Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
Jalan Sunyi Di Balik Tembok Jakarta
Gue memejamkan mata dan meresapi suara angin yang beradu dengan rimbunnya dedaunan sebuah pohon besar di samping gerbong kereta yang sudah terbengkalai. Seperti alunan musik pengantar tidur; desiran angin membuat perlahan demi perlahan kesadaran gue melayang, menembus ruang tanpa batas, ke sebuah dimensi yang tidak beruntas.

"Woy mao magrib! PULANG!" Suara anak perempuan kecil membuyarkan semua mimpi yang rasanya baru saja dimulai.

"Ah, resek lo Ai! Gue baru mau tidur!" Gerutu gue.

"Baru mau tidur dari hongkong! Lo tidur dari siang, Tole!!!"

"Haaah!?"



Quote:



Itu salah satu pengalaman gue hampir dua dekade lalu. Di saat gue masih sering tidur siang di atap 'bangkai' kereta, di sebuah balai yasa (Bengkel Kereta) milik perusahaan plat merah yang saat itu masih bernama PT. KA. Untuk menghindari amukan 'Babeh' yang disebabkan karena gue membolos ngaji. Sebuah pengalaman, karena sebab dan lain hal, yang sudah pasti tidak akan pernah bisa terulang lagi.

Oh iya, Nama gue Widi, jika itu terlalu keren; karena gue yakin kata pertama yang keluar dari lidah lo saat menemukan sesuatu yang keren itu adalah Anjay atau Widiiiiii... (krik). Maka you can call me, Anjay. Wait, lo bakal gue gebuk kalo manggil gue Anjay atau Anjayani. So, cukup panggil gue Tole.

"Iya, Anjay... Eh, Tolee."

emoticon-Blue Guy Bata (L)
Gue seorang laki-laki tulen, yang masih masuk dalam golongan Generasi Milenial. Seorang laki-laki keturunan (Sebenernya) Jawa, tapi karena dari gue nongol dari rahim Ibu gue sampe sekarang rasanya gue udah nyatu sama aspal jalanan Ibu Kota maka secara de jure gue menyatakan gue ini anak Betawi. Yang protes gue sarankan segera pamit baik-baik dan siapin surat wasiat!

Sekali lagi gue tegaskan, kalau gue lahir dan besar di Jakarta. Konon Bapak gue menghilang saat gue dilahirkan, sampai usia gue menginjak satu tahun bokap gue di temukan meregang nyawa dengan penuh luka di kali dekat rumah gue sebelum akhirnya meninggal dunia saat hendak di larikan ke rumah sakit. Semenjak saat itu gue hanya tinggal berdua dengan Ibu. Tunggu, lebih tepatnya gue memang sudah sejak lahir tinggal hanya bersama Ibu gue.

Hanya sedikit kenangan tentang Ibu di kepala gue. Sejauh-jauhnya gue mencoba mengingat, hanya Ibu gue yang selalu mengantar gue hingga depan sekolah sebelum akhirnya menjajakan 'permen sagu' dan mainan balon yang sebenarnya mempraktekan bagaimana hukum kapilaritas bekerja. Hanya sebatas itu ingatan gue pada Ibu, karena Ibu harus 'berpulang' pada Semesta sebelum gue mempunyai kemampuan mengingat suatu kejadian secara mumpuni di dalam otak gue. Ya, Ibu gue meninggal di saat gue masih 7 tahun setengah atau di pertengahan kelas 1 yang mana harus membuat gue hidup sebatang kara di tengah "kerasnya" kota Jakarta.

Gue tidak mempunyai keluarga dari Bapak. Konon Bapak gue adalah anak semata wayang dan Konon (lagi) Kakek dari Bapak gue meninggal akibat PETRUS, sedangkan Nenek dari Bapak gue meninggal beberapa bulan setelah Kakek gue.

Satu-satunya keluarga gue hanya Kakak dari Ibu gue, sebut saja Bude Ika. Beliau tinggal di Kota Kebumen Jawa tengah bersama (sebut saja) Pakde Nyoto, suami beliau. Dan mereka mempunyai 3 orang anak yang terdiri dari 2 perempuan dan satu laki-laki. Yang dalam artian sebenarnya gue masih memiliki keluarga, tapi...

