Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

uclnAvatar border
TS
ucln 
Karma : Hurt No One


Quote:





I never meant to hurt no one
Nobody ever tore me down like you
I think you knew it all along
And now you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
And will I ever see the sun again?
I wonder where the guilt had gone
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt no one
Sometimes you gotta look the other way
It never should've lasted so long
Ashamed you'll never see my face again
I never meant to hurt nobody
I know I'll never be the same again
Now taking back what I have done
I think of what I have become
And still
I never meant to hurt nobody
Now I'm taking what is mine

Letting go of my mistakes
Build a fire from what I've learned
And watch it fade away
Because I have no heart to break
I cannot fake it like before
I thought that I could stay the same
And now I know that I'm not sure
I even love me anymore

I never meant to hurt nobody
Nobody ever tore me down like you
I never meant to hurt no one
Now I'm taking what is mine..




<< Cerita sebelumya



Quote:


Diubah oleh ucln 30-09-2020 12:48
qthing12
sukhhoi
jalakhideung
jalakhideung dan 55 lainnya memberi reputasi
-12
84.5K
610
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
angchimoAvatar border
angchimo
#448
Part 81

Sehari sebelum ujian akhir semester 4, hal yang paling gue ingat adalah ketika Bokap dan Nyokap tiba-tiba datang kerumah Nenek gue saat gue lagi bersiap mau berangkat ke kampus.

"Tumben kemari. Ada apaan?" Tanya Gue sambil menyalami Bokap dan Nyokap kemudian gue berlalu ke dalam kamar tanpa menunggu jawaban mereka.

Gue mengambil tas di dalam kamar kemudian kembali ke ruang tamu rumah nenek gue, dimana sudah ada nenek gue duduk bersama kedua orang tua gue. Dan gue merasa sepertinya ada sesuatu yang salah.

"Kamu kuliah jam berapa Dek?" Tanya Nyokap saat gue melintasi ruang tamu berniat kearah luar.

"Jam setengah dua." Jawab gue tanpa menoleh dan tetap melangkah keluar.

"Jam setengah dua kok gini hari udah mau berangkat?" Bokap ikut bertanya.

"Ada urusan." Gue jawab singkat.

Gue mengeluarkan motor dari teras ke depan rumah nenek gue, lalu menyalahkan untuk memanaskan mesinnya.

"Anter Ayah kebawah dulu bentar Gus. Lo ga buru-buru kan?" Pinta Bokap gue sambil berdiri di depan pintu rumah.

"Kebawah mana?”

"Sana jalanan yang kebawah itu." Ucap Bokap sambil menunjuk ke arah jalan yang ia maksud.

Gue hanya menjawab dengan anggukan sambil menaiki motor.

Gue kemudian membonceng Bokap menuju sebuah tempat sesuai dengan arahan beliau, lalu berhenti di sebuah daerah perumahan yang belum rampung dibangun. Berapa bulan gue tinggal disini bahkan gue ga pernah tau daerah ini mau dibangun perumahan.

Bokap turun dari motor sambil menepuk pundak gue bermaksud mengajak gue turun dan mengikuti langkahnya, yang kemudian gue lakukan. Beliau memasuki sebuah rumah yang mungkin hanya tinggal tahap penyelesaian saja.

"Dua bulan lagi lah kita bisa pindah kesini." Ucap Bokap sambil bertolak pinggang dan menatap bagian langit-langit rumah ini.

"Kita?" Tanya gue.

"Emang Lo masih mau tinggal dirumah Emak kalo kita udah pindah kesini? Selemparan batu doang juga. Kapan aja Lo bisa kerumah Emak Lo kalo kita udah tinggal disini." Ucap Bokap.

"Bukan masalah tinggal dimana Bos. Gue gamau pulang dan denger ocehan Mama lagi." Jawab gue dengan nada menyindir.

"Ah Lo mau ngomong apa kek. Kalo Ayah suruh pulang, pulang. Ga usah banyak omong." Ucap Bokap tegas sambil kemudian mengajak gue kembali ke rumah Nenek gue.

