Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
Tenung (Based on true story)


Quote:



Quote:



Update santai tiap selasa, jumat dan minggu jam 5 sore..


___________________________________________



Prolog

 Bel panjang pulang sekolah telah membuyarkan lamunan Anggita, Jam pelajaran terakhir telah usai. Dia bergegas membereskan semua alat-alat tulisnya dan memasukkan ke dalam tas sebelum akhirnya keluar dari kelas itu, menyusul teman-temannya yang udah duluan keluar kelas.

 Anggita adalah gadis manis siswi salah satu SMA swasta di kota X. Wajah yang bulat telur, kulit putih bersih, bibir mungil dan mata bulat bening berbulu mata lentik, rambut lurus hitam panjang, dengan tubuh sempurna khas cewek remaja yang sedang mekar-mekarnya, menjadikan dia sebagai salah satu kembang sekolah yang dikagumi, baik di sekolahnya sendiri, ataupun di sekolah lain.

 Saat keluar kelas, Anggita disamperin sama satu cewek yang telah jadi sahabat karibnya sejak dari SMP. Mereka lalu jalan bareng menuju pintu gerbang untuk pulang. Yosi memang sahabat Anggita yang paling dekat, mereka selalu berbagi segala hal, saling menceritakan semua hal tanpa ada yang ditutupi, bahkan termasuk urusan asmara.

Quote:


 Sampai di pertigaan, mereka pun berpisah, Yosi jalan lurus, dan Anggita belok ke kiri. Rumah mereka emang nggak begitu jauh dari sekolah, jadi mereka cuma jalan kaki ke sekolah. Sepanjang perjalanan pulang itu Gita kembali memikirkan apa yang telah dia lamunkan di kelas tadi, biaya sekolahnya telah menunggak 3 bulan, dia tadi telah dipanggil oleh guru bp terkait dengan masalah itu, dan Gita kembali meminta kompensasi. Tapi sampai kapan?

 Gita merasa sungkan dan nggak enak kalo meminta ayahnya lagi, memang ayahnya, pak Harjanto, cuma berprofesi sebagai buruh dengan gaji pas-pasan. Sedangkan ibunya, bu Ningsih, adalah seorang ibu rumah tangga yang punya kerjaan sambilan menjahit baju di rumah untuk mendukung ekonomi keluarga, tapi sepertinya itu masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. 

 Anggita masih punya seorang kakak laki-laki yang duduk di bangku SMA kelas tiga bernama Anggara, dan sebentar lagi dia akan menghadapi ujian kelulusan. Gita juga masih punya satu adik laki-laki yang menginjak di kelas 2 SMP bernama Anggo. Dua saudaranya itu juga butuh banyak biaya sekolah, dan kakaknya tentu butuh biaya lebih besar untuk ujian.

 Sampailah Gita pada sebuah rumah sederhana yang selama ini dia tinggali bersama orang tua dan kedua saudaranya. Meskipun rumah itu sudah berdinding tembok, tapi banyak cat yang mengelupas, atapnya juga ada yang bolong, jadi kalo hujan, maka rumah itu jadi bocor di beberapa tempat. Dan begitu masuk rumah, Gita menekan keresahan hatinya agar tidak terpancar keluar, biar ibunya nggak tau, ibunya udah banyak menanggung beban, jadi dia nggak akan menambahinya lagi. 'Biarlah nanti aku langsung ngomong sama ayah aja', gitu pikirnya.

 Tepat jam 3 sore, Anggita telah siap berangkat, dia menunggu Yosi sambil duduk di lincak atau kursi panjang dari bambu di depan rumahnya, tepat di bawah jendela. Lima menit kemudian, Yosi pun datang mengendarai motor maticnya. Sore itu mereka akan pergi ke kolam renang umum dimana akan diadakan pengambilan nilai dari sekolah untuk pelajaran olah raga renang.

 Butuh waktu setengah jam untuk sampai di kolam renang umum itu. Suasana sangat ramai karena ternyata sekolah SMA lain yang juga sedang mengadakan pengambilan nilai di situ. Teman-teman satu kelasnya Anggita juga udah pada datang. Anggita langsung merasa nggak nyaman dengan situasi yang ramai itu, dia udah nggak mood lagi untuk mengikuti tes renang itu. Tapi Yosi sahabatnya terus membujuknya hingga akhirnya Anggita luluh juga.