Saat Ibu meninggal gue belum mempunyai kemampuan otak yang mumpuni untuk menggambarkan bagaimana isi hati gue saat itu. Namun yang bisa dipastikan saat itu gue menangis dalam waktu yang sangat lama, lama sekali!

Dan konon... (Ahh, semoga lo engga bosen denger kata konon, karena memang gue belum punya kemampuan yang untuk merekam dengan sempurna suatu kejadian di dalam otak gue saat itu. Yang gue tuliskan saat ini hanya berdasarkan cerita sepuh sekitar tentang saat itu.) ... Setelah Ibu meninggal gue diboyong ke Kebumen oleh Bude dan Pakde, tapi saat itu gue hanya bertahan semalam dan "membandel" kembali lagi ke Jakarta seorang diri.

Lo mau tau alasan gue membandel balik lagi ke Jakarta? Cuma karena takut! Ya, Takut! Untuk hal ini gue bisa mengingat hal itu. Gue takut buat tinggal di rumah Bude di kebumen. Jangan lo pikir gue takut menyusahkan atau takut merepotkan. Come on! Gue masih 7 setengah tahun saat itu mana mungkin gue berpikir seperti itu. Yang gue takutin cuma satu hal, SETAN! Ya karena tempat tinggal Bude di Kebumen (saat itu) masih banyak perkebunan dengan pohon-pohon yang besar. Ditambah kamar mandi untuk keperluan mandi dan buang air di rumah Bude berada terpisah dari bangunan utama rumah; Gue harus melewati deretan pepohonan besar terlebih dahulu sebelum sampai ke kamar mandi. Hal itu membuat gue takut untuk tinggal di sana, di rumah Bude.

Apa lo mau sekalian nanya gimana cara gue balik ke Jakarta seorang diri? Oke, jangan teriak, yah. Gue jalan kaki menyusuri rel dari Kebumen sampai Jakarta!

Kalo dipikir-pikir sekarang, kenapa yah saat itu gue engga naik kereta. Toh saat itu kereta belum seperti sekarang. Dulu pengamen sama pedagang asongan masih boleh berkeliaran di dalam kereta. Tapi kenapa gue malah jalan kaki, yah? Kan justru kesempatan buat ketemu setan-nya makin gede.

Yah, anak 7 tahun, Boss. 7 TAHUN! Mana ada kepikiran isi botol yakult pake beras terus ngamen. Itu baru kepikiran setelah akhirnya Bude dan Pakde nyerah karena kelakuan gue; tiap kali dijemput tiap itu juga gue bandel balik ke Jakarta. Sampai akhirnya gue dititipin sama Babeh, seorang sesepuh di daerah rumah gue tinggal yang juga akrab sama Almarhum Bapak semasa hidupnya.

Babeh ini sebenarnya seorang guru ngaji, tapi paling ogah dipanggil ustadz. Maunya dipanggil Babeh. "Babeh bukan ustadz cuma ngenalin anak-anak baca tulis Al-Qur'an doang. Ga pantes dipanggil ustadz apalagi kiyai" Salah satu omongan Babeh yang selalu gue inget. Tapi memang benar, setiap sore Babeh ngajar anak-anak kecil usia-usia sekolah SD baca tulis Al-Qur'an, mentok-mentok belajar ilmu fiqih yang awam ajah. Itu pun engga semua, cuma beberapa anak yang sekiranya Babeh sudah bisa dan siap diajari tentang itu. Jadi selama lo belom bisa baca Juz Terakhir Al-Qur'an dengan Makhroj yang benar jangan harap lo bisa naik ke tingkat selanjutnya. Maka daripada itu, kebanyakan anak-anak ngaji di Babeh engga kuat, paling beberapa bulan sudah cabut.

Dan gue salah satu anak yang beruntung (Gue bilang beruntung karena gue dititipin kepada Beliau jadi mungkin dulu karena keterpaksaan yang mau engga mau gue harus bisa, jadi bukan faktor kecerdasan) yang bisa diajarin beberapa kitab Fiqih sama Babeh.

Selain ngenalin baca tulis Al-Qur'an kepada anak-anak sekitaran rumah. Babeh ini sebenarnya mantan guru silat tapi karena usianya sudah tua, (saat itu usia Babeh 63 tahun) Beliau sudah tidak lagi mengajar silat. Dan konon Bapak gue adalah salah satu murid silatnya Babeh.

Babeh memiliki banyak anak, kalau gue tidak salah hitung (maaf jika gue salah hitung) ada sekitar 12. Namun karena beberapa anaknya sudah meninggal, tersisa 8 anak dan dari 8 anak; yang hampir semua sudah menikah. Hanya dua anak dan satu menantu yang tinggal bersama Babeh. Mereka adalah Bang Zaki, anak nomor 7 Babeh. Mbak Wati, Istrinya Bang Zaki dan Mpo Juleha anak bontot-nya Babeh, satu-satunya anak Babeh yang belum menikah. Usia Bang Zaki beberapa tahun lebih muda dari Mendiang Bapak gue. Sedangkan Mpok Leha saat itu usia-nya masih 18 tahun dan saat itu baru saja masuk sebuah Universitas Negeri di Depok.

Rumah Babeh berjarak sekitar 100 meter dari rumah yang pernah gue tinggali bersama Ibu sebelum Ibu meninggal (Saat itu gue belum mengerti status kepemilikan rumah itu). Di sebuah kawasan yang pernah menjadi kunci kesuksesan Pemerintahan Hindia Belanda mengurangi titik banjir yang ada di Batavia pada masanya.

Rumah Babeh tidaklah besar, hanya ada dua kamar dan satu kamar mandi. Kamar pertama sudahlah pasti ditempati Babeh dan satu kamar lainnya di tempati Bang Zaki dan istrinya. Sementara Mpok Leha (sebelumnya) biasa tidur "ngaprak" di ruang tengah yang jika waktu sudah masuk waktu Ashar akan disulap menjadi ruang kelas Babeh. Itu kondisi sebelum gue dititipkan pada Babeh. Setelah gue dititipkan pada Babeh susunan itu berubah. Bang Zaki tidur di bale kayu yang ada di depan rumah, sementara Mpok Leha tidur bersama Mba Wati dan gue tidur "ngaprak" di ruang tengah.

Mungkin gue terlihat "menyusahkan" untuk keluarga Babeh. Tapi percayalah mereka sekeluarga adalah tipe "orang betawi" asli yang menjunjung tinggi adat dan istiadat mereka. Walaupun suara mereka tinggi, bahasa mereka terkadang "nyeleneh" tapi perlakuan mereka benar-benar menunjukan bagaimana Indonesia bisa dikenal dengan keramahan penduduknya. Mereka sekeluarga benar-benar berhati malaikat.

Anyway... Bicara menyusahkan, kesadaran apa yang bisa ditimbulkan anak berusia kurang dari 8 tahun? Bahkan saat itu gue sama sekali tidak merasa kalau gue ini menyusahkan. Namun seiring waktu, rasa sungkun perlahan timbul. Perasaan "kalau gue sudah banyak menyusahkan dan menjadi beban tambahan untuk keluarga Babeh" perlahan timbul seiring bertambahnya usia gue.

Mulai detik ini, gue berani menjamin kalau apa yang gue tuliskan berdasarkan apa yang sudah otak gue rekam dan berdasarkan apa yang telah tangan gue catatkan semenjak gue belajar bagaimana menulis sebuah buku harian saat duduk di sekolah dasar. So here we go!

Spoiler for They don’t give you a right:



Diubah oleh nyunwie 31-10-2020 13:09
joewan
joyanwoto
adityakp9
adityakp9 dan 115 lainnya memberi reputasi
110
220.2K
1.2K
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
nyunwieAvatar border
TS
nyunwie
#174
Part 36-c
Egi terlihat menciut saat dia melihat tangan pria itu yang sudah menggenggam sebuah pistol di dalam jaketnya. Nyali yang sebelumnya berkobar bersamaan dengan kekesalannya, tiba-tiba saja hilang entah kemana.

Gue masih terdiam, memikirkan apa yang harus gue lakukan. Namun belum habis gue berpikir keluar lagi satu orang pria dari dalam mobil dan pria itu langsung menarik gue dan Egi untuk masuk ke dalam mobil itu.

"Ehh apaa-apaan nih?" Protes Egi yang lalu disambut sebuah bogem mentah ke arah perutnya oleh pria yang baru saja keluar. Melihat itu gue hanya bisa diam.

Lalu mau tidak mau gue masuk ke dalam mobil SUV itu, begitu juga Egi. Sementara pria yang pertama keluar, yang memegang sebuah pistol, dia langsung mengambil alih motor Egi.

Sejenak gue berfikir untuk berteriak meminta tolong, namun saat gue melihat sekeliling tak ada satupun manusia berada di sekitar jalan itu, walaupun banyak kendaraan berlalu-lalang, gue sanksi jika teriakan gue akan direspon pengendara lainnya.

"Kalem-kalem" Ucap gue dalam hati mencoba menenangkan diri sendiri.

Mobil pun melaju dengan ugal-ugalan, di dalam mobil gue mencoba memperhatikan orang yang sedang mengendarai mobil ini dan pria kedua yang menarik paksa gue dan Egi masuk ke dalam mobil ini.

"Dughhh!" Tiba-tiba kepala gue dipukul oleh pria yang menarik paksa kami, "ngapalin muka, lo! Haah!" Ucapnya.

Gue tidak menjawabnya, gue hanya kembali memandangi wajahnya. Seperti yang dia katakan, gue memang sedang menghafal muka mereka dan karena itu sekali lagi wajah gue harus mendapatkan pukulan yang cukup keras.

Sekali lagi gue melihat wajahnya untuk memastikan satu hal, dan ya! Sekali lagi pukulan harus gue terima, namun karena pukulan itu pula gue langsung mengetahui siapa mereka.

"Bapak-bapak polisi yang terhormat, bisa jelasin salah kita berdua apa, sampe dibawa begini? Kurang diborgol nih!" Ucap gue.

Dari pukulan itu gue mengetahui jika orang ini adalah seorang polisi, oknum mungkin tepatnya. Pukulannya terlatih dan tidak mengincar bagian-bagian yang akan menimbulkan luka yang jelas. Pukulan-pukulan seperti itu hanya bisa dilakukan oleh seorang polisi. Gue bisa sangat yakin itu karena jika dia bukan orang yang terlatih, dia pasti memukul gue secara brutal, sekuat tenaga dan biasanya targetnya acak. Pun jika mereka bukan seorang polisi namun mereka terlatih, mereka pasti akan langsung memukul gue di bagian vital yang bisa langsung melumpuhkan gue—ketiga pukulan yang gue terima bukan bertujuan untuk melumpuhkan. 

"Mao lo gue iket, hah!?" Sahut pria yang mengendarai mobil.

"Silahkan, tapi jelasin dulu salah saya apa, setahu saya bapak-bapak tadi yang tiba-tiba ngalangin jalan. Yah kalo temen saya marah yah wajar, mana tau kalo bapak-bapak polisi…"

"Berisik!" Selak pria yang memukul gue tadi kembali memukul gue.

"...ya kalo bapak-bapak nangkep kita cuma karena kita emosi yang emosinya juga karena bapak. Gila, Tuhan ajah gak arogan!?" Gue melanjutkan ucapan gue.

Hal itu pastinya membuat gue kembali dipukul dan kali ini pukulan bertubi-tubi yang harus gue terima. Gue menghitungnya, sekitar 13 kali gue dipukul saat itu. 

Saat gue dipukuli gue menyadari jika mobil masuk ke dalam sebuah area parkir basement. Di area basement itu mobil berhenti. Pria yang mengendarai sepeda motor Egi juga berhenti dan parkir tepat di samping mobil ini. 

Lalu kami dipaksa turun dan saat gue turun, pria yang tadi memukuli gue sepertinya belum puas. Dia menendang perut gue hingga gue tersungkur dan saat gue terjatuh dia membabi buta menyerang gue. 

Pria itu dihentikan oleh temannya, pria yang mengendarai motor Egi. Musabab pria itu menyerang gue, hal itu menjadi sebuah percekcokan kecil diantara ketiga pria ini. Dua pria lainnya mempertanyakan kenapa satu pria itu memukuli gue. 

Pria yang memukuli gue berasalan dia memukuli gue karena gue banyak bicara. Alasan yang tidak bisa diterima oleh pria yang mengendarai motor Egi sehingga gue yang masih dalam posisi tersungkur melihat memukul pria yang memukuli itu sambil berkata tentang, entah apa itu tapi yang jelas itu menyangkut "perintah atas."

Pria yang mengendarai motor Egi lalu mengulurkan tangannya pada gue, membantu gue bangun, kemudian dia memberikan gue sebuah handuk kecil untuk membersihkan badan gue yang sedikit kotor karena bekas sepatu oknum polisi yang jauh lebih kotor.

Setelah itu gue dan Egi diajak masuk ke dalam sebuah lift oleh pria itu, sementara dua lainnya tidak ikut masuk ke dalam lift.

Di dalam lift gue melihat sebuah logo, sebuah logo hotel tepatnya. Sebuah logo hotel yang gue lihat sebelumnya dan sebuah logo hotel yang sedari tadi gue amati arus pengunjungnya.

Dari situ gue mengerti jika orang-orang ini adalah suruhan oknum polisi yang pernah menangkap gue saat itu. Mungkin saja mereka anak buahnya karena dari perawakannya terlihat jelas sekali jika mereka dari kesatuan yang sama. Di dalam lift gue terus berpikir, kira-kira akan seperti apa nantinya setelah ini. 

"Ting" Pintu lift terbuka dan kami berada di dalam lobby hotel. Pria itu lalu memberi kode agar gue dan Egi berjalan dan mengikuti apa pun itu. Kemudian gue berjalan menyusuri lobby hotel, di lobby itu gue melihat Malik sedang duduk bersama Alodya di sebuah sofa yang tidak jauh dari meja receptionist. Pandangan kami pun bertemu namun kami tidak saling sapa, gue terus berjalan sesuai arahan hingga gue masuk ke dalam restaurant yang ada di samping lobby.

Di sana, gue melihat oknum polisi yang saat itu menangkap gue sedang duduk seorang diri dengan makanan yang cukup banyak di atas mejanya. Pria itu mengantar kami hingga ke meja oknum polisi itu, lalu dia pergi setelah memastikan gue dan Egi duduk di kursi yang berhadapan dengan oknum polisi ini.

Oknum polisi itu hanya diam, menatap gue tajam. Sorot matanya seolah-seolah seperti sedang membelah tempurung kepala gue dan menelanjangi pikiran gue.

"Siapa?" Tanyanya tiba-tiba. "Siapa yang nyuruh kao kemari?"

"Apa, Pak? Saya gak ngerti." Jawab gue.

"Tak usahlah kao pura-pura bodo kao ini! Aku butuh nama. Kao sebut kao pulang dan tidurlah kao di rumah dengan tenang!"

"Saya bener-bener gak ngerti, Pak? Saya ke sini mau Ketemu temen saya, janjian" Jawab gue.

Lalu oknum polisi itu mengalihkan pandangannya pada Egi. Dia pun menanyakan hal yang sama pada Egi bahkan dengan sedikit ancaman. Namun karena Egi memang hanya mengetahui jika ia kesini hanya untuk mengantar gue, sekeras apapun oknum polisi itu menekan Egi jawabannya yang dia terima tidak berubah.

"Yasudah, kalau kalian tidak mau berbicara baik-baik. Saya bakal paksa kalian sampai bicara." Ucap Oknum Polisi tersebut sambil mengeluarkan ponselnya.

Namun bersamaan dengan itu, gue merasakan sebuah tepukan di bahu gue. "Woi begok gue panggilin diem ajah. Gue tungguin dari tadi juga." Ucap Malik sehabis menepuk pundak gue.

Oknum polisi itu terdiam, dia terlihat heran dengan kedatangan Malik. Ponsel yang dia keluarkan pun hanya digenggamnya saja. "Kenapa nih, Pak. Temen saya?" Tanya Malik pada oknum polisi tersebut. 

"Teman kao kah ini?" Tanya Oknum polisi tersebut.

"Ya, ada masalah?" Tanya Balik Malik dengan santainya namun dengan nada yang sedikit menekan. 

Gue mengamati perubahan ekspresi oknum polisi ini, entah mengapa rasanya Malik berada di atas angin. Gue tidak mengerti kenapa bisa seperti itu, namun gue menduga posisi Malik, entah itu dalam sebuah skema apa mereka berdua terlibat, yang jelas posisi Malik sepertinya lebih di atas oknum polisi ini sehingga Malik bisa menekan dengan santainya.

Oknum polisi itu hanya terdiam, dia terlihat kebingungan untuk menjawab. "Gak ada masalah kok, Bro! Gue cuma tadi mau nabrak mobilnya dia ajah." Selak gue.

"Yakin lo? Itu lo rada benjol kenapa?" Tanya Malik.

"Gpp, rakyat jelata kaya gue bisa apa sih kalo udah dihadepin sama polisi arogan? Mereka salah juga jadi gue yang salah!"

"Bangs*t!" Sahut Malik menggebrak meja. "Lo samperin cewe gue dulu sana!" Lanjut Malik dan gue mengerti maksudnya. 

Lalu tanpa basa-basi gue mengajak Egi untuk keluar dari restoran ini untuk ke lobi hotel untuk menghampiri Alodya. Sesampainya di lobi, gue dan Alodya tidak saling bicara, dia hanya tertunduk dan tidak berbicara sepatah katapun.

Egi yang mulai berbicara terlebih dahulu, dia menanyakan sebenarnya apa yang sedang terjadi. Tapi gue menjawabnya dengan menggelengkan kepala, "gue ajah engga tau, Gue." Jawab gue.

Beberapa saat kemudian Malik keluar dari restoran itu, tatapan matanya tajam menuju ke arah gue seperti ingin menikam, "lo ikut gue!" Ucap Malik menunjuk wajah gue kemudian menarik tangan Alodya. 

Gue langsung meraih bahu Malik, menahan langkahnya, "temen gue gak tau apa-apa. Dia cuma ojek gue." Ucap gue pada Malik. "Lo bisa pastiin dia pulang, kan?" Lanjut gue lalu Malik diam sejenak sambil memandangi Egi.

"Alo, pastiin dia balik!" Ucap Malik pada Alodya lalu melanjutkan langkahnya sementara gue berjalan mengikutinya.



"SIAPA YANG NYURUH, LO!?" Tanya Malik sambil memojokan gue di tembok, di dalam kamar yang berada di lantai 8 hotel ini.

"..." Gue tidak menjawab pertanyaan Malik, Gue hanya nencoba melepaskan tangan Malik yang tengah mencengkram kaos yang gue kenakan.

Namun Malik makin mengeratkan cengkramannya, bahkan satu lengannya menekan leher gue. Sepertinya Malik serius sekali dengan ini.

"Jawab anj*ng!" Gertak Malik lagi. Gue masih tidak menjawabnya, gue hanya tersenyum melihatnya. "Bangs*t! Gue gak peduli yah anak-anak di sekolah takut sama lo, gue gak peduli biar kata lo bisa ngebantai satu kampung sendirian, gue gak takut!..."

"Ngomong apaan sih lo begok!" Selak gue sambil menepak tangan Malik hingga dia melepaskan cengkramannya.

"Gue udeh nganggep lo temen terdeket gue di sekolah, Le. Gue cuma nyaman ngobrol sama lo, ngalong sama lo. Gue gak mau berantem sama lo, Le! Tapi…"

"Tapi apa? Lo pikir gue tau gue kesini bakal ketemu, lo? Lo pikir gue tau target gue itu lo? Kalo gue tau gue juga enggak bakal ke sini!"

"Jadi bener lo suruhan, Ale? Siapa Ale?" Tanya Malik.

"Gue rasa brengs*k yang tadi udah ngasih tau lo siapa Ale itu." Jawab gue.

"Gue butuh informasi lebih!" 

"Gue dibayar 8 digit angka." Sahut gue.

"Ehh ta* gue baru aje selametin nyawa lo!" Sahut Malik sedikit geram.

"Ya terserah lo, toh gue kenapa-napa sama siapa juga, posisi lo atau si Ale sama-sama engga menguntungkan. Lo berdua masih buta lawan lo siapa, kan?"

"Wah bangkek, licik lo, sialan-sialan. Kenapa gue bisa temenan sama lo sih, Sat!"

"Gue cuma bisa bilang. Si Ale jauh lebih licik dari gue. Dia itu semacem uler, berbisa, dan punya pasukan serigala. Dia gak bakal sungkan nyingkirin siapapun yang dianggepnya ngalangin dia. Gue serius dia itu serem." Sahut gue sambil memetik kedua jari gue menekankan kata seram yang baru saja gue ucapkan. "Dan… satu lagi, dia gak nyari orang buat jadi anak buahnya. Tapi dia ngedidik orang buat jadi  anak buahnya." Lanjut gue.

"Le… Serius?"

Ekspresi wajah Malik seketika berubah, dia terlihat gusar, takut, namun di satu sisi gue melihatnya sedang memikirkan sesuatu. Sejenak gue memandanginya dan gue merasa sedikit iba padanya. 

Sesungguhnya dia memang seorang yang menyebalkan; berisik, tengil, usil, dikit-dikit ngajakin orang berantem, tukang bully dan sedikit egois. Namun siapa sangka dibalik itu semua dia adalah orang yang penyayang, sangat bahkan. Dan dia seorang pengayom yang baik tentunya.

Syahdan gue mengerti segala sikapnya di sekolah adalah buah dari apa yang dia rasakan di luar sekolah, sebagai pelariannya dari segala resah dan tanggung jawab yang mungkin seharusnya tidak semestinya. Tapi itu adalah pilihannya, apapun itu gue mengerti mengapa.

Malik mungkin merasa harus membagi keberuntungannya—di asuh sedari kecil oleh seorang petinggi prajurit negeri. Ya, Malik tidak ubahnya Alodya, mereka berlatar belakang yang sama dari keluarga yang konon di KTP mereka terdapat cap Tahanan Politik namun Malik memiliki keberuntungan yang berbeda, dari itu mungkin Malik merasa harus membaginya.

Gue juga mengerti mengapa Malik sebegitu merasa perlu membaginya, padahal dia punya opsi untuk menikmati hidup ini tanpa perlu mengorek luka kedua orang tuanya—Bersama Alodya dan mereka-mereka yang memiliki kesamaan derita, Malik seperti berada di dalam kehangatan sebuah keluarga.

Sedari tadi gue berpikir, haruskah gue mengatakan semua ini pada Ale? Yang dalam artian gue pasti akan membahayakan Malik. Atau gue harus berpura-pura saja tidak tahu apa-apa? Yang dalam artian, apapun tujuan Ale menginkan informasi tentang Malik gue sudah pasti menghambat tujuannya.

Gue berpikir keras, bahkan lebih keras daripada saat ujian nasional. Sebentar, memangnya gue berpikir saat ujian nasional? Yaa gue berpikir, kok. Berpikir bagaimana caranya tidak ketahuan oleh pengawas ujian. 



Malik lalu duduk di tepian kasur yang ada di kamar ini, dia benar-benar terlihat berpikir keras. Matanya menatap langit-langit, bersamaan dengan itu dia mengeluarkan ponselnya, melihatnya sebentar lalu menundukan kepala.

"Lo gak tau gue ngelakuin ini…"

"Lo ngelakuin ini buat Alodya? Buat temen-temen lo yang senasib sama dia?" Selak gue.

"Tau apa lo?" Malik terlihat sedikit terkejut.

"Gue tau, Alodya udah cerita semua." Sahut gue dan itu membuat Malik terlihat makin lesu. Namun gue tahu.

"Dia demen banget sama lo tuh berarti." Ujar Malik lirih.

"Yaa, kayanya sekarang lo harus berterimakasih sama gue sih. Karena gue engga suka ngambil punya temen." Sahut gue mengerti kelirihanya.

"..." Malik diam, namun tersungging senyum kecil di bibirnya.

"Lo cinta sama Alodya?" Tanya gue.

"Gue udah abis-abisan buat ini. Gue udeh abis-abisan buat gimana caranya Alodya engga usah…" Malik diam seketika.

"Dia juga cerita sama gue soal itu, kok." Sambar gue. "Lo engga mau Alodya begitu tapi lo malah jeblosin Alodya ke dalem dunia yang lebih menakutkan dari itu, gobl*k lo!" Lanjut gue.

"..." Malik terdiam.

"Awalnye gue kagum sama lo. Sumpah! Anj*ng bisa-bisanya lo yang disekolah caper…"

"Bangs*t!" Gerutu Malik menyelak.

"Hahahah, elu yang caper tapi kok bisa-bisa lo di belakang itu semua… ah keren pokoknya. Gue gak bisa gambarin apa-apa intinya lo orang terkeren yang gue kenal. Eh tapi kok tapi…"

"Yang gue pikir bukan cuma Alodya, sebenernya, Le! Semua! Lo gak ngerti! Sekarang gue cuma bisa mohon sama lo. Please bantuin gue, bantuin gue kasih tau ajah siapa Ale. Gue gak bisa bayar lo, gue udah bilang kalo gue udah abis-abisan. Tapi kalo emang lo gak mau bantuin gue yaudah gapapa. Sampein ajah sama Ale, gue beneran gak mau ganggu dia, jadi gue mohon juga jangan ganggu gue."

Saat-saat seperti ini adalah saat-saat yang paling gue benci, dimana gue harus memilih sebuah pilihan yang sama sekali tidak gue inginkan. Benarkah hidup ini pilihan? Jika iya bisakah gue memilih untuk tidak memilih?



Gue berjalan perlahan keluar dari kamar ini, meninggalkan Malik seorang diri yang gue yakin sedang merasakan gelisah yang tak bertepi. 

Di depan kamar, gue berhenti. Mengeluarkan ponsel lalu menghubungi nomor yang membawa gue dalam situasi ini. Tidak lama gue sudah terhubung dengan seseorang yang entah bagaimana fisiknya sedang berada di balik jeruji besi namun kaki dan tangannya seolah bisa bergerak ke mana saja di bumi, Ale.

Ale langsung menanyakan gue banyak hal, tentang apa yang terjadi. Gue menjawabnya dengan sebenar-benarnya yang terjadi. Gue juga menceritakan padanya tentang seseorang yang dia ingin tahu siapa dia—Malik. Gue menceritakan apa yang gue dan teman-teman sekolah gue tahu tentang Malik.

Di tengah itu, gue melihat Alodya keluar dari lift. Gue langsung memberikannya gesture agar dia tidak berisik. Alodya pun menghampiri gue dengan perlahan dan entah kenapa saat dia berada tepat di sebelah gue, gue langsung meraih telapak tangannya. Menggenggamnya erat dan sedikit menarik tubuhnya untuk agar sedikit merapat.

"Jadi die temen sekolah lo?" Tanya Ale.

"Iya A'." Jawab gue santai.

"Okeh, bagus. Yaudah nanti duitnye langsung dianter ke rumah, lo tunggu ajah depan rumah."

"Siap." Sahut gue sambil menekan tombol loudspeaker.

"Tole!"

"Iya, A'."

"Gue kasih lo 2 kali lipet dari yang sekarang kalo lo bisa ancurin tuh Malik Malik itu. Terserah gimane, lo mau bolongin, lo mau kelarin, lo mau terbangin die kesini terserah! Kasih paham die siape gue!"

Gue menatap Alodya, matanya terbelalak seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar. Matanya seolah berbicara kepada gue untuk menolak ini semua. 

"Okeh. Beres. Tunggu kabar aje A'." 

"Mantep, top emang lo! Gak sia-sia gue…" Gue mengakhiri panggilan telepon sebelum Ale selesai bicara. 

"Widi lo gila yee! Gue harus kasih tau Malik" Ucap Alodya mencoba melepaskan tangannya dari genggaman gue. Namun gue malah menggenggamnya lebih erat kemudian membekap mulutnya.

"Sssttt." Gue memberi gesture agar Alodya tidak berisik sementara gue mengetik pesan singkat untuk Ale, memberitahunya jika panggilan telpon tadi terputus karena pulsa gue habis. Tentu saja itu cuma alasan gue saja.

Alodya masih mencoba melepaskan dirinya dari gue dan setelah pesan terkirim, gue melepaskannya. "Alo denger gue!" Ucap gue berbisik di telinganya. "Gue gak bakal ngapa-ngapain Malik. Asal…"

"Asal apa?" Tanya Alodya matanya berkaca.

"Asal lo percaya sama gue." 

"Wid…"

"Percaya sama gue Lo, percaya."

"..."

Lalu gue mengajak Alodya masuk ke dalam kamar. Ya walaupun juga sebenarnya kamar ini adalah tujuan Alodya. Malik yang heran saat gue dan Alodya masuk pun gue abaikan, gue hanya menyuruh mereka berdua diam dan dengarkan apa yang akan gue ucapkan.

Jika hidup adalah sebuah pilihan, bisakah kita tidak memilih?
Tentu saja!
Bukankah tidak memilih adalah sebuah pilihan.
Jadi hidup ini apa?
Diubah oleh nyunwie 25-03-2021 11:33
anonymcoy02
MFriza85
noejbr
noejbr dan 34 lainnya memberi reputasi
35
Tutup