Sejenak kita tinggalkan desa Kedhung Jati dengan segala kemelutnya, dan berpindah sedikit ke arah barat daya, tepatnya di sebuah jalan setapak yang membelah area persawahan di sebelah selatan desa Patrolan, yang berbatasan dengan hutan Tawengan. Dalam keremangan malam, nampak sesosok nenek tua berjalan tertatih tatih menembus pekatnya malam, tanpa mengetahui arah mana yang harus ia tuju. Ia hanya mengikuti ke arah kaki rentanya melangkah, sambil mulutnya sesekali menggumamkan kata kata yang hanya bisa ia dengarkan sendiri.
"Oalah Meeeet Met! Kamu kemana to Le? Dari pagi simbok nyariin kamu, sampai tengah malam begini kok ndak ketemu juga!" demikian kira kira
sambat sebutdari nenek tua yang tak lain adalah Mbah Lastri itu.
Sungguh malang nasib orang tua itu. Berjalan seorang diri dari semenjak pagi hingga tengah malam begini, hanya untuk mencari sang anak yang pergi semenjak semalam, tanpa ada seorangpun warga desa pun yang tau. Ada sedikit rasa menyesal di hati Mbah Lastri, kenapa tadi tidak minta bantuan saja kepada warga untuk mencari Slamet. Tapi kalau dipikir pikir percuma juga minta bantuan. Para warga sepertinya lebih tertarik dengan anak babi hasil tangkapan si Mitro itu daripada mendengarkan omongan seorang nenek tua seperti dirinya. Dan kata kata Mitro, sang adik tadi pagi, masih menyisakan rasa sakit di hatinya.
"Berani beraninya Mitro menyentakku di depan banyak warga begitu! Dasar adik nggak tau diuntung! Nggak ingat apa dulu waktu kecil kalau dia berak siapa yang nyebokin!" gerutu Mbah Lastri sambil terus berjalan.
Entah mengapa, kali ini ia merasakan ada yang lain. Biasanya, meski Slamet pergi nggak pulang pulang juga ia tak terlalu peduli, karena itu memang sudah menjadi kebiasaan anak semata wayangnya itu. Tapi kali ini, ia merasa sangat khawatir, sampai sampai ia tak memperdulikan kedua kakinya yang mulai kebas karena berjalan seharian tanpa henti. Hanya istirahat sebentar untuk berteduh di sebuah gubuk di tengah sawah, saat hujan deras tiba tiba mengguyur sore tadi.
Sambil terus menggerutu, nenek tua itu terus berjalan, tanpa menyadari bahwa kedua kaki rentanya telah membawanya kedalam lebatnya alas Tawengan, seolah ada kekuatan yang menuntun langkahnya untuk masuk kedalam hutan angker itu. Jalan setapak yang basah licin karena sisa hujan sore tadi, tak menyurutkan niatnya untuk terus melangkah maju. Semak belukar ia terabas begitu saja, tanpa memperdulikan onak duri yang menggores kulit keriputnya.
Semakin lama, langkah Mbah Lastri semakin cepat, seiring dengan detak jantungnya yang juga semakin terpacu. Nalurinya sebagai seorang ibu mengatakan bahwa sang anak memang berada di tempat itu, dan kondisinya sedang tidak baik baik saja. Hingga akhirnya, saat ia menerobos segerumbulan semak semak, langkahnya terhenti mendadak. Mata tuanya terbeliak lebar, menampakkan keterkejutan yang teramat sangat. Sebelah tangannya menutup mulutnya yang terbuka lebar, bermaksud untuk berteriak minta tolong. Namun alih alih sebuah teriakan, yang keluar dari mulutnya hanyalah suara jeritan lirih, seiring dengan tubuh rentanya yang jatuh terduduk di hadapan jasad sang anak yang sudah tak utuh lagi.
"Slameeeeetttt....!!!" tangis pilu perempuan tua itupun menggema ke seluruh penjuru hutan, mengagetkan seluruh satwa penghuni hutan. Seekor babi hutan dengan tubuh penuh luka yang tengah berlari kencang sampai berhenti tiba tiba saat mendengar suara tangisan itu.
