ceuhettyAvatar border
TS
ceuhetty
Janda Bodong



Arya mengeluarkan dompet. Diambilnya lembaran uang sepuluh ribu, lalu disodorkan ke arah seorang balita berparas lucu.

“Buat jajan,” tawarnya sambil tersenyum, bersikap seramah mungkin.

Gadis kecil itu bergeming. Ia tetap asyik memperhatikan teman sepermainannya yang sedang bermain di halaman.

“Alika ... beli permen, yuk! Sama Om.”

Alika menggeleng.

“Atau, mau bakso, ya? Noh, di sana ada Abang tukang bakso.” Lelaki itu berusaha membujuk putri kecilku.

“Mamang bakso!” Tiba-tiba mulut mungilnya bergumam. Alika suka sekali dengan bakso.

“Iya, Lika suka banget bakso, kan? Yuk, beli.”

Alika melongokkan kepalanya ke dalam rumah. Sepertinya dia sedang mencariku. Hendak minta izin mungkin. Aku yang sedari tadi mengintip di balik pintu menjadi resah.

“Enggak, ah.”

“Lho, kenapa? Alika, kan suka bakso. Om bayarin lho!”

Gadis kecilku kembali menggeleng, kemudian beranjak masuk meninggalkan Arya di teras rumah. Di tengah pintu, ia menghentikan langkah.

“Om! Lika tutup pintunya, ya?” Katanya sambil menutup pintu tanpa menunggu persetujuan Arya.

“Tapi, Lika---“ Suara lelaki itu disahuti suara bedebum dari pintu yang ditutup sekerasnya.

Aku menghela nafas lega. Alika tampak terkejut mendapatiku dipojok ruangan.

“Mama sedang apa? Tadi dicariin Om Arya---”

“Ssssssttttt ...!” Aku menyilangkan telunjuk di atas bibir. Memberi isyarat pada Lika agar diam. Khawatir suara kami kedengaran dari luar. Walaupun Alika sudah mengecilkan volumenya.

“Ssssshhhhh ...!” Alika berucap sambil mengikuti sikapku. Tak urung tingkahnya membuatku tersenyum.

Aku, wanita muda berusia dua puluh tujuh tahun. Memiliki putri semata wayang yang baru berumur lima tahun, Alika namanya.

Bidadari kecilku, sang pelipur lara. Dialah satu-satunya harta peninggalan suamiku. Apakah suamiku meninggal? Mungkin. Tidak pernah kudapati lagi kabarnya semenjak empat tahun terakhir. Sebuah pencapaian yang mengalahkan bang Toyib, bukan?

Terakhir, suamiku pamit hendak mencari sebongkah berlian di negeri seberang. Janjinya untuk menyenangkan anak istri. Namun, hingga kini, janji tinggallah janji. Tidak tau apa yang terjadi, yang pasti dia telah menelantarkan kami.

Sebagai mantan kembang desa yang termashur sampai ke pelosok negeri. Kasak-kusuk tentang biduk rumah tanggaku secepat kilat menyebar luas. Bahkan menjadi trending topik di setiap harinya di kawasan biang gosip. Gelarku berubah seketika, dari Kembang desa menjadi janda bukan, gadis juga bukan. Alias janda bodong.

Memang tidak mudah mengurus anak sendirian, berperan ganda menjadi ayah sekaligus ibu. Selain harus pontang panting membanting tulang mencari nafkah. Aku juga harus tahan banting mendengar gunjingan orang-orang. Beruntung, ada ibu yang selalu menguatkan. Beliau juga yang membantu menjaga Alika ketika aku bekerja.

Masalahnya tak hanya di situ, ada ujian yang lebih berat dari mengangkat barbel satu kuintal. Yaitu, menjadi incaran para lelaki hidung belang yang berani dengan terang-terangan unjuk gigi maupun yang sembunyi-sembunyi.

Berat, karena ujung-ujungnya yang disalahkan tetap si wanita. Kenapa harus menjadi janda? Andai bukan janda sudah pasti tidak akan digoda. Begitu argumen emak-emak komplek yang kadar ke-maha-benarannya setara dengan netizen.

“Katanya, muslimah shalihah, kok bisa jadi janda?”

“Ya, aneh memang. Katanya, ukhty, kok, bisa ditinggal pergi?”