Setelah gue mengantar Bokap kembali ke rumah Nenek gue, gue langsung bergegas berangkat ke kampus. Sebenernya gue cuman mau kumpulin tugas yang harus dikumpulkan sebelum ujian. Setelah itu gue berencana akan ke rumah Liana sampai malam.

Malam harinya, saat gue lagi di ruang tamu rumah Liana, ngobrol sambil menenangkan ponakannya yang katanya seharian ngamuk-ngamuk ga jelas karna minta beliin sepeda sama Kakeknya, Bokapnya Liana, ada sebuah sms masuk ke handphone gue.

Bang Yuda: gus, gue tggu di bscmp skrg

Gue langsung menghapus sms tersebut setelah membacanya. Sebelum Liana membaca isi kotak masuk gue. Benar saja, ga lama kemudian Liana keluar membawa segelas kopi dan meletakkannya di meja kecil disamping gue. Lalu ia mengambil handphone gue dan melakukan rutinitas sweeping kotak masuk dan history panggilan masuk.

Sepulang dari rumah Liana, sekitar jam 11 malam, gue langsung menuju ke basecamp. Tapi gue tentu berbohong ke Liana dan bilang gue akan langsung pulang lalu tidur. Alasan gue berbohong tetap sama, gue gamau Liana tau soal basecamp.

Sampai di depan basecamp, gue melihat mobil Nia terparkir disana. Gue langsung menyempatkan untuk mengirim sms ke Liana untuk mengabari bahwa gue sudah dirumah nenek gue dan mengatakan gue akan bergegas tidur. Kemudian gue masuk ke dalam basecamp dan langsung naik ke lantai dua.

Selain Bang Yuda dan Kak Tasya, di balkon lantai dua tentu juga ada Nia. Namun ternyata juga ada seorang perempuan yang beberapa waktu lalu sempat dibawa untuk di rawat di rumah sakit di Bandung. Kini tampaknya perempuan itu terlihat sudah sehat. Ia sedang duduk di sofa memangku seorang Bagus kecil. Gue menggeser pintu kaca yang memisahkan balkon luar dengan area dalam, lalu menghampiri Bang Yuda dan memberikan tos sebagai pengganti salaman.

"Gue kirain Lo ga bakal kemari. Sms gue ga dibales." Ucap Bang Yuda sambil meladeni tos gue dan memberikan bir botol kecil sekaligus alat pembuka tutup botolnya.

"Ga ada pulsa." Jawab gue sambil membuka botol bir lalu meneguknya sedikit, kemudian bersandar tembok balkon disamping Bang Yuda.
"Udah sehat Mba?" Tanya Gue ke perempuan yang duduk di sofa memangku Bagus kecil. Dia menjawabnya dengan senyuman tipis dan anggukan pelan. Cakep juga ini mba-mba kalo udah di dandanin. Batin Gue dalam hati melihat perubahan penampilannya.

"Kamu kenapa jarang kesini sekarang?" Tanya Nia sekaligus bermaksud menyapa gue.

“Kuliah. Lagi ribet."

"Aku juga kuliah kali. Di Dua tempat. Tapi ga sok sibuk kaya Kamu." Saut Nia dengan nada dibuat judes.

"Lah, emang gue punya kewajiban buat dateng kesini? Suka-suka dan sesempetnya gue lah. Kenapa Lo jadi sewot."

"Lagian Lo jawabnya tengil tau ga?!” Saut Nia kini dengan nada yang sepertinya beneran kesel.
Gue hanya tertawa kecil sambil menggelengkan kepala dan memutuskan ga melanjutkan berdebat dengannya.

"Gus. Itu kenalan dulu sama dia." Ucap Bang Yuda sambil menyenggol gue dengan siku tangannya. Merujuk ke perempuan yang duduk di sofa.

“Oh iya. Halo Mbak. Nama Gue Bagus." Ucap gue pada perempuan itu tanpa mendekatinya.

"Astaga Gus. Kamu beneran tengil banget deh. Ga ada sopan-sopannya banget, ngenalin diri kok begitu." Ucap Nia.

Tapi perempuan yang duduk di sofa itu malah bangkit dari duduknya setelah menggeser Bagus kecil dari pangkuannya, lalu ia melangkah mendekati gue.

