

"Kalo gue kena bounty karena negor lo. Berarti temen-temen lo udah kena duluan."

"Iya, yah. Woi bounty lo beg*k semua!" 

"..." Gue melihat Kak Icha tertawa. "Sini, Wid. Gabung." Ajak Kak Icha.

"Gue disini ajah, yah. Kak. Kesannya songong gue nanti nongkrong disitu." 

Ucapan gue di respon oleh teman-temannya Kak Icha, respon mereka hampir sama, "santai ajah, kita gak gila hormat." 

"Hehehe, iyah, kak. Thanks by the way. Tapi gue disini ajah. Gak enak sama yang lain." 

"Okeh, deh." Sahut Kak Icha.

Gue lalu duduk di beton pembatas kali karena gue tidak kebagian kursi. Gue duduk bersama Agoy yang sudah memegangi teh botol di tangannya. "Lo tau ini tempat dari mana, Goy?" Tanya gue.

"Ada deh." Jawab Agoy.

"Ya, Wid. Anak-anak sini sih udah pasti tau tempat ini." Jawab salah satu teman sekelas gue yang lain.

"Iya, Wid. Nih hampir semua yang disini pasti smp nya kalo gak SMP Xxxx atau Xxxxx." Sahut yang lainnya.

"Oooo bulet. Pantesan lo semua kaya udah pada asik ajah!" 

"Yoi. Emang lu dari SMP mana?" 

"×××" Jawab gue.

"Dimana tuh?" Tanya Agoy.

"Dih parah banget lo gak tau, Goy."

"Agoy mana tau sih, orang dia paling jauh main ikut ngubur." 

"Hahaha." Gue hanya tertawa menyaksikan Agoy yang menjadi bahan sasaran ledekan kami semua.

Di sela-sela obrolan, akhirnya gue mengetahui kalau kendaraan yang terparkir di seberang kali sana adalah kendaraan murid-murid di sekolah gue. Mereka sengaja parkir di sana karena memang peraturan sekolah melarang para siswa/i-nya membawa kendaraan ke sekolah. "Goy, lo bawa motor?" Tanya gue.

"Enggak."

"Mobil?" 

"Enggak! Kan gue bilang gue sekolah bareng bokap gue."

"Terus lo balik gimana?" 

"Kalo masih sore gini paling naek ojek. Kalo nungguin bokap gue jemput lagi abis magrib paling gue baliknya."

"Lah, terus gue balik gimana, dong?" Tanya gue.

"Lah gimana maksudnya?"

"Kan gue bilang tadi gue minta anterin lo pulang. Seenggaknya nebeng sampe mana gitu." Sahut gue.

"Lah lo kapan bilangnya?" Tanya Agoy.

"Tadi gue sms, kan!"

"Mane!?" Tanya Agoy lalu mengeluarkan ponselnya, "oh iye belom kebuka, nih. Yaudeh lo mau nunggu bokap gue ae, abis magrib tapi? Emang lo balik kemane?" 

"Gue ke ×××××…"

"Lah ngaco sianjing!"

"Ngaco gimana?" Tanya gue.

"Gue balik ke xxxx."

"Yah lawanan arah dong? Tahik lah lo kenapa gak bilang!?"

"Lo gak nanya."

"Hmmm kurap!" Sahut gue.

"Wid. Kalo lo ke xxxx dulu, bisa gak?" Sambar Icha entah bagaimana dia mendengar percakapan gue dengan Agoy.

"Maksudnya, Kak?" Tanya gue.

"Iya, gue balik ke xxxx kalo emang bisa nanti dari sana lo naik apa gitu. Bareng sama gue ajah." 

"Oh, bisa. Sih. Lumayan ngirit. Tapi gak apa-apa, kak?" 

"Gak apa-apa, kok. Santai. Tapi gak bisa lama-lama yah nongkrongnya. Bentar lagi, yah 10 menit lagi kali gue pulangnya. Kalo udaj gelap macetnya kadang parah."

"Okeh, ohiya tapi gue gak bawa helm."

"Helm? Gue bawa mobil kali, Wid."

"Ohh begitar. Oke deh."

...


"Ia, si Mutia itu temen gue dari SD. Kita dari dulu bareng-bareng. Sampe sekolah disini juga sengaja janjian." Ujar Icha saat kami sedang berada dalam perjalanan pulang.

"Oh pantes lo manggilnya bukan Mutia kaya yang laennya." Sahut gue sambil fokus pada laju mobilnya Icha yang sedang gue kendarai.

