Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

uclnAvatar border
TS
ucln 
Karma : Hurt No One


Quote:





I never meant to hurt no one
Nobody ever tore me down like you
I think you knew it all along
And now you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
And will I ever see the sun again?
I wonder where the guilt had gone
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt no one
Sometimes you gotta look the other way
It never should've lasted so long
Ashamed you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
I know I'll never be the same again
Now taking back what I have done
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt nobody
Nobody ever tore me down like you
I never meant to hurt no one
Now I'm taking what is mine..




<< Cerita sebelumya



Quote:


Diubah oleh ucln 30-09-2020 12:48
qthing12
sukhhoi
jalakhideung
jalakhideung dan 55 lainnya memberi reputasi
-12
84.5K
610
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
angchimoAvatar border
angchimo
#452
Part 83


Proses pemakaman Nenek gue dilakukan pada hari itu juga. Kami baru selesai melakukan seluruh proses pemakaman saat hampir memasuki waktu maghrib. Setelah semuanya selesai, gue memutuskan untuk pulang. Gue pulang ke sebuah tempat yang seharusnya gue sebut rumah. Gue bergegas mandi, lalu masuk ke sebuah kamar yang selama ini ditempati oleh Adam.

Rumah ini cuma ada dua kamar. Sebenernya Bokap berencana membuat satu kamar lagi di lantai dua. Namun karna katanya kekurangan biaya dan gue juga sempat memutuskan untuk tinggal bersama Nenek gue, maka rencana itu diurungkan.

"Ayok keatas lagi Gus." Ucap Adam saat mendapati gue tengah rebahan diatas kasurnya.

Adam bermaksud mengajak gue ke rumah Nenek gue lagi karna akan ada pengajian untuk Nenek gue selepas waktu sholat Isya. Namun gue ga menjawab ajakannya. Kemudian Adam memutuskan untuk jalan sendiri rumah Nenek gue, dimana Bokap dan Nyokap gue memang masih disana bersama hampir seluruh keluarga besar Bokap. Bahkan juga Liana masih disana saat gue meninggalkannya dengan alasan mau mandi dirumah.

Gue masih merebahkan diri diatas kasur sambil menatap langit-langit kamar. Gue sungguh merasa bersalah. Seharusnya gue ga keluar semalam. Seandainya gue ada dirumah Nenek gue, mungkin ketika Nenek gue terkena serangan jantung gue akan bisa melakukan sesuatu untuknya. Atau sekedar mencarikan bantuan. Namun, setelah Bang Hassan berangkat kerja di pagi hari, ga ada yang tau apa yang terjadi pada Nenek gue sampai saat siang hari sebelum gue pulang, temen pengajian Nenek gue yang datang dan merasa curiga karna ga ada jawaban dari siapapun ketika ia mengucap salam dari luar, akhirnya menemukan nenek gue tergeletak diatas sofa ruang tamu dengan keadaan tak lagi bernapas.

Gue benar-benar memaki dan mengutuk diri gue sendiri. Gue selalu merasa mampu melakukan sesuatu untuk orang lain, tapi gue ga pernah mampu melakukan apapun untuk keluarga gue sendiri. Gue selalu seolah merasa menemukan kebahagiaan bersama 'keluarga' di luar sana, tapi keluarga gue yang sebenernya justru ga berhasil gue bahagiakan. Hingga akhirnya gue kehilangan lebih dari yang bisa gue bayangkan.

"Gus.."

Suaran pelan dari depan kamar yang pintunya gue biarkan terbuka membuat gue kembali dari lamunan. Gue menoleh ke asal suara, dimana Liana tengah berdiri di depan kamar bersama Nyokap gue.

Nyokap gue mengusap pundak Liana sejenak kemudian mempersilahkan Liana masuk ke dalam kamar sementara Nyokap gue berjalan dan memasuki kamarnya sendiri.

"Kamu udah mandi?" Tanya Liana sambil duduk di pinggir kasur tepat disebelah gue. Gue hanya menjawab dengan anggukan.
"Yaudah ayok ke rumah Emak lagi, bentar lagi kan mulai pengajiannya."

Gue menghela napas kemudian bangkit dari posisi tiduran dan duduk disamping Liana.

"Kamu pernah ga, Li, ngerasa seolah kamu bisa terbang. Bahkan yakin banget bisa terbang..?" Tanya gue sambil menundukkan wajah tanpa menatap Liana.
"Tapi saat kamu bersiap buat terbang, yang kamu lakuin justru cuma sebuah lompatan kecil, yang bahkan malah bikin kamu jatuh setelah melompat.."

Liana ga menjawab apapun dan sepertinya memilih memposisikan diri sebagai pendengar.

"Yang paling menyakitkan buat aku bukan soal jatuhnya, Tapi soal sombongnya aku yang merasa mampu buat terbang tapi malah terjatuh dan diketawain sama orang-orang disekitarku."

"Ga ada yang ketawain kamu Gus. Ga akan ada." Ucap Liana kini setelah menurutnya gue telah selesai berbicara.
"Semua orang justru nunggu kamu bangun, dan nyoba buat terbang lagi. Dan sekalipun kamu akan jatuh lagi, semuanya akan tetap nunggu sampe kamu bener-bener berhasil terbang." Lanjut Liana.

Gue menatap Liana yang duduk begitu dekat dengan gue. Ia terlihat memasang sebuah senyum yang gue yakin sangat tulus. Kemudian ia melingkarkan kedua tangannya merangkul pundak dan leher gue seperti memeluk dengan posisi menyamping namun masih sambil memberikan senyumnya.

"Semua orang pernah jatuh Gus. Bisa karna salah mempertimbangkan langkah, atau bisa juga karna alasan konyol seperti kebanyakan tingkah."
"Dan yang akan diingat bukan cuma soal alasan kenapa kita jatuh, tapi juga soal gimana cara kita buat akhirnya bisa berdiri lagi, dan mencoba lagi." Ucap Liana

Gue ga bisa mengucapkan apapun mendengar setiap kalimat yang ia ucapkan barusan. Gue benar-benar terpaku dan ga menyangka kalimat itu keluar dari mulutnya.

"Salah satu alesan kenapa aku masih ada disini jalanin hari-hari sama kamu adalah karna aku percaya kamu orang yang baik, Gus. Tapi, orang baik itu bukan orang yang sibuk ngelakuin kebaikan buat semua orang di dunia. Cukup jadi orang yang baik buat orang-orang disekitar kamu, buat keluarga kamu. Aku yakin itu ga akan pernah bikin kamu jatuh dan merasa bersalah lagi."

Liana kemudian mengacak-acak rambut gue, lalu mengecup kening gue. Ia setengah berdiri di hadapan gue dan mengangkat wajah gue dengan kedua telapak tangannya.

"You'll get through this, eventually. I promise." Bisik pelan lalu kemudian keluar dari kamar gue.


****


Mungkin dua bulan sudah gue ga pernah datang lagi ke basecamp. Karna setelah Nenek gue meninggal, gue akhirnya memutuskan berdamai dengan Nyokap. Gue kembali tinggal di rumah, namun dengan syarat yang gue ajukan bahwa gue gamau lagi dipertanyakan akan pulang jam berapa setiap hari. Dan meski Nyokap menyetujui syarat itu, tetap saja setiap jam 8 malam selalu ada sms masuk ke handphone gue dari Nyokap yang bertanya gue lagi dimana dan kapan akan pulang.

Kadang kalo sms itu masuk dan gue membacanya saat lagi bersama Liana, kekesalan gue selalu malah membuat Liana tertawa. Liana selalu bilang bahwa bagaimanapun Nyokap akan selalu memperlakukan gue seperti anak bontotnya yang masih kecil. Nyokap akan selalu merasa khawatir dan ga tenang kalo gue belom ada di rumah, meskipun semestinya beliau tau gue mungkin sedang bersama Liana di rumah Liana.

Dan bagi Liana, gue seharusnya menikmati semua itu sebagai bentuk perhatian dari Nyokap, bukan sebagai sebuah kekangan. Lagipula Nyokap cuma sekedar bertanya lewat sms, bukan nyamperin gue langsung kaya Ibu-ibu yang nyamperin anaknya sambil bawa sapu karna anaknya kelamaan main di warnet.

"Terus Kak Canda gimana kabarnya Gus?" Tanya Liana saat gue sedang duduk di lantai beralaskan karpet di ruang keluarga rumahnya sambil mengerjakan pesanan design dari temen gue.

"Gatau, aku kan udah lama ga pernah kesana." Jawab gue tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

"Emang kamu ga khawatir?"

"Enggak. Ada banyak orang disana yang lebih mampu bantu dia ketimbang Aku."

Liana terdengar menghela napasnya lalu menggeser posisi duduknya mendekat ke gue. Dia menekan tombol CTRL dan S di keyboard laptop gue, lalu menutup layarnya. Gue menatapnya dengan maksud mempertanyakan sikapnya.

"Kalo kamu lagi ngomong terus aku sibuk sambil main hp kamu marah kan?"

"Ya aku kan barusan ga lagi main hp, aku lagi ada kerjaan."

"Sama aja."

"Ya beda lah." Ucap gue kesal sambil berniat membuka kembali layar laptop gue namun langsung dihalangi oleh Liana.

"Kamu sempetin kesana, temuin Kak Canda." Ucap Liana sambil kini mengambil laptop gue dan menjauhkannya dari jangkauan gue.
"Bukan salah dia kamu merasa kehilangan Emak. Bukan salah siapapun malah. Emang udah takdirnya begitu. Kamu ga perlu sampe…"

"Aku ga percaya sama takdir." Ucap gue memotong omongan Liana.
"Yang aku percaya adalah segala sesuatu terjadi karna sebab-akibat."

"Oh, wow.. what the… So you're an atheist now? Terus tadi buat apaan kamu sholat?" Tanya Liana dengan ekspresi seolah kaget namun lebih seperti mengejek.

"Enggak. I believe in God and I pray to worship Him. I just don't believe in something you call it destiny."

Liana tertawa pelan sambil menggelengkan kepalanya.

"Bagiku, I did something then things happen. It's not destiny. Sini laptopnya, aku harus ngelakuin sesuatu supaya orang lain mau ngasih sesuatu. Bukan duduk dan diem nunggu takdir yang membuat orang lain ngasih sesuatu ke aku." Ucap gue.

"Tapi kamu harus tetep sempetin buat kesana lagi, ketemu Kak Canda lagi." Pinta Liana sebelum mengembalikan laptop gue.
"Ga harus sekarang kok. Ga harus malem ini. Mungkin besok atau lusa, atau pokoknya kamu…"

"Iyaa iya. Yaudah sini laptopnya. Kamu bikin kopi kek sana."


****

Di hari-hari mendekati ujian semester enam gue akhirnya baru memutuskan untuk datang lagi ke basecamp. Liana sudah menyelesaikan Tugas Akhir yang ia susun satu semester ini. Dia kini hanya tinggal menunggu waktu untuk mempersentasikan tugas tersebut kemudian itu akan jadi akhir dari perjuangannya di jenjang kuliah.

Setelah pulang dari rumah Liana, gue ga pulang dulu ke rumah. Gue langsung mengarahkan motor menuju basecamp. Gue sudah menyampaikan hal itu pada Liana dan dia bahkan sangat mendukung. Namun gue ga menyampaikan ke Nyokap. Karna mungkin gue akan pulang nanti dan ga menginap di basecamp seperti sebelumnya.

Beberapa meter sebelum sampai di basecamp, gue lihat ada mobil Nia terpakir disana. Gue menghentikan motor dan menepi, menatap ke arah basecamp dengan merasa ragu untuk tetap kesana. Gue sudah berjanji pada Liana untuk ga akan terlalu terlibat urusan dengan Nia lagi. Dan gue gamau lagi harus membohongi Liana. Tapi bagaimanapun gue udah lama ga ketemu Kak Canda. Jadi Gue memutuskan untuk tetap ke basecamp.

Suasana di dalam basecamp masih sepi seperti biasa, hanya ada beberapa teman di lantai bawah. Gue tentu menyempatkan untuk ngobrol sejenak dengan mereka lalu kemudian menuju lantai dua.

Dari tangga, gue melihat ada beberapa orang di balkon luar. Ada Kak Tasya, Nia, dan seorang cowok yang gue ga kenali wajahnya, serta tentu saja ada Kak Canda yang langsung bangkit dari duduknya, menggeser pintu kaca dan memeluk gue yang baru sampai didepan tangga lantai dua. Kak Canda memeluk gue sangat erat bahkan sampai menggoyang-goyangkan badan gue seolah ia sangat senang dengan kehadiran gue.

"Itu siapa cowok yang diluar Kak?" Tanya gue ke Kak Canda.

Kak Canda melepaskan pelukannya dan mengarahkan pandangannya ke arah luar, lalu kembali menatap gue kemudian menggelengkan kepalanya. Ia kemudian menggandeng tangan gue dan mengajak gue menuju kamar yang ia tempati. Gue yang sempet berpikir dia akan mengajak gue ke balkon luar jadi agak kehilangan keseimbangan karna ketarik tangannya yang menarik gue ke arah lain.

Kak Canda duduk di pinggir kasur sambil tersenyum senang sementara gue menyusulnya dan menutup pintu kamarnya terlebih dahulu. Baru saja gue duduk disamping Kak Canda, pintu kamar kembali terbuka disusul sosok Nia yang masuk kemudian berdiri di depan gue sambil bertolak pinggang dan memasang wajah ga bersahabat.

"Kemana aja Lo baru kesini?" Tanya Nia sepertinya dengan nada kesal.

Gue ga langsung menanggapi dan menoleh kearah pintu dimana ada Kak Tasya dan seorang cowok asing berdiri disana.

"Dia siapa Kak?" Tanya gue ke Kak Tasya sambil menunjuk kearah cowok yang berdiri disampingnya. Kak Tasya menjawab dengan gestur kepala mengarah kearah Nia.

"Gue nanya duluan, Lo kemana aja baru kesini sekarang?" Tanya Nia dengan menaikkan nada suaranya.

Gue menatap Nia sekilas, kemudian membuang wajah darinya. Gue ga suka banget kalo Nia lagi berlagak seperti saat ini. Kalau bukan karna Kak Canda, gue pasti segera meninggalkan tempat ini.

"Dek, Udah ga usah pake ngomong kenceng- kenceng. Anak-anak nanti kebangun." Ucap Kak Canda ke Nia. Ternyata Kak Canda juga memanggil Nia dengan panggilan Adek.

"Aku ga suka, Kak, dia bertingkah semaunya. Dia pikir dia bisa datang dan pergi begitu aja sesukanya." Jawab Nia ke Kak Canda.

"Kak, gue cabut ya." Ucap Gue ke Kak Canda sambil bangkit dari posisi duduk.

Kak Canda menangkap tangan gue dan berusaha menahan gue.

"Jangan Dek, kamu baru juga dateng. Maaf ya, Nia cuma lagi…"

"Udah biarin aja Kak. Biarin dia pergi. Kita juga ga butuh dia ada disini." Ucap Nia menyela omongan Kak Canda.

Gue berbalik badan kembali ke Kak Canda kemudian mendekatkan diri membisikkan sesuatu padanya.
"Ikut gue Kak, semalem ini aja. Gue gamau ada disini. Gue tunggu dibawah." Ucap gue kemudian langsung bergegas keluar dari kamar dan menunggu Kak Canda di depan tangga lantai satu.

Setelah beberapa menit gue menunggu, Kak Canda turun dari tangga membawa tas kecil dan menggunakan celana jeans serta sweater yang kebesaran, disusul Nia yang setengah berlari mengejarnya. Nia menangkap tangan Kak Canda dipertengahan anak tangga dan meminta Kak Canda untuk tetap disini dan ga ikut gue. Namun Kak Canda dengan lembut mengatakan ke Nia bahwa dia akan kembali, dia cuma ingin ikut sama Gue semalam ini saja. Nia pun akhirnya melepaskan tangan Kak Canda. Gue langsung mengajak Kak Canda keluar dari basecamp, kemudian menarik gas motor memboncengnya.

Sekitar jam 1 malam, gue dan Kak Canda tengah menepi di sebuah warung kecil tepat diseberang masjid At Taawun, Puncak, Bogor. Kak Canda tengah menikmati teh panas yang ia pegang sisi gelasnya dengan kedua tangannya yang sepertinya kedinginan.

"Terakhir kamu dateng, kamu janji mau balik lagi malemnya lho, Dek. Tapi kamu ga dateng-dateng lagi sampe 4 bulan." Ucap Kak Canda masih dengan memegang gelas teh sambil meniup asap teh yang mengepul.

"Iya, Sorry Kak. Gue baru sempet dateng." Jawab gue.

"Kenapa? Ada masalah?"

Gue menjawab dengan gelengan kepala dan memaksakan senyum. Kemudian membuang wajah darinya, menyapu keadaan sekitar yang sangat sepi karna malam ini memang bukan malam weekend yang biasanya ramai.

"Lo mau tunggu disini atau ikut keatas sana Kak? Gue mau sholat sebentar." Tanya gue ke Kak Canda sambil menunjuk kearah mesjid.

"Emang aku ga boleh ikut sholat?"

"Eh? Yaa boleh sih, gue gatau kalo Lo juga muslim."

"Ya kamu kan ga pernah nanya Dek."

"Karna menurut gue nanya agama orang itu ga sopan."

"Ya enggak lah. Masa nanya agama orang aja dianggap ga sopan. Yaudah abisin minumannya dulu terus kita ke mesjid." Ucap Kak Canda.

Setelah gue selesai sholat, gue menunggu Kak Canda di depan pintu dimana kami tadi berpisah. Tapi lumayan lama gue menunggu, Kak Canda ga juga muncul. Gue langsung merasa khawatir dan masuk kembali kedalam mesjid dan menuju barisan shaf sholat untuk perempuan. Gue bernapas lega saat melihat Kak Canda tengah duduk di salah satu sudut barisan paling belakang. Ternyata dia tengah melipat beberapa mukena yang disediakan oleh pihak mesjid dan mungkin tadi telah digunakan oleh orang namun ga dilipat dengan baik. Gue kemudian menyandarkan tubuh di sisi tiang mesjid menunggu Kak Canda selesai.

Setelah malam semakin larut, gue akhirnya memutuskan untuk menyewa sebuah tempat penginapan yang hanya memiliki satu kamar di dalamnya. Gue menemani Kak Canda hingga ia tertidur kemudian gue tidur di sofa kecil yang berada diluar kamar.

Gue dan Kak Canda baru kembali ke basecamp sekitar jam 2 siang. Tadinya gue sempat berniat mengajak Kak Canda untuk bertemu dengan Liana, tapi sangat gue sayangkan Liana justru yang menolak karna ia tengah sibuk mempelajari tugas akhirnya untuk dipersentasikan besok. Liana memang menolak dengan halus bahkan sampai meminta maaf. Tapi entah kenapa gue merasa kecewa dengan penolakannya. Dan setelah kembali ke basecamp, gue langsung pamit untuk pulang.

"Kamu usahain tetep sering kesini dong, Dek." Ucap Kak Canda dengan wajah memelas sebelum melepas gue pulang.

"Iya Kak. Tapi gue males sih sebenernya kalo ada Nia. Gue ga suka banget sama sikapnya semalem."

"Ya Nia juga kesini paling satu kali seminggu kok, atau dua kali lah kalo lagi ketemuan sekalian sama cowoknya itu."

"Cowoknya?"

"Yaa yang semalem, itu kan cowoknya."

Gue hanya meng-oh-kan ucapan Kak Canda sambil menganggukkan kepala dan tertawa kecil. Pantes aja semalem tau-tau dia ngomong pake Lo-gue ke gue. Karna ada cowoknya toh.

Gue kemudian sekali lagi pamit ke Kak Canda. Dia memeluk gue sejenak, kemudian melepaskan pelukan namun masih melingkarkan kedua tangannya di pinggang gue.

"Dek, kalo aku pake jilbab cocok ga sih?" Tanya Kak Canda sambil menatap gue.

Gue tersenyum mendengar ucapannya barusan. Entah kenapa gue justru merasa sangat senang mendengarnya.

"Cocok lah. Cocok banget malah. Nanti gue beliin jilbab sama kaos panjang. Kalo kesini lagi gue bawain."

"Bener ya? Ga usah yang mahal-mahal Dek."

"Bener. Ga mahal kok. Lo ga usah minta ke Nia ya Kak. Gue janji akan gue bawain." Ucap gue yang kemudian dijawab dengan anggukan antusias olehnya.

Akhirnya sepanjang perjalan pulang gue senyum-senyum sendiri di motor karna membayangkan akan seperti apa penampilan Kak Canda nanti jika ia memutuskan untuk memakai jilbab. Dan gue ga sabar untuk segera mewujudkan keinginannya

tukangdjagal
oktavp
mmuji1575
mmuji1575 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup