Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
Tenung (Based on true story)


Quote:



Quote:



Update santai tiap selasa, jumat dan minggu jam 5 sore..


___________________________________________



Prolog

 Bel panjang pulang sekolah telah membuyarkan lamunan Anggita, Jam pelajaran terakhir telah usai. Dia bergegas membereskan semua alat-alat tulisnya dan memasukkan ke dalam tas sebelum akhirnya keluar dari kelas itu, menyusul teman-temannya yang udah duluan keluar kelas.

 Anggita adalah gadis manis siswi salah satu SMA swasta di kota X. Wajah yang bulat telur, kulit putih bersih, bibir mungil dan mata bulat bening berbulu mata lentik, rambut lurus hitam panjang, dengan tubuh sempurna khas cewek remaja yang sedang mekar-mekarnya, menjadikan dia sebagai salah satu kembang sekolah yang dikagumi, baik di sekolahnya sendiri, ataupun di sekolah lain.

 Saat keluar kelas, Anggita disamperin sama satu cewek yang telah jadi sahabat karibnya sejak dari SMP. Mereka lalu jalan bareng menuju pintu gerbang untuk pulang. Yosi memang sahabat Anggita yang paling dekat, mereka selalu berbagi segala hal, saling menceritakan semua hal tanpa ada yang ditutupi, bahkan termasuk urusan asmara.

Quote:


 Sampai di pertigaan, mereka pun berpisah, Yosi jalan lurus, dan Anggita belok ke kiri. Rumah mereka emang nggak begitu jauh dari sekolah, jadi mereka cuma jalan kaki ke sekolah. Sepanjang perjalanan pulang itu Gita kembali memikirkan apa yang telah dia lamunkan di kelas tadi, biaya sekolahnya telah menunggak 3 bulan, dia tadi telah dipanggil oleh guru bp terkait dengan masalah itu, dan Gita kembali meminta kompensasi. Tapi sampai kapan?

 Gita merasa sungkan dan nggak enak kalo meminta ayahnya lagi, memang ayahnya, pak Harjanto, cuma berprofesi sebagai buruh dengan gaji pas-pasan. Sedangkan ibunya, bu Ningsih, adalah seorang ibu rumah tangga yang punya kerjaan sambilan menjahit baju di rumah untuk mendukung ekonomi keluarga, tapi sepertinya itu masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. 

 Anggita masih punya seorang kakak laki-laki yang duduk di bangku SMA kelas tiga bernama Anggara, dan sebentar lagi dia akan menghadapi ujian kelulusan. Gita juga masih punya satu adik laki-laki yang menginjak di kelas 2 SMP bernama Anggo. Dua saudaranya itu juga butuh banyak biaya sekolah, dan kakaknya tentu butuh biaya lebih besar untuk ujian.

 Sampailah Gita pada sebuah rumah sederhana yang selama ini dia tinggali bersama orang tua dan kedua saudaranya. Meskipun rumah itu sudah berdinding tembok, tapi banyak cat yang mengelupas, atapnya juga ada yang bolong, jadi kalo hujan, maka rumah itu jadi bocor di beberapa tempat. Dan begitu masuk rumah, Gita menekan keresahan hatinya agar tidak terpancar keluar, biar ibunya nggak tau, ibunya udah banyak menanggung beban, jadi dia nggak akan menambahinya lagi. 'Biarlah nanti aku langsung ngomong sama ayah aja', gitu pikirnya.

 Tepat jam 3 sore, Anggita telah siap berangkat, dia menunggu Yosi sambil duduk di lincak atau kursi panjang dari bambu di depan rumahnya, tepat di bawah jendela. Lima menit kemudian, Yosi pun datang mengendarai motor maticnya. Sore itu mereka akan pergi ke kolam renang umum dimana akan diadakan pengambilan nilai dari sekolah untuk pelajaran olah raga renang.

