Came in from a rainy Thursday
On the avenue Thought I heard you talking softly
I turned on the lights, the TV
And the radio Still I can't escape the ghost of you
What has happened to it all?
Crazy, some'd say
Where is the life that I recognize?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Passion or coincidence
Once prompted you to say
"Pride will tear us both apart"
Well now pride's gone out the window
Cross the rooftops
Run away
Left me in the vacuum of my heart
What is happening to me?
Crazy, some'd say
Where is my friend when I need you most?
Gone away
But I won't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Papers in the roadside
Tell of suffering and greed
Here today, forgot tomorrow
Ooh, here besides the news
Of holy war and holy need
Ours is just a little sorrowed talk
And I don't cry for yesterday
There's an ordinary world
Somehow I have to find
And as I try to make my way
To the ordinary world
I will learn to survive
Every one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world, I will learn to survive
Any one Is my world
Every one Is my world
Gua menyandarkan kepala di meja, sambil menatap ke arah kursi Larissa yang kosong. Sementara, guru di depan kelas tengah sibuk menjelaskan rumus persamaan kuadrat yang akar -nya berlawanan.
Pagi ini, nggak ada sapa ceria Larissa. Jujur, sedikit banyak gua mulai terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan-nya. Dan begitu sehari saja gua kehilangan hal itu, terasa ada yang mengganjal di dalam hati. Well, kata orang ini namanya ‘Kangen’.
Tapi tunggu, jangan berburuk sangka dulu. Orang ‘dingin’ kayak gua, bukannya lalu dianggap nggak punya ‘rasa’ dan empati. Gua juga bisa merasakan ‘kangen’ dan hal-hal semacam itu, tapi nggak tau aja cara mengekspresikannya.
Saat gua tengah berjalan di koridor sekolah selepas dari membeli roti di koperasi. Secara kebetulan, gua berpapasan dengan Dita dan Sekar.
Sekar melempar senyum ke gua sambil menyapa “Woy…”
Sementara, Dita menunduk seperti enggan menatap ke gua, wajahnya terlihat sedikit memerah.
Gua merespon sapaan sekar dengan sebuah anggukan.
---
Hari berikutnya masih sama. Kursi Larissa kosong dan beberapa kali gua berpapasan dengan Dita, ia terlihat menghindar. Bahkan, beberapa kali kedapatan Dita memilih jalan yang berbeda saat tau gua berada di depannya.
Begitupun hari berikutnya; Kursi Larissa masih kosong dan Dita masih menghindari gua.
---
Sudah terhitung tiga hari Larissa nggak kunjung masuk sekolah. Gua duduk di sofa sebelah meja telpon. Tangan gua menggenggam kertas yang kini telah lecek, kertas berisi nomor telepon Larissa. Sudah hampir 15 menit gua habiskan dalam keraguan; Telpon, nggak, Telepon, nggak, Telpon, nggak.
Akhirnya, sambil meneguhkan hati, gua mengangkat gagang telepon dan menekan 7 deret nomor telepon Larissa.
Mirip dengan kejadian saat gua menelpon Larissa pertama kali. Sebuah suara yang mirip Larissa menyapa gua. Nggak mau salah panggil untuk kedua kalinya, gua memastikan; “Larissa nya ada?”
“Bian?” Suara dari ujung sana balik bertanya.
“Ya ampuuun… seneng banget lho gw ditelpon elo, kenapa lo kangen ya sama gw? Please-please bilang kalo lo kangen sama gw… please…” Larissa mencecar gua dengan pertanyaan yang menghakimi.
“Ya..” gua menjawab singkat, bukan, bukan agar percakapan cepat berlalu seperti biasanya. Kali ini gua menjawab jujur.
“Kyaaaa… seneng deeeh…” Jeritan Larissa terdengar di ujung sana.
“Lo kenapa?” gua bertanya.
“Apanya yang kenapa?” Larissa malah balik bertanya.
“Sakit?” Gua kembali bertanya.
“Iya nih bi… lo kok nggak nengokin gw siih..”
“Males…” gua menjawab singkat.
“Ya berarti lo nggak beneran kangen sama gw…” Suaranya terdengar sedikit merajuk.
“Sekarang udah sembuh?”
