Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
Tenung (Based on true story)


Quote:



Quote:



Update santai tiap selasa, jumat dan minggu jam 5 sore..


___________________________________________



Prolog

 Bel panjang pulang sekolah telah membuyarkan lamunan Anggita, Jam pelajaran terakhir telah usai. Dia bergegas membereskan semua alat-alat tulisnya dan memasukkan ke dalam tas sebelum akhirnya keluar dari kelas itu, menyusul teman-temannya yang udah duluan keluar kelas.

 Anggita adalah gadis manis siswi salah satu SMA swasta di kota X. Wajah yang bulat telur, kulit putih bersih, bibir mungil dan mata bulat bening berbulu mata lentik, rambut lurus hitam panjang, dengan tubuh sempurna khas cewek remaja yang sedang mekar-mekarnya, menjadikan dia sebagai salah satu kembang sekolah yang dikagumi, baik di sekolahnya sendiri, ataupun di sekolah lain.

 Saat keluar kelas, Anggita disamperin sama satu cewek yang telah jadi sahabat karibnya sejak dari SMP. Mereka lalu jalan bareng menuju pintu gerbang untuk pulang. Yosi memang sahabat Anggita yang paling dekat, mereka selalu berbagi segala hal, saling menceritakan semua hal tanpa ada yang ditutupi, bahkan termasuk urusan asmara.

Quote:


 Sampai di pertigaan, mereka pun berpisah, Yosi jalan lurus, dan Anggita belok ke kiri. Rumah mereka emang nggak begitu jauh dari sekolah, jadi mereka cuma jalan kaki ke sekolah. Sepanjang perjalanan pulang itu Gita kembali memikirkan apa yang telah dia lamunkan di kelas tadi, biaya sekolahnya telah menunggak 3 bulan, dia tadi telah dipanggil oleh guru bp terkait dengan masalah itu, dan Gita kembali meminta kompensasi. Tapi sampai kapan?

 Gita merasa sungkan dan nggak enak kalo meminta ayahnya lagi, memang ayahnya, pak Harjanto, cuma berprofesi sebagai buruh dengan gaji pas-pasan. Sedangkan ibunya, bu Ningsih, adalah seorang ibu rumah tangga yang punya kerjaan sambilan menjahit baju di rumah untuk mendukung ekonomi keluarga, tapi sepertinya itu masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. 

 Anggita masih punya seorang kakak laki-laki yang duduk di bangku SMA kelas tiga bernama Anggara, dan sebentar lagi dia akan menghadapi ujian kelulusan. Gita juga masih punya satu adik laki-laki yang menginjak di kelas 2 SMP bernama Anggo. Dua saudaranya itu juga butuh banyak biaya sekolah, dan kakaknya tentu butuh biaya lebih besar untuk ujian.

 Sampailah Gita pada sebuah rumah sederhana yang selama ini dia tinggali bersama orang tua dan kedua saudaranya. Meskipun rumah itu sudah berdinding tembok, tapi banyak cat yang mengelupas, atapnya juga ada yang bolong, jadi kalo hujan, maka rumah itu jadi bocor di beberapa tempat. Dan begitu masuk rumah, Gita menekan keresahan hatinya agar tidak terpancar keluar, biar ibunya nggak tau, ibunya udah banyak menanggung beban, jadi dia nggak akan menambahinya lagi. 'Biarlah nanti aku langsung ngomong sama ayah aja', gitu pikirnya.

 Tepat jam 3 sore, Anggita telah siap berangkat, dia menunggu Yosi sambil duduk di lincak atau kursi panjang dari bambu di depan rumahnya, tepat di bawah jendela. Lima menit kemudian, Yosi pun datang mengendarai motor maticnya. Sore itu mereka akan pergi ke kolam renang umum dimana akan diadakan pengambilan nilai dari sekolah untuk pelajaran olah raga renang.

 Butuh waktu setengah jam untuk sampai di kolam renang umum itu. Suasana sangat ramai karena ternyata sekolah SMA lain yang juga sedang mengadakan pengambilan nilai di situ. Teman-teman satu kelasnya Anggita juga udah pada datang. Anggita langsung merasa nggak nyaman dengan situasi yang ramai itu, dia udah nggak mood lagi untuk mengikuti tes renang itu. Tapi Yosi sahabatnya terus membujuknya hingga akhirnya Anggita luluh juga.

 Dan saat memasuki pintu loket, Anggita tertegun, dia melihat satu cowok yang sedang melihat dia juga. Anggita mengenalinya sebagai cowok yang sedang mengejar-ngejar dia selama beberapa minggu terakhir. Ternyata SMA lain yang sedang penilaian di kolam renang itu adalah sekolahnya cowok yang mengejarnya. Sudah beberapa kali Gita menopak cowok itu, tapi dia masih nekat mengejar. Bukannya Gita membenci, tapi belum kepikiran olehnya untuk menjalin suatu hubungan dengan cowok.

 Suasana kolam renang yang sangat ramai, dan masih ditambah oleh keberadaan cowok itu, membuat Gita merasa semakin nggak nyaman. Maka langsung aja dia balik badan dan melangkah menuju pintu keluar. Tapi langkahnya segera terhenti saat ada satu suara besar dan lembut yang menegurnya.

Quote:


 Yosi menggamit tangan Gita dan mengajaknya menuju ke deretan kursi di pinggir kolam renang. Pak Zaini juga duduk di situ sambil memberi penilaian pada siswa yang lain yang sedang berenang satu persatu. Gita benar-benar nggak jadi renang kali itu. Dan dia ngerasa makin nggak nyaman karena cowok itu terus memperhatikannya dari seberang kolam renang. 

 Anggita berencana untuk menunggu sampai Yosi mendapat nilainya aja, abis itu dia akan langsung pulang. Tapi setelah Yosi selesai, dia malah mengajak Anggita makan di kantin kolam renang dulu sebelum pulang, bahkan Yosi bilang kali dia yang akan membayar semua makanan. Dengan terpaksa akhirnya Anggita mau menurutinya.

 Selesai makan, Gita merogoh saku celananya untuk mengambil duit, dia berniat untuk membayar makanannya sendiri. Gita emang nggak pernah bawa dompet, jadi duit dan kartu pelajar dia bawa di saku celananya. Tapi ternyata Yosi sudah membayar semua makanan itu saat memesan tadi, hingga akhirnya Gita memasukkan lagi duitnya ke dalam saku, tanpa dia sadari kalo kartu pelajarnya juga ikut keluar dan terjatuh ke lantai saat dia tadi mengambil duit dari sakunya. 

 Saat mereka mau beranjak pergi dari kantin itu, seorang karyawan kantin cewek datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah kue besar berbentuk bulat, si karyawan meletakkan kue itu di atas meja, tepat didepan Anggita. Di atas kue itu ada dua buah lilin berbentuk angka 16 yang sudah menyala, dan di kue itu ada tulisan 'happy b'day Anggita', itu adalah kue ulang tahun! Gita bahkan sama sekali nggak ingat kalo hari ini adalah ulang tahunnya!

Quote:


 Dua cewek, terbengong keheranan menatap kue ultah itu, siapa yang udah repot-repot ngasih kue ultah kayak gitu? Tapi pertanyaan mereka pun segera terjawab saat ada seseorang berdiri di ambang pintu kantin sambil membawa seikat besar bunga mawar. Dia adalah cowok yang tadi, cowok yang telah mengejar-ngejar Anggita!

 Cowok itu tersenyum sambil melangkah perlahan memasuki kantin. Dan ternyata dibelakangnya ada banyak temen-temen satu SMA dengan cowok itu yang membawa kertas besar bertuliskan 'happy b'day Anggita, will you be my girl?'. Bahkan temen-temen yang satu SMA dengan Anggita pun ikut bergabung dengan mereka. Si cowok yang membawa bunga mendekati Anggita dan berdiri tepat di depannya.

Quote:


 Suasana kantin yang semula sepi itu jadi riuh oleh suara temen-temen si cowok yang meneriakkan kata-kata agar Gita menerima, tapi hal itu tetap nggak membuat Gita bergeming, dalam hatinya membatin, mungkin inilah saat bagiku untuk ngomong jujur, gitu pikirnya.

Quote:


 Anggita bangkit dari tempat duduknya dan langsung beranjak keluar kantin. Yosi pun langsung menyusulnya. Sementara si cowok cuma terdiam menatap nanar pada kue ultah diatas meja. Dadanya bergemuruh, menahan rasa malu yang teramat sangat.