"Makasih udah nolongin Aku waktu itu." Ucapnya pelan dengan menundukkan wajah saat ia berada tepat di depan gue.

"Bukan gue yang nolongin Lo Mbak. Mereka yang nolongin. Gue cuma nemuin Lo ke mereka." Ucap Gue sambil memberi gestur merujuk arah Nia, Bang Yuda, dan Kak Tasya.

"Iya, tapi aku tetep ucapin makasih juga sama kamu." Ucapnya lagi. Masih dengan wajah menunduk.

Melihat perempuan ini menundukkan wajahnya, membuat ingatan gue terlempar kembali ke beberapa waktu lalu saat pertama kali bertemu dengannya.

Perempuan ini memiliki postur badan yang cukup tinggi. Hampir setara tinggi gue. Nia mungkin hanya setinggi pundaknya saja. Dan kalo seperti tebakan awal gue, mungkin perempuan ini hanya berusia setaun diatas gue.

"Nama Lo siapa Mba?" Tanya gue dengan agak menundukkan wajah berusaha mengejar pandangannya yang menatap lantai.

Perempuan itu ga menjawab. Bahkan ga bereaksi. Masih tetap berdiri kaku dan menundukkan wajah serta ga menjawab pertanyaan gue sama sekali.

Gue menatap kearah Nia, Bang Yuda, dan Kak Tasya bergantian karna bingung dengan sikap perempuan ini. Apakah gue salah bertanya namanya? Tapi mereka bertiga seolah kompak mengangkat bahu saat gue menatap mereka. Seperti meminta gue tetap bertanya langsung padanya siapa namanya.

"Halo? Mba?" Gue mencoba menyapanya lagi.

Perempuan ini sepertinya telah selesai mengheningkan cipta. Dia mengangkat wajahnya dan menatap gue. Kini terlihat ada genangan air di sudut matanya.

"Gue salah ya nanya nama Lo?" Tanya Gue karna bingung dengan sikap perempuan ini. Ia menggelengkan kepala pelan sambil menyeka sudut matanya.

"Canda. Namaku Canda." Ucapnya pelan sambil terlihat memaksakan senyum.

“Canda Xxx Wijaya.." lanjutnya.

Kak Canda..
Sejak saat itu, gue memanggilnya dengan panggilan Kak Canda.
Sebuah nama yang unik bagi gue. Bahkan terkesan aneh. Namun setelah menghabiskan waktu semalam suntuk berbagi cerita dengannya, gue semakin mengagumi kepribadiannya.

Usia Kak Canda ternyata terpaut lima tahun diatas gue. Bahkan berarti lebih tua dari Bang Yuda dan Kak Tasya. Namun wajah dan rupanya justru terlihat seakan hanya setahun diatas gue. Dan setelah mengetahui tentang alasan kenapa ia bisa mendapatkan luka seperti saat gue pertama kali bertemu dengannya, Gue berjanji pada diri gue sendiri, bahwa gue akan menjaganya seolah dia adalah anggota keluarga gue. Seolah dia adalah Kakak gue. Ga akan gue biarkan dia merasakan lagi rasa sakit yang pernah membuatnya tersiksa bertahun-tahun lamanya...


×××××


Hasil kuliah yang gue jalani di semester empat ternyata sangat memuaskan. Bahkan menurut perhitungan gue, kayanya gue bisa menyelesaikan kuliah hanya dengan menjalani tiga semester lagi. Artinya, gelar sarjana bisa gue raih hanya dengan kuliah selama 7 semester, 3.5 tahun. Gue tentu sangat puas dan berniat untuk segera menyelesaikan kuliah gue.

Semester lima dan enam, gue jalani dengan sangat sungguh-sungguh. Setahun penuh itu gue benar-benar ga melewatkan satupun kelas mata kuliah. Karna gue bertekad semester tujuh adalah semester terakhir bagi gue. Namun gue mengisi sela-sela aktifitas kuliah dengan kembali membangun band gue sama Ryan, dengan tambahan Gunawan yang gue ajak gabung sama gue dan Ryan. Jadi kadang ada moment gue dan Gunawan dalam satu hari mengisi dua acara di tempat berbeda. Di satu tempat bersama Alfi dan Adi, ditempat lain bersama Ryan. Dan Ryan juga kini sudah mulai kuliah. Jadi dia sangat menikmati aktifitas bermain band sambil kuliah.