"Iya, di rumah tuh dia dipanggil Nyunyun."

"Jauh banget yah sama namanya."

"Emang. Soalnya dulu tuh katanya pas dia kecil dia sering manyun-manyun gitu. By the way gue perhatiin dari tadi ngobrol lo ngarahnya ke Nyunyun mulu. Lo suka, yah? Cieee!"

"Suka? Duh gimana caranya, yah. Gue bisa suka sama orang yang baru pertama kali ketemunya sama gue langsung nampar gue. Mana pake tenaga banget!"

"Hahahah…" Icha lalu menceritakan tentang Nyunyun. Sebuah cerita yang seharusnya tidak gue dengar. Gue tidak mengerti, sebagai seorang sahabat, mengapa Icha menceritakan masalah sahabatnya pada orang lain. Terlebih orang lain itu baru dikenalnya. 

Namun herannya, ada banyak celah (sebetulnya) untuk gue memotong pembicaraan Icha dan menghentikannya menceritakan masalah pribadi Nyunyun alias Mutia. Tapi gue tidak memanfaatkan celah itu dan gue malah mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan Icha.

"Waw, parah juga. Yah." Ujar gue. "Gak tau lagi gue harus ngomong apa." Lanjut gue.

"Sebenernya gue juga sama, Wid. Gak tau lagi harus ngomong apa. Gue capek! Jangankan omongan gue, omongan kakaknya sendiri ajah gak didengerin sama dia." Icha menyandarkan duduknya sambil melihat ke arah kaca spion kiri. "Duh, kenapa gue ceritain ini sama lo, yah?" Lanjut Icha.

"Nah, itu. Dari awal gue mau nanya itu. Hahaha."

"Lo gak ember, kan. Wid?" 

"Sekalipun gue ember, gue lagi di-bounty, lho. Siapa yang berani ajak gue ngobrol…"

"Ya bisa ajah nanti lo umbar semuanya pas lagi nongkrong di luar." Sambar Icha.

"Lo tenang ajah, kak. Gue bukan orang yang kaya begitu." 

"Iya, keliatannya juga begitu. Apa, yah. Ini gue bukan agresif, yah. Tapi gak tau rasanya pas pertama kali ngeliat lo gue ngerasa asik ajah gitu. Bukannya gue suka, yah. Kaya gimana, yah. Auranya beda ajah sama yang lainnya, apalagi pas mos tuh. Sumpah berasa banget, konyol lo tuh emang konyol bukan caper kaya si Agoy temen lo itu…"

"Duh, terbang nih lama-lama mobil." 

"Hahah… oh iya, tadi gue denger lo dari smp xxx, yah?"

"Iyah. Kenapa, kak?"

"Lo kenal kaka kelas lo yang namanya Renal gak? Anaknya Pak xxxxxxxx." 

"Kenal, kenapa?" Tanya gue.

"Gak apa-apa. Sekarang dia gimana?" Tanya Icha.

"Bentar… lo Icha dari SMP xxx, anaknya Pak xxxxx, bukan?" Tanya gue seperti teringay suatu hal.

"Iya, kok lo tau?" 

"Buhahahah, gila! Sempit bat dunia!" 

"Maksudnya?" Tanya Icha.

"Iya, Renal pernah cerita sama gue. Dia lagi ngegebet anak xxx, tapi pas dia mau nembak katanya kacau, dia sampe numpahin minuman ke bajunya."

"Iyah, dia tumpahin coca-cola pas di mcd."

"Itu dia mau nembak lo tuh, sebenernya."

"Tau gue, berasa banget juga gue sebenernya. Tapi ya gitu fail. Guenya keburu bete. Terus tambah bete lagi pas dia ngajakin gue ke prom sekolahan lo tapi tau-tau dia ngilang gitu ajah gak ada kabar. Tau kemana tuh orang."

"Soal itu gue juga gak tau, sih. Gue sama temen-temen gue yang lain juga nyariin dia sebenernya. Dia ngilang gitu ajah, gue ke rumahnya juga gak pernah ada kata satpam rumahnya."

"Lo kenal banget sama Renal, Wid?"

"Iyalah, orang gue selalu sekelas dari kelas…" Ucapan gue terhenti karena gue menyadari gue sedang keceplosan.

"Haah? Coba gantian jelasin sama gue, Wid. Anggap ajah buat jaminan gue lo udah megang rahasia sahabat gue."
Diubah oleh nyunwie 07-12-2021 05:39
anonymcoy02
pavidean
MFriza85
MFriza85 dan 28 lainnya memberi reputasi
29
Tutup