Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

artrarasAvatar border
TS
artraras
VON


Katanya Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar batas hambanya. Benarkah? Maaf, lagi-lagi aku meragukanmu.



Masih seperti pagi biasanya, Asa bangun dengan peluh membanjiri tubuhnya, bukan dengan alunan suara burung apalagi suara lembut ibu dan tepukan halus. Asa tidak pernah merasakan itu. Dengan malas Asa pun beranjak, meraih handuk yang tergantung dibelakang pintu dan melampirkannya dibahu sedangkan tangan kanannya sibuk mengambil peralatan mandi yang berada didalam gayung. Gayung biru dengan stiker spongebob lagi badmood, mala rada kekelupas pula itu stiker.

Keluar dari kamar kos sambil menguap lebar, berjalan sedikit cepat menuju ke kamar mandi. Kamar mandi umum. Maklum aja, kos murah jadi fasilitas seadanya. Begitu sampai dilantai bawah, tepat didepan kamar mandi, tangannya yang bersiap membuka pintu pun tertahan, tubuhnya sedikit tertarik kebelakang. Kerah bajunya ditarik gaes.

“Et et et.. gue duluan dong. Bocah ngalah ya sama abang”

“Gak, gak bisa” mencoba melepaskan diri tapi lagi-lagi Asa kalah cepat. Barra –pelaku penarikan kerah sudah masuk duluan kedalam kamar mandi.

“Gue ada kelas pagi dek, maklum dong” teriak Barra dari dalam kamar mandi.

Sialan emang, dia kira dia doang yang ada kelas pagi. Asa yang masih SMA ya jelas selalu masuk pagi. Heran sama orang dewasa.

Sambil ngedumel gak jelas, Asa pun berjongkok ngitungin semut yang baris dipojokan dinding. Samar-samar bisa ia dengar suara ibu kos yang dengan bar-bar membangunkan anaknya. Membuat sudut bibir Asa tertarik membentuk lengkung keatas.

“Gila lo ya senyum-senyum sendiri” Barra yang baru keluar kamar mandi dengan handuk diatas rambutnya menatap ngerih Asa yang masih setia jongkok dipojokan.

Asa mendengus “Gak gila gue cuma kebelet beol”

“Baru lo doang yang kebelet tapi senyum-senyum bukan merinding”

“Bicik. Awas minggir” Asa sedikit mendorong bahu Barra dan membanting pintu lumayan keras setelahnya sampai Barra yang masih didepan pintu pun terlonjak kaget dan mengumpat.



Emang sial banget nasib Asa, baru aja sampai gerbang sekolah, ia sudah melihat pemandangan menyakitkan. Sedikit jauh diparkiran motor, ia bisa melihat Una turun dari boncengan Nino. Ya udah biasa sih melihat pemandangan begini, tapi sakitnya masih aja belum terbiasa.

Tau diri aja Sa begitu batin Asa berkata.


Sampai kelas, Asa langsung membagikan makalah kepada beberapa temannya. Maklum aja, kerja jadi joki tugas emang begini bro.

“Makasih Sa, ini gue kasih bonus dikit”

“Nah gini nih baru temen. Ngasih bonus bukan mala nunggak bayar”

“Lo nyindir gue ya nyet” Farel –sahabat Asa yang suka banget nunggak bayar kalau memakai jasa Asa pun protes tidak terima.

“Alhamdulillah sadar”

“Lagian lu sama temen sendiri perhitungan banget sih”

“Sorry rel, tapi bisnis gak mengenal teman. Gue gini untuk bertahan hidup”

Farel mendengus, bibirnya mengerucut sok imut “Rahel gitu sama Farel”

Sontak Asa langsung memukul belakang kepala farel pelan “Gue bukan rahel nying. Jijikin banget lu ah”

“Tuh kan rahelnya gue desah-desah”

Baku hantam pun tidak terhindari, penghuni kelas Cuma bisa geleng-geleng kepala. Terlampau sering melihat pemandangan ini setiap harinya. Farel dan Rahel memang sulit dipisahkan.

“Jadi gak mau temen sama gue nih?” tanya farel sambil merapikan kemejanya yang berantakan setelah aksi baku hantam yang lebih bisa dibilang saling mengelitik satu sama lain tadi.

“Gak”

“Yauda, gak gue kasih nomor wa kak Una”

Kepala asa langsung menoleh kearah farel. Serius nih bocah punya nomor wa Una? Una si kakak kelas yang menjadi primadona sekolah? Una yang menjadi tambatan hati Asa sejak setahun yang lalu? Ya walaupun Una sendiri tidak tau kalau keberadaan Asa ada didunia ini.

“Mau rel. mau mau mau” melupakan penolakannya yang tidak mau berteman beberapa waktu lalu. Kapan lagi coba bisa dapat nomor sang kekasih hati. Gengsi mah ditahan dulu.

“Janji baikan dulu tapi”

“Iya baikan ini baikan” Asa meraih jari kelingking farel dan menautkan dengan miliknya. Kaya bocah. Tapi memang beginilah mereka.

“Yauda, ntar gue tanya Bang Nino”

Bengong. Asa berpikir sejenak. Berusaha memproses apa yang baru saja farel katakan. Ntar gue tanya? Jadi dia belum punya nomornya? Wah sialan. Dirinya ditipu.

Masih mau protes, Pak Hajat –guru matematika mereka sudah masuk kekelas membawa sekotak kapur yang sampai sekarang mereka masih bingung apa fungsinya. Orang kelas ini memakai whiteboard kok. Buat apa pula itu kapur? Hanya Pak Hajat dan Tuhannya lah yang tau.

Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Duabelas
Tigabelas (END)
Diubah oleh artraras 17-09-2020 14:45
eyefirst2
emineminna
maling.sepatu
maling.sepatu dan 10 lainnya memberi reputasi
9
3.3K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
artrarasAvatar border
TS
artraras
#13
TIGABELAS
“Mau kemana lo malam-malam gini bawa tas besar begitu?”

Asa tersenyum kecil “Pindah bang”

“Hah? Kemana?”

“Luar kota”

“Terus sekolah lo gimana?”

Tak ada jawaban, asa hanya kembali tersenyum yang entah apa artinya. Tangannya menepuk bahu Barra dua kali. “Gue pamit ya bang, makasih udah baik banget selama ini. Rokok lo dikurangi, mati muda kan gak lucu”

“Mau pergi masih aja ngeselin lo ya”

“Sengaja biar lo kangen”









Hawa dingin begitu menusuk, membuat siapapun akan menggigil setiap angin laut itu menyapa permukaan kulit. Air laut yang terpercik setiap kali ombak menabrak dinding tebing yang berdiri tegak menambah kesan dingin semakin menggigit.

Helaan napas yang entah sudah keberapa kali asa keluarkan. Kepalanya mendongak, menatap langsung langit yang gelap. Begitu sepi, tanpa ada bintang dan bulan. Mungkin mereka pun muak, tidak ingin mengantarkan kepergian asa.

“Kau menang” ucap asa entah kepada siapa. “Aku menyerah, aku mengaku kalah. Aku tak sanggup menahan ini semua. Takdir mu terlalu kuat untuk ku lawan”


Ia kembali tersenyum sebelum membiarkan tubuhnya tertarik oleh gravitasi. Perih yang pertama kali ia rasakan ketika tubuh itu bersentuhan dengan air, kemudian dingin mulai merambat perlahan. Sesak. Sesak sekali.

Dalam. Semakin dalam. Perlahan ia bisa melihat cahaya semakin meredup hingga hanya gelap yang menguasai. Ia pun terpejam.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Lima tahun sejak una mendapati sebuah kotak didepan rumahnya. Sebuah kotak berisi surat dan kalung tali berbandul tabung dengan kertas didalamnya. Ia telah membuka kertas didalam tabung tersebut. Berisi satu kata bertuliskan tinta biru. ‘VON’ itulah yang tertulis. Awalnya una bingung tidak mengerti maksudnya, tapi surat didalam kotak akhirnya bisa menjelaskan.