Sejenak babi hutan itu mengendus endus, lalu dengan langkah sempoyongan berjalan menuju kearah asal suara tangisan itu. Dari balik semak semak, kedua mata babi hutan itu menyipit, memperhatikan sosok seorang nenek tua yang menangis meratapi sesosok mayat yang tergeletak tersandar pada sebatang pohon.
"Grrrrr...!!!" sosok babi hutan itu menggeram lirih, lalu tubuhnya tiba tiba menghilang, berubah menjadi segumpal asap putih yang melayang mendekat kearah sosok nenek tua itu, lalu tanpa sepengetahuan si nenek, asap itu amblas masuk melalui ubun ubun si nenek tua.
Tangis si nenek terhenti secara tiba tiba. Kedua matanya yang semula membanjir kini menyorot tajam, menatap ke arah sosok mayat yang tergeletak di hadapannya itu. Tanpa ragu si nenek tua itu lalu bangkit dan mendekat ke arah si mayat. Dan tanpa ragu juga, kedua tangan si nenek meraup isi perut si mayat yang terburai keluar dari luka koyak lebar di bagian perutnya, lalu dengan sedikit memaksa kembali memasukkannya kedalam perut. Luka koyak pada perut dan dada si mayat lalu ia bebat dengan kain setagen yang semula dikenakannya. Setelah semuanya selesai, ia lalu mengangkat dan menggendong mayat itu, dan melangkah pelan keluar dari hutan. Sinar purnama menerangi langkah si nenek, memantulkan sorot matanya yang kini nyalang dipenuhi dendam.
***
Kembali ke desa Kedhung Jati.
Tepatnya di area Tegal Salahan. Kang Mitro masih memamerkan kemenangannya setelah berhasil membunuh salah seekor babi hutan yang meneror desa, saat Mbah Mo mendekat dan mengingatkannya.
"Jangan merasa menang dulu Mitro! Kematianmu hanya ditunda sebentar," desis kakek tua itu tajam.
"Cih! Kakek sinting! Apa urusanmu ikut ikutan masalah di desa ini hah?!" sentak Kang Mitro kasar.
"Aku hanya mengingatkanmu Mitro! Perbuatanmu sudah melampaui batas! Tiga orang warga desamu mati sia sia hanya demi memenuhi ambisi konyolmu itu, dan kau masih bisa merasa bangga dengan hanya membunuh seekor babi hutan? Kemana hati nuranimu Mitro?!" dengus Mbah Mo tak kalah keras.
"Ini bukan urusanmu Mbah! Dan tak usah sok sokan ikut campur!"
"Selama menyangkut para penghuni alas Tawengan, itu menjadi urusanku Mitro! Karena aku yang bertanggung jawab atas wilayah itu. Perbuatanmu telah membuat penghuni alas Tawengan murka, dan itu membahayakan tidak hanya warga desaku, tapi juga warga desa ini!"
"Omong kosong!" dengus Kang Mitro sambil mendorong tubuh Modin desa Patrolan itu hingga terjajar beberapa langkah ke belakang. Sementara Pak Bayan Mangun, Pak Dul Modin, dan Bu Ratih saling pandang. Dari ucapan Mbah Mo barusan, baru mereka paham kenapa masalahnya bisa sampai serunyam ini. Tindakan Kang Mitro secara tidak sengaja telah mengusik para penghuni alas Tawengan.
"Cukup Kang Mitro!" Bu Guru Ratih yang sejak tadi diam, kini membentak dan maju. Emosinya sedikit tersulut melihat perlakuan kasar laki laki itu kepada Mbah Mo. "Semenjak tadi saya hanya diam dan mencoba bersabar dengan ulah sampeyan! Tapi perlakuan sampeyan kepada Bu Nengsih sudah diluar batas! Kalau sampeyan terus teruskan, terpaksa saya ikut campur!"
Bentakan Bu Ratih yang bernada tajam itu sukses menyurutkan kepongahan Kang Mitro. Laki laki itu mundur dua langkah ke belakang, sementara Bu Ratih menatap tajam ke arah keris yang masih digenggam oleh Kang Mitro.