 Apalagi kini teman-temannya pun beranjak pergi dari kantin satu persatu tanpa ngomong apa-apa. mereka bahkan nggak berusaha nyamperin si cowok. Sape akhirnya kantin itupun sepi kembali, cuma beberapa pengunjung yang ikut menyaksikan seluruh adegan drama itu. Drama tentang seorang anak remaja yang telah gagal nembak seorang cewek.

 Si cowok masih berdiri mematung, hatinya serasa hancur, sia-sia sudah semua perjuangannya selama beberapa bulan ini, semua usahanya menyiapkan pesta ultah hari ini ternyata nggak ada gunanya. Dan satu hal yang paling memukul egonya adalah, rasa malu yang teramat sangat, ditolak di depan semua temen-temennya, temen-temen Anggita, dan semua pengunjung kantin.

 Seluruh rasa cintanya pada Anggita telah sirna dengan seketika, berganti oleh suatu perasaan benci dan dendam yang meluap-luap. Lalu tanpa sengaja matanya tertumbuk pada suatu benda yang tergeletak di lantai kantin, tepat di bawah meja. Dia beranjak memungut benda itu yang ternyata adalah sebuah kartu pelajar. 

 Kartu itu adalah kartu pelajarnya Anggita yang tadi terjatuh tanpa sengaja. Dia memandangi foto wajah cantiknya Anggita di kartu pelajar itu. Setanpun menyelinap di hati dan otaknya, membuat semua rasa malu, sakit hati, amarah dan rasa sedih meluap-luap campur aduk menjadi satu. Mendadak suatu ide gila terlintas begitu saja, ide dari setan yang membisikinya.

Quote:


 Satu tekad bulat terpatri di hati dan pikirannya, dia harus membalas semua yang dia peroleh hari ini. Lalu dengan langkah-langkah lebar, cowok itu beranjak menuju ke pintu kantin, meninggalkan kue ulang tahun di atas meja yang lilinnya masih menyala..



-----<<<{O}>>>-----



 Langit sudah mulai menggelap karena matahari sudah terbenam, ditambah lagi mendung hitam tebal telah menggantung di langit sejak tadi sore, sesekali terlihat kilatan-kilatan petir menerangi alam dalam sekejap, disusul suara menggelegar yang teramat keras sampai mampu menusuk gendang-gendang telinga. 

 Tapi semua pertanda kalo akan terjadi badai itu tak membuat langkah kaki seorang cowok jadi terhenti, dengan mantap dia memasuki sebuah halaman rumah luas yang berpagar bambu. Dia adalah cowok berusia 17 tahun, masih kelas dua SMA, cowok yang telah ditolak cintanya oleh Anggita di depan banyak orang. Dengan nekat dia telah mendatangi rumah ini untuk melaksanakan tekadnya.

 Untuk sejenak cowok itu memandangi keseluruhan rumah itu. Rumah sederhana berdinding papan, dan dia merasa ragu, benarkah ini rumah yang dimaksud? Tapi menurut petunjuk yang dia dapat, memang inilah rumah yang dimaksud. Maka dia pun mulai mengetuk pintu rumah itu dan menunggu.

 Tiga kali mengetuk, dan akhirnya pintu itupun terbuka. Muncullah seorang aki-aki berusia sekitar 50 tahunan, rambut sebagian sudah memutih. Dia memakai hem batik dan sarung. Sekilas penampilannya nggak berbeda dengan penduduk biasa di desa ini, dan itu membuat si cowok kembali ragu.

Quote:


 Si cowok pun mengikuti si aki memasuki ruang tamu rumah itu. Si cowok memandang berkeliling, nggak ada yang aneh, perabotan meja kursi biasa, sangat jauh berbeda dengan yang dia bayangkan sebelumnya. Ruang tamu itu sama kayak ruang tamu di rumah-rumah lain, sama sekali nggak menandakan kalo itu adalah rumah seorang praktisi. Si cowok duduk di kursi berhadapan dengan si aki.

Quote:


 Si pemuda mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang ternyata adalah beberapa bundel uang, dia letakkan uang itu di atas meja di depannya. Dan mata si aki membesar melihat tumpukan uang itu, semua rasa ragunya hilang seketika, kepercayaannya timbul perlahan. Cowok itu memang sengaja keluarkan duit buat nunjukin kalo dia nggak main-main.

Quote:


 Hujan telah turun dengan sangat deras saat si cowok keluar dari rumah itu. Angin ribut bertiup sangat kencang disertai gelegar petir tanpa henti. Badai besar telah melanda kawasan desa itu. Tapi si cowok nekat berlari ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan depan rumah. 

 Suatu kepuasan terlintas, sebentar lagi dia akan melihat Anggita menderita hingga meminta ampun padanya. Sebuah rencana jahat dan keji telah tersusun dan mulai dijalankan, rencana yang berdasar pada bisikan setan. Mata hati dan pikirannya telah tertutupi oleh sakit hati dan dendam..



Bersambung..



Diubah oleh Mbahjoyo911 10-10-2021 10:11
sampeuk
xue.shan
jondero
jondero dan 257 lainnya memberi reputasi
256
141.3K
3.9K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
#455
Puasa mutih
 Teror selama dua hari itu telah membuat keluarga pak Harjanto jadi was-was, apalagi melihat kenyataan kalau Gita kembali memuntahkan paku. Ditambah teror yang menyebar dan dialami oleh tetangga sekitar. Pak Harjanto jadi yakin kalo dalam waktu dekat, kiriman tenung itu akan datang lagi. Jadi siang itu, hari ketiga sejak adanya teror, dia kembali meminta bantuan para sesepuh kampung dan juga pada pak Rohani.

 Tapi untungnya tetangga-tetangga pak Harjanto tidak menyalahkan Anggita karena teror yang mereka alami. Para tetangga maklum hal itu adalah musibah, dan mereka malah sangat prihatin dengan kondisi Anggita. Kadang ada saja tetangga yang datang memberi beras, gula teh, mie instant, juga memberi satu box besar kuaci berisi 12 kotak pada Gita, untuk menunjukkan kalo mereka juga sangat peduli dengan Gita.

 Sepanjang hari itu Gita telah memuntahkan paku sebanyak 36 buah. Semua paku itu dikumpulkan oleh Anggono dan langsung dibakar bersama paku-paku yang dari kemarin. Gita jadi nggak doyan makan sama sekali, dan seharian dia cuma makan kuaci kesukaannya hingga menghabiskan lima kotak kuaci kemasan besar.

 Kadang bu Ningsih juga merebus berkilo-kilo kentang untuk anaknya, karena Anggita memang cuma mau memakan makanan itu. Keprihatinan dan kekuatiran keluarga semakin nyata, tapi mereka nggak bisa membantu apa-apa dan cuma memberikan doa yang terbaik buat anaknya.

 Sore harinya, Gita menjalankan sholat ashar di kamarnya, dan kemudian dilanjut doa, memasrahkan diri pada Allah. Saat dia selesai berdoa, tiba-tiba ada satu sosok berpakaian putih dan bersorban putih tau-tau sudah berdiri di dekatnya. Anggita terjingkat kaget, tapi setelah mengetahui kalo sosok itu adalah eyang Iman, dia jadi tenang.

Quote:


 Sosok eyang Iman menghilang begitu saja, padahal masih banyak yang ingin ditanyakan, gimana soal puasa kedua dan ketiga nanti? Belom lagi serangan itu, kalo Gita nggak diberitahu, tentunya dia nggak bakal ketakutan seperti ini. Tapi sekarang Gita sudah mengetahui apa yang akan terjadi nantinya, jadi dia merasa seperti sedang menunggu eksekusi hukuman mati.

 Tepat saat adzan magrib terdengar, Gita beranjak menuju ke dapur untuk mengambil nasi. Dia memutuskan untuk mengikuti saran eyang Iman untuk melakukan puasa mutih tiga hari itu, tentu nantinya dia juga akan mengikuti petunjuk eyang Iman, karena Gita belum begitu paham soal puasa mutih ini.

 Gita cuma menemukan nasi sisa tadi siang, nasi yang sudah dingin dan agak keras,  karena memang ibunya belum memasak nasi untuk makan malam. Dengan terpaksa dia mengambil tiga kepal nasi itu, mengucap basmalah dan berniat, lalu mulai memakannya. Gita nggak tau apa cara ini sudah benar, dia melakukannya secara asal-asalan. 

 Setelah tiga kepal nasi itu habis, Gita minum tiga gelas air putih. Saat Gita berbalik, dia terperanjat kaget, karena ternyata ibunya sedang berdiri tepat di belakangnya sambil memandang trenyuh padanya, pandangan prihatin, miris dan kasihan yang teramat sangat. Entah sejak kapan ibunya berada di situ.

Quote:


 Jam 7 malam sehabis isya, seluruh keluarga makan malam bersama, Gita juga berada di meja makan, tapi dia nggak ikut makan, cuma ikut berkumpul saja. Pak Harjanto, Anggara dan Anggo jadi heran karena biasanya Gita ikut makan meskipun cuma kentang aja yang dimakan. Cuma bu Ningsih yang tau sebabnya.

 "Kenapa kamu nggak makan?"
Quote:


 Anggita merenung berpikir, sepertinya puasa mutih itu memang berhubungan erat dengan mata batin. Mungkin untuk memperkuatnya, atau menciptakan semacam benteng pertahanan diri untuk menghadapi gangguan makhluk gaib. 

 Maka Gita pun bertekad, biar bagaimanapun beratnya, dia harus menyelesaikan puasa itu. Kini Gita tau kenapa eyang Iman tidak menjelaskan secara detail soal puasa mutih itu, dia pasti sudah tau kalau bapaknya paham soal mutih. Jadi mungkin menurut eyang Iman, biarlah bapaknya sendiri yang menjelaskan pada Gita.

 Saat itulah tiba-tiba Anggita merasakan seperti ada tiupan angin keras dari arah depan. Tiupan angin keras itu seakan begitu kuatnya melabrak ke arah Gita hingga membuat dia terjengkang ke belakang, jatuh ke lantai bersama kursinya. Anggara berlari untuk meraih adiknya, tapi terlambat, Gita telah jatuh ke lantai sebelum Anggara sampai. 

 Masih untung kepala Anggita membentur sandaran kursi, dan bukan membentur lantai. Gita pingsan saat itu juga! Kejadian itu tentunya sangat mengejutkan, seluruh keluarga langsung panik seketika, bahkan bu Ningsih menjerit keras. Tapi Anggara dan Anggo dengan sigap langsung menggotong Gita ke ruang tamu, sementara pak Harjanto berusaha  menenangkan bu Ningsih yang mulai menangis.

 Seluruh keluarga menuju ke ruang tamu mengiringi Gita yang sedang di gotong itu, mereka sudah lupa soal makan malam. Anggara dan Anggo merebahkan Gita di tikar yang di gelar di ruang tamu. Baru aja direbahkan, tiba-tiba saja Gita tersadar, dia langsung duduk bersila, lalu mulutnya membuat gerakan seperti meludah, dan melompatlah dua batang paku berkarat dari mulutnya!

 Tapi kejadian itu nggak berhenti sampai disitu saja, karena kemudian kedua tangan Gita secara bergantian menarik paku-paku berkarat dari mulutnya! Paku-paku itu terus saja keluar seakan tiada habisnya! Bu Ningsih menangis semakin keras, sementara pak Harjanto mulai melantunkan surat-surat ruqyah yang segera diikuti oleh Anggara dan Anggo.

 Lima menit berlalu, dan akhirnya Gita berhenti menarik paku dari mulutnya, sepertinya sudah nggak ada 9u yang keluar lagi. Dan kini di depan Gita telah menumpuk puluhan paku berkarat berbagai ukuran! Dan disaat terakhir itu, tangan Gita kembali bergerak ke mulut dan mulai menarik suatu benda dengan sangat perlahan, seakan benda itu sangat berat untuk ditarik keluar.

 Lalu mulailah tampak semacam besi sangat tipis selebar lebih dari dua senti keluar dari mulut Gita, ternyata benda itu adalah sebuah silet pencukur! Dan mendadak saja Gita menjerit keras, silet itu telah mengiris sudut bibirnya! Darah langsung keluar lumayan banyak, tapi Gita tak berhenti menarik silet itu dari mulutnya.

 Saat silet itu telah berhasil keluar seluruhnya, tiba-tiba saja jeritan keras Gita berubah menjadi suara geraman sangat keras. Geraman bersuara besar dan berat, jelas bukan suara asli Gita. Seluruh keluarga sangat terkejut dan bergidik ngeri mendengar geraman mengerikan itu, bagaimana Gita bisa mengeluarkan suara besar dan berat seperti itu?!

 Gita menatap tajam ke depan, geraman terus keluar dari mulutnya. Lalu mendadak dia acungkan dua tangannya lurus ke depan, telapak tangan terbuka menghadap ke depan. Gita seakan sedang menahan sesuatu yang sangat berat yang datang dari depan. Kadang tubuhnya doyong ke belakang, lalu balik ke depan.

 Lantunan surat ruqyah semakin keras dibacakan oleh pak Harjanto, maka Anggara dan Anggo pun mengikutinya. Gita seakan sedang bergulat saling dorong dengan kekuatan yang tak kasat mata. Dan tiba-tiba Gita berteriak keras dengan suara laki-laki! Lalu dia hantamkan tangan kanan ke depan!

 Sementara tangan kiri membuat gerakan meremas di perutnya sendiri, seolah sedang mengambil sesuatu dari perutnya, masih dengan tangan kiri mengepal, dia lemparkan ke depan, sesuatu yang ada dalam genggamannya itu! Lalu tangan kanannya juga bergerak seolah mengambil sesuatu dari perutnya dan dilemparkannya lagi ke depan.

 Lantunan surat ruqyah sempat terhenti sesaat karena semua merasa kaget dan heran dengan apa yang sedang dilakukan Gita. Dan suara Gita,  jelas kalo itu adalah suara laki-laki! Sampai tujuh kali tangan Gita bergerak ke perutnya secara bergantian, seolah mengambil sesuatu, dan tujuh kali pula dia melemparkannya ke depan. Dan akhirnya badan Gita menggelosoh ke belakang dengan mata terpejam, Gita rebah tak sadarkan diri!

 Suara bacaan surat ruqyah itu berangsur jadi pelan, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Suasana jadi sunyi mencekam, cuma terdengar isak tangis bu Ningsih yang sedang memangku kepalanya Gita, dia membelai rambut putri kesayangannya itu dengan hati miris dan hancur. Ini baru jam 8 malam,  tapi keluarga pak Harjanto sudah mengalami kejadian menyedihkan sekaligus mengherankan.

Quote:


 Lalu pak Harjanto beranjak bangkit dan melangkah keluar rumah. Ternyata di depan rumahnya sudah ada banyak sekali tetangganya yang berkerumun. Mereka telah mendengar jeritan dan teriakan Anggita, juga isak tangis dari bu Ningsih tadi, hingga mereka merasa penasaran dan datang kesini untuk mengetahui apa yang terjadi. Rumah Anggita yang biasanya sepi itu kini jadi ramai oleh tetangga yang menonton.



-----<<<{MJ}>>>-----



 Jauh dari rumah Gita, di desa yang berjarak dua kabupaten dari kotanya Gita, di sebuah rumah besar berdinding papan, tampak seorang aki berusia 60 tahunan sedang rebah tak berdaya. Didekatnya ada meja rendah berisi aneka macam benda persyaratan alias ubo rampe untuk ritual pengiriman tenung. 

 Dia adalah aki-aki yang pertama kali dibayar oleh Tommy untuk mengirim tenung pada Gita. Dia adalah salah satu dari tiga praktisi yang menyerang Gita. Mata aki-aki itu membelalak lebar, wajahnya pucat bagai mayat, napasnya tersengal-sengal seperti mau lepas, badannya menggigil hebat. 

 Pada baju bagian dada dan perut terdapat bercak-bercak darah, di lantai dan di meja rendah itu juga banyak terdapat ceceran darah. Aki-aki itu telah muntah darah sebanyak tujuh kali! Dia tidak pernah menyangka kalau serangan tenungnya itu bisa dibalikkan padanya, dia bahkan nggak mampu menahan serangan balik itu!

 Dengan badan menggigil hebat, susah payah dia berusaha beranjak duduk. Dadanya terasa sakit seperti ditusuk ribuan paku kirimannya sendiri. Untuk sesaat dia diam sambil duduk bersila, seakan sedang bermeditasi. Dan seperempat jam kemudian dia mulai membuka mata. Wajahnya sudah tampak mulai berdarah lagi, dan sudah tidak pucat lagi. Lalu dia menggumam seperti bicara pada diri sendiri.

Quote:


 Aki-aki itu beranjak memberesi semua ubo rampe di atas meja rendah itu. Dia juga membersihkan ceceran darah muntahannya tadi. Dia berjanji nggak akan mengusik gadis itu lagi. Mungkin dia akan mengembalikan duit yang dibayarkan oleh Tommy padanya. Dia benar-benar nggak mau ikut campur urusan ini lagi, dia juga nggak mau berurusan dengan dua aki-ki lainnya yang berniat menjajal kemampuan Anggita.


Bersambung..



14


fredielogan14
sampeuk
jondero
jondero dan 101 lainnya memberi reputasi
102
Tutup