Untuk Una,

Hai Na, Ini Asa. Nama yang mungkin akan kamu benci seumur hidupmu.
Aku tau pengecut banget lewat surat begini tapi aku yakin kamu gak akan sudi jumpa langsung dengan ku.

Na, aku minta maaf. Maaf yang sebesar-besarnya untuk semuanya. Maaf udah bikin kamu sedih, maaf udah bikin kamu sakit. Aku gak pernah merencanakan itu. Itu semua diluar kuasa ku.

Kalau boleh jujur. Aku juga pengen seperti kalian semua, seperti anak normal diluar sana. Bukan terlahir sebagai Asa Biru dengan semua takdir gila yang bahkan aku gak tau kenapa harus aku yang menerima. Mungkin dari awal kelahiran ku memang sudah salah. Aku terlahir dari ibu pekerja seks komersial, aku gak tau ayah ku siapa. Kehadiranku tidak diharapkan. Ibu bahkan membenci ku.

Aku tujuh tahun waktu aku dijual ke pria yang baru aku tau kalau itu ternyata ayah mu. Maaf sekali lagi, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lima tahun aku harus menahan semuanya. Bertingkah normal dipagi hari seperti anak lainnya tapi menjadi jalang kecil dimalam hari. Aku bukan orang suci, aku sadar itu.

Aku pikir aku akan terjebak disana selamanya. Tapi waktu itu semesta sedang baik, ia membiarkan aku terlepas dari ayahmu. Aku senang sekali. Akhirnya aku bisa bebas tapi ternyata aku salah, mungkin aku memang bebas dari ayahmu tapi kenangan itu terus menghantuiku. Aku takut na, aku hampir tidak bisa tidur nyenyak sepanjang hidupku, setiap hari suara dan potongan masa lalu itu selalu muncul, berteriak dikepalaku terus menerus. Mereka ingin membunuhku. Sesak dan sakit sekali. Aku rasa aku sudah gila.


Na, terimakasih. Setiap aku melihat mu, setiap kamu tersenyum, aku seperti memiliki tujuan hidup. Kamu yang menahan ku untuk bertahan disini. Semuanya terasa benar saat bersamamu. Aku pernah berharap bisa bersanding disampingmu tapi semesta menyadarkan posisiku. Makhluk hina ini tak akan layak untuk mu.


Maaf. Maaf sekali lagi sudah lancang bermimpi. Maaf sudah menodai hidupmu yang indah. Na, aku menyayangimu. Sayang sekali. Terimakasih, selamat tinggal.



Nb: VON itu bahasa islandia artinya Hope. Seperti Asa yang berarti harapan.












Seperti sebuah rutinitas selama lima tahun terakhir una membaca surat dari asa sebelum ia pergi tidur. Semakin ia membaca semakin ia merasa bersalah. Air matanya selalu meengalir sendirinya. Maaf dan maaf selalu ia panjatkan.


Ting


Sebuah pesan masuk. Layar ponsel itu menyala. Menampilakan sebuah nama yang una rindukan.

AsaBiru mengirim pesan suara

Una dengan tangan bergetar dan mata berbinar ia menekan pesan tersebut.
Sepi, sunyi. Tak ada suara apapun. Membuat una mengernyit bingung. Sampai suara itu terdengar. Seperti suara tenggelam didasar laut.



END








hai,
Untuk siapapun yang membaca, Terima kasih.

Untuk kalian diluar sana yang sedang berjuang dan memilih bertahan. Kalian manusia kuat, kalian hebat. teruslah melangkah. Percayalah diujung sana akan ada bahagia yang menunggu merengkuhmu. Karena kalian berharga, karena kalian layak bahagia ❤
jondolson
pulaukapok
dwex80
dwex80 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
Tutup