“Udaaaah dooong, besok gw masuk kok…”
“Oh, yaudah… bye then…”
Cklek. Gua mengakhiri panggilan lalu meletakkan gagang telepon ke tempatnya. Nggak lama berselang, telepon berbunyi.
“Gw kan belom selesai ngomong…” Teriak Larissa dari ujung sana, begitu gua menjawab panggilannya.
“Apa?” Gua merespon singkat
“Lo nggak penasaran, Bi?” Tanya Larissa, kali nada bicaranya ia turunkan.
“Penasaran akan apa?”
“Tentang Kejadian malem minggu kemarin di rumah Dita, tentang gw sakit apa..” Larissa menjelaskan.
“Nggak”
“Owh… yaudah deh.. nanti kapan-kapan gw ceritain”
Lalu hening. Yang terdengar hanya suara deru nafas kami berdua.
“Udah?” Gua bertanya kepadanya.
“Udah sih, tapi gw masih mau denger suara elo..”
“Kalo udah gua tutup nih?”
“Yaudah deh, sampe ketemu besok ya Biaaan…” Ujarnya, kemudian mengakhiri panggilan.
---
Esoknya, tepat seperti yang ia katakan melalui telepon kemarin. Larissa tiba di kelas, walau terlihat wajahnya masih terlihat sedikit pucat, ia menyapa hampir semua anak yang ditemui.
“Pagi Biaaaan…. apa kabar?” Sapa Larissa penuh semangat.
Gua berpaling dari buku paket yang tengah gua baca. Wajah ceria-nya telah hadir kembali.
“Kangen deh ‘nyiksa’ elo… he he he…” Tambahnya, sementara tangannya ia lepaskan dari telinga gua.
Nggak seberapa lama, meja Larissa lalu disesaki para sahabatnya; Sekar dan Dita, yang (mungkin) juga rindu dengannya. Larissa menarik kursinya agar mendekat ke meja gua, sehingga Sekar, Dita dan dirinya kini malah merubung di meja gua. Dita tentu saja masih terlihat menghindari gua. Ada kalanya pandangan kita saling beradu, namun sesegera mungkin ia berpaling.
Saat ngobrol pun begitu; Dita beberapa kali kedapatan enggan menyebut nama gua dalam bicaranya. Sedangkan gua yang nggak terlalu terlibat banyak dalam obrolan, tak ambil pusing. Justru sepertinya Larissa yang mampu membaca gelagat tersebut.
Menjelang jam istirahat, dikala siswa-siswi lain gelisah karena lapar atau nggak tahan ingin segera main sepak bola di lapangan olahraga, Larissa berbisik ke arah gua dari mejanya; “Ssst… Bian.. ssst..”
Gua lalu menoleh.
“Dita kenapa?” Tanyanya.
Gua mengangkat bahu, ‘gua sama nggak taunya dengan elo’ ujar gua dalam hati.
Begitu bel istirahat berbunyi, tanpa banyak menunggu Larissa menghampiri gua; “Geser..” titahnya.
Gua bergeser, Larissa lalu duduk di sebelah gua. Agak aneh memang jika dilihat-lihat, satu kursi kecil diduduki oleh dua orang.
“Lo sama Dita kenapa? gw perhatiin kayak ada yang aneh? lagi marahan? baru juga temenan, masa udah marahan…” Larissa mencecar gua dengan pertanyaan.
“Nggak tau…” gua menjawab santai dan tentu saja; jujur.
“Bener? nggak marahan?” Larissa memastikan.
Gua mengangguk pelan.
Sesaat kemudian, terlihat Rio datang dan masuk ke dalam kelas, menghampiri kami berdua. “Sa, gw mau ngomong dong…” Ucap Rio sambil meraih lengan Larissa yang masih duduk di sebelah gua.
Larissa berusaha melepaskan genggaman tangan Rio dari lengannya; “Yaudah, ngomong aja..” ucap Larissa, ketus.
“Jangan disini…” Rio merespon, sementara matanya menatap gua. Seakan-akan gua adalah satu-satunya orang yang akan mengganggu obrolan mereka.
“Emang kenapa sih kalo Bian tau?” Ucap Larissa masih dengan nada yang ketus, Ia bicara sambil matanya menatap ke arah lain.