 Butuh waktu setengah jam untuk sampai di kolam renang umum itu. Suasana sangat ramai karena ternyata sekolah SMA lain yang juga sedang mengadakan pengambilan nilai di situ. Teman-teman satu kelasnya Anggita juga udah pada datang. Anggita langsung merasa nggak nyaman dengan situasi yang ramai itu, dia udah nggak mood lagi untuk mengikuti tes renang itu. Tapi Yosi sahabatnya terus membujuknya hingga akhirnya Anggita luluh juga.

 Dan saat memasuki pintu loket, Anggita tertegun, dia melihat satu cowok yang sedang melihat dia juga. Anggita mengenalinya sebagai cowok yang sedang mengejar-ngejar dia selama beberapa minggu terakhir. Ternyata SMA lain yang sedang penilaian di kolam renang itu adalah sekolahnya cowok yang mengejarnya. Sudah beberapa kali Gita menopak cowok itu, tapi dia masih nekat mengejar. Bukannya Gita membenci, tapi belum kepikiran olehnya untuk menjalin suatu hubungan dengan cowok.

 Suasana kolam renang yang sangat ramai, dan masih ditambah oleh keberadaan cowok itu, membuat Gita merasa semakin nggak nyaman. Maka langsung aja dia balik badan dan melangkah menuju pintu keluar. Tapi langkahnya segera terhenti saat ada satu suara besar dan lembut yang menegurnya.

Quote:


 Yosi menggamit tangan Gita dan mengajaknya menuju ke deretan kursi di pinggir kolam renang. Pak Zaini juga duduk di situ sambil memberi penilaian pada siswa yang lain yang sedang berenang satu persatu. Gita benar-benar nggak jadi renang kali itu. Dan dia ngerasa makin nggak nyaman karena cowok itu terus memperhatikannya dari seberang kolam renang. 

 Anggita berencana untuk menunggu sampai Yosi mendapat nilainya aja, abis itu dia akan langsung pulang. Tapi setelah Yosi selesai, dia malah mengajak Anggita makan di kantin kolam renang dulu sebelum pulang, bahkan Yosi bilang kali dia yang akan membayar semua makanan. Dengan terpaksa akhirnya Anggita mau menurutinya.

 Selesai makan, Gita merogoh saku celananya untuk mengambil duit, dia berniat untuk membayar makanannya sendiri. Gita emang nggak pernah bawa dompet, jadi duit dan kartu pelajar dia bawa di saku celananya. Tapi ternyata Yosi sudah membayar semua makanan itu saat memesan tadi, hingga akhirnya Gita memasukkan lagi duitnya ke dalam saku, tanpa dia sadari kalo kartu pelajarnya juga ikut keluar dan terjatuh ke lantai saat dia tadi mengambil duit dari sakunya. 

 Saat mereka mau beranjak pergi dari kantin itu, seorang karyawan kantin cewek datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah kue besar berbentuk bulat, si karyawan meletakkan kue itu di atas meja, tepat didepan Anggita. Di atas kue itu ada dua buah lilin berbentuk angka 16 yang sudah menyala, dan di kue itu ada tulisan 'happy b'day Anggita', itu adalah kue ulang tahun! Gita bahkan sama sekali nggak ingat kalo hari ini adalah ulang tahunnya!

Quote:


 Dua cewek, terbengong keheranan menatap kue ultah itu, siapa yang udah repot-repot ngasih kue ultah kayak gitu? Tapi pertanyaan mereka pun segera terjawab saat ada seseorang berdiri di ambang pintu kantin sambil membawa seikat besar bunga mawar. Dia adalah cowok yang tadi, cowok yang telah mengejar-ngejar Anggita!

 Cowok itu tersenyum sambil melangkah perlahan memasuki kantin. Dan ternyata dibelakangnya ada banyak temen-temen satu SMA dengan cowok itu yang membawa kertas besar bertuliskan 'happy b'day Anggita, will you be my girl?'. Bahkan temen-temen yang satu SMA dengan Anggita pun ikut bergabung dengan mereka. Si cowok yang membawa bunga mendekati Anggita dan berdiri tepat di depannya.

