Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"



Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
220.1K
1.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#489
Part 51-a
Keesokan harinya gue bangun di pagi hari dan tidak ada orang selain Mbak Sun saat gue ke luar kamar untuk mandi. "Mbah sama Tante Elsa kemana, Mbak?" Tanya gue pada Mbak Sun.

"Ibu mah biasa Den lagi senam kalo non Elsa sih kayanya lagi joging tapi gak tau dimana, bawa mobil soalnya." Jawan Mbak Sun.

"Ohh."

"Den, sarapan dulu kalo kelamaan nasi uduknya gak enak nanti."

"Iyah Mbak mandi dulu, ah." Sahut gue lalu bergegas ke kamar mandi.

Entah mengapa saat gue mandi beberapa kali gue tertawa sendiri; Gue masih merasa aneh dipanggil, Den. Gue masih agak aneh dengan apa-apa yang sudah disiapkan. Semua itu masih sulit untuk gue percaya yang pada akhirnya setiap kali gue merasakan semuanya kerap kali membuat gue tertawa.

Selepas mandi, lalu gue sarapan. Kemudian bersiap-siap karena gue berencana untuk ke kosannya Nata. Gue berangkat ke kosannya Nata sekitar pukul 9 menggunakan mobilnya Karina yang semalam gue bawa pulang—karena dipaksa Mami dan Daddy-nya Karina, setelah gue mengantar Karina hingga ke rumah.

Awalnya gue berencana ke kosannya Nata bersama Karina, rencana awalnya gue menjemput Karina terlebih dahulu sebelum pergi ke kosannya Nata. Tapi karena ada sesuatu yang ingin gue bicarakan dengan Nata dan gue lupa kalau gue juga memiliki janji untuk bertemu dengan Arumi, akhirnya gue mengubah rencana. Membatalkan rencana dengan Karina tepatnya. Gue menghubungi Karina terlebih dahulu untuk memberitahu kalau gue harus membatalkan rencana yang semalam gue dan dia sepakati, untungnya Karina mengerti terlebih dia mengatakan kalau dia juga sedang tidak enak badan.

Sesampainya di kosannya Nata gue berpapasan dengan Dani, dia bisa dibilang salah satu pengedar yang disuplai barangnya dari Malik. Gue dan Dani tidak saling menyapa, hanya saling menatap muka, sepertinya Dani tidak mengenal gue dan itu adalah sesuatu yang baik menurut gue.

Gue melangkah melewati Dani yang tengah duduk di beranda bangunan kosan ini. Mungkin dia sedang menikmati paginya dengan secangkir kopi. Saat langkah gue sudah tiba di depan kamar kosannya Nata gue langsung mencoba membuka pintunya, namun sayangnya pintunya terkunci dan itu tidak seperti biasanya.

Gue langsung mengeluarkan ponsel gue untuk menghubungi Nata tapi malah terhubung dengan kotak suara. Gue lalu menghubungi Abdul untuk menanyakan keberadaannya dan juga Nata.

"Woi anying masih idup lo!" Ucap Abdul saat menjawab panggilan telpon gue.

"Iye nih bangkit dari kubur gue. Lo dimane?" Tanya gue.

"Lo yang dimane setan!? Orang-orang pada nyariin lo."

"Hahah, susah artis dicariin mulu."

"Bangkeyyyyyyy! Serius anying lo dimane?" Tanya Abdul lagi.

"Lo nanya sekarang gue dimane apa selama ini kemane?' Tanya balik gue.

"Ye jahanam! Dua-duanye lah."

"Yee gak bisa dua-duanye, soalnye beda."

"Au ah kunyuk. Suseh ngomong ame orang suseh dari pade suseh mending gak useh!"

"Hahahah, anying lo."

"Hahaha, serius gue tot. Baba nyariin nih."

"Panjanglah ceritanye, gak bisa liwat selepon. Gue baru sampe dikosanya sikunyuk nih. Die pegi ye?" Tanya gue.

"Lah au dah. Semalem sih ade. Coba lo liat kuncinye ade di pot gak?"

Gue langsung mencari kunci kosan Nata di dalam pot yang dimaksud namun gue tidak menemukannya, "Gak ade Nge! Ape die lagi pegi sama si Jono (sepupunya Nata) ye?"

"Sianying gak mungkin kalo pegi bawa-bawa kunci…" Jawab Abdul.

"YAAAAAA" Suara gue dan Abdul bersamaan.

"Udeh fix" Ujar gue.

"Sama Karina?"

"Enggak Karina semaleman sama gue, ini ajah mobilnya Karina gue bawa."

"Ya sianying penyakitnye kambuh." Sahut Abdul.

"Anying bagus gue gak kemari sama Karina. Tol*l… tol*l." Sahut gue.

"Yaudeh lo mau kemari ape pegimane?" Tanya Abdul.

"Entar deh. Gue mau bikin die tengsin." Jawab gue.

"Ehh ikut anying. Gue otewaw sekarang."

"Buru."

"Iye nih gue langsung."

"Yaudeh." Sahut gue lalu mengakhiri panggilan telpon.

Lalu gue duduk di lantai di depan kamar kost-nya Nata, menunggu Abdul sambil berbalas pesan dengan Arumi perihal janji bertemu yang sudah kami sepakati. Hingga hampir satu jam berlalu akhirnya Abdul datang.

"Maneh? Udeh keluar orangnye?" Tanya Abdul setengah berbisik dan gue hanya menggelengkan kepala. "Wah gileee…" Lanjut Abdul sambil menempelkan telinganya pada pintu kamarnya kost-nya Nata.

"Kedengeran?" Tanya gue.

"Enggak."

"Yee pekok!"

"Hahaha" Tawa Abdul lalu duduk di samping gue. "Jadi lo selama ini kemana?" Tanya Abdul langsung.

"Entar aje deh yee gue jawabnye. Entar gue jawab sekarang terus Nata nanya jadi dua kali jawab gue. Mending entar aje yee tunggu si bakteri yang satu ini keluar yee."

"Yeeh tahiks lah." Gerutu Abdul.

"Sabar, bentar lagi juga keluar die nyari makan. Abis begituan laper pasti."

"Ihh tau banget lo. Pernah emang?"

"Oh jelas enggaklah, kan gue tau dari lo lo orang."

"Babbbbbeeee!!!"

Kemudian gue dan Abdul sama-sama mengungkapkan keresahan kami masing-masing tentang kelakuannya Nata; Gue dan Abdul sama-sama khawatir kalau nantinya apa yang dilakukan Nata—yang menjalin hubungan yang tidak semestinya dengan Nina akan membuat kami, khususnya gue, akan kehilangan Karina.

Ya walaupun pada kenyataanya memang Karina adalah pacarnya Nata, namun baik untuk gue ataupun Abdul Karina juga bagian dari kami semua, "KITA, ini yah kita semua. Lo, gue, Nata, Karina…" Ungkap Abdul.

"Si Renal engga, hahaha." Sambar gue.

"Ahh murtad die. Tau tuh sianying satu itu kemane."

"Hahaha."

"Balik lagi, Le. Sebenernya gue bodo amat. Dia nantinya bakal putus atau gimana. Itu urusan dia. Tapi kan pasti nanti kalo mereka berdua putus Karina udah pasti jadi males lagi nongkrong sama kite. Males dah gue kalo jadinya gitu."

"Ya tapi kite bisa ape, Dul? Ya semoga aje ape yang kite takutin engga kejadian, deh."

"Iya aamiin walau pun kayanya mustahil. Sekali dua kali die bisa lolos, gue gak tau nih kalo kegep lagi nantinya."

"Iya juga sih, yaa…"

"WAYOOOOOO PADA NGOMONGIN GUE LO YE BERDUA, CURUT!!!" Suara Nata terdengar menggelegar dari arah koridor yang menuju ke tangga.

"Lah." Abdul terlihat heran dan sedikit terkejut melihat Nata yang datang.

"Nah kegocek kan lo berdua. Lo pasti nyangka gue lagi di dalem berduaan sama cewe kan!?" Ucap Nata sambil berjalan mendekat. "Kebaca otak-otakan lo berdua, suudzon mulu sama gue." Lanjut Nata lalu sedikit menendang pelan kami berdua, "minggir-minggir!"

"Yeee bangkek! Gue gak suudzon, cuma ngikutin kebiasaan elu ajah, kan." Sahut Abdul.

"Kebiasaan apaaan!? Gila lo ye!? Gak cayaan banget gue udah gak berhubungan sama Nina!" Sahut Nata sambil memasukan anak kunci kedalam lubang kunci pintu kamar kostnya.

"Mana ada lo bilang gitu?" Sahut gue.

"Ehh ada orang ilang, baru engeh gue ada orang. Pe kabar brooooo?" Sahut Nata.

"Tetep asiikkkkk." Sahut gue.

"Anying, hahahaha." Sahut Nata lalu membuka pintu. "Gue uddah bilang ke onta arab yang satu ini nih. Gue udah gak ada hubungan apa-apa lagi sama Nina. Die aje budek sama suudzon terus sama gue." Lanjut Nata lalu masuk ke dalam kamarnya sementara Abdul mengikuti dan gue berjalan paling belakang.

"Kok bisa? Ada apaan? Lo gak ada omong apa-apa sama gue? Karina juga!?" Tanya gue.

"Lo ngilang mulu! Jadi kelewat satu momen ada yang dilabrak lagi berduaan makan donat." Sahut Abdul.

"Ohyakah? Kok Karina gak ngomong apa-apa sama gue semalem?"

"Mana gueee tauu, tanya ajah sama orangnya. Ngapa nanya sama gue." Sahut Nata sedikit aneh.

Nata langsung melempar badannya ke tempat tidur tanpa melepas sepatu yang dia kenakan terlebih dahulu. Abdul langsung melompat menindih Nata dengan gerakan ala-ala smackdown yang sering kami tonton. Sementara itu gue memperhatikan seisi kamar ini dan melihat sebuah ikat rambut berwarna merah muda di dekat kaki tempat tidur.

Gue langsung duduk dan mengambil ikat rambut itu dengan cepat lalu memasukannya ke dalam saku celana. "I know you, Nat!" Ucap gue dalam hati.

"Gullll oiii hheeeggo! Buaaahhh haaaahhh haahhhh… anying badan lo berat bangkek, keberatan idung lo!" Ucap Nata sambil menendang Abdul mencoba keluar dari kuncian Abdul.

"Yee pekok! Kelakuan lo berdua kek bocah anying." Sahut gue lalu melompat menindih mereka berdua.

"AAaaanying babeeee Touuweeee bancat badan lo tambah berat anying!"

"Hahaha" Gue tertawa lalu turun dari badan mereka berdua dan Abdul pun juga melepaskan Nata. "Homo-homoo, gak nyangka gue." Lanjut gue sambil menggelengkan kepala.

"LO!" Sahut Nata dan Abdul bersamaan.

Nata dan Abdul lalu duduk di kasur, sementara gue duduk di lantai di sebelah kasur dan sejenak suasana hening menghinggap. "Dan kemudian hening." Gue membuka suara.

"Hahahaha, bangkek! Ceritalah, nih udah ada Natanya." Sahut Abdul.

"Mabok dong! Cerita gak mabok gak seru ah." Sahut gue.

"Yeee sianying!" Celetuk Nata sambil melempar bantal. "Masih pagi ngajakin mabok. Kek pretu deket rumah lo anying." Lanjut Nata.

"Hahaha, kan gue penerusnye entar."

"Aamiin." Celetuk Nata dan Abdul.

"Ye bangkek! Diaminin dong!."

"Elu ngomong asal aje anying." Ucap Nata.

"Hahaha, nge-bir kek apan kek, anying! Apaan kek jajan kek, mendung doang kagak ujan, duduk doang gak jajan!" Sahut gue lalu mengeluarkan selembar uang dari saku celana. "Nih! Seceng pertama."

"Asik bat gayalu serebu mau mabok!" Celetuk Nata.

"Hahahaha."

"Sini!" Abdul mengambil uang gue lalu dia mengeluarkan uang dari dompetnya, "Nih gue bayarin duit lo, setan!" Lanjut Abdul melempar uang pecahan seratus ribu.

"Nah, jajan kan. Meheehehe." Gue mengambil uang Abdul yang dilempar.

"Yee apaan, anying yee sini-sini canda anying. Buat ongkos gue besok tuh." Ucap Abdul mencoba mengambil kembali uang yang ia lempar.

"Yeeeh lo berduaa recehan aje rebutan. Sini-sini!" Nata dengan cepat mengambil uang itu. "Nah mayan nih buat jajan gue besok. Hahaha."

"Kont*llll!!!!" Celetuk gue dan Abdul bersamaan.

Setelah berunding atau mungkin lebih tepatnya adu bacot. Akhirnya kami sepakat untuk membeli beberapa botol bir. Abdul yang bertugas untuk membelinya walaupun dia sedikit tidak terima dengan itu, "Ahh tae gue lagi ajah yang jalan." Gerutu Abdul.

"Udeh si nge elah dumel ae." Sahut gue.

"Yee anying gimane gak dumel, gue patungan paling banyak gue juga yang jalan." Ujar Abdul sambil mengenakan jaket milik Nata.

"Jaket gue lagi dipake." Celetuk Nata.

"Pinjem elah!"

"Yah dipinjem elu sih alamat balik."

"Hahaha, dikasih pinjem gak neh!? Kalo enggak gue gak jalan nih." Sahut Abdul.

"Tahiks lah. Ni lagi sianying bukannye elu aje yang jalan." Celetuk Nata sambil sedikit menendang gue.

"Yaudeh sini gue yang jalan, sini Dul jaketnya." Ujar gue.

"Samanyeeeeeee! Dah dah jalan deh Dul buru. Mending jaket gue sama lo dah dari pada sama si pl*r satu ini dijual entar."

"Anying, pakau banget gue. Hahahaha."

Walaupun nampak terpaksa, akhirnya Abdul berangkat seorang diri untuk membeli bir. Setelah Abdul pergi, Nata melongok dari jendela untuk melihat Abdul berangkat membeli bir, "Tiati yee nyet, hahahaha." Ucap Nata dan entah bagaimana reaksi Abdul dibawah sana.

"Ada apaan?" Tanya Nata kembali duduk di kasurnya.

"Apaan? Apaan?" Tanya balik gue.

"Yaa udahlah, gue tau otak-otak lo. Lo emang sengaja ajah biar Abdul pergi bentar, kan? Mana ada lo pengen minum-minum jam segini." Sahut Nata.

"Enggak! Gue emang lagi pengen ajah."

"Masa?" Nata seolah tidak percaya.

Gue sedikit tertawa lalu mengeluarkan sesuatu yang gue simpan di saku celana. "Bisa lo yee boongin temen lo sendiri." Ucap gue sambil melempar ikat rambut yang gue yakin milik Nina. Nata terdiam sambil menggaruk kepalanya, "parah lo!" Lanjut gue.

"Gak segampang itu, Le. Gue juga gak ngerti kenapa perasaan gue sama Nina…"

"GUE GAK PEDULI!" Selak gue. "Serius! Gue gak peduli gimana perasaan lo sama Nina sama Karina. Itu urusan lo! Masalah lo sama hati lo. Gue sebagai temen cuma bisa nyoba ngertiin ajah apa yang lo rasain. Tapi gimana anying gue mau coba ngerti, lo ajah sama kita gak jujur!"

"Enggak anying! Gak gitu. Sumpah demi apapun gue emang mau cerita sama lo. Just sama lo dulu. Sama Abdul gue rasa belom saatnya. Tapi gue mana tau kalo lo kesini ternyata sama Abdul juga."

"Lah gue juga kesini sendiri. Tapi pas gue dateng kamar dikunci, otak gue traveling lah langsung. Ya gue langsung telpon Abdul buat make sure."

"Ya gasalah, sih. Tadi emang gue abis nganterin Nina balik…"

"Abis nginep die?" Tanya gue menyelak. Nata menganggukan kepala. "Bagus lo yee. Cewe lo, lo biarin jalan sama temen lo. Lo nya berduaan sama cewe laen. Emmmm jalan tuh otak!"

