Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

Ā© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
Aku Mencintai Bandot Tua
Aku Mencintai Bandot Tua






Spoiler for Update Chapter:


Chapter 1


"AYAH JAHAT, GAK PUNYA HATI!" Kuhentakkan kaki sebagai tanda perlawanan atas keputusan sepihak lelaki paruh baya yang egois, setelah itu aku segera berlalu meninggalkan ruang tengah di mana ayah dan ibu sedang duduk termangu dan lesu.

Pintu kamar kubanting dengan kencang, hingga menciptakan suara yang membahana dan tentu mengagetkan siapa saja yang berada di rumah ini. Rumah yang dahulu bak surga, kini berubah seperti neraka yang panas dan selalu membuat aku muak.

Tangisku luruh bersama dengan harapanku yang kandas karena keadaan yang tidak berpihak, kubenamkan wajah dalam bantal sehingga lengkingan sedu sedan yang tercipta dapat teredam dan hanya dapat didengar olehku saja.

Malam ini adalah malam terakhirku berstatus sebagai single, karena besok aku akan menikah dengan seorang pria yang sama sekali tidak aku kenal, apalagi aku cintai.

Pernikahan yang mendadak dan tiba-tiba ini membuat batinku terguncang, serasa dijatuhkan dari atas langit menimpa tanah menembus ke lapisan yang terakhir, sangat sakit dan merasa terhina. Karena lelaki itu bukan menikahi, tapi membeli.

Aku benci dengan takdir dan nasib, mengapa Tuhan memberi aku keluarga yang seperti ini?

Usiaku baru akan menginjak 19 tahun bulan Mei nanti, teman-temanku semua melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. Aku apa? Malah menikah dengan bandot tua yang lebih pantas aku panggil dengan sebutan 'Om', karena usianya tidak jauh dari ayah.

Aku ingin berontak rasanya tak mungkin, pacarku si Bagas pun angkat tangan saat aku mengajaknya kimpoi lari. "Aku masih mau kuliah, kalau nikah nanti, kamu ... maksudku, kita mau makan apa? Dan siapa yang akan ngebiayain kuliah aku? Bunda aku pasti murka disangkanya aku ngehamilin kamu, duh aku gak sanggup. Maaf ya, Sayang!"

Dasar pengecut! Gak punya nyali! Kepentingan sendiri yang dia pikirin, janji suci yang selama ini dia ikrarkan ternyata cuma isapan jempol belaka. Aku benci Bagas, aku benci Ayah, aku benci si Bandot Tua yang bakalan jadi suamiku besok. Aku benci makhluk Tuhan yang berjenis kelamin lelaki, aku benciiiii!

Pernah aku coba bernego dengan Ayah tentang keputusan ini, aku coba membujuk beliau agar aku diizinkan untuk bekerja demi bisa menopang perekonomian keluarga yang mulai carut marut. Dan, daebak! Ayah menolak mentah-mentah niat mulia itu. Alhasil aku gondok dan mau tidak mau harus manut, tidak boleh tidak.

Dengan berat hati aku pun menurut, semuanya kulakukan semata-mata demi membahagiakan orang tua dan adik-adikku.

Calon suamiku, maksudku si Bandot Tua itu adalah seorang pengusaha yang bisa dibilang sukses, dia banyak menolong keluarga ini terutama dalam masalah keuangan. Usaha restoran ayah bangkrut setelah ibu ketahuan memiliki banyak hutang, hutang di bank, rentenir, beberapa tagihan kartu kredit dengan limit di masing-masing kartunya lumayan besar dan koperasi simpan pinjam.

Alfian Wijaya, si Bandot Tua yang besok akan menjadi suamiku itu adalah seorang pelanggan setia restoran Ayah, dia sering sekali memesan catering dan tumpeng apabila sedang ada event di perusahaannya.

Hubungan si Bandot Tua dengan Ayah sangat erat, maka sewaktu Ayah gulung tikar dan terpaksa menjual semua asetnya demi membayar hutang Ibu yang jumlahnya sampai ratusan juta, dia datang lalu menawarkan bantuan finansial yang jumlahnya tidak main-main, asalkan Ayah tidak menutup usahanya.

Ayah menolak mentah-mentah bantuan dari si Bandot Tua, beliau tidak mau punya hutang budi. Alhasil kami pun jatuh miskin, tinggal di rumah minimalis di pemukiman padat penduduk yang kumuh.

Tapi saat kami sudah melarat, Ayah tidak bisa lagi menolak apa yang diberikan oleh Bandot Tua tersebut. Sehingga hutang budi itu benar-benar tercipta, dan aku menjadi pelunasnya.

Ibu hanya bisa menangis dan meminta maaf, saat aku dan adik-adik menderita terkena imbasnya . Waktu itu, aku ingin sekali membencinya tapi aku tidak bisa.

Aku hanya bisa mengelus dada serta meratapi nasib yang malang ini, sering aku berpikir keras akankah kisahku bak sinetron ikan asin terbang? Berawal tragis tapi berakhir manis, ah entahlah! Cuma Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi nanti.

Aku merasa sepi di dalam kamar ini, padahal di luar sana sedang ramai. Banyak orang sedang mempersiapkan acara untuk besok. Saudara jauh, tetangga dan kerabat dekat berdatangan untuk membantu. Samar-samar kudengar suara tawa mereka, begitu lepas dan tanpa beban.

Aku tidak bersemangat dan masa bodoh dengan semua ritual yang harus dijalani sebelum pernikahan. Peduli amat dengan puasa dan juga tradisi pingit, aku bebas jalan dan nongkrong dengan teman-teman, Ayah dan Ibu tidak bisa melarang karena itu syarat sebelum aku mau menuruti permintaan mereka.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Dalam kamar yang indah ini hatiku merasa terkoyak, wajah yang telah dipoles riasan tebal ini terasa bagai topeng badut saat aku lihat di cermin. Kebaya mewah nan cantik yang si Bandot Tua pesan khusus dari butik ternama pun kurasa gerah dan tidak nyaman, sama seperti perasaan yang bergejolak ini.

Telinga seketika terasa panas dan memerah saat MC memberitahu kalau romongan calon mempelai pria sudah tiba, perias pengantin yang tidak tahu perihal isi hati ini pun menepuk bahuku sembari bersorak gembira. Aku meresponnya dingin, cuma tersenyum kecut, sekecut ketek tukang becak yang baru selesai ngegenjot di tanjakan.

Wanita yang berperan sebagai MUA itu kembali mengecek riasan wajahku, usai sapu sana-sini senyumnya mengembang. "Perfect!" katanya.

Aku memandang wajah yang menurutku seperti pemain lenong yang akan tampil di panggung.

Kebaya modern putih, rambut disanggul yang dihiasi mahkota gold dan kembang goyangnya, dirasa bagai atribut pemain barongsai saat perayaan imlek.

Tok ... tok ... tok ....

Pintu kamar diketuk oleh seseorang yang hendak menjemputku, dia Vina, sepupuku.

"Mel, yuk ke depan!" ajaknya mengulurkan tangannya padaku.

Tanpa menjawab, aku meraih uluran tangannya dan berjalan menuju teras rumah yang dijadikan tempat untuk ijab kabul.

Kulihat sekilas wajah calon suamiku, ia tersenyum ramah tapi aku pura-pura tidak melihatnya.

"Kepada calon pengantin wanita kami persilahkan duduk di samping sang pangeran yang telah bersiap mengikrarkan janji suci di hadapan kita semua," ucap MC membuatku ingin muntah.

Semua orang kecuali aku tersenyum mendengar ucapan MC itu. 'Pangeran apaan? Pangeran kodok kali,' sungutku dalam hati.

Setelah melewati beberapa rangkaian prosesi maka tibalah saatnya pengucapan ijab kabul. Setelah dipandu oleh pak penghulu, maka si Bandot Tua itu dengan lantang mengucapkan kalimat sakral di depan semua orang yang hadir disini.

"Saya terima nikah dan kimpoinya Amelia Gentari Permadi binti Dodi Permadi dengan mas kimpoi satu set perhiasan emas seberat 50 gram dibayar tunai."

Para saksi, tamu undangan dan keluarga mengucap syukur karena prosesi utama berjalan dengan lancar dan sukses. Bagai tersengat listrik bertegangan tinggi saat mendengar penghulu dan semua orang berkata 'SAH', itu berarti per hari ini aku akan hidup dengan si Tua Bangka ini. Tidaaaaaak!

Mengapa aku sebut dia tua bangka? Itu karena usianya sudah 40 tahun, ia seorang perjaka tua alias bujang lapuk. Entah kenapa dia belum menikah sampai usianya setua itu, hanya Tuhan dan dia yang tahu.

Acara resepsi kami diadakan secara sederhana, aku malu kalau harus pesta meriah. Teman-teman sekolah, tidak ada satu pun yang aku undang, apa kata dunia seorang Amelia yang jadi rebutan cowok-cowok populer dan terkenal sebagai play girl di sekolah dulu tiba-tiba nikah muda, sama bandot tua lagi.

Rasanya aku ingin berteriak sekencang-kencangnya, lalu kemudian mengusirnya dari sisi ini. Sumpah aku muak, benci, dan enek harus duduk berdekatan di pelaminan dengannya.

Apalagi saat dia sok perhatian menawari aku mau makan atau tidak, ih benar-benar menyebalkan. Apalagi aku sempat melirik dengan ujung mata, dia sering mencuri pandang kepadaku, ingin rasanya aku tusuk matanya pakai gembang goyang yang menancap di sanggul palsu ini.

Saat duhur menjelang acara resepsi pun usai, aku dan dia dipersilahkan untuk masuk beristirahat. Si Bandot Tua sok manis, mengulurkan tangan berniat menuntunku. Tapi dengan tegas aku tolak, beralasan tidak kuat ingin buang air kecil, secepatnya aku ngacir duluan.

Sejenak aku berdiam diri di dalam kamar mandi, berjalan mondar-mandir dengan pakaian lengkap. Konyol memang, tapi semua ini aku lakukan agar alasanku tadi tidak sekadar hoax.

Hingga lima menit lamanya, aku pun keluar dan melangkah masuk ke dalam kamar pengantin. Segera aku kunci pintu, agar dia tidak masuk tiba-tiba di saat aku lagi buka baju.

Kuhempaskan tubuh di ranjang, menghela napas panjang memindai kamar ini. Mencebik dan merutuk, meski sia-sia tapi itu bisa membuatku lega dan merasa lebih baik.

Kemudian aku berdiri, sudah saatnya menanggalkan 'pakaian lenong' ini, aku ingin mandi dan istirahat dengan tenang dan damai.

Saat pakaian dan semua atribut tanggal, pintu diketuk. "Pasti itu si Batu alias Bandot Tua," sungutku geram.

Dengan wajah masam aku membuka pintu, tanpa menegurnya aku kembali masuk menyambar handuk kimono yang tergantung di paku. Tanpa menoleh kepada dia, aku bergegas pergi meninggalkannya.

Sesampainya didalam kamar mandi, aku segera membersihkan diri. Hampir 2 jam lamanya aku semedi didalam kamar mandi, karena kewalahan mengurai rambut setelah disasak tadi.

Setelah berhasil mengurai rambut yang kusut, aku pun segera membasuh seluruh tubuh. Segar rasanya, apalagi setelah keramas kepala ini jadi enteng sekali.

Di dalam kamar, aku pakai baju kebesaran emak-emak yaitu daster. Usai mengoleskan pelembab muka, aku pun langsung berbaring di atas spring bed yang empuk dan nyaman. Si Bandot Tua tidak ada di sini, membuatku sangat damai dan tenteram tentunya.

Namun ketika akan terlelap, pintu kamar kembali diketuk dan terdengar suara derap langkah si Bandot Tua memanggil namaku.

"Dek, ini Mas Fian tolong buka pintunya!"

Aarrrgghh!

Aku merutuk dalam hati, dengan wajah kesal segera kubuka kunci pintu. Setelah itu kembali ke formasi awal tadi.

Suara sepatunya membuat telinga ini sakit, dia menggantungkan jasnya di kastop dekat lemari pakaian.

Kuintip dengan mata yang pura-pura dipejamkan, dia sedang celingukan seperti sedang mencari sesuatu.

"Dek, bisa minta tolong ambilkan handuk?" Tangannya mengusap pundakku.

Tanpa menjawab aku bangun dan beranjak membuka lemari, untuk mengambilkan benda yang dia butuhkan.

'Uh beneran ya nih si Bandot Tua ini, ngeganggu ketenangan gue aja!' Kedua kalinya aku merutuk dalam hati.

"Makasih ya, Dek. Mas mandi dulu," ucapnya sok imut.

'Mandi aja sono, kaya gue nungguin lo aja dasar 'Batu' alias Bandot Tua.'

Aku tersenyum dan mengangguk, berusaha tidak menunjukkan rasa kesalku padanya, semuanya kulakukan demi keluarga.

Sepeninggal dia, aku pun pulas tertidur. Beberapa kali dia membangunkan aku untuk salat, tapi aku tak menggubrisnya. Aku beralasan aku sedang haid.

Selepas isya setelah selesai makan malam bersama, dia mencoba mengajakku bicara berdua di dalam kamar sebelum kami terlelap.

"Mas tahu, Dek Amel belum siap dengan pernikahan ini. Tapi mas minta, Dek Amel harus mulai belajar menerimanya ya," ucapnya pelan tapi tegas.

"Om Fian, eh ... Mas Fian jangan bicara kaya gitu, dengan aku bersedia menikah, itu artinya aku sudah menerima Mas Fian. Suka gak suka, toh aku gak punya pilihan."

"Alhamdulillah kalau begitu, mas lega dengarnya. Mudah-mudahan saja pernikahan kita ini bisa membawa kebaikan untuk kita dan diberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat ya, Dek."

"Aamiin," jawabku tampak penuh harap, padahal penuh rutukan.

Beberapa saat kemudian Mas Fian meraih dan mencium punggung tangan ini dengan lembut, rambutku ia usap perlahan. Tanpa menunggu izin, dia mendaratkan ciuman di kening, lalu turun ke pipi dan bibir.

Aku tidak memberi respon, bukan tidak bisa berciuman tapi aku merasa jijik ketika bibirnya menyentuh dan mamagut bibirku. Tiba-tiba ia melepaskan bibirnya dan menatap wajah ini.

"Kok diam, Dek? Kamu belum siap ya?"

"Eng-enggak, Mas. Aku gak tahu cara berciuman, aku bingung harus bagaimana," kilahku bohong. Padahal waktu pacaran dengan Bagas, sering aku berciuman alias baik.

"Maaf Mas Fian, aku belum bisa malam ini." Tanganku mendorong dada bidang itu pelan, menghentikan aksinya.

"Kenapa, Sayang?" Kata 'sayang' yang dia ucapkan barusan, benar-benar bikin aku gumoh, huweekk!

"Aku sedang ada tamu bulanan, Mas. Makanya tadi aku gak salat." Harap-harap cemas berharap ia percaya, dan tidak meraba apakah aku memakai pembalut atau tidak.

Ia tersenyum dan kemudian mengangguk. "Iya mas tahu, tadinya mas kepingin mesra-mesraan aja gitu." Kulihat ada gurat kecewa di wajahnya, tapi aku gak peduli yang penting aku berhasil-berhasil horeeee.

Itu artinya aku harus bersandiwara mendapat tamu bulanan selama seminggu lamanya, hal itu tidak membuatku aman tapi setidaknya aku bisa mengulur waktu.

Hari ini, adalah hari pernikahan kami yang kelima, dan sesuai dengan perjanjian awal aku akan meninggalkan rumah dan ikut bersama Mas Fian ke rumahnya.

Rasanya sangat berat aku berpamitan dengan orang tua dan kedua adikku, air mata ini tumpah. Aku tidak kuasa harus berpisah dengan mereka.

Walaupun aku bisa setiap saat bertemu dengan mereka, karena rumah Mas Fian dan orang tuaku hanya berjarak kurang lebih 100km. Namun, tetap saja itu suatu hal yang membuatku sangat bersedih.

"Ingat ya, Nak, pesan ayah! Harus hormat dan patuh pada suami, ayah selalu berdoa yang terbaik untukmu," bisik Ayah ketika memelukku.

Kujawab petuah Ayah dengan anggukan, lelaki paruh baya itu tahu betul seperti apa perasaanku saat ini. Tapi, Ayah tidak mau tahu dan terkesan tidak peduli. Aku merasa dijual pada si Bandot Tua, diri ini tak ubahnya seperti budak pemuas nafsu yang dipersembahkan untuk pejabat pada masa kerajaan dulu.

Aku dan mas Fian memasuki mobil, tak kuasa menahan tangis saat besi yang mewah yang ditumpangi meninggalkan rumah yang selama kurang lebih tiga tahun ini aku tempati.

Aku menangis sesegukan didalam mobil, lambaian tangan mereka tidak bisa hilang dari ingatan.

Mas Fian yang duduk di sebelah memeluk erat, hal itu tidak berarti apa-apa. Tidak juga bisa membuatku luluh untuk mencintainya.

"Jangan sedih lagi, Dek, setiap saat Adek ingin ke rumah Ayah bilang saja, mas akan antar."

Aku mengangguk dan terus menangis, di sepanjang perjalanan menuju rumah mas Fian.

Lebih satu jam kemudian, kami tiba di rumah mewah yang begitu asri dan nyaman. Aku dan mas Fian turun dari mobil, Pak Zaki, sang supir segera membuka bagasi dan menurunkan koper-koper.

"Asslamualaikum," ucap Fian ketika memasuki rumahnya.

"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya bersanggul, dengan wajah menor yang sedang asik membaca majalah di sofa ruang tengah.

Wanita bergaya bak ibu sosialita itu adalah ibu mertuaku, Ibu Siska namanya. Dari raut wajahnya sepertinya ia tidak suka padaku, terbukti pada saat pernikahan dulu dan sekarang tatapannya tetap sama, sinis.

Ah, tapi aku tidak mau ambil pusing. Bodo amat lah, toh aku juga nikah karena terpaksa. Seandainya wanita itu mengusirku suatu hari nanti, hal itu akan jadi senjata ampuh untuk bisa lepas dari belenggu pernikahan ini.

Mas Fian mencium punggung tangan ibunya dengan takzim, kemudian ia memeluknya dengan penuh rasa sayang.

Aku bersikap sama, mencium tangan mertuaku yang sebelumnya menatapku dari atas sampai bawah, seperti aneh melihatku. Padahal jelas-jelas dia yang menurutku aneh.

Kami berbincang sebentar dengan Bu Siska, setelah itu Mas Fian mengajakku untuk beristirahat di kamarnya.

Tangan ini dituntun masuk, menuju ruangan pribadi yang terletak di dekat ruang tengah. Sesampainya di dalam, aku takjub dengan kamar tidurnya, begitu nyaman dan wangi sekali. Mataku berkeliling menatap ke setiap sudut ruangan yang dipenuhi dengan perabotan modern dan tentunya mahal.

Dahulu, kehidupanku juga bisa dibilang mampu. Tapi rumah masa kecilku tidak semewah rumah Mas Fian, haruskah aku merasa beruntung karena mempunyai suami tajir?

"Dek, lemari pakaian yang tiga pintu itu baru. Mas sengaja belikan untuk menyimpan semua pakaianmu. Karena lemari Mas sudah penuh, hehe."

"I-iya Mas, terima kasih." Aku merasa kikuk dan canggung di rumah mewah ini.

"Mas, aku mau mandi dan ganti baju dulu ya," ucapku memecahkan kecanggungan dengannya.

Mas Fian mengangguk dan mengeret koper kami kedekat lemari pakaian. Segera aku membuka dan mengambil pakaian santai juga handuk, membawanya ke kamar mandi yang lagi-lagi membuat aku takjub dibuatnya.

Usai mandi, aku duduk di tepi ranjang. Menggosok rambut yang basah dengan handuk kecil. Mas Fian tidak mau jauh dariku, ia duduk menemani dan menawarkan diri untuk membantu mengeringkan mahkota indah ini.

Jujur, aku merasa risih dan tidak nyaman dengan perlakuannya. Bulu romaku merinding saat wajahnya mendekat, dari pantulan cermin aku lihat matanya terpejam saat menghidu bau harum yang menguar dari rambutku. Embusan napasnya membuat tengkuk meremang, adegan tidak senonoh pun terbayang dalam benak.

Tidak tahan dengan perasaan jijik yang menguasai, aku bangkit dan menyibukkan diri menyusun pakaian dari dalam koper ke lemari.

"Bibik saja nanti yang ngerjain, Dek," katanya sembari menatapku lekat.

Aku menggeleng dan tersenyum sok manis. "Aku bisa sendiri, Mas. Gak puas kalau barang pribadi, orang lain yang ngerjain."

Mas Fian mengangguk, lama kelamaan dia merasa bosan melihatku tak memberikan kesempatan sedikit pun padanya untuk menghabiskan waktu berduaan, dia berpamitan untuk keluar kamar setelah sebelumnya bertanya aku mau makan apa saat makan malam nanti.

"Apa aja, aku makan, Mas."

"Baik, mas keluar ya."

"Iya."

Sepeninggal Mas Fian, aku berhenti bersandiwara. Kuhempaskan bokong ini, melepas lelah setelah berusaha lolos dari cengkeraman singa tua, hehe.

Saat jam makan malam tiba, aku duduk di depan meja makan malam yang mewah dan indah. Berbagai macam menu masakan lezat tersaji di atasnya, lengkap dengan makanan penutup dan buah-buahan.
Diubah oleh blackgaming 07-03-2021 07:59
ichigame16
ciptoroso
sormin180
sormin180 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
18.6K
51
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
blackgamingAvatar border
TS
blackgaming
#36
Chapter 20


Lama sekali aku memutar otak untuk mengingat sosok Ayu, hingga akhirnya aku ingat kalau dia adalah wanita yang berbicara di lobi hotel saat kami hendak melakukan bulan madu beberapa tahun lalu.

Aku sempat bertanya siapa sosok wanita yang menyapanya,Mas Fian menjawab kalau itu mantan pacarnya yang menikah dengan orang lain.

Meski awalnya Mas Fian tidak mau bercerita banyak, tapi setelah aku memaksa barulah terungkap bahwa Ayulah yang menjadi penyebab suamiku betah membujang.

Ayu adalah cinta pertama Mas Fian, maka sangat wajar jika saat patah hati ia merasa depresi berlebih hingga menimbulkan rasa trauma akan memulai kembali suatu hubungan dengan wanita lain.

Kenapa aku merasa minder? Aku bukan apa-apa dibandingkan Ayu yang seorang dokter spesialis. Apalagi saat tadi di dalam ruangan periksa, dia bilang kalau dia sudah bercerai dengan suaminya.

Pikiranku benar-benar kacau, hatiku panas. Aku cemburu! Sosok Dokter Ayu nyaris sempurna dibandingkan aku.

Seandainya bisa, kalian akan melihat dua buah tanduk muncul di kedua sisi kepalaku dan juga asap yang keluar dari hidung juga telingaku.

Tuhan! Mungkinkah mereka akan CLBK?

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

Sesampainya di rumah, aku langsung menidurkan Atha dan segera kuberikan obat penurun demam.

Setelah itu, tanpa bicara aku ke dapur untuk menyiapkan makan malam kami, Mas Fian yang sudah mandi dan berganti pakaian pun menghampiri aku yang sedang sibuk memasak di dapur.

"Masak apa, Sayang? Harum banget."

Aku bergeming.

Ia duduk di kursi mini bar yang jaraknya tidak jauh dari tempat aku berdiri, biasanya setiap kali aku sedang di dapur dia selalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang ini lalu kemudian mencium tengkuk dan pipiku.

Tapi malam ini Mas Fian berbeda, tidak biasanya ia duduk tanpa memeluk atau menciumku terlebih dahulu. Pasti gara-gara keinget sama si Dokter Ganjen itu, jadi dia ngerasa kurang cinta lagi sama aku.

Hati ini dongkol bukan main, tersayat-sayat rasanya sakit sekali. Sampai ingin sekali kumenangis membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku.

Aku yang terbakar amarah memasak dalam gaduh, membanting perabotan yang ada satu sama lain.

"Sayang, kok banting-banting barang?"

Aku diam tidak menjawab, terus saja memasak.

"Sayang, kamu kenapa?"

Lagi-lagi aku diam, tidak kugubris pertanyaannya. Mas Fian beranjak dari duduknya dan kemudian mematikan api kompor.

Aku menatapnya tanpa berbicara, tanganku segera menyalakan kembali kompor itu.

"Kamu ini kenapa, Sayang?"

"Gak usah nanya, Mas harusnya peka."

"Peka? Mas gak tahu ada apa."

"Mas gak tahu atau gak mau tahu penyebab aku bisa sampai semarah ini?"

"Astaga, Dek! Kenapa? Ada apa?"

"Cari tahu sendiri, aku malas jawab!"

Mas Fian meraup wajah kasar, lalu kemudian membalik badan ke depan dan ke belakang bergantian sembari berkacak pinggang dengan sebelah tangannya.

"Ayu?" Nama itu akhirnya terlontar dari mulutnya. "Hanya karena tadi Mas berbincang dengan Ayu, Dek Amel sampai marah seperti ini?"

"Bukan masalah berbincangnya, tapi masalah etika bicara kalian. Gak sopan, ada aku malah asyik sendiri."

"Apa salah kami, Dek? Hanya berbincang biasa."

"Biasa awalnya, lama-lama akan jadi luar biasa!"

"Maksud Dek Amel apa? Kok jadi ngelantur omongannya."

"Dia, maksud aku, Ayu adalah wanita yang berbincang dengan mas di lobi hotel dulu kan?"

Mas Fian tidak menjawab pertanyaanku, ia membuang pandangan ke kolam ikan yang dipenuhi dengan ikan koi melalui jendela kaca transparan di sisi pintu dapur menuju ke halaman belakang.

"Kenapa Mas Fian diam? Saking bahagia ketemu mantan pacar, sampai- sampai aku dicuekin, berasa ruangan milik berdua."

"Loh gak gitu, Sayang. Dek Amel jangan salah paham, dong! Jangan berpikir seperti anak kecil."

"Memang aku masih kecil, usia aku teroaut jauh dengan Mas. Mas Fian dan Ayu yang sudah dewasa, jadi aku gak ngerti sama pola pikir kalian. Aargh!"

Dengan kesal, aku membanting sodet kayu yang sedari tadi kupakai untuk mengaduk udang balado di penggorengan ke lantai. Sehingga noda cabai menyiprat ke mana-mana.Kemudian secepatnya berlalu meninggalkan Mas Fian yang berdiri terpana, dengan raut wajah tidak menentu.

Aku yang sakit hati, memutuskan untuk berbaring disamping Atha, menahan rasa lapar yang mulai menyerang. Air mata mengucur deras, membasahi permukaan bantal.

Mata ini kupejamkan saat Mas Fian masuk, sedu sedanku menjadi saat tangannya menyelusup memeluk pinggangku dari belakang.Yang terjadi selanjutnya adalah bibirnya menciumi rambut dan pipiku.

"Dek ... jangan berpikiran terlalu jauh seperti itu."

Bahuku bergetar naik turun semakin tidak terkendali, begitu pula dengan air mata ini semakin tumpah ruah.

Mas Fian bergerak lebih, ia sekarang berusaha untuk membalikkan tubuh ini. Aku yang tidak mau bicara, pun bersikeras melawan arah tarikan tangannya.

"Jangan kaya gini dong, Dek! Kita bicara," bujuknya berbisik di telingaku.

"Gak ada lagi yang harus kita bicarakan, aku ngantuk."

Mas Fian menarik bahuku dengan sekuat tenaga, sehingga tubuhku menghadap ke atas.

Mas Fian yang duduk ditepi tempat tidur, pun menatap lekat. Tangannya mengusap pipiku yang basah.

"Gak ada alasan buat Mas berpaling, apalagi sampai menduakan Dek Amel."

"Ada!"

"Gak ada, Dek."

"Ada!"

"Bagi Mas gak ada, Dek Amel satu untuk saat ini dan selamanya."

"Karena aku belum bisa kasih Mas keturunan, itu alasan kuat yang bisa bikin Mas berpaling, menduakan, bahkan ninggalin aku."

"Astaghfirullah."

"Jangan pesimis, Mas sudah bilang, optimis!"

"Aku gak pesimis, tapi khawatir kehadiran Ayu akan bikin Mas berubah."

"Seumpama memang itu sampai terjadi, Mas gak akan pernah melakukan apa yang Dek Amel tuduhkan barusan. Kita sudah punya Atha, itu sudah lebih dari cukup."

"Mungkin saja kan, Mas masih penasaran dengan Ayu."

"Dek, dengar! Mas nikahin Adek, bukan karena frustasi Ayu nikah dengan laki-laki lain. Kita nikah jauh setelah Ayu memutuskan untuk menyerah memperjuangkan hubungan kami," terangnya berusaha untuk meyakinkanku.

Aku bangkit lalu duduk, kepalaku merunduk dalam-dalam. Kemudian dengan suara parau aku menjawab, "Aku pernah membuat Mas kecewa, aku percaya karma itu ada. Dan, Ayu-"

"Dek Amel anggap Ayu adalah karma yang datang untuk mengganjar kesalahan Dek Amel dulu?"

Aku mengangguk dan kemudian menghambur memeluk Mas Fian. "Aku takut kehilangan Mas."

"Masa?"

Punggung kekarnya kutinju beberapa kali, hal itu membuat tawa kecil Mas Fian berderai. Pelukan kami dilerai, lalu menyugar rambutku dengan jemarinya.

"Dek Amel, Sayang. Stop berpikir yang enggak-enggak tentang Mas dan Ayu! Masalah kejadian tadi, Mas minta maaf. Mas gak punya niat buat mengabaikan Dek Amel."

Aku mengangguk sembari mengumbar senyum, hatiku yang tertambat sulit membayangkan jika sampai harus kehilangan lelaki hebat sepertinya.

Namanya terpatri kuat di dalam kalbu, menciptakan rasa cinta dan sayang yang luar biasa.

Lelaki yang dulu sangat kubenci, kini telah menjelma menjadi seseorang yang sangat aku kasihi. Kebaikan diri serta kelembutan hatinya, berhasil mencuri hati yang hampir mati.

Aku adalah wanita yang sangat beruntung, bisa memiliki suami seperti dia. Sebisa mungkin aku akan jaga Mas Fian dari godaan si Ayu yang ganjen itu.

Kemarahan ini sudah reda, ucapannya membuatku yakin bahwa memang benar cintanya hanya untukku. Semoga, selamanya begitu.

Tatapan matanya yang hangat dan teduh, selalu berhasil membuat hatiku luluh.

"I love you," bisiknya.

Ungkapan cintanya membuatku tersanjung, aku yang bahagia sulit untuk bisa menahan hasrat yang mulai menyeruak.

Kucium mesra bibirnya, kami saling memagut lembut. Aku sangat menikmatinya.

Kesyahduan kami terhenti, manakala Mas Fian berbuat jahil dengan menggigit bibir bawah ini. Hal itu sontak membuatku terkejut dan kemudian menampar pipinya.

"Astaga, Dek! Sakit. Kenapa yang kok tiba-tiba mukul Mas?" sungutnya terkekeh sembari mengelus pipinya yang memerah.

"Sakit tahu! Mas merusak suasana ah, awas-awas aku mau lanjut masak aja."

Aku bangkit dan beranjak hendak kembali keluar dari kamar dan kembali ke dapur, tapi tiba-tiba tangan kekar Mas Fian merengkuh tubuh ini dari belakang lalu mengangkat dan menghempaskannya diatas sofabed.

"Maaass, aku mau masak. Lepasin, ih!"

"Ssst, jangan berisik, Sayang! Atha nanti bangun."

"Makanya awas! Aku mau ke dapur."

"Mau main di dapur?" tanyanya menggoda aku.

"Ngeres! Aku mau masak lagi."

"Pending! Suruh siapa barusan Dek Amel cium-cium bibir Mas? Jadinya Mas pengen," katanya to the point.

Kedua tangannya kompak membuka satu persatu kancing kemejaku, aku yang tidak kuasa menolak pun membiarkan diri menerima sentuhan demi sentuhan lembut darinya.

Lenguhan panjang tercipta, saat biduk asmara berhasil mencapai tujuan. Saling menggenggam satu sama lain, hangat dan intim.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

"Assalamualaikum," ucap seorang wanita muda berambut panjang yang memakai kemeja dan celana jeans.

"Waalaikumsalam, maaf Mbak cari siapa?"

"Betul ini rumah Ibu Amelia?"

"Iya saya, Amelia. Mbak siapa?

"Saya Rini, Bu. Saya baca iklan di FB tentang lowongan kerja jadi pengasuh, apa belum terisi, Bu?"

Mataku berbinar, akhirnya setelah satu bulan pencarian yang dinanti pun hadir.

"Belum, mari silahkan masuk! Kita bicara di dalam."

Rini berjalan mengekor di belakangku. Kupersilahkan wanita berwajah oval itu untuk duduk. Sementara aku, berpamitan ke dapur untuk membuatkannya minuman.

Tidak lama aku kembali dengan secangkir teh manis hangat di atas nampan kecil. "Silahkan diminum, Mbak!"

"Saya bukan tamu, Bu. Kok Ibu repot-repot," tuturnya merasa tidak enak.

"Sekarang masih tamu, hehe."

"Hehe, terima kasih banyak sebelumnya, Bu."

"Santai aja, Mbak. Jadi gimana Mbak? Mbak punya teman yang mau direkomendasikan ke saya untuk jadi baby sitter, atau Mbaknya sendiri?"

"Saya yang berminat menjadi baby sitter."

"Sebelumnya sudah pernah bekerja di mana?"

"Sudah sering saya mengasuh bayi dan anak, terakhir saya menjadi baby sitter satu tahun yang lalu."

"Lalu kenapa satu tahun terakhir kemudian, Mak gak bekerja?"

"Saya ikut suami ke kampungnya, tapi apa daya rumah tangga kami gak bisa dipertahankan lagi, Bu. Kami bercerai, dan kembali ke orang tua saya."

"Saya turut prihatin."

"Makasih, Bu."

"Mbak sudah punya anak?"

"Satu bu, usianya 2 tahun. Sekarang diasuh oleh ibu saya."

"Oh gitu, berarti Mbak sudah terbiasa ya mengasuh bayi?"

"Iya Bu, saya sudah biasa urus dan rawat bayi."

"Boleh saya lihat surat-surat lengkap Mbak Rini? Yang aslinya ya."

"Ini Bu, sudah saya siapkan semua persyaratan yang Ibu minta."

Rini menyodorkan berkas pribadi seperti kartu tanda pengenal, kartu keluarga, ijazah terakhir, dan akta kelahiran. Kulihat dengan seksama dan menyamakan identitas satu dengan yang lainnya. Hal ini aku lakukan demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Setelah kulihat dengan teliti, kemudian aku foto dan kukirimkan ke Mas Fian. Meminta persetujuannya.

[Bagaimana menurut, Mas?] Kukirimkan pesan lanjutan setelah foto.

[Kalau Dek Amel cocok, Mas juga cocok.]

[Baik, Mas.]

Kemudian aku mengembalikan semua berkas kepada Rini.

"Kapan Mbak siap kerja?"

"Insya Allah besok, Bu."

"Oke, akan saya jelasin tentang gaji, job desk dan waktu kerjanya. Gaji perbulan 1,5 juta, bekerja mengurus anak saya tapi kalau dia tertidur tolong bantu bersihkan rumah karena suami saya orangnya sangat pembersih, masalah masak itu jadi urusan saya dan waktu kerja Sabtu siang Mbak boleh pulang, hari minggu libur. Mbak kembali lagi Senin pagi sebelum saya berangkat kuliah. Bagaimana Mbak bisa?"

"Insya Allah, bisa."

"Oke kalau gitu, besok Mbak Rini sudah mulai bekerja."

"Baik bu, terima kasih, kalau begitu saya pamit dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Lega, akhinya masalah pengasuh Atha terpecahkan. Lusa aku bisa mulai kuliah dan mengejar ketertinggalanku.

šŸ–¤šŸ–¤šŸ–¤

[Bu, bisa tolong pulang sekarang Bu, ini Atha jatuh kepalanya terbentur sisi tangga, saya takut kenapa-kenapa, Bu.]

Satu pesan dari Rini membuatku gusar, aku yang tidak bisa segera pulang karena sedang menghadapi sidang skripsi pun akhirnya segera menghubungi Mas Fian.

"Mas, tadi Rini WA aku katanya Atha jatuh kepalanya terbentur, Mas bisa pulang sekarang gak? Aku beberapa menit lagi masuk ruangan, begitu selesai aku langsung pulang."

"Iya, Sayang. Mas pulang sekarang."

Usai menelepon Mas Fian, pikiranku menjadi kacau. Terbayang tangisan pilu bayi yang sudah mulai berjalan merayap dengan cara berpegangan itu,

kesehatan Atha, aku mengerjakan soal ujian dengan asal, asal cepat dan asal beres.

Begitu semua urusanku selesai, aku segera pulang dengan menaiki ojek online.

Driver ojol kuperintahkan untuk menambah kecepatan motor, alhasil dalam waktu yang lebih cepat dari biasanya aku sampai di depan rumah.

Kulihat mobil Mas Fian sudah terparkir di garasi, dan sebuah mobil asing yang baru kulihat.

Usai membayar ongkos, aku bergegas masuk ke dalam. Rini menyambut kedatanganku dengan wajah merasa bersalah, mungkin karena kejadian yang menimpa Atha.

"Saya betul-betul tidak sengaja, Bu." Rini menghampiri aku yang sedang duduk di kursi teras sembari membuka sneakers.

"Ini musibah, Mbak. Sudahlah."

"Saya berjanji akan lebih waspada lagi nanti."

"Iya, Mbak. Bagaimana dengan keadaan Atha sekarang?"

"Sudah tenang, Bu. Dokter Ayu sudah memeriksa dan memberinya obat."

"D-dokter Ayu?" Namun aku terkejut dengan pemandangan yang kusaksikan.

"Di mana mereka sekarang? Maksudku, Bapak."

"Di kamar, Bu."

Segera aku berlalu masuk, jantung ini berdegub kencang saat ruangan yang hendak aku tuju semakin mendekat. Peluh mendadak membanjiri tubuh, seiring dengan hawa panas dan dingin yang menyergap.

Langkahku terhenti di ambang pintu, kedua tungkai kaki terasa melemah hingga hampir saja aku terjatuh bila tidak berpegangan.

Mata yang membulat sempurna ini pun kian memanas, ketika kulihat Mas Fian berduaan dengan Ayu, mereka sedang berpelukan.

Hati ini remuk redam dibuatnya, air mataku tumpah ruah bagai air bah. Dengan emosi memuncak, aku berjalan masuk lalu menarik bagian belakang kemeja wanita ganjen dan menyeretnya keluar kamar.

Kudorong tubuh wanita yang tingginya bak seorang model tersebut, hingga tersungkur ke lantai dengan punggung terjerembap ke dinding.

"Dek, apa yang kamu lakukan?"

"Ada dia, Mas berani menyebut aku dengan sebutan 'Kamu'?"

"Istighfar, Dek! Semua yang Dek Amel lihat tidak seperti apa yang dibayangkan, please hargai Ayu!"

"Mas minta aku menghargai dia, tapi Mas sendiri gak menghargai aku yang berstatus istri sahnya, Mas."

"Astaga, Dek. Gak gitu."

"Kalian kalau mau berbuat mesum jangan di rumah ini, tahu malu lah."

Ayu bangkit berjalan perlahan mendekatiku, ia berusaha ingin bicara tapi secepatnya aku memberinya pelajaran lagi.

"Mau apa kamu di sini? Kamu mau coba-coba merebut suamiku?" tanpa menunggu jawaban, aku kemudian menamparnya.

"Mel, aku bisa jelaskan!"

"Jelaskan kalau di dalam hatimu masih ada cinta untuk Mas Fian? Iya?"
rinandya
nomorelies
ni12345
ni12345 dan 9 lainnya memberi reputasi
8
Tutup