Quote:


 Suasana kantin yang semula sepi itu jadi riuh oleh suara temen-temen si cowok yang meneriakkan kata-kata agar Gita menerima, tapi hal itu tetap nggak membuat Gita bergeming, dalam hatinya membatin, mungkin inilah saat bagiku untuk ngomong jujur, gitu pikirnya.

Quote:


 Anggita bangkit dari tempat duduknya dan langsung beranjak keluar kantin. Yosi pun langsung menyusulnya. Sementara si cowok cuma terdiam menatap nanar pada kue ultah diatas meja. Dadanya bergemuruh, menahan rasa malu yang teramat sangat.

 Apalagi kini teman-temannya pun beranjak pergi dari kantin satu persatu tanpa ngomong apa-apa. mereka bahkan nggak berusaha nyamperin si cowok. Sape akhirnya kantin itupun sepi kembali, cuma beberapa pengunjung yang ikut menyaksikan seluruh adegan drama itu. Drama tentang seorang anak remaja yang telah gagal nembak seorang cewek.

 Si cowok masih berdiri mematung, hatinya serasa hancur, sia-sia sudah semua perjuangannya selama beberapa bulan ini, semua usahanya menyiapkan pesta ultah hari ini ternyata nggak ada gunanya. Dan satu hal yang paling memukul egonya adalah, rasa malu yang teramat sangat, ditolak di depan semua temen-temennya, temen-temen Anggita, dan semua pengunjung kantin.

 Seluruh rasa cintanya pada Anggita telah sirna dengan seketika, berganti oleh suatu perasaan benci dan dendam yang meluap-luap. Lalu tanpa sengaja matanya tertumbuk pada suatu benda yang tergeletak di lantai kantin, tepat di bawah meja. Dia beranjak memungut benda itu yang ternyata adalah sebuah kartu pelajar. 

 Kartu itu adalah kartu pelajarnya Anggita yang tadi terjatuh tanpa sengaja. Dia memandangi foto wajah cantiknya Anggita di kartu pelajar itu. Setanpun menyelinap di hati dan otaknya, membuat semua rasa malu, sakit hati, amarah dan rasa sedih meluap-luap campur aduk menjadi satu. Mendadak suatu ide gila terlintas begitu saja, ide dari setan yang membisikinya.

Quote:


 Satu tekad bulat terpatri di hati dan pikirannya, dia harus membalas semua yang dia peroleh hari ini. Lalu dengan langkah-langkah lebar, cowok itu beranjak menuju ke pintu kantin, meninggalkan kue ulang tahun di atas meja yang lilinnya masih menyala..



-----<<<{O}>>>-----



 Langit sudah mulai menggelap karena matahari sudah terbenam, ditambah lagi mendung hitam tebal telah menggantung di langit sejak tadi sore, sesekali terlihat kilatan-kilatan petir menerangi alam dalam sekejap, disusul suara menggelegar yang teramat keras sampai mampu menusuk gendang-gendang telinga. 

 Tapi semua pertanda kalo akan terjadi badai itu tak membuat langkah kaki seorang cowok jadi terhenti, dengan mantap dia memasuki sebuah halaman rumah luas yang berpagar bambu. Dia adalah cowok berusia 17 tahun, masih kelas dua SMA, cowok yang telah ditolak cintanya oleh Anggita di depan banyak orang. Dengan nekat dia telah mendatangi rumah ini untuk melaksanakan tekadnya.

 Untuk sejenak cowok itu memandangi keseluruhan rumah itu. Rumah sederhana berdinding papan, dan dia merasa ragu, benarkah ini rumah yang dimaksud? Tapi menurut petunjuk yang dia dapat, memang inilah rumah yang dimaksud. Maka dia pun mulai mengetuk pintu rumah itu dan menunggu.

 Tiga kali mengetuk, dan akhirnya pintu itupun terbuka. Muncullah seorang aki-aki berusia sekitar 50 tahunan, rambut sebagian sudah memutih. Dia memakai hem batik dan sarung. Sekilas penampilannya nggak berbeda dengan penduduk biasa di desa ini, dan itu membuat si cowok kembali ragu.

Quote:


 Si cowok pun mengikuti si aki memasuki ruang tamu rumah itu. Si cowok memandang berkeliling, nggak ada yang aneh, perabotan meja kursi biasa, sangat jauh berbeda dengan yang dia bayangkan sebelumnya. Ruang tamu itu sama kayak ruang tamu di rumah-rumah lain, sama sekali nggak menandakan kalo itu adalah rumah seorang praktisi. Si cowok duduk di kursi berhadapan dengan si aki.

Quote:


 Si pemuda mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang ternyata adalah beberapa bundel uang, dia letakkan uang itu di atas meja di depannya. Dan mata si aki membesar melihat tumpukan uang itu, semua rasa ragunya hilang seketika, kepercayaannya timbul perlahan. Cowok itu memang sengaja keluarkan duit buat nunjukin kalo dia nggak main-main.

Quote:


 Hujan telah turun dengan sangat deras saat si cowok keluar dari rumah itu. Angin ribut bertiup sangat kencang disertai gelegar petir tanpa henti. Badai besar telah melanda kawasan desa itu. Tapi si cowok nekat berlari ke arah mobilnya yang terparkir di pinggir jalan depan rumah. 

 Suatu kepuasan terlintas, sebentar lagi dia akan melihat Anggita menderita hingga meminta ampun padanya. Sebuah rencana jahat dan keji telah tersusun dan mulai dijalankan, rencana yang berdasar pada bisikan setan. Mata hati dan pikirannya telah tertutupi oleh sakit hati dan dendam..



Bersambung..



Diubah oleh Mbahjoyo911 10-10-2021 10:11
sampeuk
xue.shan
jondero
jondero dan 257 lainnya memberi reputasi
256
141.5K
3.9K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
Mbahjoyo911Avatar border
TS
Mbahjoyo911 
#168
Paku bertebaran
 Semenjak ada insiden di warung bik Inah itu, kabar cepat menyebar. Warung memang tempat yang nyaman untuk bergosip, jadi kabar itu terus menyebar secara berantai, yang bermula dari keterangan bik Inah. Dan tentu saja, kalau kabar makin jauh dari sumber, pasti akan jadi lebih heboh lagi, karena dibumbui oleh masing-masing pencerita. Hampir seluruh warga sudah mengetahui kalo Anggita kena guna-guna orang, dan para warga menyebut guna-guna itu sebagai tenung.

 Pihak keluarganya Anggita bukannya nggak tau, tapi mereka memilih diam dan nggak berkomentar. Dan Anggita seakan nggak terpengaruh, dia bahkan  sudah balik pada kehidupan normalnya, dia sudah nggak pingsan-pingsan lagi, dan keluarnya paku itu dicegah dengan cara nggak memakan nasi. Bahkan Gita sudah mulai masuk sekolah lagi.

 Tapi ternyata banyak warga malah merasa kasihan dan prihatin dengan Gita. Kadang tetangga-tetangga ada yang datang menjenguk Gita, menanyakan kabar sambil membawa sekedar buah tangan. Meskipun banyak tetangga yang prihatin, tetap aja ada tetangga yang nggak suka, bahkan mencemooh seenaknya. Seperti pak Karto yang tetangga dekat sendiri. Sore itu pak Karto sedang berbincang dengan istrinya.

Quote:


 Obrolan itu terjadi di beranda rumah mereka, tanpa mereka sadari kalo ternyata Anggono sedang berada di rumah teman sebayanya yang bersebelahan dengan rumah pak Karto. Anggono jadi merasa gondok sekali, dia nggak terima mbaknya sudah di gosipkan demikian, orang nggak tau apa-apa kok ngasal bikin berita, maki Anggo dalam hati. Maka malam harinya saat Anggono makan malam bareng seluruh keluarga, dia pun menceritakan pada ayahnya.

Quote:


 Makan malam itu terus berlanjut. Bu Ningsih masih nggak habis pikir, keluarganya nggak pernah berbuat salah sama orang lain, tapi kenapa masih aja ada yang tega memfitnah seperti itu. Sementara Gita jadi merasa sedih, karena peristiwa yang menimpa dirinya, kini seluruh keluarga jadi kena fitnah.