"Saya kenal keris itu Kang! Dan kalau sampeyan pikir sampeyan bisa jadi jawara karena keris itu, itu salah besar! Ki Suryo, pemilik asli keris itu, yang juga adalah guru sampeyan, dulu saya yang menghabisinya di alas Tawengan! Dan sampeyan yang hanya muridnya, saya yakin, sampeyan tak sehebat laki laki tua itu!"
Kembali Kang Mitro mundur, sampai tak menyadari bahwa dari arah belakangnya datang seseorang sambil menggendong sesuatu.
"Bruk!" sosok itu menjatuhkan mayat yang digendongnya tepat dibelakang Kang Mitro, membuat laki laki itu terpekik kaget dan berbalik.
"Lho, Yu Lastri?!" seru Kang Mitro. "Dan ini...., Slamet kenapa?"
"Kenapa
dhengkulmu mlocot itu!" sentak Mbah Lastri dengan suara serak. "Gara gara kamu Mitro, anakku jadi seperti ini! Dan kau harus menerima balasannya!"
Tanpa diduga duga, Mbah Lastri yang telah dirasuki oleh siluman babi itu segera menyerang Kang Mitro. Kedua tangan Mbah Lastri bergerak cepat mencengkeram dan mencekik leher sang adik. Kang Mitro yang tak menyangka akan mendapatkan serangan mendadak itu tak sempat menghindar.
"Heeeeggghhhh...!!!" Kang Mitro meronta, berusaha melepaskan cengkeraman tangan Mbah Lastri di lehernya. Namun siapa sangka, tangan kurus keriput milik Mbah Lastri yang terlihat lemah itu ternyata begitu kuat. Kang Mitro semakin meronta, saat merasakan tulang lehernya nyaris hancur dan nafasnya hampir putus.
"Gawat! Wak Dul! Pak Bayan! Bantu aku melerai mereka! Jangan sampai ...."
"Jrrreeeebbbbzzzz...!!!"
"Heeegghhhh...!!!"
Belum selesai Bu Guru Ratih berteriak, kejadian tak terdugapun terjadi. Tangan Kang Mitro yang masih menggenggam gagang keris itu tanpa sengaja telah menusukkan keris itu ke perut Mbah Lastri. Perempuan tua itu terhuyung mundur. Cengkeramannya pada leher Kang Mitro terlepas. Kang Mitro yang menyadari perbuatannya segera memburu kearah kakak kandungnya itu.
"Yu Lastriiiii .. !!! Duh Gusti! Kenapa bisa jadi begini sih?! Maafkan aku Yu, aku nggak sengaja! Kalau saja...!"
Penuh penyesalan, Kang Mitro mendekat dan mencoba untuk menolong kakak perempuannya itu. Namun diluar dugaan, saat Kang Mitro sudah dekat, Mbah Lastri mengangkat wajahnya dan meringis seram
"Hihihi...!!! Kau pikir bisa semudah ini membunuhku Mitro? Kalau aku mati, maka kau juga harus mati!" secepat kilat Mbah Lastri mencabut keris yang menancap di perutnya, lalu menghunjamkannya ke perut Kang Mitro.
"Yu ... Las.... tri ....," Kang Mitro tercekat. Wajahnya menegang menahan rasa sakit, saat Mbah Lastri menusukkan keris itu semakin dalam, menembus jantung laki laki itu. Tak puas sampai disitu, Mbah Lastri lalu mencabut kembali keris itu, dan menyabetkannya tepat ke leher Kang Mitro. Daras segarpun membanjir dari luka di perut dan leher Kang Mitro.
"Ini pembalasanku Mitro! Ini untuk anakku yang kamu sembelih!" jerit Mbah Lastri sambil menyabetkan keris itu ke leher Kang Mitro.
"Dan ini untuk suamiku!" kembali Mbah Lastri menyabetkan kerisnya ke perut Kang Mitro, membuat luka di perut laki laki itu semakin melebar dan menumpahkan semua isinya ke tanah.
"Dan ini untuk Slamet!" Mbah Lastri menjambak rambut Kang Mitro, lalu dengan kejamnya menggorok leher laki laki itu hingga kepalanya terpisah dari badan.
"Hihihihi...!!!" Mbah Lastri tertawa melengking sambil menenteng kepala adik kandungnya itu, melemparnya ke atas, lalu saat kepala itu kembali melayang turun, kaki perrmpuan tua itu menyambutnya dengan tendangan yang sangat keras, membuat kepala yang telah terpisah dari badannya itu melayang jauh dan jatuh ditengah tengah area persawahan
"Iblis terkutuk! Hentikan perbuatan bejatmu itu!" Bu Ratih yang tak sempat mencegah perbuatan Mbah Lastri yang memang dilakukan dengan sangat cepat itu berteriak marah. Perlakuan brutal makhluk yang merasuki Mbah Lastri benar benar sanggup membangkitkan amarah Bu Ratih. Sambil melompat ke depan Guru SD itu menggigit ujung ibu jarinya sampai mengeluarkan darah, lalu mengoleskannya pada tengkuknya. Samar samar, dari balik pakaian yang dikenakan oleh Bu Ratih memancar cahaya redup berwarna keemasan.
"Grrrrrr...!!! Kau lagi rupanya bocah?! Kebetulan! Dulu kau telah mengacak acak istanaku! Sekarang saatnya aku membalasnya!" Mbah Lastri yang masih menggenggam keris itu segera menyambut serangan dari Bu Ratih.
Pertarungan sengitpun terjadi. Bu Ratih yang terlihat kalem itu ternyata mampu bergerak dengan sangat lincahnya, menghindari sabetan keris dari Mbah Lastri yang datang secara membabi buta.
"Licik! Berani berlindung dibalik tubuh manusia yang lemah!" dengus Bu Ratih sambil terus berjumpalitan menghindar, sambil mencoba mencari kesempatan untuk balas menyerang
"Mbah Lastri, maafkan aku," desis Bu Ratih sambil melimpat dan bersalto diatas kepala perempuan tua itu. Sambil bersalto Bu Ratih menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Hawa hangat menjalar di kedua telapak tangan itu.
Masih berada diatas tubuh Mbah Lastri, Bu Ratih lalu menempelkan sebelah telapak tangannya di ubun ubun Mbah Lastri, lalu membuat gerakan seperti menarik sesuatu dari ubun ubun itu.
"Keluar kau iblis! Dan mari bertarung secara jantan!" teriak Bu Ratih.
"Grrooaaarrrr...!!!" tardengar suara geraman dahsyat dari mulut Mbah Lastri, sebelum akhirnya tubuh renta perempuan itu ambruk.
"Wak Dul! Pak Bayan! Cepat tolong Mbah Lastri! Mungkin masih bisa diselamatkan kalau cepat cepat dibawa ke rumah sakit!" teriak Bu Ratih sambil berlari kearah ladang salah seorang warga, seolah sedang mengejar sesuatu.
"Sudah kubilang kan, keponakanmu itu memang bisa diandalkan," gumam Mbah Mo sambil membantu Wak Dul menggotong tubuh Mbah Lastri yang terluka parah keatas motor Bu Ratih. Sementara Pak Bayan Mangun sibuk mengangkat mayat Slamet keatas motor tuanya.
"Pak Modin, bagaimana ini dengan mayat Kang Mitro? Mana ndak ada kepalanya lagi!" seru Pak Bayan sedikit bingung.
"Tnggalkan saja dulu Pak! Yang paling penting kita selamatkan dulu Mbah Lastri yang mungkin masih bisa diselamatkan. Saya akan segera membawanya ke rumah sakit. Sampeyan bawa dulu mayat si Slamet, nanti balik lagi kesini, ajak warga untuk mencari kepala Kang Mitro!" ujar Pak Dul Modin sambil menstarter motor Bu Ratih.
"Biar saya saja yang jagain mayat Mitro, sambil nyari kepalanya. Takutnya kalau ditinggal nanti dimangsa binatang buas lagi!" usul Mbah Mo.
"Bagaimana dengan Bu Ratih? Saya sedikit mencemaskan beliau!" seru Pak Bayan lagi.
"Tenang saja," Mbah Mo yang menyahut. "Dia itu lebih dari sekedar cukup untuk kita andalkan!"
Dan, ucapan Mbah Modin Patrolan itu bukanlah sekedar isapan jempol semata. Di tengah keremangan malam, Bu Ratih dengan sangat gesit mengejar makhluk siluman yang kabur ke arah barat daya. Sesekali ia melompat untuk menghindari gerumbulan semak atau batang pepohonan yang menghalanginya.
"Jangan kabur kau pengecut!" teriak Bu Ratih sambil terus berlari. Ada sedikit rasa cemas di hati Guru perempuan itu, melihat arah lari si siluman babi yang mengarah ke alas Tawengan. Kemungkinan buruk bisa saja terjadi, mengingat hutan Tawengan adalah sarang dari makhluk siluman itu. Apalagi ia cuma sendirian.
"Sial!" dengus Bu Ratih. Lari makhluk itu ternyata lumayan kencang. Bahkan kini keempat kakinya nyaris tak menyentuh tanah. Pupus sudah harapan Bu Ratih untuk mencegah makhluk itu masuk ke hutan.
"Mudah mudahan aku masih sanggup untuk menghadapinya," gumam Bu Ratih sambil memperlambat laju larinya. Makhluk itu kini hanya berjarak beberapa tombak di hadapannya. Dan seperti yang sudah ia duga sebelumnya, begitu memasuki kawasan hutan, makhluk itu bermanuver dengan sangat cepat. Masih terus berlari ia berbalik dan langsung menerjang ke arah Bu Ratih, dengan taring taring tajamnya yang mengarah ke leher jenjang milik sang guru.
"Whuuusss...!!!" suara desauan angin terdengar sangat jelas, menandakan kalau gerakan makhluk siluman itu sangatlah cepat. Tak sempat menghindar, Bu Ratih memapaki serangan itu dengan kedua tangan yang ia rentangkan ke depan.
"PRAAAAKKKK...!!!" terdengar suara berderak keras saat kedua tangan Bu Ratih berbenturan dengan kedua taring makhluk siluman itu.
"Grrrrrrrr...!!!" makhluk berwujud babi hutan itu terlempar ke belakang dan jatuh berguling guling. Sementara Bu Ratih juga terjajar mundur beberapa tindak sambil mengibas ngibaskan kedua tangannya yanh terasa kebas.
"Groaaarrr....!!!" seolah tak ingin memberi kesempatan kepada Bu Ratih, dengan cepat makhluk itu bangkit dan kembali menerjang ke depan. Bu Ratih yang lagi lagi tak sempat menghindar, kembali memapaki serangan makhluk itu dengan kedua tangannya.
Namun makhluk itu rupanya lumayan cerdas juga. Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, saat serangannya nyaris beradu dengan kedua tangan Bu Ratih, makhluk itu lalu memutar tubuhnya agak miring ke kiri.
"Sial!" sentak Bu Ratih saat menyadari bahwa tangkisannya kini meleset. Makhluk itu meluncur bebas dengan taring tajamnya mengarah tepat ke leher sebelah kanan Bu Ratih.
Sadar bahaya mengancam dan tak sempat menghindar, Bu Ratih hanya bisa sedikit memiringkan kepalanya. Nyaris saja, telat sedetik saja mungkin leher Bu Ratih sudah putus diterjang taring tajam makhluk itu. Meski meleset, taring makhluk siluman itu masih sempat menggores tengkuk Bu Ratih. Juga pita pengikat rambutnya.
"Aaahhhhhh...!!!" Bu Ratih terpekik kecil. Ia jatuh terduduk dengan kepala menunduk dan rambut tergerai lepas. Rasa perih dan panas terasa menggigit tengkuknya. Darah segar merembes membasahi baju putihnya. Juga tato rajah yang ada di punggungnya.
Sementara si makhluk siluman yang kini telah mendarat di belakang Bu Ratih kembali berbalik dan siap menyerang. Namun gerakan makhluk itu tiba tiba terhenti, saat melihat perubahan pada lawan yang kini duduk membelakanginya itu.
Darah yang merembes dari luka di tengkuk Bu Ratih dan membasahi rajah di punggungnya, pelan pelan seolah terserap masuk kedalam kulit. Goresan goresan rajah itu lalu berpendar, memantulkan cahaya bulan purnama yang meneranginya. Hawa dingin tiba tiba menyelimuti arena pertarungan keduanya.
"Hihihi...!!! Kau melakukan kesalahan fatal!" sedikit gontai Bu Ratih lalu bangkit dan berbalik menatap ke arah lawannya. Jelas terlihat kini, dari balik lensa kacamatanya, nampak mata Bu Ratih juga berpendar memantulkan sinar kuning keemasan. Dengan rambut yang tergerai acak acakan yang sebagian menutupi wajahnya, penampilan guru perempuan itu nampak sedikit menyeramkan.
"Tindakanmu tadi itu...," sedikit terhuyung Bu Ratih melangkah maju. "Yang telah melukai dan menumpahkan darahku, justru akan menjadi malapetaka bagimu! Sekarang, ayo maju! Kita mengadu jiwa! Kita tentukan malam ini, aku atau kamu yang akan mati!"
Suara Bu Ratih yang kini terdengar dalam dan dingin itu membuat si makhluk siluman mundur beberapa tindak. Makhluk itu sadar, lawannya kini tak bisa dianggap enteng lagi. Dan itu bukan hal yang baik untuk dirinya. Maka, tak mau ambil resiko, makhluk itu lalu mendongak dengan mulut terbuka lebar, mengeluarkan suara lengkingan tinggi yang Cumiakkan gendang telinga. Bersamaan dengan itu, angin tiba tiba berhembus kencang. Dari kejauhan terdengar suara bergemuruh seperti suara hentakan kaki ribuan pasukan yang mengarah ke tempat itu.
Ranting dan dahan pohon berayun ayun diterjang angin badai. Daun daun berguguran. Semak perdu porak poranda diterjang puluhan ekor babi hutan yang berlompatan keluar dari kegelapan hutan dan langsung mengepung Bu Ratih. Sementara si makhluk Siluman yang kini telah berubah menjadi sosok perempuan berwajah babi itu tertawa serak melengking.
"Khikhikhikhi....! Jangan merasa menang dulu bocah! Anak anak! Habisi manusia sombong ini!"
Serentak, puluhan ekor babi hutan itu menerjang kearah Bu Ratih. Tak gentar dengan serangan makhluk makhluk ganas itu, dengan sangat tenang Bu Ratih merentangkan kedua tangannya ke samping. Pelan namun pasti, cahaya kuning keemasan berpendar dari sekujur tubuh perempuan itu. Dan pelan namun pasti juga, tubuh Bu Ratih terangkat ke atas, melayang beberapa meter diatas tanah. Rambut panjang dan pakaian yang dikenakan oleh perempuan itu berkibar kibar dipermainkan angin yang masih bertiup dengan kencangnya. Matanya yang juga memancarkan cahaya kuning keemasan itu kini menatap bengis kearah lawan lawannya. Jelas terlihat aura kemarahan yang teramat besar terpancar dari sepasang mata itu.
"Makhluk makhluk rendahan! Jangan salahkan aku kalau malam ini akan menjadi akhir dari hidup kalian!" Bu Ratih menggeram marah. Pelan pelan tubuh dengan tangan yang masih terentang itu lalu berputar. Semakin lama semakin cepat, cepat, dan cepat. Hingga akhirnya tubuh yang masih melayang di udara itu tak terlihat lagi. Hanya menyisakan pendar sinar kuning keemasan yang lalu melesat cepat kesana kemari, menyambar satu persatu lawan lawan yang berada di bawahnya.
Jerit kematian melengking seiring dengan jatuhnya babi babi hutan itu meregang nyawa. Satu persatu makhluk makhluk malang itu tewas dengan tubuh hangus mengepulkan asap. Aroma daging gosong menyeruak memenuhi seluruh penjuru hutan. Tak butuh waktu lama, puluhan ekor babi hutan itu kini telah bergelimpangan kehilangan nyawa.
lanjut disini gaes