Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"



Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
220.1K
1.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#201
Part 38-b
Keesokan harinya di sekolah, saat jam istirahat gue duduk di jendela kelas yang menghadap Jl. Prodjost. Duduk sambil menertawakan teman-teman gue yang saling berebut setelah gue melempar 2 linting ganja pada mereka.

"Wid, perawanin." Teman gue menyodorkan satu lintingan untuk gue bakar terlebih dahulu.

"Udehhhhh rakab. Slow! Satu orang jagain pintu beg*k liatin sikon." Sahut gue, lalu satu teman gue berinisiatif menjaga di depan. 

Lalu teman-teman gue mulai membakar itu, aroma khas asap ganja pun mulai menyentuh indra penciuman gue. "Huaaa bau surga nih!" Ucap teman gue sambil beratraksi mengalirkan asap dari mulut ke hidungnya.

"Hahaha." Gue tertawa sambil menggelengkan kepala.

Lalu tiba-tiba gue melihat Malik melompat jendela kelasnya, menyusuri sisa dak hingga menghampiri gue. "WAH PELANGGARAN LO PADA! PANTES AE GUE DARI SEBELAH NYIUM-NYIUM BAU ENAK." Ucap Malik berteriak.

"Berisik gobl*k!" Ucap sambil menjitak Malik. "Pengang kuping gue, sat!" Lanjut gue.

"Lik oi!" Teman gue menawarkan Malik lintingan ganjanya.

"Isep ae, Cil. Dapet dari mane lo?" Tanya Malik dan teman gue hanya menunjuk dengan bibirnya ke arah gue. "Wah pelanggaran lo nyet!" Ucap Malik pada gue.

Gue hanya tersenyum meresponnya. "Kantin yuk!" Ajak Malik pada gue sambil memberi kode kalau dia ingin berbicara dengan gue empat mata.

"Cuy atu duduk sini, liat bawah." Ucap gue pada teman gue saat gue turun dari jendela. Lalu gue dan Malik berjalan keluar kelas, menuju ke gedung aula.

Di Aula gue dan Malik sama-sama merebahkan badan di pinggir lantai yang dibuat sengaja agak tinggi dari lantai sekitarnya—semacam panggung kecil. Tempat ini memang sering gue dan Malik gunakan saat istirahat kedua untuk merebahkan badan karena jika merebahkan badan di mushola akan mengganggu yang akan sholat dzuhur.

"Ngape Nyet!" Gue bertanya maksud Malik.

"Pir gimana nih Pir?" 

"Pir apaan njir?"

"TAPIR HAHAHAHA." 

"Anyingggg!!!!!"

"Hahaha, serius nih gue gimane?" Tanya Malik.

"Gimane apaan?"

"Anying gue risih njir. Si Dani bilang tiap malem ada ajah yang rusuh di club tongkrongannya."

"Hemmmm…" Gue bergumam.

"Hemmm doang njir!"

"Lo mau ikutin saran gue, gak?"

"Lah bukannya gue dari zaman Belanda udah ikutin saran lo."

"Ada lagi nih."

"Apaan."

"Tapi berat!"

"Apaan yee beg*k!"

"Tapi resikonye gede banget."

"K*nt*l!" Malik mulai sewot.

"Hahahaha, gak gak ini gue serius." Sahut gue bangkit lalu duduk bersila. Malik pun melakukan hal yang sama. "Lo punya kenalan polisi, oknum selain si bangs*t yang kemaren itu yang lo bisa jinakin."

"Maksudnya jinakin?"

"Jadiin anjing lo, lo kasih makan biar die nurut, terus bisa lo suruh gigit orang."

"Yah, mana ada. Ada sih sodara gue ada yang polisi. Tapi mana mungkin, yang ada gue di dor sama Mbah gue."

"Mangkanya gue bilang susah."

"Kalo ijo-ijo gitu bisa gak?" 

"Ijo-ijo kaya Mbah?" Tanya gue.

"Iya. Ajudannya Mbah gue ada tuh yang doyan eleg sama sabu, dia sering gue kasih bahan."

"Dia tau lo jualan?" Tanya gue. Malik menggelengkan kepala.

"Awalnya dia gepin gue lagi jengry. Gue pikir dia bakal laporin gue sama Mbah. Gak taunya dia malah nanya beli di mana terus dia nitip. Abis itu dia sering nitip dan sampe sekarang dia taunya dia nitip ajah padahal itu barang gue."

"Nah lo ajak ae die. Kali die punya kenalan abu gosok yang bisa dijadiin anjing lo." Sahut gue.

