Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"



Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
220.1K
1.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#192
Part 37-c
Sekitar lebih dari setengah jam gue tiba di tempat sebelumnya Alodya menjemput gue. Tepat di belakang mobil Karina gue menghentikan laju mobil yang gue kendarai lalu turun yang kemudian Alodya berpindah ke kursi kemudi. 

"Alo, tiati, yah." Ucap gue pada Alodya yang membuka kaca jendela. Di saat yang bersamaan gue menyadari Karina juga membuka jendela kaca mobilnya dan melihat gue dari kaca spionnya.

"Iya, sayang. Kamu nanti langsung tidur, yah. Awas ajah kalo kamu malah pergi keluar lagi!" Ucap Alodya sedikit mengeraskan volume suaranya.

Gue hanya tertawa menanggapinya, lalu gue sedikit mundur untuk memberikan Alodya celah untuknya melajukan mobilnya. Dan gilanya, Alodya langsung begitu saja melaju dengan akselerasi yang gue rasa itu sudah maksimalnya mobil itu.

"Hahaha, gila." Ucap gue dalam hati sambil melangkah mendekati mobil Karina. 

Karina turun dari mobil saat gue mendekati mobilnya. Dia langsung berjalan ke sisi kursi penumpang, tanpa berkata sepatah katapun dia masuk kedalam mobilnya. Gue hanya menggelengkan kepala lalu masuk ke dalam mobilnya di kursi kemudi. Ada sedikit yang aneh pada Karina, dia mengenakan kacamata. Hal yang rasanya jarang sekali gue lihat.

Gue pun langsung melepaskan kacamata yang dia kenakan, dan terlihat jelas setelahnya mengapa ia mengenakan kacamata. Matanya sangat sembab, jelas sekali seharian ini dia habiskan untuk menangis.

"Nangis berapa lama, lo?" Tanya gue.

"Itu tadi Alodya anak satu sekolahan gue bukan, sih?"

"..." Gue diam sambil memandangnya tajam.

"Iyaaa Tole, gue nangis berjam-jam. PUAS!?" 

"Hahahaha." Gue tertawa sambil menyalakan mesin mobil.

"Pertanyaan gue, gak lo jawab?"

"Yes, She is."

"Kok lo bisa kenal dia? Kenal di mana?"

"Yah bisalah, emang gue gak boleh ngecengin cewek-cewek di sekolah lo?"

"Lo udah berapa lama jalan sama dia? Kok gue gak pernah tau, yah?" 

"Waah jadi ini seputar gue nih? Bukan lo sama Nata?"

"Ya emang gue kesini buat lo, Le. Bukan buat gue, bukan buat Nata juga."

"Waw. Thank you mamat! But it's oke. I'm good by the way." 

"Le, gue kenal lo bukan kemaren, loh. Gue minta maaf banget soal siang tadi. Sumpah, gue gak tau kalo lo juga…"

"Karinaaa, it's oke. Gue ngerti kok. Toh gue juga gak marah."

"Iya gue tau lo gak marah. Tapi gue ngerasa gak adil ajah sama lo, Le. Selama ini lo selalu ada buat gue, buat hubungan gue sama Nata. Bahkan lo ngorbanin perasaan lo buat gue sama Nata…"

"Karina, lo gak ngajak gue ketemuan cuma buat nyari pelarian, kan?" Sambar gue.

"Kalo bisa begitu gue mau, Le. Sayangnya-sayangnya, kan. Terlalu banyak yang disayangkan kalau gue sama lo cuma lari-larian."

"Hahahaha."

"Gue serius, Le. Gue ngerasa gue gak adil. Harusnya saat ini gue temenin lo, harusnya kita semua ada disamping lo buat lewatin semua ini."

"Gue gak kenapa-napa, Karina. Look! Apa gue keliatan kaya orang yang baru ajah patah hati? Toh harusnya gue yang minta maaf. Harusnya juga gue ada saat ini buat lo. Karena lo juga lagi ngerasain hal yang sama. Bahkan lebih berat gue rasa."

"Ya memang seharusnya lo minta maaf, sih. Lo harus minta maaf karena udah nyembunyiin perselingkuhan Nata sama cewek sialan itu."

"Oke-oke, gue minta maaf. Tapi sebelumnya gue gak pernah nyembunyiin itu yah. Gue pun baru tau itu tadi pagi."

"Ya sama ajah, kan? Pagi ketemu siang ada jeda waktu beberapa jam. Dan lo dalam beberapa jam itu lo engga ngasih tau gue apa-apa "

"Damn! Hahahaha. Oke sorry sorry sorry! Gue minta maaf kalau dalam beberapa jam gue udah nyembunyiin itu semua."

"Yaudahlah, Le. Lupain."

"Terus, lo sama Nata?"

"Ini kesempatan terakhir, Le. Maaf gue yang terakhir buat dia…"

"Jangan ngomong gitu, ah. Serem sumpah. Lo tau gak, di kepala gue itu cuma ada hal buruk kalo lo bener-bener putus sama Nata." Sambar gue.

"Ya terus? Apa gue harus terus terima ajah tiap kali dia selingkuh? Gila! Gue juga bisa capek, Le!"

"Iyasih. Yaa semoga Nata gak berulah lagi yah, Bu?"

Hening menyelinap sesaat di antara gue dan Karina. Gue bingung harus berkata apa lagi, gue hanya bisa berharap Nata tidak lagi berulah. Karena seperti yang gue katakan, di kepala gue sama sekali tidak ada kemungkinan baik jika hubungan Karina dan Nata benar-benar kandas. Dalam kalkulasi di otak gue jika hubungan mereka kandas hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi, Nata akan menjomblo selamanya, atau Karina yang akan berbuat nekat senekat-nekatnya orang yang putus asa. Tapi tentunya gue berharap jika kalkulasi gue salah!

"Le, maaf yah." Ucap Karina.

"It's oke, Karina. It's oke."

"Bukan itu. Maaf bikin lo jadi figuran di hidup sendiri." 

"Hahahaha, onta comel! Onta comel. Gue bercanda, Bu! Abdul lo dengerin."

"Ya walaupun lo bercanda. Tapi ucapan lo itu sedikit banyak nyentil kita semua, Le."

"Hahahaha, sorry-sorry. Aseli gue cuma bercanda kok itu. Gue ngelakuin ini seneng dan emang gue mau. Lagi pula cuma itu kontribusi yang bisa gue lakuin. Gue cuma bisa ngasih waktu, telinga, pundak, tenaga…"

"Itu segalanya, Le!" Sambar Karina.

"Apa iya-iya? ginilah, gue sama sekali gak ngerasa terbebani, terugikan, atau ter ter ter negatifkan lainnya ngelakuin itu semua. Dengan senang hati gue ngelakuinnya. Udah ah, ini percakapan apa sih. Sebel deh gue kalo lo begini! Gak usah feeling guilty gitu sama gue Karina. I'm good!"

"Ya tapi kenyataan kalo saat ini hati lo lagi sakit gak bisa dipungkiri, kan?"

"Iyaa, but is oke. Gue terimakasih kalo lo ngajak gue ketemuan karena itu atau mau maki-maki gue soal Nata, gue terima. Tapi gak perlu lah lo dateng karena ngerasa gak enak sama gue atau semacam prosesi timbal balik karena selama ini gue selalu ada buat lo atau apalah yang menyebalkan itu. Karena gue enggak pernah ngeitung semua dan menurut gue itu bukan hal yang harus diitung. Toh suatu hubungan, apapun, kalo udah mikir itung-itungan. Gue rasa itu bukan suatu hubungan yang sehat."

"Lo tau, gak. Le!"

"Enggak!"

"Ishh… kalo lagi begini yah. Gue berharap ada tombol undo yang bisa balikin semua tulisan yang udah ditulis di lembaran takdir balik lagi ke posisi awal sebelum gue jadian sama Nata. Terus gue tulis ulang yang isinya nama lo sama gue ajah."

Gue tersenyum, mungkin dalam hati juga gue berharap seperti itu. Namun saat bersamaan gue seperti mendapat sebuah formula baru yang mungkin saja bisa diterapkan suatu saat nanti di waktu genting. "Keep it, Kar! Pertahanin pikiran konyol itu, mungkin ajah pikiran konyol itu bisa nyelametin hidup lo nanti." Ucap gue dalam hati.

"Dia bengong. Berharap sama, yah?" 

"Haah? Hahahaha. Kalo beneran ada, mungkin gak gue pencet. Tapi gue teken terus sampe lembaran itu kosong se kosong kosongnya." Sahut gue.

"Le, lo tau gak apa yang bikin gue suka sama lo?"

"Ya tau dong! Gue ganteng begini mana ada cewek yang gak suka sama gue."

"Hahahahah, makin-makin jago branding sekarang yah, hahaha."

"Harus dong!"

"Hahahaha, lo tuh keliatannya ngasal tapi sebenernya ucapan lo itu dalem. Lo santai tapi engga lalai. Lo mungkin terlihat seperti orang yang menilai hidup ini cuma-cuma, tapi disaat yang bersamaan lo juga nunjukin kalo hidup ini penuh makna. Lo itu magis! Lebih ke mistis kali yah."

"Sialan lu!"

"Serius gue. Sekarang gini deh. Gue jujur ajah, lo itu satu-satunya orang yang bisa bikin orang ragu dan yakin dalam waktu yang bersamaan."

"What what what? Gimana ceritanya tuh ragu dan yakin dalam waktu yang bersamaan?" Tanya gue.

"Bingungkan lo? Yah sama, gue juga bingung. Karena itu yang gue rasain sama lo dan gue yakin cewe-cewe di luar sana yang kenal sama lo juga ngerasain hal yang sama kaya apa yang gue rasain. Tapi karena itu juga yang pada akhirnya selalu timbul rasa penasaran dan terus penasaran yang ujung-ujungnya rasa penasaran itu menjelma jadi sebuah rasa pengen terus bersama."

"Hahahaha, kayanya lo udah mulai ketularan Nata deh, Bu!" Sahut gue.

"But this is fact! Melodi juga pernah bilang begitu sama gu… hehehe. Sorry, Le."

"Apa sih. Udahlah biasa ajah. Gue emang sakit hati ngeliat Melodi sama cowo lain. Tapi bukan berati eksistensi dia di hidup gue harus diapus, kan?"

Karina hanya tersenyum. "Aaaa by the way. Ini kita kemana, yah?" Tanya gue yang sedari tadi hanya terus melajukan mobil mengikuti jalan yang ada di depan gue saja.

"Puncak yuk." Sahut Karina.

"Gila! Sekolah besok!"

"Yah pulang nanti jam 2 atau jam 3. Pokoknya sampe lagi Jakarta sebelum subuh, gimana?"

"Gak ah, anjrit! upacara nanti gue ngantuk."

"Le… please…"

Gue hanya menggelengkan kepala, susah buat gue menolak permintaanya jika Karina sudah memasang ekpresi memelas. Lagi pula gue mengerti mungkin Karina saat ini juga butuh "udara segar". Pun sebenarnya gue juga demikian, hati yang rasanya tergores cukup dalam harus ditiup-tiup supaya perihnya hilang.

Namun setelah berbelok di simpang Pancoran, berniat masuk ke pintu tol dalam kota. Tepat di ujung fly over, gue dan Karina melihat sepasang remaja tengah bertengkar. Pose yang kami lihat, si lelaki sedang menjambak rambut perempuannya yang masih terduduk di atas motor dan seraya mobil yang gue kendarai melintas tepat di sampingnya. Di pisahkan separator yang membatasi jalur jalan dengan jalur flyover, lelaki itu menampar perempuannya. Dan sepertinya cukup keras.

"Berenti, Le!" Ucap Karina. Sontak gue menghentikan laju mobil dan Karina hendak turun dari mobil. Namun gue menahannya.

"Ngapain, sih? Bukan urusan kita, Karina." Sahut gue karena gue mengerti Karina pasti akan menghampiri pasangan itu.

"Lo gak liat, Le? Gila yah tuh cowo nampar cewenya, Le!" 

"Iyah gue liat, tapi itu bukan urusan kita, Karina. Itu urusan mereka berdua. Kita siapa?" 

"Yaudah terserah lo kalo lo ngerasa itu bukan urusan lo. Tapi gue gak bisa liat cewek diperlakuin kaya gitu." Ucap Karina lalu turun dari mobil.

Gue hanya menghela nafas saat Karina turun dari mobil, sebentar gue memperhatikan langkah Karina yang menghampiri pasangan itu. Lalu gue turun dari mobil, menyulut sebatang rokok dan hanya melihat mereka saja, gue berdiri bersandar pada mobil.

Beberapa pengendara menurunkan kecepatannya, seperti ingin tahu apa yang terjadi. Membuat gue sedikit malu akan hal itu. Beberapa lainnya tak peduli, dan menyebalkannya suara klakson mereka yang merasa lajunya terhenti karena pengendara-pengendara yang menurunkan kecepatannya benar-benar mengganggu telinga. Jadi bukan hanya sedikit malu, gue pun merasa sedikit kesal.

"Karina ngapain, sih!" Protes gue dalam hati.

Lalu gue melihat perempuan itu turun dari motor dan seperti berlindung di belakang tubuh Karina. Gue benar-benar tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dengan baik. Yang gue dengar hanya laki-laki itu setengah berteriak pada Karina untuk tidak ikut campur.

Laki-laki itu lalu mencoba meraih perempuan itu, Karina menghalanginya dan perempuan itu menangis, sepertinya meminta tolong pada Karina. Kemudian laki-laki itu menggunakan tenaganya untuk meraih perempuan itu sehingga Karina sedikit terhempas dan hampir terjatuh.

Melihat hal itu perlahan gue melangkah mendekat. Gue melihat sebuah gerakan laki-laki  itu yang sigap untuk memukul kembali perempuannya, saat tangan lelaki itu sudah mengayun ke arah perempuan itu disaat yang bersamaan Karina kembali menghalanginya sehingga tangan lelaki itu mengenai wajah Karina cukup keras.

"Anj*ng!" Gue langsung menerjang laki-laki itu dari belakang hingga dia terjatuh, gue langsung menghajarnya berkali-kali.

Segelap itu sebuah kemarahan?
Sehingga kekerasan dibenarkan
Sebodoh itukah sebuah perasaan?
Sehingga memaklumi diri tak dimanusiakan




Namanya (sebut saja) Gladys. Itu saja yang gue tau tentang perempuan yang baru saja mendapat kekerasan fisik dari lelaki yang sepertinya pacarnya. Walaupun setelahnya gue dan Karina sepakat untuk mengantarnya pulang, namun gue enggan untuk menanyakan hal lain selain nama dan kemana gue harus mengantarnya.

Pun dengan Karina dia hanya diam sepanjang perjalanan, sepertinya dia masih syok dengan apa yang terjadi. 

Setelah tiba di sebuah kawasan pemukiman yang didominasi rumah-rumah besar nan mewah, sesuai arahan Gladys, gue berhenti di depan rumah berpagar hitam, dengan halaman yang luas, pencahayaan yang baik, bangunan rumah yang bergaya mediterania, "Mewah!" Pikir gue dalam hati.

 "Di sini?" Tanya gue.

"Iyah." Jawab Gladys suaranya masih sedikit serak. Lalu dia sedikit merapikan penampilannya yang agak sedikit berantakan kemudian dia turun. Saat dia sudah di luar mobil, Gladys mengetuk kaca jendela di samping gue.

"Gue boleh minta kontak kalian, gak?" Tanya Gladys.

Gue menoleh ke arah Karina, dia masih diam termenung seolah tidak menggubris ucapan serta permintaan Gladys. Lalu gue memberikan sebuah senyum pada Gladys, tanpa menggubris permintaannya gue langsung berakselerasi dengan mobil yang sedang gue kemudikan ini.

"Kayanya udah gak mungkin yah ke puncak." Ucap gue. Namun Karina masih saja terdiam.

Akhirnya gue memutuskan untuk melajukan mobil ke arah rumah Karina. Toh dari daerah ini, rumah Karina yang berada di kawasan Bintaro tidak begitu jauh. Dan gue bisa pulang sendiri nantinya dari sana, entah menggunakan apa karena gue ragu masih ada kendaraan umum. 

"What a day! Damn!" Gerutu gue dalam hati.

Sesampainya di rumah Karina, gue mengantar Karina hingga ke dalam rumah. Kondisi Karina yang masih syok pun menjadi pertanyaan yang harus gue jawab pada Mami dan Daddy-nya Karina. Gue menceritakan detail kejadiannya, orang tua Karina pun mengerti. Setelahnya gue pamit.

Daddy-nya Karina sempat menawarkan diri untuk mengantar gue pulang. Namun tawaran itu gue tolak secara sopan dan tentunya gue sedikit berbohong pada Beliau jika Abdul akan menjemput gue. 

Sepanjang berjalan menyusuri trotoar menuju keluar perumahan rumah Karina tinggal, dalam hati gue terus menggerutu sendiri atas sikap Karina yang sok heroik itu. Bagaimana tidak, jika saja tadi kami tidak mempedulikan pertengkaran sepasang kekasih itu mungkin saat ini gue tidak harus berjalan kaki seorang diri seperti ini.

"Haaah menyusahkan." gerutu gue dalam hati saat langkah gue sudah sampai di jalan raya utama kawasan ini.

Gue berhenti sejenak di sebuah warung, membeli sebungkus rokok dan segelas air mineral. Gue juga menanyakan pada empunya warung apakah masih ada angkutan umum saat ini. Namun jawaban pemilik warung itu sama sekali tidak melegakan hati gue, "Kalo saya bilang masih ada, takutnya udah engga ada. Tapi biasanya sih ada barang satu dua, Dek. Terakhir. Tapi saya takut salah, mending anggap ajah udah gak ada, deh. Emang adek mau pulang kemana?"  

"Deket, sih. Sudimara. Yaudah, makasih Pak." Jawab gue.

"Oh, naik ojek ajah depan sana kayanya masih ada yang mangkal jam segini." 

"Iyah, Pak. Saya coba."

Lalu gue melanjutkan langkah, namun baru beberapa meter gue melangkah. Gue melirik pada sebuah mobil BMW M3 Couple yang baru saja berhenti beberapa meter di depan gue. Dalam hati gue berdecak kagum pada generasi ke 4 dari BMW M3 ini. Gue sering membaca membaca artikel tentang mobil teranyar dari pabrikan asal Jerman itu sambil membayangkan bagaimana rasanya mengemudikan mobil itu dalam kecepatan tinggi.

"Khayalan babu." Ucap gue dalam hati, terkekeh sendiri.

Gue semakin berjalan mendekati mobil itu, semakin gue terkagum dengan mobil itu. Namun tidak ingin gue terlihat "norak" saat langkah gue sampai di depan mobil itu, gue mengalihkan pandangan gue dari mobil itu. 

"Heeeyy hay!" Panggil seseorang perempuan yang tiba-tiba keluar dari dalam mobil itu saat gue berjalan di sampingnya.

"Gladys?"
Diubah oleh nyunwie 07-04-2021 08:46
MFriza85
joyanwoto
noejbr
noejbr dan 37 lainnya memberi reputasi
38
Tutup