 Mendadak saja Gita merasa seperti ada orang yang berdiri tepat di belakangnya, tapi belum sempat dia menengok ke belakang, suatu hembusan angin menerpa punggung dan leher belakangnya. Bukan angin dingin seperti biasanya, tapi malah semacam hawa sangat panas yang menyengat.

 Saking panasnya, tanpa sadar Gita menjerit keras, tapi jeritannya terputus oleh suara tersedak dari tenggorokannya, dan saat itulah muncul dua buah paku yang melompat keluar dari mulutnya. Bu Ningsih terpekik kaget, yang lainnya pun ikut berseru. Anggara bangkit dan langsung mendekati Gita, bersiap menjaga kalau-kalau adiknya pingsan lagi.

 Tapi gerakan Anggara terhenti saat mendengar Gita menjerit tertahan. Tangan kanan Gita bergerak ke arah mulutnya, ibu jari dan jari telunjuk masuk ke mulut dan seakan menarik sesuatu dari dalam mulut. Ternyata yang di tariknya adalah sebatang besi bulat sebesar jari kelingking! Besi itu adalah potongan besi cor yang sudah berkarat!

 Dengan sangat perlahan Gita menarik batang besi itu dari mulutnya. Air matanya berlinang menahan sakit di lidahnya. Semua anggota keluarga merasa dingin di bagian kepala, bulu tengkuk merinding hebat, rasa takut, ngeri, miris dan kasihan campur aduk di benak mereka. Sementara bu Ningsih sudah ikut menangis melihat anaknya.

 Setelah keseluruhan batang besi itu sudah keluar, ternyata panjangnya mencapai  sekitar 7 senti! Tapi ketegangan itu belum berakhir, karena kemudian tangan kiri Gita juga bergerak ke mulut, memasukkan jarinya dan menarik suatu benda yang ternyata adalah sebatang paku berkarat!

 Dan setelah itu tangan kiri kanan Gita secara bergantian masuk ke mulut dan menarik paku-paku besar dan kecil, dan secara berurutan paku-paku terus keluar dari mulutnya. Saat penarikan yang ke tujuh, Gita menjerit tertahan. Ternyata yang keluar adalah sebatang kawat sebesar lidi! Darah ikut mengalir keluar dari mulut Gita karena terluka oleh kawat itu, dan kawat itu terus keluar sangat perlahan.

 Anggara kembali duduk terhenyak di kursinya, belum pernah dia merasakan takut segini hebat, tengkuknya terasa dingin, dan tanpa sadar badannya pun gemetaran. Tangis bu Ningsih semakin keras dan berubah jadi sesenggukan. Sementara pak Harjanto malah kebingungan, dia juga merasa merinding, namun keinginan menolong anaknya jauh lebih besar dari rasa takutnya. Tapi gimana caranya dia menolong Anggita?!

 Saat kawat itu sudah keluar sepanjang 15 senti dari mulut Gita, dia menjerit keras, tangannya menyentakkan kawat itu, dan ternyata ujung kawat itu bengkok 90 derajat! Darah tersembur keluar karena luka akibat kawat yang bengkok itu. Kini seluruh kawat itu telah keluar, kawat yang berkarat sepanjang 15 senti!

 Dan seakan pemandangan miris itu belum cukup, mendadak saja tubuh Gita terdorong keras ke belakang seolah  ditabrak oleh sesuatu yang nggak kelihatan. Gita terjengkang ke belakang bersama kursinya. Jatuh bergulingan di lantai. Gita terus saja bergulingan sambil menjerit-jerit keras, tangan dan kakinya bergerak liar kesana kemari, matanya membalik hingga kelihatan putihnya saja, persis seperti orang yang sedang kesurupan! 

 Sementara banyak paku berkarat seakan melompat keluar begitu saja dari mulut Gita, paku itu keluar satu-persatu secara berurutan. Teriakan Gita yang memilukan membuat suasana jadi mencekam, seluruh keluarga cuma berdiri mematung dilanda kengerian yang teramat sangat. Seumur hidup mereka belum pernah melihat orang kesurupan, dan kini hal itu menimpa anggota keluarga sendiri.

 Anggara lah yang pertama kali sadar, meskipun situasi itu menakutkan, tapi dia harus menolong adiknya. Maka dia segera mendekati Gita, dia memegangi dua kakinya, tapi ternyata tenaga Anggita seakan bertambah berkali lipat. Beberapa kali Anggara terjengkang ke belakang karena terkena tendangan Gita. Tapi dia nggak menyerah dan terus berusaha memegangi kaki adiknya.

 Pak Harjanto pun ikut mendekat, dia memegangi tangan Gita, dan dia berseru pada Anggono untuk membantu memegangi Gita. Bahkan setelah pak Harjanto dan Anggono ikut memegangi, tenaga mereka bertiga masih kalah dengan Anggita. Mereka belum pernah menghadapi kejadian semacam ini, apalagi menangani, jadi pak Harjanto pun menggunakan cara yang diajarkan oleh agama, yaitu ruqyah.

 Sambil memegangi dua lengan Gita, pak Harjanto membisiki telinga Dita dengan surat-surat ruqyah, dia tau dan hafal surat-surat itu. Dan Anggara pun juga ikut melantunkan surat ruqyah, setahu dia, orang kesurupan itu harus dipencet kuat-kuat tumit kakinya, jadi diapun melakukan itu juga pada Gita. Sementara bu Ningsih duduk ngedeprok di lantai sambil tersedu-sedu menangisi keadaan anaknya.

 Dua puluh menit berlalu, surat-surat ruqyah terus dilantunkan. Gerakan Anggita mulai melemah, jeritannya pun berganti jadi geraman-geraman mengerikan, suara itu jelas bukan suaranya Anggita. Hingga akhirnya tubuh Anggita berhenti bergerak, geramannya sudah menghilang, matanya terpejam, Anggita tak sadarkan diri.

 Pak Harjanto menarik napas panjang sambil mengucap hamdalah, dia seka keringat di dahi, Anggara dan Anggono juga ikut berkeringat deras dan napas ngos-ngosan. Nggak nyangka, cuma menahan tubuh Anggita yang kecil aja butuh banyak sekali tenaga dari tiga orang sekaligus. Bu Ningsih mendekat dan memangku kepala Anggita, dia menyeka lelehan darah dari mulut anaknya, lalu mengusap-usap rambut anaknya sambil terus menangis.

Quote:


 Tanpa mereka sadari, ternyata di pintu rumah dan di jendela, beberapa orang tetangga telah menyaksikan semua kejadian itu. Mereka adalah tetangga sekitar rumah pak Harjanto. Wajah-wajah penuh keheranan, iba, takut dan ngeri, nongol di pintu dan jendela yang terbuka itu. Anggono langsung memunguti puluhan paku yang bertebaran di lantai itu, dia nggak mau kalo mbaknya dicap sebagai orang aneh, meskipun kenyataannya para tetangga sudah melihat semua. 

 Anggono mengumpulkan semua benda-benda itu jadi satu, dia sempat menghitung, total ada 27 batang paku, potongan besi cor kecil, lempengan plat besi kecil-kecil, juga kawat panjang, dan kesemuanya dalam keadaan sangat berkarat! Anggono jadi bergidik ngeri sendiri, bagaimana mungkin benda-benda aneh sebanyak ini bisa keluar dari mulut mbaknya?! Cuma dalam waktu setengah jam pula!

Quote:


 Setelah dirasa kondisi Gita sudah stabil, pak Wirya pun pamit, dan semua tetangga yang tadi menonton pun ikut pulang ke rumah masing-masing. Anggara segera menutup pintu dan jendela rumahnya. Waktu baru menunjuk di jam 10 malam, tapi suasana sudah terasa sangat sepi, keadaan mencekam itu masih tertinggal di hati dan pikiran masing-masing.

 Malam itu seluruh keluarga tidur di ruang tamu untuk menjaga Gita. Meja kursi disingkirkan dan digelari tikar. Tapi nggak ada satupun yang bisa tidur, bagaimana mungkin bisa memejamkan mata dalam keadaan mencekam seperti itu?! Gita masih belum sadar, dan mereka cuma duduk berdiam diri sambil membawa Alquran dan membacanya.

 Pagi dini hari, jam setengah dua itu Gita tersadar, badannya sangat panas dan sakit semua, tapi dia ngerasa kedinginan. Tengkuk dan kepalanya terasa sangat berat. Gita memandang berkeliling, seluruh keluarganya tanpa sengaja telah tertidur dalam posisi duduk, mereka semua kecapekan sendiri. Gita nggak ingat sama sekali kejadian tadi malam.

 Gita terbangun sendirian, tapi dia merasa kalo ada berpuluh pasang mata yang sedang memperhatikannya. Ruang tamu itu terasa panas dan sangat tidak nyaman. Tapi anehnya, Gita sama sekali tidak merasa takut. Diapun memaksakan diri beranjak bangun, dengan sempoyongan dia melangkah ke dapur, mengambil air putih dan langsung meminumnya. 

 Gita merasa sangat kesakitan saat air minum itu masuk ke mulutnya, ada rasa asin dan rasa besi juga, sisa darah dari luka di dalam mulut. Lalu mendadak dia menoleh kebelakang, perasaannya mengatakan kalau puluhan pasang mata itu terus mengikutinya, tapi ternyata nggak ada orang sama sekali. Maka tanpa menggubrisnya lagi, Gita melangkah keluar rumah lewat pintu belakang. 

 Udara sangat dingin di pagi dini hari itu segera menerpa saat dia membuka pintu belakang, tapi Gita coba memantapkan hati, dan diapun menuju ke padasan, sebuah penampung air yang terbuat dari gentong gerabah. gentong itu dilubangi bagian samping bawah dan diberi sumbat penutup. Saat Gita mencabut sumbatnya, maka mengalirlah suatu pancuran kecil dari lubang di gentong itu, dan Gita berwudhu dengan pancuran itu.

 Rumah Gita memang belum ada kamar mandi dan sumurnya, jadi seluruh keluarga menggunakan gentong penampung air itu sebagai tempat berwudhu. Sedangkan untuk keperluan ke toilet, keluarganya Gita masih menggunakan kamar mandi umum yang berjarak 20 meter dari rumahnya. Kamar mandi umum itu juga digunakan oleh 3 keluarga lain, yaitu  tetangga-tetangga sekitar rumah Gita.

 Ada suatu kesejukan luar biasa saat air wudhu menyentuh kulitnya. Panas badannya pun seakan menurun. Dan anehnya, hawa dingin yang seakan menggigit kulitnya itu ikut berkurang secara perlahan. Selesai berwudhu, Gita masuk kembali ke rumah dan langsung menuju ke kamarnya, dia berniat untuk melaksanakan tahajud.

 Gita menggelar sajadah di lantai kamar, dan meskipun puluhan pasang mata tak terlihat itu masih terasa mengawasinya, Gita tetap memulai tahajudnya. Tengkuknya mendadak jadi terasa sangat panas saat dia bertahajud, tapi Gita terus bertahan. Selesai tahajud, Gita teruskan berdoa, memasrahkan segalanya pada Allah. Segala yang terjadi padanya tentu atas kehendak Allah, jadi dia meminta petunjuk serta kesembuhan pada Allah.

 Selesai berdoa, Gita merasakan suatu ketenangan, dia telah berserah diri dan pasrah pada Allah, karena memang dia nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Lalu telinganya mendengar suara ribut dari ruang tamu, suara orang bercakap-cakap, kemudian terdengar suara langkah kaki tergesa-gesa. Lalu ibunya muncul di pintu kamarnya.