 Dan saat memasuki pintu loket, Anggita tertegun, dia melihat satu cowok yang sedang melihat dia juga. Anggita mengenalinya sebagai cowok yang sedang mengejar-ngejar dia selama beberapa minggu terakhir. Ternyata SMA lain yang sedang penilaian di kolam renang itu adalah sekolahnya cowok yang mengejarnya. Sudah beberapa kali Gita menopak cowok itu, tapi dia masih nekat mengejar. Bukannya Gita membenci, tapi belum kepikiran olehnya untuk menjalin suatu hubungan dengan cowok.

 Suasana kolam renang yang sangat ramai, dan masih ditambah oleh keberadaan cowok itu, membuat Gita merasa semakin nggak nyaman. Maka langsung aja dia balik badan dan melangkah menuju pintu keluar. Tapi langkahnya segera terhenti saat ada satu suara besar dan lembut yang menegurnya.

Quote:


 Yosi menggamit tangan Gita dan mengajaknya menuju ke deretan kursi di pinggir kolam renang. Pak Zaini juga duduk di situ sambil memberi penilaian pada siswa yang lain yang sedang berenang satu persatu. Gita benar-benar nggak jadi renang kali itu. Dan dia ngerasa makin nggak nyaman karena cowok itu terus memperhatikannya dari seberang kolam renang. 

 Anggita berencana untuk menunggu sampai Yosi mendapat nilainya aja, abis itu dia akan langsung pulang. Tapi setelah Yosi selesai, dia malah mengajak Anggita makan di kantin kolam renang dulu sebelum pulang, bahkan Yosi bilang kali dia yang akan membayar semua makanan. Dengan terpaksa akhirnya Anggita mau menurutinya.

 Selesai makan, Gita merogoh saku celananya untuk mengambil duit, dia berniat untuk membayar makanannya sendiri. Gita emang nggak pernah bawa dompet, jadi duit dan kartu pelajar dia bawa di saku celananya. Tapi ternyata Yosi sudah membayar semua makanan itu saat memesan tadi, hingga akhirnya Gita memasukkan lagi duitnya ke dalam saku, tanpa dia sadari kalo kartu pelajarnya juga ikut keluar dan terjatuh ke lantai saat dia tadi mengambil duit dari sakunya. 

 Saat mereka mau beranjak pergi dari kantin itu, seorang karyawan kantin cewek datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah kue besar berbentuk bulat, si karyawan meletakkan kue itu di atas meja, tepat didepan Anggita. Di atas kue itu ada dua buah lilin berbentuk angka 16 yang sudah menyala, dan di kue itu ada tulisan 'happy b'day Anggita', itu adalah kue ulang tahun! Gita bahkan sama sekali nggak ingat kalo hari ini adalah ulang tahunnya!

Quote:


 Dua cewek, terbengong keheranan menatap kue ultah itu, siapa yang udah repot-repot ngasih kue ultah kayak gitu? Tapi pertanyaan mereka pun segera terjawab saat ada seseorang berdiri di ambang pintu kantin sambil membawa seikat besar bunga mawar. Dia adalah cowok yang tadi, cowok yang telah mengejar-ngejar Anggita!

 Cowok itu tersenyum sambil melangkah perlahan memasuki kantin. Dan ternyata dibelakangnya ada banyak temen-temen satu SMA dengan cowok itu yang membawa kertas besar bertuliskan 'happy b'day Anggita, will you be my girl?'. Bahkan temen-temen yang satu SMA dengan Anggita pun ikut bergabung dengan mereka. Si cowok yang membawa bunga mendekati Anggita dan berdiri tepat di depannya.

Quote:


 Suasana kantin yang semula sepi itu jadi riuh oleh suara temen-temen si cowok yang meneriakkan kata-kata agar Gita menerima, tapi hal itu tetap nggak membuat Gita bergeming, dalam hatinya membatin, mungkin inilah saat bagiku untuk ngomong jujur, gitu pikirnya.

Quote:


 Anggita bangkit dari tempat duduknya dan langsung beranjak keluar kantin. Yosi pun langsung menyusulnya. Sementara si cowok cuma terdiam menatap nanar pada kue ultah diatas meja. Dadanya bergemuruh, menahan rasa malu yang teramat sangat.

 Apalagi kini teman-temannya pun beranjak pergi dari kantin satu persatu tanpa ngomong apa-apa. mereka bahkan nggak berusaha nyamperin si cowok. Sape akhirnya kantin itupun sepi kembali, cuma beberapa pengunjung yang ikut menyaksikan seluruh adegan drama itu. Drama tentang seorang anak remaja yang telah gagal nembak seorang cewek.

 Si cowok masih berdiri mematung, hatinya serasa hancur, sia-sia sudah semua perjuangannya selama beberapa bulan ini, semua usahanya menyiapkan pesta ultah hari ini ternyata nggak ada gunanya. Dan satu hal yang paling memukul egonya adalah, rasa malu yang teramat sangat, ditolak di depan semua temen-temennya, temen-temen Anggita, dan semua pengunjung kantin.

 Seluruh rasa cintanya pada Anggita telah sirna dengan seketika, berganti oleh suatu perasaan benci dan dendam yang meluap-luap. Lalu tanpa sengaja matanya tertumbuk pada suatu benda yang tergeletak di lantai kantin, tepat di bawah meja. Dia beranjak memungut benda itu yang ternyata adalah sebuah kartu pelajar. 

 Kartu itu adalah kartu pelajarnya Anggita yang tadi terjatuh tanpa sengaja. Dia memandangi foto wajah cantiknya Anggita di kartu pelajar itu. Setanpun menyelinap di hati dan otaknya, membuat semua rasa malu, sakit hati, amarah dan rasa sedih meluap-luap campur aduk menjadi satu. Mendadak suatu ide gila terlintas begitu saja, ide dari setan yang membisikinya.

Quote:


 Satu tekad bulat terpatri di hati dan pikirannya, dia harus membalas semua yang dia peroleh hari ini. Lalu dengan langkah-langkah lebar, cowok itu beranjak menuju ke pintu kantin, meninggalkan kue ulang tahun di atas meja yang lilinnya masih menyala..



-----<<<{O}>>>-----



 Langit sudah mulai menggelap karena matahari sudah terbenam, ditambah lagi mendung hitam tebal telah menggantung di langit sejak tadi sore, sesekali terlihat kilatan-kilatan petir menerangi alam dalam sekejap, disusul suara menggelegar yang teramat keras sampai mampu menusuk gendang-gendang telinga. 

 Tapi semua pertanda kalo akan terjadi badai itu tak membuat langkah kaki seorang cowok jadi terhenti, dengan mantap dia memasuki sebuah halaman rumah luas yang berpagar bambu. Dia adalah cowok berusia 17 tahun, masih kelas dua SMA, cowok yang telah ditolak cintanya oleh Anggita di depan banyak orang. Dengan nekat dia telah mendatangi rumah ini untuk melaksanakan tekadnya.

 Untuk sejenak cowok itu memandangi keseluruhan rumah itu. Rumah sederhana berdinding papan, dan dia merasa ragu, benarkah ini rumah yang dimaksud? Tapi menurut petunjuk yang dia dapat, memang inilah rumah yang dimaksud. Maka dia pun mulai mengetuk pintu rumah itu dan menunggu.

 Tiga kali mengetuk, dan akhirnya pintu itupun terbuka. Muncullah seorang aki-aki berusia sekitar 50 tahunan, rambut sebagian sudah memutih. Dia memakai hem batik dan sarung. Sekilas penampilannya nggak berbeda dengan penduduk biasa di desa ini, dan itu membuat si cowok kembali ragu.

Quote:


 Si cowok pun mengikuti si aki memasuki ruang tamu rumah itu. Si cowok memandang berkeliling, nggak ada yang aneh, perabotan meja kursi biasa, sangat jauh berbeda dengan yang dia bayangkan sebelumnya. Ruang tamu itu sama kayak ruang tamu di rumah-rumah lain, sama sekali nggak menandakan kalo itu adalah rumah seorang praktisi. Si cowok duduk di kursi berhadapan dengan si aki.

Quote:


 Si pemuda mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang ternyata adalah beberapa bundel uang, dia letakkan uang itu di atas meja di depannya. Dan mata si aki membesar melihat tumpukan uang itu, semua rasa ragunya hilang seketika, kepercayaannya timbul perlahan. Cowok itu memang sengaja keluarkan duit buat nunjukin kalo dia nggak main-main.

Quote:


 Hujan telah turun dengan sangat deras saat si cowok keluar dari rumah itu. Angin ribut bertiup sangat kencang disertai gelegar petir tanpa henti. Badai besar telah melanda kawasan desa itu. Tapi si cowok nekat berlari ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan depan rumah. 

 Suatu kepuasan terlintas, sebentar lagi dia akan melihat Anggita menderita hingga meminta ampun padanya. Sebuah rencana jahat dan keji telah tersusun dan mulai dijalankan, rencana yang berdasar pada bisikan setan. Mata hati dan pikirannya telah tertutupi oleh sakit hati dan dendam..



Bersambung..



Diubah oleh Mbahjoyo911 10-10-2021 10:11
sampeuk
xue.shan
jondero
jondero dan 257 lainnya memberi reputasi
256
141.3K
3.9K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
#517
Pengobatan kedua
 Malam itu terasa sangat panjang bagi mereka yang membantu Gita, juga bagi para tetangga yang menonton. Setelah melewati serangan demi serangan dari tiga jin sekaligus, akhirnya Gita mampu bertahan melewatinya, meskipun sempat terkena dua kali serangan juga, tapi bisa dikatakan kalau keadaannya baik-baik saja. 

 Suasana malam itu memang terasa sangat mencekam, mereka srmua ikut mendengar suara jeritan, raungan dan lolongan yang seakan datang dari kejauhan. Bahkan karena rasa lapar semua orang, ada jin yang menyaru jadi penjual bakmi jawa untuk mengelabui semua orang.

 Setelah mendapat transferan tenaga dari pak Rohani, maka kondisi badan Gita jadi hampir pulih, meskipun dadanya masih sedikit sakit, tapi itu bukan halangan baginya untuk kembali nyemilin kuacinya, hingga dia lupa kalo lagi puasa. Suasana jadi nggak begitu tegang lagi karena tingkah Gita, kecuali Anggara yang tadi ikut menyaksikan sendiri pertarungan gaib jarak jauh, sampai saat itu badannya masih terasa gemetaran.

 Jam setengah satu dini hari, situasi sudah normal kembali. Para sesepuh pun berpamitan pulang diiringi rasa terima kasih yang besar dari pak Harjanto sekeluarga. Para tetangga yang tadinya menonton pun ikut pulang karena mumpung ada barengan, mereka merasa takut kalo pulang sendirian, apalagi kalo rumahnya agak jauh dari situ.

 Pak Rohani masih berada disitu, bersama bulek Narsih dan pak Pras. Mereka masih ngobrol ditemani kopi buatan bu Ningsih. Pak Rohani coba menjelaskan pada keluarga soal apa yang terjadi tadi, karena orang awam cuma akan mendengar suara-suara aneh saja, tanpa bisa melihat. Kecuali tentunya Anggara, cuma dia yang bisa.

Quote:


 Tepat jam satu malam, pak Rohani pun pamit pulang, seperti biasa, dia nggak mau diminta untuk menginap. Lalu bulek Narsih dan pak Pras pun juga ikut berpamitan. Rumah itu jadi hening kembali, masing-masing anggota keluarga merebahkan diri dan berusaha untuk tidur. Tapi tetap saja nggak ada yang bisa tidur, malah Anggita yang tertidur duluan karena kecapekan, dan seluruh keluarga malah menjaganya.

 Sebuah suara di kepala Gita telah membangunkannya dari tidur. Ketika Gita membuka mata, ada satu sosok putih berdiri mengambang di sebelahnya. Anggita sangat terkejut, bahkan hampir saja berteriak. Tapi ternyata sosok putih itu adalah eyang Iman, dan Gita merasa lega. Dia memandang berkeliling dengan heran, karena seluruh keluarganya sudah tertidur pulas seperti kena sirep. 

 Jam dinding menunjuk di angka dua pagi. Baru satu jam Gita memejamkan mata, tapi anehnya tubuhnya kini jadi terasa jauh lebih enakan dibanding tadi. Sakit di dadanya juga berkurang jauh, bahkan luka di bibirnya sudah mengering meski masih terasa sakit. Berkali-kali Gita mengucap syukur pada Allah. Apapun penyebabnya, Gita harus mengucap syukur karena sedikit terbebas dari penderitaan.

Quote:


 Setelah sosok eyang Iman memudar dan menghilang, Gita beranjak duduk, otaknya berputar, bagaimana mungkin parutan singkong bisa dijadikan obat? Sama seperti biji mentimun dulu? Tapi biarlah, dia juga tidak mengerti soal obat, jadi dia akan menurutinya saja. 

 Ada satu hal lagi yang dipikirkan Gita, cuma gara-gara kuaci aja dia sampe lupa puasa mutihnya, tapi untungnya baru setengah malam dia menjalaninya, jadi belom terlalu jauh untuk diulang lagi dari awal, dan besok dia akan memulainya lagi. Gita pun beranjak ke belakang mengambil air wudhu untuk tahajud.

 Pagi hari, pak Harjanto memutuskan untuk tidak masuk kerja lagi, dia memilih untuk menjaga putri satu-satunya itu. Saat ini seluruh keluarga sedang berkumpul untuk sarapan. Gita pun juga ikut makan, dan seluruh keluarga jadi heran, karena Gita dengan lahapnya memakan nasi, dan mereka tau kalo Gita lagi puasa mutih.

Quote:


 Jawaban singkat itu sudah membuat seluruh keluarga mengerti, meskipun merasa aneh dan heran, tapi mereka tidak bertanya lebih jauh lagi. Selesai sarapan, Anggara dan Anggo berangkat sekolah, sementara pak Har nggak masuk kerja, malah membetulkan lincak depan rumahnya yang patah akibat diinjak banyak orang.

 Siang itu, bu Ningsih pulang dari pasar membawa tiga batang singkong permintaan dari Gita, tak lupa dia membeli sekotak kuaci juga. GIta langsung saja mengupas singkong itu, mencucinya hingga bersih, lalu diparut. Cukup lama juga dia memarut, karena masih memakai parutan tangan alias manual.

 Selesai diparut, dengan bacaan basmalah, alfatihah dan ayat kursi, Gita tempelkan parutan singkong mentah itu di tangan kiri sebelah dalam, mulai dari siku sampai pergelangan tangan. Lalu tangan kirinya dibalut dengan perban. Dan kini dia cuma menunggu instruksi selanjutnya dari eyang Iman. 

 Bu Ningsih dan pak Har cuma memandangi semua yang dilakukan Gita tanpa bertanya apa-apa. Kini mereka tau fungsi dari singkong tadi, karena dulu Gita pernah melakukannya, meskipun memakai biji ketimun. Jadi tentunya sekarang singkong itu sama fungsinya dengan biji ketimun dulu.

 Saat hari menjelang petang, setelah adzan maghrib terdengar, Gita makan tiga kepal nasi, kali ini nasi yang baru dan masih hangat berkepul. Dia meminum enam gelas air putih sekaligus, Meskipun perutnya kembung karena kebanyakan air, tapi dia tetap berniat untuk memulai puasa mutih itu dari awal lagi. Tiga kepal nasi dan enam gelas air itulah satu-satunya makanan Gita untuk 24 jam kedepan.

Quote:


 Penjelasan itu membuat Anggara sedikit banyak mengerti soal puasa mutih cara jawa. Dia jadi berpikir, ada berapa jenis puasa semacam itu yang diketahui manusia ya? Mungkin ratusan jenis, dan caranya pun tentu berbeda-beda. Tapi Anggara sudah tidak memikirkannya lagi, karena semakin dia berpikir, maka dia akan semakin nggak mengerti.

 Seperti waktu dulu, kali ini Gita menemukan sebatang paku yang mencuat dari dalam perban di tangannya. Maka dia membalutnya dengan perban lebih banyak lagi, biar nggak kelihatan dari luar hingga nggak sampe membuat keluarganya jadi cemas. Dari tadi pagi aja dia udah ngeluarin paku dari mulutnya sebanyak 12 batang.

 Malam itu, Gita lagi duduk di tikar ruang tamu sambil menonton tv bersama bapaknya, dua saudaranya sedang belajar, dan ibunya sedang menjahit. Dan tau-tau saja, dalam pandangan Gita, sosok eyang Iman muncul tepat di depannya, mengambang satu jengkal di atas lantai. Meskipun sudah sering melihatnya, tapi tetap saja Gita masih menggeragap kaget atas kemunculan yang mendadak itu.

Quote:


 Lalu Gita beranjak ke dapur mengambil mangkok yang diisinya dengan air dari pancuran gentong dibelakang rumah. Gita balik lagi ke ruang tamu, duduk bersila di tikar dan meletakkan mangkuk berisi air itu tepat di depannya, dan membaca ayat lursi sebanyak tiga kali. Tiap kali selesai membaca 1 kali, dia meniup ke arah mangkok berisi air itu, sampai tiga kali dia melakukannya.

  Kemudian Gita menunduk dan memejamkan mata, dia membaca alfatihah dan ayat kursi lagi, masing-masing sebanyak tiga kali. Tanpa Gita sadari kalo ternyata seluruh keluarga sedang memperhatikannya, bahkan Anggara, Anggo dan ibunya pun ikut mendekat dan duduk di tikar juga.

 Selesai membaca surat fatihah dan ayat kursi, Gita membuka mata dan mulai membuka ikatan perban di tangannya, lalu dengan sangat perlahan Gita mulai mengurai perban itu. Baru seperempat terurai, tampak taburan benda lembut mirip pasir mulai berjatuhan, lalu disusul beberapa batang paku.

 Anggara langsung memalingkan muka, dia takut kalau nantinya akan melihat tangan adiknya terbelah lagi seperti dulu, dia merasa nggak tega, jadi lebih baik dia nggak melihatnya saja sekalian. Balutan perban itu makin banyak terurai, seluruh keluarga menanti dengan sangat tegang.

 Makin banyak benda-benda berjatuhan bercampur dengan parutan singkong. Benda yang terbanyak adalah pasir berwarna hitam, tapi masih ada paku, peniti, jarum, silet, pecahan-pecahan beling kaca, serta banyak sekali kerikil-kerikil dan pecahan-pecahan genteng kecil. Semua benda-benda itu langsung dimasukkan kedalam mangkuk berisi air.

 Seluruh keluarga merasa merinding hebat, bahkan bu Ningsih sampai menutup mulutnya dan mulai berurai air mata. Mereka bergidik ngeri melihat segitu banyaknya jenis benda yang keluar dari tubuh Gita. Dan yang paling bikin miris adalah pecahan beling itu, pinggirannya tentunya sangatlah tajam. Kalo pecahan beling itu sampai menggores kulit Gita, tentu akan menimbulkan luka menganga yang besar.

 Setelah semua balutan perban itu selesai dibuka, pada tangan Gita tidak ada luka apapun dan masih mulus saja. Sedangkan air bening dalam mangkok itu berubah jadi hitam pekat seperti dicampur dengan tinta hitam, pertanda kalau semua benda itu mengandung racun yang ganas.

 Anggita meminta pada Anggo untuk membuang air hitam dari mangkuk itu dan menggantinya dengan air bening lagi. Tanpa ngomong apa-apa Anggo memenuhi permintaan mbaknya. Anggo merasa penasaran dengan jumlah benda itu, maka diapun mulai menghitung. 

 Tujuh buah paku berkarat, tiga peniti, tiga buah jarum, tiga belas butir batu kerikil sebesar kacang tanah, empat pecahan kecil genteng berukuran dua senti, dan tujuh pecahan kaca beling sebesar uang koin. Masih ada sekitar dua genggam pasir hitam, pasir yang mirip dengan pasir yang digunakan untuk bahan bangunan.

 Meskipun Anggo sudah pernah melihatnya, tapi dia masih saja bergidik ngeri. Benda-benda yang keluar kali ini sangatlah banyak jika dibandingkan dengan yang dulu. Anggo masih nggak habis pikir, bagaimana benda-benda semacam itu bisa keluar dari tubuh mbaknya. 

 Tapi berbeda dengan yang dipikirkan pak Harjanto dan bu Ningsih. Mereka malah merasa heran, bagaimana mungkin singkong bisa digunakan untuk mengobati dan mengeluarkan benda-benda tenung itu. Singkong sangat umum ditemui, sama seperti mentimun dulu, bahkan bisa dianggap sebagai bahan yang mustahil digunakan dalam pengobatan. Tapi bukti telah tersaji di depan mata mereka sendiri, dan mau nggak mau mereka harus mempercayai hal yang tidak masuk akal itu.

Quote:


 Malam itu seluruh keluarga bisa tertidur. Mereka merasa sedikit lebih tenang, dan satu harapan baru timbul, yaitu kesembuhan Gita. Mereka nggak akan berhenti untuk mendoakan kesembuhan Gita, juga berharap agar tenung itu terhenti sampai di situ saja.


Bersambung..



16


anauhibu
sampeuk
jondero
jondero dan 97 lainnya memberi reputasi
98
Tutup