Disisi lain, Liana yang hanya menempuh tingkat D3 akan menyelesaikan kuliahnya di semester enam. Selama semester lima, hubungan gue dan Liana benar-benar berjalan seolah tanpa hambatan atau masalah berarti. Hanya kerikil-kerikil kecil yang mencoba jadi batu sandungan namun selalu berhasil kami singkirkan.

Sedangkan di semester enam, Liana mulai fokus menyusun tugas akhir. Di sela-sela waktu biasanya gue menemaninya ke beberapa tempat yang menurutnya bisa membuat ia mendapat tambahan data untuk Tugas Akhir yang tengah ia susun.

Melihat Liana yang telah diambang akhir masa kukiahnya membuat gue menyadari satu hal. Adam yang juga hanya menempuh tingkat D3 kenapa belum juga menyusun Tugas Akhir? Padahal dia telah memulai kuliah setahun lebih awal dari gue dan Liana. Gue pernah mempertanyakan hal itu pada Adam, dan dia menjawab dengan santai bahwa dia masih ada banyak mata kuliah yang mengulang. Kalo sekolah mungkin kaya ga naik kelas kali ya? Tapi kalo kuliah ga keliatan begitu. Jadi seakan-akan semua masih berjalan normal, padahal Adam sudah terlambat setahun dari waktu seharusnya ia sudah lulus kuliah.

Keluarga gue juga akhirnya telah pindah rumah di Depok, ga jauh dari rumah Nenek gue. Rumah yang hanya sekali pernah gue lihat bareng Bokap saat belum rampung dibangun. Gue bahkan ga ikut membantu ketika mereka sibuk pindahan. Karna gue telah meminta Adam untuk membuang barang-barang gue yang tersisa dirumah. Selebihnya, semua barang gue sudah ada dirumah Nenek gue.

Dan meski kini Bokap, Nyokap, dan Adam tinggal ga jauh dari rumah Nenek gue, tetap saja gue memutuskan untuk ga pulang dan tinggal bersama mereka. Gue beralasan pada Bokap bahwa gue ingin tinggal bersama Nenek gue untuk menemani beliau. Yang akhirnya tentu saja Bokap gue ga bisa melarang gue. Padahal semua demi agar kebebasan yang selama ini gue miliki ga harus hilang kalo gue pulang dan tinggal sama Nyokap lagi. Dengan tinggal sama Nenek gue, gue bisa bebas keluar dan pulang kapan saja. Bahkan gue hampir selalu menghabiskan malam di basecamp karna Kak Canda tinggal disana, karna dia memilih untuk tetap disana dan ga mau ikut tinggal bersama Nia di Bandung meski Nia sangat mengharapkan hal itu.

Suatu hari setelah semalaman gue ga tidur di basecamp karna asik ngobrol sama Kak Canda, gue harus menemani Liana menyusun tugas akhir di kampusnya pada siang harinya. Gue yang merasa kurang tidur jadi lebih sering merebahkan kepala di meja perpustakaan kampusnya sementara dia duduk disamping gue mengetik tugas akhirnya menggunakan laptop gue, sambil sesekali mengusap kepala gue karna dia tau gue sangat senang diusap seperti itu ketika lagi ngantuk-ngantuknya.

Gue sempet kebangun dan menyadari Liana ga ada disamping gue. Namun dari posisi layar laptop gue yang masih menyala dan terbuka aplikasi Ms Word, yang seharusnya laptop gue layarnya padam jika ditinggal selama satu menit, artinya Liana belum lama meninggalkan tempatnya disamping gue. Mungkin dia hanya sekedar berkeliling ke beberapa rak buku untuk mencari data tambahan. Gue menoleh ke sekitar ruang perpustakaan ini, mencoba mencari sosok Liana meski kadang sering teralihkan karna melihat sosok mahasiswi lain yang juga ada di ruang perpustakaan ini. Ada satu moment ketika mata gue berhenti tepat pada sepasang mata yang juga tengah melihat kearah gue, yang sepertinya gue ga mengenali sosok perempuan pemilik mata itu.