Quote:


 Merekapun beranjak ke ruang tamu dan bergabung dengan anggota keluarga yang lain. Mereka ngobrol ngalor ngidul menunggu subuh tiba, tapi nggak ada yang menyinggung kejadian tadi malam. Saat adzan subuh terdengar, merekapun subuhan berjamaah, lalu tidur kembali di kamar masing-masing.

 Pagi hari, Gita terbangun dengan sendirinya, suara-suara ramai orang bercakap-cakap itu masih sempat dia dengar, tapi segera menghilang dengan cepat, padahal jelas-jelas dia sendirian aja di kamar. Gita masih aja merasa diawasi oleh puluhan pasang mata yang nggak kelihatan, tapi kini dia seakan sudah terbiasa dengan hal itu, dia udah nggak ngerasa takut lagi, karena dia sudah berserah diri pada Allah.

 Lalu dia merasa lidahnya seperti mengecap rasa besi, dia merogoh mulutnya dengan jarinya, dan mendapati sebatang paku berkarat sepanjang 5 senti di dalam mulutnya! Entah sejak kapan paku itu berada disana, Gita nggak merasa sakit atau apapun juga.

 Gita mengantongi paku itu di saku celana, mengambil handuk dan pakaian ganti dari lemari, lalu beranjak keluar kamar. Tapi saat membuka pintu kamar, dia merasa ada yang mengganjal di dalam mulutnya, lagi-lagi sebatang paku berkarat dia tarik dari dalam mulut. Diapun mengantongi paku itu dan beranjak menuju ke kamar mandi umum.

 Saat mandi itu, dia masih aja keluarkan dua batang paku lagi. Tapi Gita seakan nggak peduli, seperti suatu hal yang sudah biasa. Dan anehnya, mulutnya sudah nggak terasa sakit lagi. Dia keluarkan paku itu dari mulutnya, mengumpulkannya jadi satu dan disimpan di kantong bajunya.

 Selesai mandi, Gita balik ke rumah dan melihat ibunya telah menunggu di meja makan dengan dua piring bakmi goreng masakan ibunya sendiri, masakan ibunya memang makanan favoritnya Gita. Setelah meletakkan handuk dan peralatan mandi, Gita pun bergabung dengan ibunya untuk  sarapan bersama.

 Tapi baru saja Gita menyendok makanannya, lagi-lagi terasa ada yang mengganjal, ada paku lagi di dalam mulutnya, dia bahkan nggak ngerasa kapan paku itu keluar dari perutnya. Karena disitu ada ibunya, Gita pun menengok ke belakang dan mengambil paku itu dari mulutnya, langsung dimasukkan ke sakunya, dia nggak mau ibunya kuatir.

 Tapi ternyata ibunya sedang mengawasi terus dari tadi. Pandangan mata mereka bertemu, tatapan dari ibunya terlihat sangat sendu. Lalu sepasang mata ibunya mulai berkaca-kaca, dua baris air bening mengalir turun ke pipi bu Ningsih. Dan tanpa sadar Gita pun ikut menangis.

Quote:


 Keduanya berpelukan dan bertangis-tangisan. Sarapan pagi yang seharusnya ceria itu malah diwarnai tangisan, kesedihan, miris, trenyuh, semua berbaur jadi satu. Bu Ningsih bener-bener nggak ngerti, bahkan seluruh keluarga juga nggak ngerti, kenapa Anggita bisa sampai jadi korban ilmu hitam semacam itu.

 Tapi kini seluruh keluarga tau, ilmu semacam itu benar-benar ada di dunia ini. Kini mereka percaya kalo ada orang yang bisa menguasai ilmu itu, dan mereka yakin, tentunya ilmu itu juga atas bantuan dari iblis dan setan. Dan saat ini mereka cuma harus berserah diri dan pasrah sama Allah, memperbanyak amalan dan ibadah, karena cuma Allah lah satu-satunya tempat berlindung dari gangguan iblis dan setan.


Bersambung..


4


Diubah oleh Mbahjoyo911 10-10-2021 10:07
fredielogan14
sulkhan1981
sampeuk
sampeuk dan 102 lainnya memberi reputasi
103
Tutup