Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
Tenung (Based on true story)


Quote:



Quote:



Update santai tiap selasa, jumat dan minggu jam 5 sore..


___________________________________________



Prolog

 Bel panjang pulang sekolah telah membuyarkan lamunan Anggita, Jam pelajaran terakhir telah usai. Dia bergegas membereskan semua alat-alat tulisnya dan memasukkan ke dalam tas sebelum akhirnya keluar dari kelas itu, menyusul teman-temannya yang udah duluan keluar kelas.

 Anggita adalah gadis manis siswi salah satu SMA swasta di kota X. Wajah yang bulat telur, kulit putih bersih, bibir mungil dan mata bulat bening berbulu mata lentik, rambut lurus hitam panjang, dengan tubuh sempurna khas cewek remaja yang sedang mekar-mekarnya, menjadikan dia sebagai salah satu kembang sekolah yang dikagumi, baik di sekolahnya sendiri, ataupun di sekolah lain.

 Saat keluar kelas, Anggita disamperin sama satu cewek yang telah jadi sahabat karibnya sejak dari SMP. Mereka lalu jalan bareng menuju pintu gerbang untuk pulang. Yosi memang sahabat Anggita yang paling dekat, mereka selalu berbagi segala hal, saling menceritakan semua hal tanpa ada yang ditutupi, bahkan termasuk urusan asmara.

Quote:


 Sampai di pertigaan, mereka pun berpisah, Yosi jalan lurus, dan Anggita belok ke kiri. Rumah mereka emang nggak begitu jauh dari sekolah, jadi mereka cuma jalan kaki ke sekolah. Sepanjang perjalanan pulang itu Gita kembali memikirkan apa yang telah dia lamunkan di kelas tadi, biaya sekolahnya telah menunggak 3 bulan, dia tadi telah dipanggil oleh guru bp terkait dengan masalah itu, dan Gita kembali meminta kompensasi. Tapi sampai kapan?

 Gita merasa sungkan dan nggak enak kalo meminta ayahnya lagi, memang ayahnya, pak Harjanto, cuma berprofesi sebagai buruh dengan gaji pas-pasan. Sedangkan ibunya, bu Ningsih, adalah seorang ibu rumah tangga yang punya kerjaan sambilan menjahit baju di rumah untuk mendukung ekonomi keluarga, tapi sepertinya itu masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. 

 Anggita masih punya seorang kakak laki-laki yang duduk di bangku SMA kelas tiga bernama Anggara, dan sebentar lagi dia akan menghadapi ujian kelulusan. Gita juga masih punya satu adik laki-laki yang menginjak di kelas 2 SMP bernama Anggo. Dua saudaranya itu juga butuh banyak biaya sekolah, dan kakaknya tentu butuh biaya lebih besar untuk ujian.

 Sampailah Gita pada sebuah rumah sederhana yang selama ini dia tinggali bersama orang tua dan kedua saudaranya. Meskipun rumah itu sudah berdinding tembok, tapi banyak cat yang mengelupas, atapnya juga ada yang bolong, jadi kalo hujan, maka rumah itu jadi bocor di beberapa tempat. Dan begitu masuk rumah, Gita menekan keresahan hatinya agar tidak terpancar keluar, biar ibunya nggak tau, ibunya udah banyak menanggung beban, jadi dia nggak akan menambahinya lagi. 'Biarlah nanti aku langsung ngomong sama ayah aja', gitu pikirnya.

 Tepat jam 3 sore, Anggita telah siap berangkat, dia menunggu Yosi sambil duduk di lincak atau kursi panjang dari bambu di depan rumahnya, tepat di bawah jendela. Lima menit kemudian, Yosi pun datang mengendarai motor maticnya. Sore itu mereka akan pergi ke kolam renang umum dimana akan diadakan pengambilan nilai dari sekolah untuk pelajaran olah raga renang.

 Butuh waktu setengah jam untuk sampai di kolam renang umum itu. Suasana sangat ramai karena ternyata sekolah SMA lain yang juga sedang mengadakan pengambilan nilai di situ. Teman-teman satu kelasnya Anggita juga udah pada datang. Anggita langsung merasa nggak nyaman dengan situasi yang ramai itu, dia udah nggak mood lagi untuk mengikuti tes renang itu. Tapi Yosi sahabatnya terus membujuknya hingga akhirnya Anggita luluh juga.

 Dan saat memasuki pintu loket, Anggita tertegun, dia melihat satu cowok yang sedang melihat dia juga. Anggita mengenalinya sebagai cowok yang sedang mengejar-ngejar dia selama beberapa minggu terakhir. Ternyata SMA lain yang sedang penilaian di kolam renang itu adalah sekolahnya cowok yang mengejarnya. Sudah beberapa kali Gita menopak cowok itu, tapi dia masih nekat mengejar. Bukannya Gita membenci, tapi belum kepikiran olehnya untuk menjalin suatu hubungan dengan cowok.

 Suasana kolam renang yang sangat ramai, dan masih ditambah oleh keberadaan cowok itu, membuat Gita merasa semakin nggak nyaman. Maka langsung aja dia balik badan dan melangkah menuju pintu keluar. Tapi langkahnya segera terhenti saat ada satu suara besar dan lembut yang menegurnya.

Quote:


 Yosi menggamit tangan Gita dan mengajaknya menuju ke deretan kursi di pinggir kolam renang. Pak Zaini juga duduk di situ sambil memberi penilaian pada siswa yang lain yang sedang berenang satu persatu. Gita benar-benar nggak jadi renang kali itu. Dan dia ngerasa makin nggak nyaman karena cowok itu terus memperhatikannya dari seberang kolam renang. 

 Anggita berencana untuk menunggu sampai Yosi mendapat nilainya aja, abis itu dia akan langsung pulang. Tapi setelah Yosi selesai, dia malah mengajak Anggita makan di kantin kolam renang dulu sebelum pulang, bahkan Yosi bilang kali dia yang akan membayar semua makanan. Dengan terpaksa akhirnya Anggita mau menurutinya.

 Selesai makan, Gita merogoh saku celananya untuk mengambil duit, dia berniat untuk membayar makanannya sendiri. Gita emang nggak pernah bawa dompet, jadi duit dan kartu pelajar dia bawa di saku celananya. Tapi ternyata Yosi sudah membayar semua makanan itu saat memesan tadi, hingga akhirnya Gita memasukkan lagi duitnya ke dalam saku, tanpa dia sadari kalo kartu pelajarnya juga ikut keluar dan terjatuh ke lantai saat dia tadi mengambil duit dari sakunya. 

 Saat mereka mau beranjak pergi dari kantin itu, seorang karyawan kantin cewek datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah kue besar berbentuk bulat, si karyawan meletakkan kue itu di atas meja, tepat didepan Anggita. Di atas kue itu ada dua buah lilin berbentuk angka 16 yang sudah menyala, dan di kue itu ada tulisan 'happy b'day Anggita', itu adalah kue ulang tahun! Gita bahkan sama sekali nggak ingat kalo hari ini adalah ulang tahunnya!

Quote:


 Dua cewek, terbengong keheranan menatap kue ultah itu, siapa yang udah repot-repot ngasih kue ultah kayak gitu? Tapi pertanyaan mereka pun segera terjawab saat ada seseorang berdiri di ambang pintu kantin sambil membawa seikat besar bunga mawar. Dia adalah cowok yang tadi, cowok yang telah mengejar-ngejar Anggita!

 Cowok itu tersenyum sambil melangkah perlahan memasuki kantin. Dan ternyata dibelakangnya ada banyak temen-temen satu SMA dengan cowok itu yang membawa kertas besar bertuliskan 'happy b'day Anggita, will you be my girl?'. Bahkan temen-temen yang satu SMA dengan Anggita pun ikut bergabung dengan mereka. Si cowok yang membawa bunga mendekati Anggita dan berdiri tepat di depannya.

Quote:


 Suasana kantin yang semula sepi itu jadi riuh oleh suara temen-temen si cowok yang meneriakkan kata-kata agar Gita menerima, tapi hal itu tetap nggak membuat Gita bergeming, dalam hatinya membatin, mungkin inilah saat bagiku untuk ngomong jujur, gitu pikirnya.

Quote:


 Anggita bangkit dari tempat duduknya dan langsung beranjak keluar kantin. Yosi pun langsung menyusulnya. Sementara si cowok cuma terdiam menatap nanar pada kue ultah diatas meja. Dadanya bergemuruh, menahan rasa malu yang teramat sangat.

 Apalagi kini teman-temannya pun beranjak pergi dari kantin satu persatu tanpa ngomong apa-apa. mereka bahkan nggak berusaha nyamperin si cowok. Sape akhirnya kantin itupun sepi kembali, cuma beberapa pengunjung yang ikut menyaksikan seluruh adegan drama itu. Drama tentang seorang anak remaja yang telah gagal nembak seorang cewek.