Gua berdiri, hendak keluar.
“Mau kemana lo?” Tanya Larissa
“Ke belakang” gua menjawab singkat sambil menunjuk ke halaman belakang sekolah.
“Duduk…” Larissa memberi perintah. Yang entah kenapa langsung gua turuti.
Sekarang gantian Larissa yang berdiri, kemudian berjalan cepat menuju ke luar kelas. Rio menatap gua tajam, berpaling dan bergegas menyusul Larissa.
Sementara gua, lalu beranjak pergi ke halaman belakang sekolah.
Saat menuju kesana, terlihat Larissa dan Rio tengan bicara. Gua berbalik, enggan mengganggu obrolan mereka dan mencari tempat lain yang cukup sepi untuk makan roti.
Nggak berapa lama, gua akhirnya memutuskan duduk sisi terjauh lapangan olahraga. Walaupun sepi tapi dari tempat ini gua bisa menikmati roti sambil menyaksikan para siswa bermain sepakbola mini di lapangan yang sejatinya diperuntukan sebagai lapangan basket. Tanpa ada yang menghiraukan gua.
Sepasang pecahan batu berada di masing-masing sisi lapangan, yang digunakan sebagai gawang. Para pemainnya sendiri tampil apa adanya, masih dengan celana panjang abu-abu yang sebagian digulung, sementara seragam putih mereka gantungkan pada apapun yang bisa mereka jadikan gantungan; ranting pohon, gagang sapu, dan tiang ring basket.
Menjelang Bel, saat memutuskan kembali ke kelas, gua kembali berpapasan dengan Dita. Begitu menyadari akan berpapasan dengan gua, Dita lalu menghentikan langkahnya kemudian berbalik.
“Dit…” gua memanggil namanya.
Yang dipanggil pun menghentikan langkahnya, ia terdiam.
“Lo kenapa?” Tanya gua begitu kami berdiri bersisian.
Dita nggak langsung menjawab, tubuhnya ia palingkan membelakangi gua menghadap ke tembok. “Gapapa…” ujarnya pelan.
Gua menghela nafas panjang kemudian berlalu. Gua nggak tau saat ini gua terjebak dalam apa. Tawaran pertemanan yang ujung-ujungnya malah penuh intrik dan rahasia. Larissa yang entah ada apa dengan Rio, Dita yang tiba-tiba aneh, Sekar yang keliatan nggak begitu peduli, jenis pertemanan apa ini. Penyesalan menyelimuti gua.
“Bian..” Dita memanggil begitu gua pergi.
Gua berhenti.
“Lo nggak sebel sama gw kan?” Dita bertanya.
“Nggak..” gua menjawab singkat kemudian pergi.
---
“Ntar pulang sekolah, lo ikut gw…” Larissa memberi titah, begitu gua tiba dikelas.
Gua menggeleng.
“Nggak, lo harus ikut gw, titik.” Ancam-nya begitu melihat respon penolakan gua.
“Gua mau latihan” Gua memberikan alasan.
“Latihan ini?” Larissa bertanya sambil memperagakan gerakan memukul dengan kedua tangannya.
Gua mengangguk.
“Yaudah, kalo gitu gw ikut lo latihan…” Larissa memberi keputusan.
Gua menoleh, ingin membantah dan menolaknya. Namun, Larissa dengan cepat mengangkat tangan kanannya sambil berkata; “Sssttt.. gw ikut lo!”
Selepas bel berakhirnya sekolah. Larissa terlihat buru-buru memasukkan semua buku-nya kedalam tas. Ia lalu berdiri di sebelah gua, wajahnya terlihat gelisah.
“Buruan…” Ucapnya nggak sabar.
Gua memandangnya, bingung.
Sementara itu di depan pintu kelas berdiri Rio, yang sepertinya menunggu Larissa. Begitu melihat sosok Rio, terdengar gumaman pelan dari bibir Larissa; “Ckk…”
“Gw mau pergi sama Bian…” Ucapnya ke Rio sambil berlalu.
Dari sudut mata, gua melihat Rio menarik lengan Larissa kemudian bicara sesuatu. Gua nggak menggubris hal itu dan tetap melanjutkan langkah. Lalu terdengar dari belakang suara langkah kaki mendekat; Larissa menyusul, nafasnya tersengal-sengal.
Beberapa menit berikutnya, gua sudah duduk berhadapan dengan Larissa di dalam angkot (angkutan kota) berwarna merah, menuju ke tempat dimana gua latihan Taekwondo. Di jam-jam seperti saat ini, kondisi angkot tentunya penuh sesak dengan siswa-siswi yang baru saja pulang sekolah. Seperti, angkot yang saat ini gua naiki bersama Larissa, mayoritas berisi siswa-siswi dari sekolah kami. Dan sebagian besar tentu saja mengenal Larissa, bahkan mungkin beberapa nggak menyadari kalau saat ini Larissa pergi bersama gua.
“Tumben naek angkot, sa? biasanya dijemput?” Tanya salah seorang cewek yang sepertinya dari kelas lain dan kebetulan kenal dengan Larissa.
Lalu disusul dengan pertanyaan-pertanyaan receh lain yang terkadang disisipkan sedikit gosip terpanas yang terjadi di sekolah. Sementara gua mengeluarkan Discman yang belum sempat gua kembalikan ke Larissa, memakai kedua headsetnya ke telinga dan mulai memutar lagu. Kali ini, CD didalamnya sudah gua ganti menjadi Green Albumnya Weezer.
Bersandar pada jendela angkot, gua menikmati Rivers Cuomo melantunkan Photograph; 'Cause everybody wants some love, Shoot it from the stars above
And though my heart would break. Sambil memandangi Larissa yang masih berbincang seru dan tanpa henti mengumbar senyumnya yang luar biasa.
“Biasanya rame nggak, Bi?” Tanya Larissa begitu kamu berdua turun dari angkot.
“Lumayan…”
“Ada ceweknya juga?”
Gua mengangguk.
Menit berikutnya, kami berdua sudah berada di tempat latihan. Gua menuju ke loker untuk berganti pakaian, sementara Larissa gua tunjukan arah ke ruang latihan agar ia menunggu disana; kami biasa menyebutnya dengan Dojang.
Sejatinya dojang memiliki arti secara bahasa; ‘Melakukan segel’ atau menyegel. Dalam makna yang lebih harfiah, bisa diartikan sebagai ‘tempat yang tertutup’, lebih khusus lagi; tempat latihan taekwondo yang tertutup. Namun, seiring berkembangnya waktu, tempat latihan taekwondo nggak melulu dilangsungkan di tempat tertutup; lapangan basket, lapangan sepak bola, halaman gedung, dan lainnya asal digunakan sebagai tempat berlatih taekwondo boleh disebut sebagai Dojang. Secara umum, bahkan Dojang sendiri nggak mengacu kepada ‘tempat latihan’ melainkan sebagai tempat berkumpul.
Nggak sampe 10 menit gua tinggalkan, Terlihat Larissa tengah duduk di tribun sederhana yang berada disisi Dojang, sudah asik ngobrol dengan beberapa cewek yang kebetulan juga berada disana, entah untuk mengantar pacar, teman atau adiknya.
Dan latihan pun dimulai.
Saat tengah beristirahat, gua menghampiri Larissa yang berada di tribun. “Kalo bosen, balik aja..” gua menawarkan opsi ke Larissa.
“Nggak kok, udah lo lanjut aja…” Jawab Larissa sambil menunjukkan sebuah buku kecil seperti novel yang tengah di genggamnya.
Satu jam setelahnya…
Gua kembali menghampirinya. Larissa masih asik ngobrol dengan salah satu cewek di sebelahnya.
“Udah?” Tanyanya
Gua mengangguk.
Terlihat Larissa, memasukkan buku yang tadi sempat ia baca kedalam tas dan memakainya.
“Lo tunggu sini dulu, gua ganti baju..”
“Okey…” Ia lalu kembali duduk dan melanjutkan obrolan dengan cewek di sebelahnya.
---
“Bi, lo udah tingkatan berapa?” Tanya Larissa begitu kami berdua sudah berada di luar bangunan, berjalan diatas trotoar yang mengarah ke komplek rumah Larissa. Perumahan Larissa memang terletak nggak begitu jauh dari lokasi latihan Taekwondo gua.
“Tingkat apa?” gua balik bertanya
“Itu lho, Taekwondo kayak karate kan? ada urutan sabuk-sabuknya, nah elo urutannya apa?” Larissa menjelaskan pertanyaannya.
“Dan-2” Gua menjawab singkat.
“Oooh…” Terlihat Larissa manggut-manggut, entah mengerti atau tidak.
“Dab-2 itu ‘tinggi’ nggak?” Tanya nya lagi
“Lumayan..” Gua menjawab singkat.
“Gua besok-besok ogah nepak-nepak jidat lo lagi ah..” Tambahnya.
“Kenapa?”
“Ntar gw lo banting…” Ia bicara seraya menyenggol tubuh gua dengan siku-nya.
Gua nggak menjawab, hanya tersenyum sambil memandang wajah mungilnya.
“Trus, tadi gw liat lo bisa nendang tinggi banget bi, gw kalo belajar sama elo, bisa nendang kayak gitu nggak kira-kira?”
“Jangan…” Gua melarangnya.
“Hah, kenapa?” Larissa bertanya, penasaran.
“Ga papa…” Gua menjawab singkat. Sambil membayangkan betapa horor-nya kalau Larissa menguasai teknik Deol Chagi, terus kepala gua dipacul pake kaki dari depan.
“Bi, kerumah gw dulu ya…?”
Gua menggeleng.
“Yaaah…” Larissa lalu menghentikan langkahnya.
“Padahal gw pengen cerita sama elo bi…” Ia menambahkan, ekspresinya terlihat merajuk.
Gua menatap wajahnya, tampak pucat. Gua menempelkan telapak tangan gua di dahinya, nggak panas; “Lo ga papa?”
Larissa lalu menepis tangan gua yang berada di dahinya, kemudian kembali berjalan. Baru beberapa langkah, ia kembali berhenti kemudian berjongkok sambil memegang kepalanya.
Gua buru-buru menghampiri Larissa dan menahan tubuhnya. “Lo kenapa?” gua bertanya. Sebuah pertanyaan yang nggak butuh jawaban. Gua membungkuk di depannya; “Naek..”, membiarkan Larissa memeluk gua dari belakang dan mulai menggendongnya.
“Gw turun aja deh bi…” Ujar Larissa pelan ketika baru saja naik ke gendongan gua. Mungkin malu.
Gua bergeming, jarak dari lokasi kami saat ini ke rumah Larissa sudah nggak begitu jauh. Saat ini ada dua opsi yang ada di otak gua; naik taksi ke rumah sakit atau secepat mungkin mengantarnya ke rumah. Gua mempercepat langkah, gua putuskan untuk sesegera mungkin membawanya ke klinik atau rumah sakit. Masih sambil menggendong Larissa di punggung, beberapa kali gua menoleh ke belakang, mencoba menghentikan Taksi.
Setelah beberapa kali gagal, akhirnya sebuah taksi berhenti tepat di depan kami. Larissa terkejut melihat gua menyetop taksi.
“Kok Naek Taksi?” Tanya Larissa bingung.
“Ke rumah sakit..”Gua menjawab singkat.
“Nggak… nggak… nggak…” Larissa bicara sambil tubuhnya meronta, minta diturunkan.
“...”
“Pulang aja…” Tambahnya, kali ini ia mulai sedikit tenang.
“Nggak jadi pak, sorry…” Gua membatalkan pesanan ke supir taksi. Taksi tersebut lalu kembali menaikkan kaca mobilnya dan pergi. Sementara gua dan Larissa sudah terlanjur jadi tontonan orang-orang disekitar kami. Takut disangka penculik, kami bergegas pergi dari sana.
Gua mempercepat langkah.
“Pelan-pelan aja bi…” Pinta Larissa dari punggung gua.
Gua nggak menjawab, hanya fokus membawanya pulang dan secepatnya diberikan perawatan.
Beberapa saat setelahnya kami berdua tiba dirumah Larissa. Seorang berpakaian safari (entah supir atau satpam) membuka pagar rumahnya yang besar, kemudian tergopoh-gopoh menyusul gua untuk membukakan pintu rumah. Sampai di dalam, gua berencana merebahkan Larissa di sofa ruang tamu rumahnya, namun ia menolak. Sambil menunjuk ke lantai atas, ia berbisik: “Kamar aja bi…”
Gua kembali menaikkan Larissa ke punggung dan bergegas membawanya, menaiki anak tangga menuju ke atas. Diperjalanan menuju ke lantai dua, seorang perempuan (yang sepertinya adalah kakaknya Larissa) menatap tajam ke arah gua (yang mungkin dianggap orang asing di dalam rumahnya) namun begitu tau yang di gendongan gua adalah Larissa dalam sekejap ia langsung berjalan cepat di depan gua, memandu menuju ke kamar Larissa.
Perempuan tadi membuka pintu kamar Larissa dan membiarkan kami masuk. Dengan cepat gua merebahkan Larissa diatas ranjang. Larissa terkulai tak berdaya, nafasnya cepat, wajah dan bibirnya pucat, sementara matanya terlihat layu. Dalam kondisi seperti itu, Larissa masih sempat menyunggingkan senyum ke arah gua; “Akhirnya lo mau kerumah gua ya bi…”.
Perempuan yang tadi, tergopoh-gopoh masuk ke kamar sambil menenteng plastik kecil yang berisi obat-obatan. Ia menuang isi yang berada dalam plastik tersebut; kemasan-kemasan obat berwarna biru, berukuran lebih kecil berserakan di lantai. Perempuan tadi mengambil bungkusan dengan isi paling banyak, mengeluarkan isinya yang berupa pil dan perlahan memasukkan pil tersebut ke mulut Larissa. Gua meraih botol minum dari sisi tas gua dan membantu Larissa untuk minum.
“Bi, lo jangan pulang dulu ya…” Larissa bicara ke gua dengan suara yang amat lirih. Kemudian perlahan-lahan memejamkan matanya.
Sementara gua, menjatuhkan diri ke lantai dan perlahan-lahan mengatur nafas agar kembali normal. Dihadapan gua, duduk perempuan yang mirip sekali dengan Larissa, sosok perempuan yang sama dengan waktu itu hampir berpapasan dengan kami di trotoar jalan saat hendak mengantar Larissa pulang.
---
“Nama lo siapa?” Tanya Kakak Larissa, seraya menyodorkan segelas jus jeruk ke gua.
“Bian..” Gua menjawab singkat.
“Temen sekolah?” Tanyanya lagi, sambil berdiri, bersandar pada pintu kamar Larissa yang sengaja dibiarkan terbuka. Perempuan ini benar-benar secara fisik mirip dengan Larissa, bentuk wajahnya, hidung, bibir dan matanya sama persis dengan Larissa, begitu pula dengan suaranya. Yang membedakan mungkin hanya, tinggi badan; Kakaknya terlihat sedikit lebih tinggi, dan rambutnya; Kakaknya memiliki rambut lebih panjang daripada Larissa. Bahkan saat dikepang seperti sekarang ini, rambutnya masih melewati bahu-nya.
“Iya” Gua menjawab singkat.
Setelah menghabiskan jus jeruk di gelas, gua berdiri, berniat untuk pulang.
“Mau kemana?” Tanya si Kakak perempuan.
“Pulang”
“Kan tadi disuru disini dulu sama Sasa, udah lo tunggu sini dulu..” Ujar si Kakak sambil berkacak pinggang. Oke, sekarang gua tau berasal dari mana sifat arogan Larissa.
Pria bersafari yang tadi sempat membukakan pintu buat gua, berjalan cepat ke arah kami.
“Perlu nelpon Bapak nggak non?” Tanya si pria bersafari tadi.
“Udah, tadi udah gw telpon…, Oiya Pak Sam, ntar kalo kemaleman anterin si… siapa nama lo tadi?”
“Bian..”
“...anter si Bian pulang ya”
“Siap non..” Jawab pria bernama Pak Sam.
Miss You Like Crazy - The Moffatts
I used to call you my girl
I used to call you my friend
I used to call you the love
The love that I never had
When I think of you
I don't know what to do
When will I see you again
I miss you like crazy
Even More than words can say
I miss you like crazy
Every minute of every day
Girl I'm so down when your love's not around
I miss you, miss you, miss you
I miss you like crazy
You are all that I want
You are all that I need
Can't you see how I feel
Can't you see that my pain's so real
When I think of you
I don't know what to do
When will I see you again