Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sriwijayapuisisAvatar border
TS
sriwijayapuisis
Prosa Baper

Ilustrasi gambar pixabay.com

Hadirmu

Tak ada sajak serta puisi yang bisa menggambarkan adamu. Kau seperti air di telaga kering, mengayomi jiwa ini. Ketika teras rasaku kering di musim hujan, membasah saat kemarau datang.
Sentuh kasihmu melenakan membuai diri oleh hangat kasih sayang. Seribu kali mencoba gambarkan adamu semua seolah semu, karena kau adalah abstrak tercipta dari sejuta warna yang ada. Indah menyentuh jiwa jua menebar benih luka.

Apa kau tahu duhai sang puja. Bayangmu keindahan yang tak mampu kugambar adanya, dalam sajak keelokan mata hanya bisa mengutara jika kau telah mencuri hariku berujung rindu beku dengan segumpal bara cinta. Pernah mencoba membenci adamu saat resah melanglang buana, kecewa menerobos palung dada biduk rinduku seolah hanya pemanis rasa, tapi pengabaian lautan kasih tenggelamkan aku dalam mimpi, menggenggam matahari, dan ternyata saat mata terbuka hanya ilusi. Tersentak riak kecewa aku gamang dalam hampa kerinduan, mencumbu bayang sebalik awan kelam.

Lalu, kucoba merangkai warna agar tampak indah terpandang, melukis adamu disana tapi semu. Aku kalah tak bisa menghadirkan semburat jingga pada pesona rembulan senja. Ketika pelangi hadir di depan mata, raga mematung dengan pilunya lara. Aku kecewa memahat goresan yang hilang bersama bayangmu. Waktu telah terbuang tak dapat kutemui wajah aslimu karena kau datang dalam banyak rupa. Katakan duhai sang puja, seperti apa pesona yang kau punya, hingga mampu taklukkan aku dalam birunya kasih sayang. Menggetarkan dada dalam sekejap mata kemudian hilang bak disapu sang angin malam.

Kini kukecup rekah tanpa kumbang jati. Menghisap manisnya seorang diri karena kau hanya ilusi dalam mimpi yang terjamah mata ini, begitu dekat, erat, lekat dalam sanubari. Lalu aku menunggu hadirmu dalam tatapan mata pada ruang temu berujung penyelaman lautan kasih asmara sambil bertanya mencemooh kebodohan diri. Dapatkah aku memangku kasih ini sampai batas rasaku tak lagi mempunyai arti dalam hidupmu.

Di sinilah aku sekarang melihat alam yang begitu damai. Meresapi setiap hembusan angin yang menerobos masuk pori-pori. Menguatkan hati di atas perihnya lara ini. Laut begitu tenang. Damai indah terpandang tapi mengapa aku bimbang. Menatap penuh kegelisahan meski sudah menguatkan perasaan. Hati … begitu resah menanti. Menanti dirinya yang tak kunjung pergi tapi tak jua kembali. Di pintu itu aku menunggu hadirmu dengan detak irama racu. Mengharap ada bintang jatuh dalam pelukku. Namun yang kutemui kecewa merangkul harap.

Oh, hati begitu kejamnya kau menanti hingga masa tak kunjung tiba untuk memeluk orang tercinta. Kini rindu seolah sengketa terbentur jarak dan masa hanya layang sworo menjadi saksi nyata kisah asmara kala senja. Ombak tenang bagai jiwa hampa membenam dalam logika, maka biarkan saja gejolak ini membara dalam ketentraman perdamaian rasa.

Duhai sang puja, jenggala membentang di hadapanku jangan kau cumbu dengan resah semu, porandakan belantara hati pada ranting rapuh ini. Aku sudah ikhlas jika cintamu tandas. Kandas tanpa bekas seperti daun talas tak basah terkena air, hanya harap tertanam dalam kalbu semoga kau menjumpai bahagiamu meski bukan denganku.

Matesih, 26-6-2019
Oleh: Sriwijaya
Diubah oleh sriwijayapuisis 16-07-2020 09:28
makola
hymada
erina79purba
erina79purba dan 28 lainnya memberi reputasi
29
6.9K
232
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
sriwijayapuisisAvatar border
TS
sriwijayapuisis
#182
Prosa hujan
Deras itu Aku

Ilustrasi: Pintarest

Hujan. Bolehkan aku bertanya, kenapa rintikmu selalu datang tepat waktu saat aku tengah resah, dirundung duka dan kerinduan. Hujan aku tak tahu terbuat dari apa hati ini. Terbuat dari apa otak ini, dan terbuat dari apa raga ini.

Semua sudah terpasrah kepada-Nya Sang Maha Cinta tetapi
masih saja sulit untuk memahami akan diri sendiri. Seolah sengaja dibelasah orang-orang terkasih hanya demi menguatkan hati tegarkan jiwa. Mengapa? Hujan apakah kau tahu jawabnya?

Lagi-lagi kopi dan hujan mengantarkan aku kepada yang tak terungkapkan. Ketika hari menjelma bayangan, serupa mimpi bangun kesiangan, gema sunyi lapang telah melakukan banyak hal di luar kemampuanku untuk bertindak. Sekali lagi aku jatuh di bawah rintik hujan. Menatap rintiknya kepayahan.

Yang tak terungkap lewat hujan suaramu seperti nada ajaib menyihir hati dan jiwaku. Membuat diri melayang mengikuti suaramu, tapi di pertigaan jalan aku tersadar seolah baru semenit yang lalu mata ini terpejam.

Hujan. Di secangkir kopi yang telah dingin aku bertanya-tanya, bisakah engkau mengajariku tentang langit, angin, jua suara-suara alam atau barangkali tentang Tuhan. Aku telah membaca buku-buku tapi tiada satu pun bisa mengatakan dimana aku bisa menemukan Tuhan selain kepada alam dan dalam diriku sendiri.

Sedang hujan tahu. Aku tak bisa mengerti diri sendiri. Aku tak bisa memahami ada diri. Aku tak bisa membaca arti nama sendiri. Hujan. Bersama kopi dan buku aku lukiskan adamu seperti tangisan anak minta tetek pada ibunya. Tangisan anak yang berada di gendongan ibunya jua tangisan anak ketika merajuk meminta sesuatu pada emaknya.

Hujan. Coba katakan! Apakah aku kalah pada setiap episode kehidupan. Apakah aku tak mampu kembali hadir dalam setiap terik yang menyinari alam atau barang kali aku tiada akan pernah merasakan sengatanya. Lalu, aku harus apa hujan. Berdiam? Sampai kapan? Tidak!

Duniaku boleh hitam, darahku bisa membiru lebam, tatapanku boleh buram tetapi jangan! Jangan di ambil apa yang seharusnya ada dalam pangkuan ibu. Jangan di pisahkan dari air susu ibu. Karena sungguh aku tiada bisa mampu, bila hidup harus menuang garam dalam lautan. Sementara telaga tetap diam meski hujan terus saja mengkeruhkan airnya.

Kini, secangkir kopi adalah elegi ketika rintik hujan manampar diri bukuku basah kuyub hilang arti. Entah kemana harus kucari sebongkah rasa, sekecup senyuman selembut embun pagi. Di sini hanya ada elegi payung segala cuaca hati dan derasnya hujan adalah aku yang telah tawar dalam lautan, melepas dera di bawah rintik-rintiknya.
makola
makola memberi reputasi
1
Tutup