 Si cowok masih berdiri mematung, hatinya serasa hancur, sia-sia sudah semua perjuangannya selama beberapa bulan ini, semua usahanya menyiapkan pesta ultah hari ini ternyata nggak ada gunanya. Dan satu hal yang paling memukul egonya adalah, rasa malu yang teramat sangat, ditolak di depan semua temen-temennya, temen-temen Anggita, dan semua pengunjung kantin.

 Seluruh rasa cintanya pada Anggita telah sirna dengan seketika, berganti oleh suatu perasaan benci dan dendam yang meluap-luap. Lalu tanpa sengaja matanya tertumbuk pada suatu benda yang tergeletak di lantai kantin, tepat di bawah meja. Dia beranjak memungut benda itu yang ternyata adalah sebuah kartu pelajar. 

 Kartu itu adalah kartu pelajarnya Anggita yang tadi terjatuh tanpa sengaja. Dia memandangi foto wajah cantiknya Anggita di kartu pelajar itu. Setanpun menyelinap di hati dan otaknya, membuat semua rasa malu, sakit hati, amarah dan rasa sedih meluap-luap campur aduk menjadi satu. Mendadak suatu ide gila terlintas begitu saja, ide dari setan yang membisikinya.

Quote:


 Satu tekad bulat terpatri di hati dan pikirannya, dia harus membalas semua yang dia peroleh hari ini. Lalu dengan langkah-langkah lebar, cowok itu beranjak menuju ke pintu kantin, meninggalkan kue ulang tahun di atas meja yang lilinnya masih menyala..



-----<<<{O}>>>-----



 Langit sudah mulai menggelap karena matahari sudah terbenam, ditambah lagi mendung hitam tebal telah menggantung di langit sejak tadi sore, sesekali terlihat kilatan-kilatan petir menerangi alam dalam sekejap, disusul suara menggelegar yang teramat keras sampai mampu menusuk gendang-gendang telinga. 

 Tapi semua pertanda kalo akan terjadi badai itu tak membuat langkah kaki seorang cowok jadi terhenti, dengan mantap dia memasuki sebuah halaman rumah luas yang berpagar bambu. Dia adalah cowok berusia 17 tahun, masih kelas dua SMA, cowok yang telah ditolak cintanya oleh Anggita di depan banyak orang. Dengan nekat dia telah mendatangi rumah ini untuk melaksanakan tekadnya.

 Untuk sejenak cowok itu memandangi keseluruhan rumah itu. Rumah sederhana berdinding papan, dan dia merasa ragu, benarkah ini rumah yang dimaksud? Tapi menurut petunjuk yang dia dapat, memang inilah rumah yang dimaksud. Maka dia pun mulai mengetuk pintu rumah itu dan menunggu.

 Tiga kali mengetuk, dan akhirnya pintu itupun terbuka. Muncullah seorang aki-aki berusia sekitar 50 tahunan, rambut sebagian sudah memutih. Dia memakai hem batik dan sarung. Sekilas penampilannya nggak berbeda dengan penduduk biasa di desa ini, dan itu membuat si cowok kembali ragu.

Quote:


 Si cowok pun mengikuti si aki memasuki ruang tamu rumah itu. Si cowok memandang berkeliling, nggak ada yang aneh, perabotan meja kursi biasa, sangat jauh berbeda dengan yang dia bayangkan sebelumnya. Ruang tamu itu sama kayak ruang tamu di rumah-rumah lain, sama sekali nggak menandakan kalo itu adalah rumah seorang praktisi. Si cowok duduk di kursi berhadapan dengan si aki.

Quote:


 Si pemuda mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang ternyata adalah beberapa bundel uang, dia letakkan uang itu di atas meja di depannya. Dan mata si aki membesar melihat tumpukan uang itu, semua rasa ragunya hilang seketika, kepercayaannya timbul perlahan. Cowok itu memang sengaja keluarkan duit buat nunjukin kalo dia nggak main-main.

Quote:


 Hujan telah turun dengan sangat deras saat si cowok keluar dari rumah itu. Angin ribut bertiup sangat kencang disertai gelegar petir tanpa henti. Badai besar telah melanda kawasan desa itu. Tapi si cowok nekat berlari ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan depan rumah. 

 Suatu kepuasan terlintas, sebentar lagi dia akan melihat Anggita menderita hingga meminta ampun padanya. Sebuah rencana jahat dan keji telah tersusun dan mulai dijalankan, rencana yang berdasar pada bisikan setan. Mata hati dan pikirannya telah tertutupi oleh sakit hati dan dendam..



Bersambung..



Diubah oleh Mbahjoyo911 10-10-2021 10:11
sampeuk
xue.shan
jondero
jondero dan 257 lainnya memberi reputasi
256
141.3K
3.9K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
#561
Silsilah
 Hari minggu itu keluarganya pak Harjanto beserta adik-adiknya berziarah ke makam eyang Iman dan neneknya Gita,  juga tak lupa mendoakan agar arwah mereka tenang di sisi Allah. Mereka mendapat tawaran untuk mampir dulu di rumahnya pak Mustofa, pengurus masjid dan makam eyang Iman, juga masih termasuk saudara dari pak Harjanto. Tujuan lainya adalah untuk mendengarkan keterangan dari pak Mus soal silsilah keturunan keluarga mereka mulai dari eyang Iman.

 Setelah perjalanan selama lima menit, rombongan itupun sampai di sebuah rumah berhalaman cukup luas, dua pohon mangga tumbuh di kiri kanan halaman, membuat suasana jadi teduh. Rumah itu sendiri termasuk tidak terlalu besar, tapi sangat bersih dan asri, ditambah hawa yang teduh, membuat rumah itu jadi terasa nyaman. Rumah itu adalah rumahnya pak mustofa.

 Pak Harjanto dan bu Ningsih sering berkunjung kesini, jadi mereka akrab dengan keluarga pak Mus. Tapi ketiga anak pak Har baru kali ini datang kesini, jadi mereka berkenalan dulu dengan seluruh keluarga pak Mus. Mereka dijamu ala kadarnya, tapi keakraban mereka telah memperlihatkan sebuah kehangatan sebuah keluarga.

Quote:


 Untuk beberapa menit, rumah pak Mustofa jadi sepi. Mereka berkutat dengan pikiran masing-masing, seakan masih meresapi cerita dari pak Mus. Mereka juga membayangkan seperti apa kira-kira desa ini pada jaman dulu waktu eyang Iman masih menjadi kepala desa. Tentunya desa ini dulunya sangat tentram. Lamunan mereka terhenti saat Anggita mulai bertanya lagi.

Quote:


 Tak terasa adzan dzuhur sudah terdengar. Pak Mus mengakhiri cerita itu untuk sementara, dan mereka memutuskan pergi ke masjid untuk dzuhuran. Gita malah merasa senang, karena sekalian ke masjid, dia malah punya kesempatan mengunjungi rumah eyang Iman.

 Kali ini cuma yang laki-laki saja yang pergi ke masjid, para ibu-ibu tetap berada di rumahnya pak Mustofa. Kecuali Gita yang ingin berkunjung ke rumah itu. Pak Mus, pak Har, pak Pras, suaminya bulek Sri, Anggara dan Anggo, juga Gita, berangkat jalan kaki ke masjid karena jaraknya memang dekat, nggak sampai 300 meter.

 Selesai dzuhuran, mereka langsung menuju ke rumah besar di samping kiri masjid, ini juga atas permintaan Gita. Pak Mus adalah pengurus masjid, jadi dia juga membawa kunci rumah itu. Saat pintu utama rumah itu dibuka, seperti ada suatu hawa sejuk menerpa mereka. Gita merasakan suatu kedamaian dan kesejukan ketika memasuki pintu itu.

 Ruang tamu itu sangat besar, mirip sebuah pendopo. Ada 4 tiang besar di tengah ruangan membentuk garis kotak bujur sangkar dengan lebar empat meter. Lantai ruangan sudah di keramik. Semua terlihat sangat bersih, bahkan debu pun tidak ada, suatu pertanda kalau rumah itu selalu dibersihkan dan dirawat. 

 Di tengah ruangan itu ada bagian lantai yang lebih tinggi dari yang lain, hingga membentuk semacam panggung setinggi 20 senti. Di bagian belakang ada semacam background besar dari kayu jati berukir indah sebagai penyekat antara ruang tamu dan bagian belakang rumah. Penyekat ini biasa disebut dengan gebyok, benar-benar sangat indah dan klasik.

 Secara keseluruhan ruang tamu itu menunjukkan sebuah ruang tamu rumah joglo tempo dulu. Semua tampak benar-benar masih asli. Aura positif terpancar dari ruangan itu, hingga menimbulkan perasaan nyaman bagi siapa saja yang berada di dalamnya. Aura positif adalah cerminan dari tindak-tanduk penghuni rumah yang selalu taat beribadah pada Allah dan juga selalu berbuat kebaikan pada sesama. Bahkan setelah ratusan tahun, aura itu tetap masih ada.

Quote:


 Anggita berjalan berkeliling ruangan, bukan ruangan itu yang dia lihat, tapi dia seakan sedang meresapi kenyamanan hawa aura didalam rumah itu. Gita seakan bisa merasakan keberadaan eyang Iman disitu. Mungkin juga Gita bisa merasakan sisa-sisa aura energi dari eyang Iman yang masih tertinggal disitu.

  Secara keseluruhan, rumah itu benar-benar sebuah rumah yang sangat nyaman, entah karena teduhnya, atau karena aura positif yang masih tertinggal. Benar-benar suatu hawa sejuk yang bikin orang betah berlama-lama disitu. Tapi mereka tidak bisa selamanya disitu.  Jadi setelah setengah jam melihat-lihat, akhirnya merekapun kembali ke rumah pak Mustofa.

 Sampai di rumah itu, ternyata para ibu baru saja selesai memasak dan  menyiapkan makan siang. Jadilah rombongan itu malah makan siang bersama di rumah pak Mus, dengan diiringi canda tawa riuh, seakan ingin melupakan kejadian mengenaskan yang menimpa Gita. Bahkan mereka seakan lupa tujuan mereka kesini.

Quote:


 Pak Mustofa beranjak masuk ke ruang dalam, dan tak berapa lama dia keluar membawa sebuah gulungan kertas gambar. Dia kembali duduk, membuka gulungan kertas itu dan membentangkannya di meja. Terpampanglah sebuah gambar semacam pohon silsilah keluarga dalam bentuk blok-blok kotak bertuliskan nama. Paling atas sendiri ada nama sultan ke-dua, terus menurun sampai enam generasi. 

 Semua orang ikut bergerombol di sekeliling kertas gambar ukuran A2 itu. Mereka mengurutkan nama-nama mbah wareng, canggah, buyut, dan diantara ratusan nama itu akhirnya mereka menemukan nama neneknya Anggita sebagai generasi ke enam dari keturunan sultan ke-dua. Ada rasa hangat merayapi dada mereka. Rasa haru, bangga dan rasa yang tidak bisa diungkapkan.

Quote:


 Semua orang tertegun, bagaimana bisa keluarga mereka dengan sabar menyusun silsilah dari generasi ke generasi selama ratusan tahun, hingga tercipta blok-blok silsilah yang sangat lengkap seperti ini. Pak Harjanto jadi pengen memiliki kertas silsilah itu juga, maka diapun mengutarakannya.

Quote:


 Sementara itu Anggita terlihat masih mencermati kertas salinan silsilah itu, dalam hatinya membatin, kalo dia adalah keturunan generasi ke delapan dari sang sultan, berarti dia adalah generasi ketujuh dari eyang Iman. Apakah ini mempunyai arti tertentu?

 Apakah ini cuma kebetulan saja, ataukah jin qorin eyang Iman memang sengaja datang pada keturunan ketujuh nya untuk membantu. Ditambah lagi, apakah kemampuan mata batin Anggita ini masih ada hubungannya dengan generasi ketujuh itu? Entahlah.. itu cuma pemikiran yang berkembang di benak Gita.

 Mereka masih asyik ngobrol lama sekali, ngomongin soal silsilah dan semua saudara-saudara yang masih ada kaitannya dengan silsilah itu, mereka kini banyak yang rumahnya berpencaran berjauhan. Hingga tanpa terasa waktu sudah sore saja, maka rombongan pak Harjanto pun berpamitan. 

 Tepat jam 4 sore mobil meninggalkan rumah pak Mustofa. Mereka mengantarkan bulek Sri dan suaminya ke rumah mereka lebih dulu, baru kemudian melaju meninggalkan desa Wonorejo itu. Dalam perjalanan mereka masih membicarakan soal silsilah itu.

Quote:


 Omongan Gita sontak membuat semua jadi ketawa. Sementara Anggo cuma cengar-cengir. Memang begitulah Gita kalo ngeledek adiknya, nggak tanggung-tanggung lagi. Tapi hal ini malah menunjukkan begitu dekatnya mereka, nggak ada rasa marah atau ngambek lagi karena semua sudah  tau itu cuma candaan.

Mereka pulang dengan membawa kertas silsilah keluarga turun temurun, juga membawa sebuah pengetahuan yang tak disangka-sangka, ternyata mereka masih keturunan dari keraton juga. Meskipun sudah tujuh turunan, tapi setidaknya masih ada sedikit darah biru mengalir dalam urat nadi mereka.

Bersambung..



18


Diubah oleh Mbahjoyo911 12-11-2021 10:02
anauhibu
sampeuk
jondero
jondero dan 100 lainnya memberi reputasi
101
Tutup