“Percuma juga jadi kembang desa, ujung-ujungnya jadi janda.”

“Makanya, cari suami itu jangan suka pilih-pilih, kalo nasibnya jadi janda, ya, janda aja!”

Macam-macam gunjingan yang ditujukan padaku. Dimulai dari yang pedesnya level satu sampai level sambal cabe setan.

Terlebih jika aku melintasi kerumunan para bigos tanpa mau bergabung. Ya, aku memang lebih milih melipir menghindari perkumpulan ghibah. Walaupun akhirnya menjadi bahan lalapan ghibah bagi mereka.

Sebagai penyambung hidup aku membuka jasa vermak pakaian. Meski tidak selalu ada yang membutuhkan, namun, itulah satu-satunya keahlian yang tidak memerlukan modal besar. Kebetulan, sedari gadis aku menyukai dunia jahit menjahit. Sehingga almarhum bapak membelikanku mesin jahit.

Kumbang sekalipun tidak diundang akan tetap datang bila membaui aroma kembang.

“Tikah ... kita nikah yuk! Abang kasian liat kamu capek sendirian ngurusin Alika,” kata Arya suatu ketika.

“Maaf, Bang. Tikah masih mau nunggu suami Tikah.”

“Sudah empat tahun dia pergi. Apa belum cukup bikin kamu yakin buat ninggalin dia?”

“Tikah belum siap, Bang. Kasihan Alika.”

“Alika butuh sosok seorang ayah, Tikah!”

“Mungkin bukan sekarang, Bang.”

Penolakan secara halus kadang tidak membuat mereka jera. Nyaris setiap saat ada saja yang menggodaku. Baik itu yang mengajak berhubungan secara resmi ataupun hanya sekadar hepi-hepi.

Beruntung jika yang menggoda seorang pria lajang semisal Arya. Yang merepotkan adalah mengatasi para suami orang, yang kadar kegenitan dan kenekatannya melebihi kapasitas. Kadang tidak habis pikir dengan tingkah para lelaki buaya. Padahal istrinya sudah secantik bintang model masih saja melirik wanita lain di luaran.

Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Aku menutup diri. Membatasi diri dalam pergaulan. Kamar dan rumah menjadi benteng perlindungan yang mumpuni bagiku.

Namun, ternyata itu tidak cukup membuat para bigos berhenti untuk meng-ghibahiku .

“Si Tikah sok ngartis banget ya, sekarang. Gak suka gaul ama kita-kita.”

“Kasian Mak-nya Atikah, ya? Punya anak gak jelas banget nasibnya.”

Percakapan mereka dengan jelas bisa kudengar meski aku di dalam rumah.

“Iya, kenapa gak nikah sama si Arya aja sih. Kan, dia demen banget ama anaknya.”

Alika, gadis kecilku memang sering kali didekati para lelaki itu. Sebagai upaya menarik simpatiku. Banyak cara yang mereka lakukan, dimulai dari diiming-imingi jajanan hingga lembaran rupiah. Bersyukur sekali, Alika anak cerdas. Dia tidak suka sembarangan menerima pemberian orang. Mesti mengantongi izin dari aku dulu.

Adalah Pandu seorang pengusaha sukses yang gencar mengajakku untuk berpoligami. Istrinya yang cantik jelita tidak mampu membuatnya berhenti untuk menjadi buaya. Ia terus-terusan menerorku agar bersedia memenuhi permintaannya.

“Atikah, hidupmu akan terjamin jika menikah denganku. Lagi pula, apa kurangnya aku? Tampan, mapan, dan sudah pasti bisa buat kamu nyaman.”

“Aku punya suami, Pandu---"

“Suami macam apa itu, ninggalin empat tahun tanpa kabar berita? Jangan-Jangan dia sudah kimpoi lagi atau tenggelam dibawa tsunami.”

Aku terdiam mendengar penuturannya. Bukan hal mustahil memang itu terjadi, mengingat daerah tujuan terakhir suamiku, akhir-akhir ini sering kali diberitakan mengalami bencana alam.

“Kau tau, Tikah? Tuhan menyuruh suamimu pergi agar kita bisa bersatu ... untuk menyelesaikan cinta kita yang belum usai.”

Pandu adalah pacar pertamaku. Tidak dipungkiri, sisa-sisa rasa itu masih ada. Namun, segera kutepis, mengingat ia telah beristri. Pantang bagiku merebut lelaki orang.

“Kenapa gak nikah sama Arya aja, Nak?" Ibu bertanya suatu ketika dengan mimik sedih. Ia begitu khawatir padaku, mengingat Pandu yang tak kunjung menyerah.

“Lalu, bagaimana dengan ayahnya, Lika, Bu? Tikah takut---"

“Seorang suami sudah dianggap jatuh talak-nya apabila ia tidak memenuhi kewajibannya selama tiga bulan berturut-turut. Sementara kau sudah menderita selama empat tahun. Sudah, cukup, Tikah!”

“Tapi, Bu!”

“Ibu sudah bertanya pada pemuka agama dan pemangku adat setempat. Dan mereka bersedia bertanggungjawab atas pernikahanmu, Tikah. Kau halal untuk dinikahi, Nak!”

“ Bukan itu! Tikah takut seperti yang sudah-sudah.”

Aku menunduk sambil memainkan jari. Ada perasaan takut untuk membuka hati. Memulai sebuah hubungan baru memerlukan persiapan hati yang matang. Sepertinya aku trauma.

Diubah oleh ceuhetty 21-01-2020 21:43
bukhorigan
zafranramon
erman123
erman123 dan 29 lainnya memberi reputasi
30
14.7K
109
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ceuhettyAvatar border
TS
ceuhetty
#67
Tumbal Jodoh
Aku kira, menjadi perawan tua adalah satu-satunya aib bagi keluarga. Ternyata gagal menikah tepat di hari H, jauh lebih memalukan.

“Itulah akibatnya kalau jadi anak muda keras kepala. Sok pintar, mentang-mentang sudah menjadi sarjana.” Seorang lelaki dengan rambut hampir seluruhnya putih, mengomel panjang pendek.

“Asal kalian tau, sejak dulu, leluhur kita mengharamkan perjodohan dengan penduduk seberang. Pamali! Kalau ada yang berani melanggarnya, silakan tanggung sendiri akibatnya." Aki Ajo kembali buka suara. Ia merupakan orang yang dituakan dan sangat disegani oleh warga desa.

Kulihat Ibu bersimpuh di sudut ruangan sambil terisak-isak. Tangannya sibuk mengusap air mata yang seolah tak henti berderai. Ibu pasti merasa kehilangan muka di depan penduduk desa, juga merasa telah dipermalukan oleh pihak mempelai laki-laki.

“Sudahlah Rina. Seharusnya kau bersyukur karena anakmu gagal di awal. Coba bayangkan kalau anakmu menderita setelah menikah.” Terdengar Aki Ajo memberi Ibu nasihat.

Ibu menyeka air mata lalu menghampiriku. Matanya tajam menguliti seolah ingin menghunjam jantungku.

“Semua karena kelancanganmu Erlina. Seharusnya kamu mendengar apa kata Ibu. Kau lihat sendiri, kan? Ini akibatnya kalau membangkang pada leluhur. Sekarang, mau tidak mau kamu harus menikahi Andi!”

Langit seolah runtuh di atas pangkuanku. Apa yang ditakutkan selama ini akhirnya akan kualami juga.

“Kurasa menjadi istriku tidaklah buruk, Er,” ujar Andi menenangkan.

Sejak minggu lalu, Andi membersamaiku. Sudah menjadi kebiasaan warga desa, jika akan mengadakan pesta, sanak saudaranya akan berbondong-bondong datang. Tujuannya untuk membantu persiapan pesta.

Andi sebenarnya masih saudara jauh dari pihak Bapak. Kami sudah akrab sejak masih ingusan. Ia berasal dari keluarga cukup berada, wajahnya rupawan, akhlaknya baik, dan menjadi rebutan para gadis di zamannya.

Andi berusia tujuh tahun lebih tua dariku. Ia enggan menikah karena hatinya pernah dipatahkan oleh tradisi. Hubungannya dengan seorang gadis tidak berlanjut, karena tempat tinggal mereka dipisahkan oleh aliran sungai Cikaso.

“Aku tidak akan pernah mencintai perempuan lagi, apalagi menikahinya. Kecuali jika perempuan itu kamu.” Masih kuingat jelas perkataan Andi kala itu. Aku menganggapnya sebagai gurauan.

Sejak saat itu, Andi pergi mondok ke pesantren di daerah Jawa Timur. Hingga bertahun-tahun, ia tidak pernah menampakkan batang hidungnya.

“Aku tidak akan pulang sebelum mendapat calon istri yang sepadan, Er,” tolaknya. Waktu itu aku meneleponnya untuk bertanya kabar serta menyampaikan pesan orang tuanya yang memintanya pulang.

“Tapi bagaimana dengan Aliva? Kudengar adikmu itu tengah menjalin hubungan serius dengan seorang pemuda. Bagaimana jika mereka melangkahimu?” Aku memberondongnya dengan pertanyaan.

“Aku ikhlas, Er. Biarkan saja adikku menemukan kebahagiaannya,” tuturnya dengan nada suara yang lesu.

Aku hanya bisa mengelus dada mendengar keputusannya.

Sudah menjadi tradisi di desaku. Setiap gadis berusia tujuh belas tahun harus segera dinikahkan. Jika tidak, besar kemungkinan ia akan menjadi perawan tua selamanya.

“Sebaiknya cari perempuan yang bersedia dijadikan tumbal jodoh, daripada nanti Andi menjadi perjaka tua karena dilangkahi,” saran Aki Ajo.

“Menjadikan seseorang sebagai tumbal jodoh itu tidak dibenarkan agama. Hal itu tidak ada bedanya dengan kimpoi kontrak,” beber Pak Kyai Nurdin.

Aki Ajo bungkam mendengarnya.

Akhirnya, Aliva menikah. Syaratnya, menyerahkan mahar pelangkah pada Andi. Konon, agar yang dilangkahi tidak menjomlo seumur hidup.

Takdir memang menjadi misteri Illahi. Seolah menyepakati keadaan, Andi tidak pernah bersedia menikahi gadis mana pun. Sehingga kemudian Ibuku dan Ibunya berencana menjodohkan kami.

“Ini bukan zaman Siti Nurbaya, Bu. Sudah bukan zamannya jodoh-jodohan. Lagipula, Andi sudah Erlina anggap seperti Abang sendiri.”

Penolakanku saat itu berhasil. Perjodohan pun bisa dielakkan. Tapi, apa yang bisa menyelamatkanku dari perjodohan kali ini, Tuhan?

*

Seminggu sekali, aku bersama kawan-kawan rutin ber-jogging. Start dari rumahku dan garis finish-nya di jembatan Cikaso. Biasanya, jika hari libur, sungai Cikaso ramai oleh pengunjung.

“Hari ini jadwalnya makan nasi kuningnya Mak Cicoh yang di bawah jembatan itu lho,” ucap Nina, salah satu sahabatku mengingatkan.

Selain jogging, kami juga biasa berkeliling untuk mencicipi kuliner di sekitar sungai. Kebiasaan aneh memang, menumpuk lemak setelah membakar lemak.

Kami beriringan melalui jembatan yang terbuat dari beton. Di kanan kirinya terhampar sungai Cikaso yang berwarna kecokelatan. Curah hujan yang tinggi serta air kiriman dari udik membuat gelombang sungai meningkat.

“Ayo kita naik perahu sebelum makan,” ajak Ira, si gadis berponi.

“Ngeri, Ra. Airnya pasang,” sahut Nina.

“Elah! Kan kita bukan mau berenang, Nin. Ayolah aku kangen naik perahu, rasanya dah lama banget,” rengek Ira.

“Emang pernah naik perahu?” sela Cindy.

“Belum!” Ira dan Nina menjawab serempak. Disusul derai tawa kami.

Akhirnya, kami memutuskan menyewa sebuah perahu bermotor untuk berwisata menyusuri sungai. Lelaki paruh baya beserta seorang pemuda yang mengendalikan kemudinya.

Aku merasa ngeri melihat badan perahu yang oleng setiap kali salah seorang dari kami menaikinya. Nina bahkan menaiki perahu dengan merangkak. Membuat Ira tergelak melihatnya.

Tibalah giliranku untuk menaiki perahu. Badan perahu yang terguncang karena pijakan Cindy, ditambah gelombang yang membesar, membuatku ragu untuk melanjutkan langkah.

“Malah bengong, cepetan dong!" Ira berteriak dari atas perahu.

“Masa Erlina takut naik perahu? Taekwondo-nya dikemanain, Neng?” sambar Cindy tak kalah menyebalkan dari Ira. Sementara Nina memperhatikanku dengan senyum dikulum. Sial sekali. Sepertinya mereka telah menunggu lama untuk menyaksikan momen seperti ini.

“Ayo!” Sang pemuda pemilik perahu menyodorkan tangannya. “Biar saya bantu ya, Neng,” sambungnya seraya tersenyum simpul.

Aku menatapnya sekilas, lalu menerima uluran tangannya dengan malu-malu.

“Cieee ... ada yang modus nih!” sorak Nina.

“Sok-sok an takut padahal mah modus, euy!” sambar Cindy.

Aku mendelik ke arah mereka. Pipiku terasa memanas. “Apaan sih?” omelku kesal. Sementara mereka terbahak berjamaah.

Dari sanalah segalanya bermula. Kisahku dengan Arash, demikian nama pemuda tersebut, dimulai. Sebuah hubungan yang banyak disangsikan kelanjutannya. Tersebab mitos larangan menikah bagi penduduk yang berseberangan sungai.

Awalnya, pihak keluarga menentang keras hubunganku dengan Arash. Namun perlahan mereka luluh melihat keteguhan cinta kami.

Lalu, hari ini pun terjadi.

*

“Mari kita mulai acara ini dengan menanyakan kesediaan kedua calon mempelai.” Kalimat pembuka dari penghulu membuyarkan lamunanku.

Aku menatap Andi dengan nanar. Hidupku benar-benar seperti rolling coaster. Dulu aku yang diharapkan Andi sebagai jodohnya, sekarang dia yang seolah ditumbalkan untuk menutupi aib di hari pernikahanku.

‘Tuhan. Diakah jodohku? Mengapa jalannya begitu menyakitkan?’ batinku perih.

Air mata yang entah untuk ke berapa juta kalinya kembali berderai.
Sementara Andi duduk dengan tenang di sampingku. Ia menatap lekat ke arah penghulu.

“Saudari Erlina Kusuma, sekali lagi saya bertanya. Apakah benar Anda menikahi lelaki yang bernama Andi Wirawan dengan atas suka sama suka?”

Andi menepuk punggung tanganku. “Er,” bisiknya lembut.

Aku tergagap seolah jiwaku baru terkumpul. Semakin gugup saat kusadari semua mata yang hadir tengah menatapku intens.

“Saya ....”

“Assalamu’alaikum! Mohon maaf, kami dari pihak kepolisian, ditugaskan untuk menangkap saudara Andi atas laporan percobaan pembunuhan terhadap saudara Arash.”

Persis seperti dalam dunia per-film-an, beberapa orang berseragam anggota Polisi tiba-tiba saja datang menyeruak.

“Silakan saudara Andi membela diri di kantor polisi.” Tanpa menunggu jawaban, Pak Polisi segera menggiring Andi dan membawanya pergi.

Para hadirin kembali dibuat heboh. Setelah tadi pagi menjadi saksi gagalnya pernikahanku dengan Arash. Kini mereka menjadi saksi atas ditangkapnya Andi, calon suami penggantiku.

“Erlina!” Sebuah teriakan menggema di antara hiruk pikuknya para hadirin.

“Maafkan aku, Er, karena terlambat datang.” Arash berlari ke arahku dengan napas terengah.

“Demi Tuhan, aku tidak pernah bermaksud mengingkari janji. Untuk detailnya, biar Andi yang menjelaskan di kantor Polisi.” Tangannya menggenggam kedua lenganku, erat. Matanya menyoroti manik mataku dengan pandangan penuh permohonan maaf.

Aku terpaku setengah tidak percaya bisa melihatnya kembali.

“Apa yang terjadi, Arash?” Kuraba wajahnya dengan penuh rindu. Seolah baru saja melihatnya terbangun dari kematian.

“Itu tidak penting. Mari kita lanjutkan acara pernikahan yang tertunda. Kau masih bersedia menjadi istriku, kan Erlina?”

Aku menganggukkan kepala dengan mata berkaca-kaca.

*

Kejahatan mungkin saja berkuasa, tapi ia tidak akan pernah bisa menang.

End.
pulaukapok
pulaukapok memberi reputasi
1
Tutup