"Hehehe. Sorry, Le! Justru karena itu, Le. Gue cuma mau cerita ini sama lo dulu. Gue belom bisa cerita ini sama Abdul. Gue sadar bangkek pasti kecium. Toh udah dua kali juga ketauan…"

"Jadi Abdul bener?" Selak gue lagi.

Nata menganggukan kepala, "Parah yang kemarenan. Abis gue sama Bella sama Emak lu!" Ujar Nata.

"Aneh…"

"Aneh kenapa?" Tanya Nata.

"Aneh ajah Karina semalem gak cerita itu sama gue."

"Gak tau deh gue. Yang jelas kenapa gue gak bisa cerita sama Abdul. Karena gue gak mau nantinya kalo gue kena lagi. Gue gak mau Karina ngejauhin kalian karena Karina nganggep kalian nutup-nutupin semuanya…"

"Hey but you tell me!" Celetuk gue.

Nata tersenyum dengan senyumnya yang menjijikan. "Ah damn! Gue tau! Lo masih ngeset! jadi semisal lo putus sama Karina. Lo mau gue juga dijauhin sama Karina. Hahaha. Maen banget lo, ye! Picik juga otak lo gila! Eh kurap! Lo pikir kalo lo nanti putus gue bakal ngambil kesempatan buat usahain Karina? Enggak anying!"

"Lo yang picik nilai gue, Le! Karina, apapun yang gue lakuin, apapun kesalahan yang gue lakuin yang bahkan lo tau. Dia nggak bakal pernah jauhin lo, Le! Lo tau kenapa? Karena buat dia lo punya tempat yang jauh lebih spesial dari gue."

"Gila lo gila! Sakit! Lo mau…"

"Enggak, Le! Lo jangan mikir gue lagi nyari pembenaran atau kambing item atas apa yang gue lakuin di belakang Karina. Gue sadar apa yang gue lakuin emang sebuah kesalahan. Gue enggak mau nyari alesan buat ngebenerin atau ngemaklumin diri gue sendiri sama apa yang gue lakuin, NO!" Selak Nata seolah bisa membaca apa yang ada di kepala gue.

Nata lalu turun dari kasurnya lalu mengambil bungkus rokok yang tergeletak di meja kemudian menyulutnya, "Gue gak pernah cemburu sama itu…" Lanjut Nata sambil melempar bungkus rokok itu kepada gue, "... Gue juga gak pernah masalah soal itu. Karena beberapa, itu ngeringanin tugas gue sebagai pacarnya Karina. Dan gue seneng orang itu elu yang bener-bener satu-satunya orang yang gue percaya. Mungkin kalo lo itu orang lain, udah pasti lo bakal gue ributin. Jujur gue sayang banget sama Karina, ah gue cinta banget sama dia. Tapi gak tau kenapa sama Nina ini, gue juga gak paham kenapa gue punya perasaan yang… hhaaahhh." Nata menghembuskan asap dari mulut dan hidungnya. "Entahlah gimana gue ngungkapinnya…"

"Gue paham, Nat." Sambar gue sambil menatap jauh seolah menembus segalanya sampai gue hanya melihat Arumi di depan mata. Dalam sekejap gue mencoba membuyarkan pandangan itu dan kembali berkonsentrasi pada apa yang sebenarnya ada di depan gue, "Yang gue enggak paham kenapa lo seolah mau bikin situasi kalo cuma gue satu-satunya yang tau kalo lo masih terus berhubungan sama Nina?" Tanya gue.

"Kenapa lo?" Tanya Nata tiba-tiba.

"Kenapa apanya?" Tanya gue heran.

"Itu tadi sebelum lo ngomong lo sempet geleng-geleng pala. Kaya lagi ngebayangin sesuatu tapi lo buyarin lagi."

"Hahahaha." Entah mengapa gue tertawa. "Gila! Gue emang kudu hati-hati ngomong sama lo, hahaha. Jawab pertanyaan gue, gue bakal jawab pertanyaan lo! Kenapa lo bikin situasi kek gini?" Tanya gue.
Diubah oleh nyunwie 09-11-2021 07:09
anonymcoy02
MFriza85
joyanwoto
joyanwoto dan 22 lainnya memberi reputasi
23
Tutup