Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

uclnAvatar border
TS
ucln 
Karma : Hurt No One


Quote:





I never meant to hurt no one
Nobody ever tore me down like you
I think you knew it all along
And now you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
And will I ever see the sun again?
I wonder where the guilt had gone
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt no one
Sometimes you gotta look the other way
It never should've lasted so long
Ashamed you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
I know I'll never be the same again
Now taking back what I have done
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt nobody
Nobody ever tore me down like you
I never meant to hurt no one
Now I'm taking what is mine..




<< Cerita sebelumya



Quote:


Diubah oleh ucln 30-09-2020 12:48
qthing12
sukhhoi
jalakhideung
jalakhideung dan 55 lainnya memberi reputasi
-12
84.5K
610
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
angchimoAvatar border
angchimo
#449
Part 82


Liana langsung bergegas turun dari motor gue saat gue baru saja menepikannya tepat di halaman rumahnya. Dia langsung berjalan cepat masuk ke dalam rumahnya, bahkan tanpa menawarkan gue untuk masuk, atau sekedar menoleh ke gue. Dan karna gue cukup tau diri bahwa dia tengah dilanda emosi, maka gue memilih mematikan mesin motor, lalu menyusul ke dalam rumahnya. Gue sempat menoleh ke ruang keluarga di bagian dalam yang berada tepat di depan kamarnya Liana, namun ga ada orang disana. Mungkin Nyokap atau Bokapnya Liana lagi di lantai dua dikamar mereka. Maka gue memutuskan untuk duduk di sofa ruang tamu menunggu Liana.

Ga lama kemudian terdengar pintu kamar Liana terbuka dan disusul dengan wujud Liana yang berdiri disamping gue dan menjulurkan tangan seperti meminta sesuatu ke gue.

"Apa?" Tanya Gue karna ga mengerti apa yang Liana minta.

"Sini handphone kamu." Ucap Liana dengan suara parau seperti orang yang berusaha menahan tangis.

Gue mengeluarkan handphone dari saku jeans kemudian memberikannya pada Liana.

"Nama Sisil kamu save pake nama apa disini?" Tanya Liana sambil sepertinya membuka isi kontak gue.

"Kamu gamau ngasih aku kesempatan buat jelasin apa-apa?" Gue bertanya balik.

"Jelasin apa? Jelasin kebohongan kamu lagi? Aku harus denger alesan-alesan dan pembelaan diri dari kamu lagi?" Tanya Liana beruntun dengan akhirnya gagal menahan tetesan air dari matanya.

Gue memalingkan wajah dari Liana. Bagi gue, melihatnya menangis selalu lebih menyakitkan ketimbang mengakui kesalahan yang telah gue lakukan.

Liana duduk di sofa disamping gue. Dia terlihat berusaha mengatur manajemen napasnya yang tengah sesak karna berusaha menahan tangis. Tetes air matanya tadi telah ia sapu dan hanya meninggalkan sedikit jejak basah di pipinya. Sementara Gue hanya bisa diam dan melihatnya. Tanpa berani mengucapkan apapun.

"Jujur sama Aku, Gus. Kamu ga pernah bener-bener sayang sama aku kan?" Tanya Liana dengan suara pelan tanpa menoleh kearah gue.

Gue masih memilih diam, dan membiarkan ribuan kata saling bongkar susun di kepala gue dengan harapan akan membentuk sebuah kalimat yang layak untuk diucapkan selain hanya kata maaf.

Liana mengarahkan pandangannya ke gue. Kedua bola matanya menyimpan genangan air yang sepertinya hanya menunggu waktu untuk tumpah.

"Jawab Gus. Jawab jujur." Ucapnya. "Kamu ga pernah..."

"Aku mungkin udah banyak banget bohong ke kamu, Li. Tapi saat aku bilang aku sayang sama kamu, aku jujur tentang itu." Ucap gue menyela omongan Liana.

"Setelah semua ini, setelah apa yang kamu lakuin ke aku, setelah kamu berhari-hari berduaan sama cewek lain tanpa sepengetahuanku, kamu masih bisa bilang kamu sayang sama aku?"

Gue menghela napas dan menyandarkan punggung gue ke sandaran sofa. Gue tau, ga sepatutnya Liana akan percaya jika gue mengatakan bahwa gue menyayanginya. Pun gue merasa ga layak untuk dipercaya lagi setelah apa yang gue lakukan padanya.

"Kalo nyakitin kamu sama sekali ga ngasih dampak rasa sakit buat diriku sendiri, aku ga akan berani bilang aku sayang sama kamu, Li." Ucap gue tanpa berani menatap Liana.

Ga ada lagi kata yang terucap dari mulut Liana. Gue kembali berpikir, mungkin memang hubungan gue dengannya udah ga layak lagi untuk dipertahankan. Semakin Liana percaya bahwa hubungan ini masih bisa dipertahankan, akan semakin sakit rasa yang ia dapatkan dari gue. Bagi gue, ga ada yang bisa gue lakukan buat memperbaiki kesalahan gue. Namun sungguh jika gue bisa untuk ga mengulangi kesalahan yang sama, gue ga akan pernah melakukannya lagi.

Gue kemudian berusaha menjelaskan tentang Nia pada Liana. Tentang bagaimana gue pertama kali bertemu dengan Nia, kemudian menjalani suatu hubungan dengannya, lalu bagaimana gue dan dia akhirnya sepakat untuk berpisah. Dalam seluruh penjelasan gue, Liana memilih memposisikan diri sebagai pendengar. Entah dia mempercayai atau tidak, gue memilih tetap menceritakannya dengan jujur. Seutuhnya. Bahkan termasuk dengan bagaimana akhirnya gue kembali menghubungi Nia saat gue merasa kesal dengan Liana waktu itu, lalu juga soal gue yang menghabiskan waktu menemani Nia di rumah sakit, hingga soal kehadiran Kak Canda.

Liana tentu kecewa mendengar seluruh penjelasan gue. Baginya, kejujuran yang ga diungkapkan adalah kebohongan yang ditutupi sementara waktu. Ketidakjujuran itu lah yang akhirnya membuat gue melakukan kebohongan demi kebohongan untuk menutupi segala hal yang gue ga ingin Liana tau. Dan selalu pada akhirnya, kebohongan akan terungkap menjadi sebuah pengakuan yang menyakitkan. Itulah yang mungkin Liana rasakan saat ini.

Dan dari setumpuk kekecewaan yang ia rasakan, satu hal yang menurutnya paling ia sesali adalah ketika gue memutuskan untuk membantu Kak Canda tanpa melibatkan dirinya. Dia menyesali keputusan gue untuk membawa Kak Canda, dengan niat membantu, ke tempat yang gue sebut basecamp, yang akhirnya hanya akan membuat gue semakin intens bertemu dengan Nia. Liana ga mempermasalahkan ketika gue mengatakan bahwa gue telah berjanji untuk akan selalu ada bagi Kak Canda. Gue berjanji akan menjadi orang yang melakukan apapun untuk Kak Canda. Liana sama sekali ga cemburu ketika gue mengatakan hal itu. Karna sungguh yang gue rasakan pada Kak Canda bukanlah perasaan terhadap lawan jenis. Bagi gue, memperbaiki kondisi mental Kak Canda dari rasa takut akibat siksaan yang ia alami sekian lama adalah prioritas utama gue. Namun tentu saja, keterlibatan Nia menjadi kecemburuan bagi Liana. Liana juga menyesalkan kenapa gue ga membawa Kak Canda kerumahnya dan meminta bantuannya untuk membantu Kak Canda. Menurut Liana, ia akan dengan senang hati melakukannya. Tapi yang gue lakukan adalah malah melibatkan Nia.

Gue meminta maaf padanya soal hal itu. Karna gue berpikir jika gue membawa Kak Canda pada Liana, hal itu hanya akan membuat Liana curiga pada gue. Gue khawatir Liana ga percaya pada gue yang bertujuan untuk membantu Kak Canda. Hal ini lah yang kemudian kami sesali. Miss komunikasi dan rasa tidak percaya pada satu sama lain membuat kami ga selalu terbuka pada setiap hal yang terjadi.

Namun yang telah terjadi biarlah terjadi. Gue tentu meminta maaf pada Liana. Dan gue mengatakan bahwa seandainya ia memang memaafkan gue, tetap saja gue akan berusaha menjadi seseorang yang selalu ada bagi Kak Canda. Gue akan selalu berbagi apa yang gue punya padanya, tanpa bermaksud menjadikan Liana sebagai prioritas kedua. Liana pun memahami itu. Namun Liana meminta gue berjanji akan berusaha untuk ga terlalu sering berhubungan dengan Nia jika untuk sesuatu yang ga terlalu penting. Dan ia meminta jika Kak Canda telah siap untuk keluar dan bertemu orang lain, ia ingin gue mempertemukan Kak Canda padanya. Hal yang kemudian menjadi sebuah janji dari gue pada Liana. Sebuah janji lain yang gue percaya seharusnya bisa gue tepati.

Gue lalu kembali menegaskan pada Liana soal kelanjutan hubungan kami. Lagi-lagi bagi Liana, memaafkan adalah cara baginya untuk memberikan gue kesempatan yang lain. Kesempatan untuk memperbaiki diri dan bisa memperlakukan Liana dengan lebih baik. Tentu saja gue berharap gue ga akan pernah lagi menyakitinya. Karna sejujurnya apa yang gue rasakan pada Liana lebih dari yang bisa gue ungkapkan. Ada harapan besar dalam hati gue untuk dapat terus berbagi hari dengannya. Meski gue menyadari, setiap kesalahan yang seolah termaafkan kelak akan menjadi sebuah ledakan besar dari Liana jika gue gagal memperbaiki diri gue. Yang mungkin ledakan itu akan membuat gue hancur dan kehilangan.

***

Gue pulang dari rumah Liana dengan membawa harapan dan kesempatan baru. Kali ini gue jujur pada Liana bahwa gue hanya akan pulang sebentar ke rumah nenek gue, mengambil pakaian, kemudian akan ke basecamp dan menghabiskan malam menemani Kak Canda. Liana mempersilahkan gue namun dengan lagi-lagi permintaan janji agar gue ga melewati batas bersama Kak Canda. Gue tertawa kecil mendengar permintaan Liana. Gue tau apa yang gue lakukan. Gue ga akan pernah tega melewati batas seperti yang ia maksud. Bagi gue perasaan gue ke Kak Canda jelas; Gue menyayanginya seperti seorang adik pada Kakaknya. Begitu pula sebaliknya. Yang gue inginkan adalah selalu bisa membuat Kak Canda tersenyum. Dan tentu saja bisa membuat Kak Canda kembali normal dan mengalahkan rasa takutnya pada orang lain.


Akhir-akhir ini Kak Canda telah mulai terbuka dan bercerita banyak pada gue. Gue juga semakin sering melihat tingkahnya yang agak normal seperti bersenandung pelan, tertawa atau sekedar tersenyum atas hal yang menurutnya lucu ketika kami berbagi cerita. Kak Canda perlahan berubah dari seorang yang hanya lebih sering diam dan menangis menjadi seorang yang agak bawel seperti perempuan pada umumnya. Bahkan kini Kak Canda ga lagi merasa sungkan jika ia ingin meminta sesuatu ke gue. Dia pasti akan menyampaikan apapun yang ingin ia sampaikan ke gue tanpa lagi merasa sungkan.

Sesampainya di rumah nenek gue, Gue menuju kamar dan mengambil selembar kaos lalu memasukkannya ke dalam tas. Bang Hassan tiba-tiba muncul dan masuk ke kamar yang gue tempati.

"Baru balik Lu Cil? Sampe malem banget kuliah doang?" Tanya Bang Hassan sambil mengambil rokok gue yang gue letakkan diatas meja kecil di dalam kamar, lalu menyulutnya.

"Kagak, tadi gue abis dari rumah Liana." Jawab gue.
"Emak udah tidur?”

"Udah kayanya. Baru banget masuk kamarnya sih dia tadi. Emang ngapa? Lu mau makan?"

"Enggak deh, yaudah ntar Gue makan diluar aja."

"Lah Lo mau kemana lagi?"

"Main. Nginep di tempat temen gue." Ucap gue sambil kembali menggendong tas dan melangkah ke luar kamar.

Gue menuju ke kamar nenek gue, membuka pintu kamarnya perlahan dan melongokkan kepala. Gue liat nenek gue tengah duduk di lantai beralaskan sajadah dan masih menggunakan mukena sambil membaca Al Quran. Gue memasuki kamarnya dan menghampiri nenek gue untuk mencium tangannya.

"Darimana baru pulang jam segini?" Tanya Nenek gue setelah menangguhkan bacaannya.

“Abis dari rumah Liana tadi. Bagus mau main ke tempat temen lagi ya Mak. Nginep kayanya.”

"Alah Lu mah tiap malem juga kagak pernah tidur dimari. Emangnya Emak kagak tau." Ucap Nenek gue sambil menyentil telinga gue pelan.

"Iya. Tapi jangan bilang-bilang ke Ayah. Yaudah Bagus jalan dulu." Ucap gue sambil kembali mencium tangan nenek gue.

"Makan dulu ga?"

"Kagak dah ntar aja gampang."

Gue keluar dari kamar nenek gue dan kembali menutup pintunya. Lalu gue menoleh kembali ke kamar gue, Bang Hassan tengah merebahkan diri disana sambil menyetel TV.

"Besok jangan balik siang-siang Gus. Gue besok masuk kerja pagi." Ucap Bang Hassan saat gue mulai melangkah kearah luar dan gue hanya menjawab sekedar mengiyakan, lalu bergegas menuju Basecamp.

Sampai di basecamp, gue langsung masuk dan sedikit berbasa basi pada beberapa teman di meja bar lantai satu, lalu segera menuju lantai dua. Dari tangga gue melihat ga ada seorang pun di balkon luar. Biasanya minimal ada Kak Canda dan Kak Tasya disana jika ga ada Bang Yuda. Kak Tasya juga selalu meluangkan waktu kesini untuk menemani Kak Canda saat gue ga ada. Tapi melihat kondisi balkon yang sepi, gue kembali turun ke lantai satu.

"Diatas ga ada orang Dim? Pada kemana?" Tanya gue ke salah satu temen gue di basecamp yang bernama Dimas.

"Ada Kak Canda harusnya diatas. Ada anak-anak juga pada dikamar nya." Jawab Dimas. "Ga ada Kak Canda gue liat di balkon."

"Ya di kamarnya mungkin. Kalo ga ada Tasya atau Yuda kan Kak Canda selalu di kamarnya." Gue meng-oh-kan jawaban Dimas lalu kembali menaiki tangga.

Kamar yang Dimas maksud adalah sebuah kamar yang berada tepat disamping kamar yang digunakan oleh anak-anak. Kamar itu memang berukuran lebih kecil. Sebelumnya dulu biasa digunakan oleh Bang Yuda atau Kak Tasya atau Nia jika mereka sedang menginap disini. Sebelum ada Kak Canda, gue biasanya tidur di sofa di lantai satu sama temen-temen yang lain. Tapi sejak ada Kak Canda, biasanya gue menemani Kak Canda sampai dia tidur kemudian gue tidur beralas tikar di depan kamar yang biasanya digunakan oleh anak-anak untuk belajar.

Gue mengetuk pintu kamar beberapa kali dengan perlahan, agar ga terlalu menggangu anak- anak yang mungkin sudah tidur di kamar sebelah. Beberapa kali gue mengetuk pintu, baru pintu itu dibukakan oleh Kak Canda. Ia menyambut gue dengan wajah dan susunan rambut yang kusut. Sepertinya dia sudah tidur barusan.

"Yah, udah tidur ya Kak? Gue ganggu?" Tanya gue masih dari depan kamarnya sementara Kak Canda kembali merebahkan diri di kasur kecil di dalam kamar.

Kak Canda ga menjawab pertanyaan gue. Mungkin dia bermaksud untuk kembali tertidur. Gue memasuki kamar dan kembali menutup pintunya. Gue mengambil gitar yang selalu diletakkan di sudut tembok kamar. Gitarnya Bang Yuda yang emang ditaro di kamar ini. Lalu gue menyandarkan tubuh ke ranjang kayu dengan posisi membelakangi Kak Canda yang telah kembali memejamkan mata. Gue hanya memetik gitar perlahan dan ga berniat mengganggu tidurnya.

"Beli makan yuk Dek. Aku Laper." Ucap Kak Canda ditengah petikan gitar gue. Kak Canda memang memanggil gue Adek karna gue pernah bercerita kalo gue dipanggil Adek di rumah sama Nyokap gue.

Gue membalik badan menghadap ke arah Kak Canda.
"Lo belom makan? Dari kapan?"

"Tadi udah kok, tapi laper lagi." Jawab Kak Canda kini sambil cengengesan.

"Mau makan apaan? Tadi di depan sih gue liat tukang pecel ayam sama nasi goreng masih buka."

"Apaan aja deh. Pecel ayam juga gapapa."

Gue meletakkan kembali gitar di posisinya lalu bangkit dari posisi duduk sementara Kak Canda hanya merubah posisi dari rebahan menjadi duduk diatas kasur.

"Mau jalan kedepan berdua apa gue aja yang beli?" Tanya gue ke Kak Canda

"Berdua aja. Aku pengen keluar juga."

“Yaudah ayok."

"Ya kamu keluar dulu Dek."

"Aku pake 'daleman' dulu lah." Ucapnya dengan wajah memerah.

"Ebuset." Celetuk gue sambil tertawa kecil kemudian keluar dari kamar dan menutup kembali pintunya.

Kak Canda dan mungkin sebagian cewek mungkin emang biasa tidur tanpa menggunakan 'daleman' bagian atas. Gue pertama kali menyadari ketika gue menemaninya sampai dia tertidur, dan tanpa sengaja melihat bekas luka yang telah mengering di bagian atas dekat dadanya. Gue ga bisa membayangkan apa yang Kak Canda rasakan setiap kali ia melihat bekas-bekas luka di tubuhnya. Dari apa yang ia ceritakan dan ga ingin kembali gue ceritakan detailnya disini, gue memahami betapa sulitnya untuk melepas rasa takutnya untuk berinteraksi lagi dengan orang lain. Tapi beruntungnya Kak Canda kini telah mau bahkan begitu santai berinteraksi dengan gue. Dia akhirnya mau membuka diri ke gue setelah beberapa hari gue selalu menemaninya. Namun dia masih enggan untuk berinteraksi pada beberapa teman lain yang memang juga tinggal di basecamp ini. Beberapa teman itu pun juga menghargai Kak Canda dan mereka memang selalu hanya berada di lantai satu. Kadang Kak Canda hanya meminta tolong anak-anak untuk membelikan makan karna Kak Canda ga berani memintanya ke temen-temen di bawah.

Gue kemudian berjalan kaki menuju depan komplek untuk membeli makan bersama Kak Canda. Dia gamau saat gue menawarkannya untuk naik motor. Katanya dia lebih suka berjalan kaki santai karna udah lama dia ga keluar dan berjalan kaki untuk jarak yang lebih jauh dari sekedar kamarnya ke balkon luar.

Gue mengajak Kak Canda untuk ga membungkus makanan dan membawa pulang ke basecamp. Gue meminta Kak Canda untuk makan ditempat agar dia semakin terbiasa untuk berada di luar. Ia sepertinya menuruti keinginan gue namun dengan rasa terpaksa. Karna sepertinya dia masih merasa takut. Dia bahkan agak kaget saat seorang penjual nasi goreng mendekat untuk meletakkan makanan pesanannya diatas meja. Bahkan sambil makan pun Kak Canda sesekali menggenggam tangan gue cukup erat saat mendengar tawa orang disekitar kami. Gue tau dia ga nyaman dengan kondisi ini, namun gue meyakinkannya bahwa dia ga perlu takut. Ga akan ada orang yang akan mencoba mengganggunya. Lagipula gue ada disini bersamanya. Gue akan melakukan apapun untuk menyingkirkan siapapun yang mencoba untuk sekedar mengganggunya.

Setelah selesai makan, Kak Canda langsung buru-buru minta kembali ke basecamp. Dia berjalan cepat agar segera sampai di basecamp. Dia bahkan bergegas naik ke lantai dua dan berjalan menundukkan wajah ketika melewati beberapa teman yang sedang duduk di sofa atau di meja bar. Gue menyusulnya ketika ia telah masuk kedalam kamar dan menutup pintunya.

Saat gue membuka pintu. Kak Canda tengah duduk dilantai membelakangi kasur sambil memeluk kedua kakinya dan menenggelamkan kepala diantara kedua kakinya. Gue duduk disampingnya. Terdengar ia tengah terisak dan seluruh tubuhnya gemetar. Gue mengakui bahwa gue salah telah memaksa untuk makan diluar dengan suasana yang masih ada beberapa orang. Bagi gue mungkin akan terasa cukup sepi, tapi tentu beda bagi Kak Canda.

Gue mencoba melepaskan tangan Kak Canda yang tengah memeluk kedua kakinya, lalu gue memeluknya. Kak Canda semakin menangis dalam pelukan gue. Ga ada yang bisa gue lakukan selain hanya mengusap punggungnya dan menunggu hingga ia selesai menangis. Setelah cukup lama, Gue baru menyadari ketika tangan Kak Canda terlepas dari pelukan gue dan terjuntai. Sepertinya dia tertidur. Gue lalu mencoba mengangkat badan Kak Canda dan meletakkan diatas kasur. Gue merapihkan beberapa helai rambut yang menempel di pipinya yang basah dan memerah. Lama gue menatap wajahnya yang tengah tertidur dengan damai.

"Lo ga perlu takut Kak. Gue akan selalu jaga Lo." Bisik gue sambil mendekatkan diri ke telinganya, lalu mengecup keningnya.


****

Siang hari, setelah gue membeli makanan dan makan sama Kak Canda di balkon luar, gue pamit padanya untuk pulang. Dia sempat cemberut dan meminta gue untuk menemaninya sebentar lagi. Namun setelah gue menjanjikan akan kembali lagi nanti malam, ia akhirnya mempersilahkan gue pulang.

Sampai di rumah nenek gue, gue bingung saat melihat kondisi rumah nenek gue cukup ramai. Gue bahkan ga bisa memasukkan motor gue ke dalam teras. Gue memarkiran motor di depan pagar lalu bergegas masuk.

Disana ada beberapa orang tetangga yang gue kenali wajahnya. Gue kemudian masuk ke dalam rumah dan mendapati Nyokap gue yang tengah menagis dipelukan Bokap gue. Jantung gue langsung berdegup cepat. Bokap menoleh ke arah gue saat menyadari kehadiran gue. Nyokap melepaskan pelukannya dari Bokap, kemudian memeluk gue.

"Emak udah ga ada, Dek..." Ucap Nyokap sambil kembali menangis dalam pelukan gue.
Seluruh tubuh gue langsung terasa lemas. Rasa bersalah dan penyesalan begitu menyesakkan dada gue kemudian...


mmuji1575
bogalbogel28
medi.guevera
medi.guevera dan 9 lainnya memberi reputasi
8
Tutup