"Ngeri gue."

"Yee sigobl*k."

"Entar deh yee gue coba, gue bingung gimane masuk obrolannye." Sahut Malik.

"Ya elah! Gitu ae susah. Kek anak komplek gak pernah nongkrong lo, Nyet." Sahut gue.

"Yee gue emang gak pernah nongkrong sama yang begituan. Kek lo pernah ae."

"Iya sih, hahaha."

"Yee pekok!" Sahut Malik sambil menjitak gue.



Saat pulang sekolah, gue tidak nongkrong seperti biasanya. Gue langsung pulang, menebeng dengan teman gue yang menggunakan motor yang searah dengan rumah gue.

"WOI LALER!" Teriak Malik saat teman gue yang mengendarai motor mulai melaju. Gue hanya mengacungkan jari tengah gue pada Malik.

Di sekolah gue anak-anak yang membawa motor ke sekolah memang akan dipanggil Laler. Gue tidak mengerti mengapa seperti itu, menurut mereka anak-anak yang membawa motor itu katro. Padahal menurut gue tidak juga, anak-anak yang membawa motor ke sekolah juga punua tongkrongan sendiri sepulang sekolah. Urusan nyali juga mereka bisa dikatakan tidak ciut-ciut juga terkadang saat mereka "digebrak" mereka melawan, ya walau lebih sering buyar seperti laler saat digebrak sekolah lain.

Teman gue terus melaju, melewati jalan komplek yang tembus langsung di seberang lapangan blok-s, lalu dia mengambil jalan di samping lapangan, menghindari macet di traffic light Gereja Santa dan keluar di jalan Kapten Tendean.

Sialnya, di depan Tendean Plaza gue melihat segerombolan pelajar. Ada yang berjajar duduk di trotoar, ada yang sedang berdiri berjajar seperti menunggu sesuatu. Teman gue pun berhenti sejenak beberapa meter sebelum lokasi mereka berkumpul.

"Gimane nih Wid?"

"Santai. Jaket lo buka, dibalik ae. Helm pake helm."

"Oke." Sahut teman gue kemudian membalik jaketnya lalu memakai helmnya. "Jaket lo ga dibalik?" Tanyanya.

"Udah selow." Ucap gue sambil mengetik sms untuk Malik, memberi kabar jika ada banyak pelajar lain sepertinya memang sedang menunggu anak-anak sekolah kami.

Lalu motor kembali melaju, teman gue langsung berakselerasi, namun gue menyuruhnya untuk melaju santai saja seperti biasanya. "Santai ajah bawa motornya, kalo ngebut malah jadi bahan perhatian." Ucap gue kemudian di hadapan gerombolan anak sekolah itu gue melompat dari motor, mengeluarkan celurit yang gue bawa di dalam tas, lalu mengayunkannya pada salah satu anak yang sedang jongkok hingga dia terjatuh. 

Setalah itu gue langsung berlari mengejar motor teman gue yang sudah melaju hampir menaiki flyover yang menuju ke trans TV, tentunya gue sambil dikejar banyak orang. Sialnya, bukannya menunggu gue, teman gue itu justru terus melaju. Sehingga terpaksa gue terus berlari menyusuri Fly over ini. "Dasar laler!" Ucap gue dalam hati.

Kejar-kejaran itu tentunya menjadi perhatian banyak orang, gue pun hampir terkejar namun saat berhasil terkejar gue langsung mengayunlan celurit gue pada siapapun yang mencoba menangkap gue.

Beruntungnya, di ujung fly over ada sebuah kopaja. Gue langsung menaiki kopaja itu, seperti mengerti gue sedang dikejar sang kernet menyuruh supir untuk langsung tancap gas.

"Fiuhhh." Ucap gue dalam hati sambil mengelap darah yang menyiprat di tangan dan celurit gue. "Thank you. Lae." Ucap gue pada kernet kopaja ini.

"Yoi, Lae. Anak mana pun itu?" Tanyanya.

"Gak tau, gue mau pulang dicegat." Jawab gue.

"Lah pulang kao sendiri?"

"Berdua, naek motor Lae. Tapi kaburlah tuh manusia."

"Bah, parah kali kawan kao. Untung tak mati kao."

"Iya Lae, untung. Hahaha." Ucap gue dan dalam hati gue tertawa sendiri. Padahal jika saja tadi gue tidak turun untuk menggebrak gerombolan pelajar itu mungkin mereka tidak akan menyadari gue dan teman gue adalah pelajar dari sekolah yang mereka tunggu.

Lalu gue turun di simpang kuningan yang mengarah ke Senayan. Gue lalu menanyakan posisi Malik. "Nih semuanya lagi di jalan nih. Baru sampe Senopati. Lo dimana, Le?"

"Gue di gang gedung cyber, nih. Tadi gue diudak-udak. Hahaha."

"Diudak apa lo sengaja biar diudak, Nyet?"

"Hahahahahahahaha."

"Bangkek, lo! Kalo gitu udah bubar dong?"

"Gak tau, ini mau gue cek."

"Yaudah tiati. Kabarin!"

"Oks."

Gue lalu berhenti di depan gedung cyber. Gue membuka seragam gue. Membalik jaket gue, lalu membeli rokok di warung. Kemudian gue berjalan santai dari Gedung Cyber hingga tembus di perempatan Mampang. Di sana gue melihat polisi sudah siaga, sepertinya karena ulah gue tadi polisi yang ada di pos pol di dekat trans TV keluar.

Gue pun duduk di salah satu warung yang ada di sini. Gue duduk di samping polisi lalu lintas yang sedang beristirahat. Sambil mencomot gorengan gue pun mencuri dengar.

Dari curi dengar itu gue mendapati jika anak sekolah yang tadi masih berada di depan kantor pos Tendean dan ada pula polisi yang ditugaskan untuk mencari Kopaja yang gue tumpangi tadi, intinya ada polisi mencari gue. 

Gue pun senyam-senyum sendiri, dalam hati gue tertawa dan berteriak jika pelajar yang mereka cari ada di samping mereka. "Hahahaha." Gue tertawa dalam hati. Namun ada sejujurnya gue sedikit kesal saat gue mendengar percakapan ini.

Polisi1: "Masih ada anak-anak sekolah di depan kantor pos."

Polisi2: "udah biarin ajah, nanti kalo udah kejadian baru sergep. Kalo sekarang belom basah banget."

"Oh berarti elu kerja lo kalo udah kejadian ajah, yah. Gak ada tindakan mencegah! Kambing!" Ucap gue dalam hati saat mendengar percakapan itu.

Lalu beberapa saat kemudian, gue melihat kondisi di atas fly over tendean arah trans TV tidak ada mobil yang melintas. Gue pun mencolek bapak polisi yang ada di sebelah gue. "Pak kayanya ada tawuran deh. Tuh di atas gak ada mobil." Ucap gue bersamaan dengan suara dari HT milik polisi yang melaporkan hal yang sama.

Polisi itu lalu bergegas ke motornya yang diparkir di belakang kami, diatas trotoar. Lalu melawan arah menuju ke tempat kejadian perkara. Sementara gue, setelah membayar apa yang gue makan. Gue pun berjalan santai, sambil memasang earphone di telinga serta menyalahlan lagu dari pemutar MP3 gue.



Di depan sana, gue melihat pelajar berseragam putih abu-abu dan di hadapan mereka terdapat pula pelajar dengan celana berwarna biru dongker persis seperti yang gue kenakan. Kedua kelompok pelajar itu saling lempar batu, kayu dan apapun yang ada di hadapannya. Ada juga beberapa pelajar yang berada di depan masing-masing barisan, menantang sambil memutar-mutar senjata tajam yang mereka bawa.

Sementara kedua polisi yang gue temui tadi, mereka hanya sibuk berdiri di belakang sambil sibuk dengan HT-nya. Tak lama berselang suara sirine mobil polisi terdengar, suaranya makin nyaring mendekat dari arah belakang kerumunan teman-teman satu sekolah gue. Barisan teman-teman gue pun terbelah, mobil polisi menerobos ke tengah-tengah arena. Namun setelah mobil polisi itu lewat, teman-teman gue kembali merapat.

Mereka tak gentar hanya dengan satu mobil polisi, mereka terus menantang. Sementata kelompok pelajar lain terpaksa mundur. Pun mereka tak begitu saja lari membubarkan diri. Mereka hanya mundur hingga hanya berjarak beberapa meter dari tempat gue berdiri. Karena takut ada yang mengenali, gue pun sedikit mundur dan bersembunyi di kerumunan orang-orang yang menyaksikan aksi tawuran ini. 

"PAK TEMEN KITA KEBACOK SAMA MEREKA, PAK!" Teriak salah satu pelajar yang mengenakan seraham putih abu-abu saat polisi dari dalam mobil yang menerobos itu keluar.

Sementara dua polisi yang tadi pun masuk ke kerumunan pelajar itu. Para pelajar yang berseragam abu-abu itu bersikukuh meminta keadilan atas teman mereka yang terbacok. Ya teman mereka yang gue bacok.

Gue hanya tertawa kecil saat mendengar mereka berteriak seperti itu. Menurut gue itu hal yang lucu. Bagaimana tidak, mereka pasti berniat menyerang terlebih dahulu, namun saat dipihaknya ada korban. Mereka meminta keadilan.

"Playing victym!" Ucap gue dalam hati.

Di tengah itu semua, gue mendengar suara Ucok yang menggelegar. Dia berhitung, sepertinya memberikan kode. Saat hitungan sampai di angka 3, seperti air yang menerjang teman-teman gue berlarian menuju kelompok pelajar yang ada di hadapan gue ini.

Sontak hal itu membuat panik polisi yang ada di tengah-tengah kerumunan, mereka langsung menepi ke trotoar, berdiri di depan gue. Salah satunya berbicara dengan seseorang melalui HT untuk dikirimkan lagi personel karena kondisi semakin tak kondusif. 

Sebagian pelajar berseragam abu-abu ada yang lari meninggalkan arena tawuran. Sebagian melawan. Tawuran kini terjadi benar-benar di hadapan gue sehingga kerumunan orang yang menonton pun berhamburan menyelamatkan diri menghindari lemparan batu, beling atau apapun itu.

Gue pun melakukan hal yang sama, gue merangsek di tengah-tengah orang-orang yang berhamburan panik yang sudah bercampur pula dengan sebagian pelajar berseragam putih abu-abu. 

Tatkala satu orang pelajar itu berlari tepat satu langkah didepan gue. Gue berhenti sambil mengambil sesuatu dari dalam tas. Karena langkah gue yang berhenti mendadak, gue tertabrak orang yang berlari di belakang gue hingga gue sedikit terdorong ke pelahae yang ada di depan gue.

"AAAAAAAAAAAA!" Pelajar di depan gue berteriak. Gue terus berjalan mengikuti kerumunan orang sambil memasukan tangan gue ke dalam tas. Lalu kerumunan orang masuk ke dalam jalan yang menuju ke gedung cyber yang sudah diportal oleh kemanan setempat. Kerumunan orang, berserta gue pun berhenti saat melintasi portal melihat kembali aksi tawuran ini.

"Ehh itu ada yang jatoh tuh!" Ucap salah satu orang melihat ada pelajar yang terjatuh beberapa meter dari tempat kami berdiri. Gue pun sedikit mundur beberapa langkah, mengelap tangan gue pada bagian dalam tas.

Kerumanan orang ini pun berteriak-teriak memanggil polisi memberi tahunya jika ada seorang pelajar tergeletak. Polisi itu menghampiri pelajar yang tergeletak itu, kemudian memeriksa kondisinya lalu bergegas meminta beberapa orang yang ada di kerumunan ini membantunya.

Salah satu (mungkin) warga atau tukang ojek pangakalan disini  lalu menghampiri, setelah itu dia bergegas mengambil motornya yang terparkir disamping portal. Lalu bersama polisi itu dia membawa pelajar yang tergeletak itu, sepertinya kerumah sakit.

"Masih idup!" Ucap gue dalam hati.

Tawuran benar-benar bubar saat personel polisi lain datang. Ada 5 mobil polisi dan satu truk, gue melihat ada banyak teman-teman gue yang tertangkap. Ucok dan Malik salah satunya. Setelah itu gue pun melangkah pulang menggunakan kopaja yang biasa gue gunakan untuk berangkat.

Gue tidak langsung pulang ke rumah, gue menuju ke bengkel kereta api terlebih dahulu. Gue mengeluarkan buku-buku gue, merobek kertas demi kertas, menyulut api pada robekan kertas, lalu gue membakar habis tas gue. Tidak lupa gue juga mengubur celurit serta mata panah yang sedari tadi gue letakan di dalam tas.

Setelahnya gue pulang, gue mebersihkan diri gue. Lalu merebahkan badan sambil mendengarkan radio. Dan dari siaran radio itu gue mendengar sebuah berita bahwa sore ini telah terjadi tawuran pelajar di Jl.Tendean yang mengakibatkan satu korban jiwa. Korban diduga terkena panah yang telah diberi racun. Polisi sudah mengamankan beberapa pelajar yang terlibat tawuran dan masih mencari pelaku yang mengakibatkan satu korban jiwa melayang.

Gue langsung mematikan radio, gue mengambil MP3 player, menggunakan headset, gue mendengarkan lagu sambil memejamkan mata. 



Gue bangun keesokan harinya, sebelum subuh. Bu Dewi membangunkan gue. Beliau bertanya perihal kejadian tawuran itu. Gue tidak tahu dari mana Bu Dewi tahu itu.

"Kamu gak ikutan kan, Le?" Tanya Bu Dewi.

"Engga, Buk. Orang Tole ajah pulang nebeng sama temen naik motor, kemaren."

"Beneran?"

"Sumpah, Bu! Kemaren Tole nebeng, sama temen."

"Yaudah, Ibu percaya. Semalem, Isya Ibu dapet kabar dari wali kelas kamu. Dia nanya kamu ada di rumah apa engga. Semalem ibu longok kamu udah tidur."

"Nah kan."

"Iya, Le. Yaudah bangun, Subuh."

Gue berangkat sekolah seperti biasanya namun seorang diri. Gue tidak tahu kemana teman-teman gue yang lain. Sesampainya di sekolah, banyak teman-teman gue yang membahas keseruan kejadian kemarin.

"Wid, ah lo kemaren kemana gak ikut?" Tanya temen sekelas gue.

"Ahh sial, gue kemaren langsung pulang, sih. Seru yah? Siapa ajah yang ketangkep?"

"Banyak ada 15 orang "

"Wih banyak! Gimana tuh yah nasibnya?"

"Auk deh." Teman gue menggelengkan kepala lalu beranjak ke toilet katanya. Sementara di sudut lain gue melihat teman gue yang kemarin meninggalkan gue, dia menatap gue seperti takut.

Gue hanya meletakan telunjuk di depan bibir gue."ssshhhh." Gue memberinya kode untuk tetap diam lalu gue meletakan jari gue di leher. Dia menganggukan kepala.

Tidak lama suasana kelas makin gaduh dan kabar beredar, jika Ucok dan beberapa kakak kelas gue dikeluarkan dari sekolah. "Anjrit! Serius lo! Malik gimana Malik?" Tanya gue.

"PAAAN NYET!" Teriak Malik dari balik jendela.

"Huuh gue baru mau seneng dapet kabar lo di DO. Eh dia nongol. Hehehe."

Malik hanya merespon dengan mengacungkan jari tengahnya ke arah gue.



Suara adzan magrib berkumandang, seolah memenuhi langit dengan resonansi suara yang begitu mengetarkan. Gue menatap ke ujung cakrawala tempat Matahari baru saja meninggalkan jejak jingga. 

Siang tadi Nata tiba-tiba menghubungi, mengajak gue untuk bertemu sore ini. Dan di sini, di tempat mata gue dan Nata sama-sama menyaksikan bagaimana senja menanggalkan kemewahannya untuk menyambut kegelapan malam tiba.

Entah mengapa gue merasa sore ini berbeda, diantara gue dan Nata terdapat kecanggungan yang tidak biasa.

"Gue baca berita, tawuran sekolah lo. Bukan lo, kan?" Tanya Nata sambil menghisap dalam rokok yang diselipkan di jarinya.

"Gue masih di sini. Ya, berarti bukan gue, kan?"

"Pertanyaan gue kan bukan itu!"

"Ya bukan gue."

Nata diam dia menatap gue, dia tersenyum aneh. Dia tersenyum seperti orang yang mengetahui jika seseorang dihadapannya sedang membual. "Lo gak percaya sama gue?" Tanya gue.

"Sulit."

"Sulit?" Tanya gue heran.

"Akhir-akhir ini gue banyak dapet laporan soal kelakuan lo. 

"Kelakuan gue?"

"Awalnya gue gak percaya. Tapi Karina ngeliat sendiri dan dia sampe takut."

"Ini maksudnya apa, sih?"

"Le, kayanya ada yang salah sama lo, Le!? Entah lo sadar apa engga. Tapi ini lo selalu nikmatin setiap kali lo aniaya orang."

"..."

"Karina ngeliat gimana lo mukulin orang sambil senyum puas banget! Dan Gladys…"

"Gladys?"

"Iya, gue udah ketemu dia. Karina ngajak gue ketemu sama dia biar gue denger sendiri dari dia."

"Denger apaan?" Tanya gue.

"Lo ada kecenderungan psikopat!"
kakangprabu99
MFriza85
joyanwoto
joyanwoto dan 38 lainnya memberi reputasi
39
Tutup