Tapi saat gue belagak mengalihkan pandangan namun kembali menatap perempuan itu, dia ternyata masih melihat ke arah gue. Membuat gue jadi bingung sendiri karna merasa diliatin.
Setelah beberapa saat dia menatap gue, perempuan itu bangkit dari duduknya, kemudian berjalan kearah gue dan duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi gue.

"Gue pernah ketemu Lo dimana ya?" Tanya perempuan itu dengan sok asik nya.

“Lah, mana gue tau. Salah orang kali Lo." Jawab gue sambil menoleh ke arah lain dimana Liana tengah berjalan kearah gue membawa sebuah buku.

"Hey Shen, Lo lagi nyusun TA (Tugas Akhir) juga?" Sapa Liana pada perempuan yang duduk di kursi di hadapan gue. Sepertinya Liana mengenal perempuan ini.

"Iya. Lo udah sampe bab berapa?" Tanya balik perempuan itu ke Liana, yang kemudian mereka mulai ngobrol soal Tugas Akhir mereka masing-masing.

"Oh iya, kenalin, cowok gue." Ucap Liana pada temennya itu.

Gue menjulurkan tangan dan menyebutkan nama, perempuan itu juga melakukan hal yang sama. Namanya Shendy.

"Eh iya, beneran deh gue kayanya pernah ketemu lo dimana gitu. Iya ga sih?" Ucap Shendy ke gue. Gue menjawab dengan mengangkat kedua bahu sementara Liana menatap gue dengan wajah bingung.

"Cowok gue sering kesini kok. Bahkan sering juga ikut masuk ke kelas." Ucap Liana bermaksud menjawab kebingungan Shendy.

"Hmm.. Iya kali ya, apa karna gue sering liat lo di kampus ini kali.."
"Eh, enggak. Gue inget.." Shendy langsung menganulir kesimpulan awalnya.

Gue dan Liana hanya saling pandang karna bingung dengan tingkahnya Shendy.

"Iya, kayanya di Bandung, iya kan?" Lanjut Shendy

Ucapan Shendy tentu membuat gue kaget. Dan tentu saja reaksi Liana jauh lebih kaget.
"Bandung...?" Tanya Liana dengan nada menggantung dan menatap ke arah gue dengan pandangan curiga.

"Salah orang kali Lo." Ucap Gue berusaha membela diri.

"Ooh iya iya iya, gue inget." Ucap Shendy dengan senyum puas setelah berhasil mengingat sesuatu.

Gue menelan ludah. Namun berusaha untuk tetap tenang.

"Kamu kapan pernah ke Bandung ketemu Shendy?" Tanya Liana ke gue.

"Gatau. Salah orang kali dia. Lagian..."

"Bohong." Ucap Liana menyela omongan gue.
"Lo ketemu cowok gue lagi ngapain?" Liana kini mengejar jawaban ke Shendy.

Shendy kini memasang wajah tengil menatap gue. Serius, kalo dia cowok, mungkin kaki gue udah melayang ke kepalanya.

Shendy kemudian sedikit mengangkat kedua tangannya seperti gestur orang menyerah. Masih dengan senyum yang tengil.

"Iish apaan sih Shen malah begitu. Lo ketemunya kapan? Lagi ngapain?" Liana masih berusaha mengejar jawaban.

"Tanya ke cowok Lo sendiri lah. Lagian udah lama kok. Dua tahunan yang lalu kayanya. Mungkin Lo berdua belom pacaran juga..."

"Gue pacaran sama dia dari kelas 3 SMA! Kalo baru dua tahun yang lalu jelas gue udah pacaran sama dia." Liana langsung memotong omongan Shendy.

Sementara Shendy semakin tersenyum puas. Bahkan sok berucap "oh, shit." dengan suara pelan namun bermaksud mengejek. Lalu dia menatap gue dan memasang senyum menantang. Gue jadi kesel sendiri karna merasa ditantang sama perempuan yang sama sekali ga gue kenal ini. Gue menjawab senyumannya dengan mengangkat kedua alis dan gestur kepala seolah mempersilahkan dia bicara apapun yang ingin ia bicarakan.

"Sisil kan? Lo sama cewek yang namanya Sisil." Ucapnya sok berbisik namun Liana tentu mendengar suaranya.
"Lo mungkin ga inget gue. Tapi siang, eh sore, saat Lo sama dia nongkrong di XXX, Gue nyapa Sisil, dan Sisil sempet ngenalin gue ke Lo." Lanjutnya.

Gue menghela napas. Gue sempet ingin menundukkan wajah namun gue urungkan karna gue gamau terlihat kalah. Lagipula, gue ga inget sama orang ini. Gue juga ga inget karna emang Nia sempet disapa beberapa orang waktu gue dan Nia ke beberapa tempat saat pertama kali gue ke Bandung sama Nia di masa awal sebelum mulai masuk kuliah dulu.

"Enggak. Lo salah orang kayanya." Ucap gue masih mencoba membela diri.

Shendy dengan sigap mengeluarkan handphone dari tas kecil yang sejak tadi ia genggam. Dia sepertinya mencari sebuah kontak dalam handphone nya, kemudian ia menempelkan handphone nya ke telinga, sepertinya sedang menghubungi seseorang.

"Halo, Sil. Apa kabar?" Ucapnya saat sepertinya panggilan yang ia lakukan tersambung.

Liana kini menatap gue dengan tatapan yang penuh makna. Jelas tergambar kecurigaan sebagai makna terutama dari tatapannya ke gue. Gue hanya bisa berpura memaksakan senyum sambil menggelengkan kepala, seolah bermaksud gue gatau apa maksud omongan temennya itu yang kini sedang asik berbasa basi dengan Nia di telepon.

"Eh iya Sil. Lo kenal cowok yang namanya Bagus ga?" Tanya Shendy ke Nia di ujung telepon.
Liana kini memasang sikap mendengarkan percakapan Shendy. Sementara degup jantung gue makin berantakan.

"Iya iya bener."
"Iya yang waktu itu kan? Gue inget kita pernah ketemu bar XXX dulu?"
"Hehehe enggak. Ini gue ketemu gitu sama dia."
"Enggak, dia lagi main ke kampus gue. Nemenin ceweknya di perpus."
"Iya.. Hahaha iya iya.."

Shendy semakin asik ngobrol dan berbagi tawa dengan Nia diujung telepon. Gue menoleh ke Liana yang wajahnya semakin terlihat seperti tengah berusaha menahan emosi.

"Kamu udah selesai belom ngumpulin data? Cabut aja yuk? Lanjut kerjain dirumah kamu aja." Ucap gue ke Liana.

Liana menoleh ke arah gue dan menatap gue seolah ingin menelan gue hidup-hidup.

"Yailah Li. Itu mah paling dia cuma pura-pura nelpon aja. Siapa tau dia..." Gue menghentikan ucapan gue saat Liana langsung merebut handphone temennya dan menempelkan handphone itu di telinganya.

Shendy sedikit kaget dengan reaksi Liana yang merebut handphone nya, namun dia ga berusaha menghalanginya.

Liana diam sejenak. Sepertinya dia tengah mendengarkan Nia yang masih berbicara di telepon karna Nia menyangka masih berbicara dengan Shendy.

"Lo siapa?" Ucap Liana bertanya ke Nia. Dengan suara parau.
"Ga usah nanya balik. Gue nanya duluan, Lo siapa? Kenapa Lo pernah ke bar XXX sama cowok gue?" Ucap Liana lagi.
"Ah anj*ng!!" Ucap Liana pelan namun terdengar begitu kesal sambil mengembalikan handphone Shendy.

Liana bergegas memasukkan beberapa buku dan laptop gue ke dalam tas nya. Lalu dia pergi meninggalkan ruang perpustakaan ini.

Gue melihat Shendy yang lagi-lagi mengangkat kedua tangannya seperti menyerah, atau enggan disalahkan. Gue menggelengkan kepala tanpa ekspresi padanya, kemudian bergegas menyusul Liana, sambil berpikir keras alasan apa yang akan gue sampaikan pada Liana. Setidaknya untuk menyelamatkan diri gue agar nanti gue bisa pulang tetap dalam keadaan hidup.

disya1628
oktavp
mmuji1575
mmuji1575 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup