Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

umiazizaAvatar border
TS
umiaziza
Menikah Tanpa Cinta


Seberapa banyak menolak, mereka tetap tak akan peduli pada perasaanku. Padahal, aku ingin menikah karena cinta, bukan karena perjodohan seperti ini. Ya, mau bagaimana lagi? Menangis pun percuma, aku hanya bisa pasrah.

Pertemuan keluarga diadakan sore ini, aku disuruh untuk berdandan yang rapi. Buat apa? Menarik perhatian si lelaki yang akan menjadi calon suamiku nanti? Ah, sungguh aku tak peduli.

Pikiranku hanya tertuju pada Mas Tio, kekasihku yang berjanji akan meminang jika sudah mapan nanti. Sayangnya, mapannya keduluan oleh kesiapan orang lain. Kesiapan? Entahlah, siapa yang dapat menjamin laki-laki yang akan meminangku itu sudah siap atau belum.

Bermodalkan kepasrahan, akhirnya aku melepas semua harapan.

"Sudah siap, Far?"

Aku kaget saat tiba-tiba ada yang menyapa.

"Ah, Ibu. Sejak kapan Ibu ada di belakangku?" Aku menatap sosok Ibu melalui cermin di hadapanku.

"Sudah sejak kamu melamun. Kalau sudah siap, segera keluar. Calonmu sudah datang." Ibu menepuk punggungku, lalu keluar.

Tak mengertikah mereka perasaanku? Semudah itukah mereka mengambil keputusan? Sementara, beban yang kutanggung dalam dada begitu menyesakkan.

Kupandangi pantulan wajah di cermin. Bibir pucat, mata bengkak. Penampilanku semenyedihkan ini. Lantas kenapa mereka abai terhadap hal ini? Hmmm, mau tak mau, semua sudah terjadi.

Aku memakai jilbab merah muda, senada dengan baju yang kukenakan. Kupoleskan sedikit riasan di wajah.

Setelah selesai dengan urusan berdandan, kuraih ponsel yang terletak di kasur. Kukirim pesan singkat pada Mas Tio.

[Mas, semua di antara kita sudah selesai. Hari ini, orang tuaku telah menerima pinangan laki-laki lain. Maafkan aku yang tidak bisa lagi bersamamu.]

Kuketikkan pesan itu dengan hati berduka. Air mata hendak terjatuh lagi, tapi kuseka sebelum itu terjadi.

"Farah! Kok lama banget sih keluarnya? Ayo cepetan!" Teriakan Ibu dari luar kamar membuatku terkejut.

Wanita satu itu, apakah akan selalu membuatku terkejut begini?

"Hmmm. Farah sudah siap. Tunggu."

Aku bangkit dari kursi rias, berjalan dengan langkah diseret. Demi apa pun, aku tidak menginginkan ini. Apakah aku boleh melarikan diri?

"Loh, Far. Cepet!" Ibu menegur sekali lagi.

Kupejamkan mata sejenak, mengambil napas panjang lalu mengembuskannya kasar.

"Ayo," kataku saat tiba di depan pintu. Kulihat, wajah Ibu menyiratkan kemarahan. Apa yang kulakukan barusan begitu salah? Ah, ini benar-benar bisa membuatku gila.

***
Aku dan Ibu berjalan berdampingan menuju ruang tamu, tempat semua orang berkumpul. Aku hanya bisa menunduk, tak berani menampakkan wajah yang begitu kacau ini kepada para tamu.

"Eh, ini calon pengantin perempuannya sudah datang," ucap salah satu tamu perempuan. Aku tak tahu rupa orang yang berbicara tersebut dan tak ingin tahu.

"Masya Allah, cantik." Tamu yang lain menimpali.

"Ayo, beri salam sama semuanya," ucap Ibu sembari menyikutku.

Aku menghela napas sejenak, lalu mengangkat wajah demi melihat para tamu yang tak aku inginkan kedatangannya. "Assalamualaikum. Nama saya Farah, Om, Tante ...." Kubuat nada bicara selembut mungkin.

"Nak Farah, sini duduk dekat mama." Seorang wanita bergincu merah cabai menunjuk kursi di sebelahnya, nemberi isyarat agar aku duduk di sana.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum ke arah wanita yang seumuran dengan ibuku itu. Entah senyum macam apa yang kusuguhkan, senyum manis atau kecut, lagi-lagi aku tak peduli.

Aku menghampiri wanita itu, lalu duduk di sebelahnya. Sementara, di samping kiriku ada laki-laki, usinya kira-kira sebaya denganku.

"Hallo, Farah."

Dia menyapa sembari menyunggingkan senyuman, aku hanya merespon dengan anggukan.

"Ini calonmu, Nak." Wanita yang tadi menunjuk ke arah laki-laki yang baru saja menyapaku. "Ini anak mama yang kedua."

Sekali lagi, hanya anggukan yang kuberikan sebagai jawaban. Aku bosan dengan acara ini, pikiranku sedari tadi hanya dipenuhi oleh Mas Tio.

Mas, apa yang sedang kamu lakukan? Sudahkah membaca pesanku? Jika sudah, kenapa tak menyusul untuk menghentikan acara pinangan ini? Aku membatin sembari menyeka air mata yang siap mengalir di pipi.

Haruskah jalan cintaku dan Mas Tio berakhir begitu tragis? Hubungan kami yang bertahun-tahun tak ada artinya, dikalahkan oleh pinangan yang tak seharusnya diterima.

Hanya karena tetangga yang mengatai aku perawan tua, Ayah dan Ibu menerima pinangan orang yang belum kuketahui asal usulnya. Katanya, laki-laki ini sudah mapan, rajin, dan tampan.

Hah, tampan? Untuk satu itu, aku rasa adalah sebuah kebohongan. Meski tampan itu relatif, tapi kuyakin kalian akan sependapat denganku bahwa laki-laki ini tak ada istimewanya dalam segi fisik.

Mapan? Rajin? Aku tak tahu hal itu adalah fakta atau sekadar kata. Ya, sudahlah. Jika orang tuaku berkata iya, aku bisa apa?

"Namaku Angga," ucapnya sembari mengulurkan tangan.

Aku tak menerima uluran tangannya. Kuletakkan kedua tangan di depan dada, lalu disusul senyum paksa sebagai balasan untuk sapaannya.

Dia menarik kembali tangannya, raut mukanya berubah. Mungkin dia kecewa. Sama, aku juga kecewa. Kecewa karena tidak ada yang mengerti bagaimana perasaanku saat ini. Semuanya sibuk berbincang, ber-haha hihi.

"Nak Farah kerja apa?" Wanita yang sedari tadi menjuluki dirinya mama mencoba mengobrol denganku lagi.

"Ibu dan Ayah belum cerita? Saya seorang pengajar di salah satu lembaga kursus."

"Wah, ternyata calon mantu mama anak pintar."

Meski tiada yang salah dari ucapan wanita itu, entah mengapa aku tidak suka. Ucapannya yang lembut, seakan-akan hanya rekayasa belaka. Seperti dibuat-buat, tidak tulus.

"Kalau Angga, dia kapan hari bekerja di perusahaan besar."

Kapan hari? Lalu, sekarang? Apakah laki-laki di dekatku ini tidak punya pekerjaan? Lantas kenapa mereka berkata pada Ibu dan Ayah bahwa laki-laki ini sudah mapan?

Astaghfirullah, kebohongan macam apa ini? Akankah Ayah dan Ibu mendengar ucapan ibu dari laki-laki yang menjadi calonku ini?

Angga yang mapan atau keluarganya? Jika keluarganya yang mapan, apa bedanya dengan Mas Tio? Sungguh, semua ini membuatku pusing. Dada ini begitu sesak, otakku tak lagi sanggup berpikir.

"Farah kurang enak badan, Om, Tante. Hmmm, Angga ...." Aku membuat semua orang di ruang tamu melihat ke arahku. "Maaf, bolehkah Farah istirahat dulu?" tanyaku, tanpa peduli tatapan tajam Ibu.

Cukup, untuk hari ini cukup! Aku tidak ingin mendengar banyak pengakuan dari kebohongan. Biarkan aku istirahat sejenak, untuk besok, lagi-lagi hanya bisa kupasrahkan pada Yang Maha Kuasa.

***

INDEX


Part 2, Part 3, Part 4, Part 5
Diubah oleh umiaziza 06-07-2020 11:00
Arunasiam
Satria029
lumut66
lumut66 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
5.2K
84
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
umiazizaAvatar border
TS
umiaziza
#19
Menikah Tanpa Cinta Part 5
Ibu akan datang. Aku harus bersikap baik-baik saja, bukan? Agar tidak memberinya beban. Agar ia juga tidak menyesal karena salah memilihkanku pasangan.

Kupoleskan bedak cukup tebal di area lingkar mata, agar bulatan hitam di sana tidak terlalu kelihatan.

"Far! Cepetan, ibu kamu sudah datang."

'Ibu kamu', cukup nyeri di dada. Apakah Angga belum menerima ibuku sebagai ibunya juga? Ah, lupakanlah.

"Bentar!"

Aku segera bangkit, sudah terlalu rindu pada Ayah dan Ibu. Padahal, belum sampai sehari aku tinggal di rumah ini. Rumah? Apakah benar ini rumah? Bukannya lebih mirip neraka?

Aku berjalan gegas menuju ruang tamu. Ayah dan Ibu duduk dengan begitu tenang, tak ada yang menemuinya selain Angga. Apa Mama dan Papa sudah tidur? Kenapa tidak keluar untuk sekadar menyapa dan menyuguhkan teh hangat pada orang tuaku?

Kuseka air mata. Miris rasanya. Bagaimana bisa orang tuaku juga diperlakukan seperti itu? Jika aku saja, tidak apa. Namun, jika sudah menyangkut orang tua, bukankah sangat keterlaluan?

"Ayah, Ibu ...." Aku menyapa mereka dengan senyum hangat. Kupeluk tubuh Ibu erat. Farah rindu, Bu. Farah ingin pulang.

Usai memeluk Ibu, aku beranjak untuk masuk lagi.

"Mau ke mana lagi, toh?" tanya Ibu sembari menarik tanganku.

"Mau buatin teh Ayah dan Ibu."

"Gak usah."

Ibu menarikku untuk duduk di sebelahnya. Mau tidak mau, aku menuruti Ibu.

"Laptopnya mana?" Aku celingak-celinguk mencari laptop yang kuminta.

Ayah menepuk jidatnya. "Astaghfirullah, Ayah tinggal di mobil. Bentar, Ayah ambil."

"Biar Farah aja, Yah. Ayah duduk anteng aja."

Ibu mencegahku untuk berdiri. Lalu mendekapku sekali lagi. "Ibu kangen loh, biarin Ayah saja yang ambil. Kamu di sini saja sama Ibu."

Aku mengangguk, menyetujui permintaan Ibu. Sebab, aku juga rindu.

"Far, kamu kan pengantin baru. Masa' disuruh ngerjain tugas. Atasan kamu apa ndak paham?"

Aku tertawa karena pertanyaan Ibu. Jadi, selama ini Ibu belum tahu karakter atasanku. Jika dia mau sesuatu, dia harus mendapatkannya, tidak peduli ada berapa orang yang akan disusahkan olehnya.

"Lah, malah ketawa," protes Ibu.

"Biarin lah, Bu. Namanya juga kerja ke orang, harus nurut," jawabku singkat.

"Maka dari itu, Bu. Padahal aku ingin berduaan saja dengan Farah, Bu." Angga ikut bicara.

Berdua denganku? Hah? Tidak salah? Bukankah dia tadi berkata bahwa bagus bagiku jika aku bekerja?

Aku tersenyum, meski hati ini ingin mengumpatnya. Dasar laki-laki pembohong! Sikapnya sok manis di depan Ayah dan Ibu. Padahal ....

"Iya, Ibu pengen cepet punya cucu, loh."

Aku melihat mata Ibu berbinar, ucapannya penuh semangat saat menyebut kata 'cucu'.

"Tenang, Bu. Tadi Angga sudah ...."

Aku segera memukul bahu Angga. Kejadian tadi, itu adalah aib menurutku. Dia melakukannya tanpa cinta, sedangkan aku tak berdaya untuk melawan.

Masih terasa bagaimana sakit tubuh dan hatiku karena perlakuannya. Benar bahwa dia berhak atas diriku, tapi caranya yang kasar. Ah, entahlah ....

"Kenapa, Sayang? Kamu malu?" tanya Angga.

Sayang, katanya? Bolehkah aku tertawa? Sungguh sikap yang berbanding terbalik dengan sikap yang tadi, saat hanya berdua denganku. Bisakah aku memanggilnya 'Brengsek'?

"Orang nikah kan udah biasa begituan," ucap Angga lagi.

Tak bisakah dia diam saja? Setiap kali dia bicara, aku akan fokus pada bibirnya yang sudah menciumku paksa tadi. Aku sungguh membencinya.

"Farah masih malu-malu, Bu."

Aku ingin menyumpal mulut Angga yang sedari tadi tak bisa diam. Apa pentingnya bicara hal seperti itu? Toh, aku tidak malu-malu, tapi muak.

"Ga, udah, deh. Berhenti," tegurku.

"Kamu masih manggil Angga, Nduk? Ndak manggil dengan panggilan kesayangan?"

Ibu mengernyit, menunjukkan bahwa dia sangat tidak suka jika aku memanggil Angga tetap dengan sebutan itu. Mau bagaimana lagi? Memanggilnya dengan nama saja sudah untung.

"Padahal, aku memanggilnya dengan sebutan sayang, Bu." Angga menimpali.

"Tara, Ayah datang ...." Ayah berlari kecil, dengan sebungkus makanan di tangan kirinya dan laptop di tangan kanannya.

"Ayah kok lama bener sih?" Ibu merengut pada Ayah. Ah, pasangan itu masih tetap romantis dengan caranya yang unik. "Ibu nungguin Ayah loh, kangen."

Aku dan Ayah tertawa karena ulah Ibu.

"Ini, barusan dari toko. Beli cemilan, buat ngobrol-ngobrol." Ayah meletakkan bungkusan itu ke meja.

"Ish, Ayah. Ngobrol-ngobrol apaan? Kita harus pulang. Biar Farah cepet nyelesain tugas dan langsung istirahat sama Angga." Ibu mencubit pinggang Ayah, kulihat laki-laki itu sedikit meringis.

Andai pernikahanku semanis mereka. Ah, tidak. Ini baru sehari, bukan? Siapa tahu Angga berubah di kemudian hari? Lalu, dia berhasil menumbuhkan benih-benih cinta di hatiku. Ya, semoga saja Angga berubah.

"Ibu sama Ayah nginep aja, ya. Udah malem gini," usulku.

Kedua orang itu menggeleng serempak. Kompak sekali mereka. "Kita pulang saja, takut mengganggu pengantin baru." Ayah bicara dan tersenyum.

Aku tidak diperlakukan sebagai pengantin baru di sini. Aku tetaplah menjadi Farah yang asing bagi mereka. Tidak ada sapaan ramah, pun tidak ada perlakuan lembut dari seorang yang kusebut suami.

Jika aku menceritakan semua yang ada dalam hati dan pikiranku, bagaimana tanggapan Ayah dan Ibu? Akankah mereka tetap memaksa untuk aku tetap tinggal di sini?

Hmmm .... Sudahlah, sepertinya aku banyak berandai-andai hari ini.

"Ayah dan Ibu pulang sekarang, ya. Itu cemilannya buat kamu aja. Buat nemenin kerjamu," ujar Ibu sembari berdiri. Ia menggamit lengan Ayah yang seolah-olah tak ingin pulang. "Ayo, Yah."

"Ayah pulang dulu, ya, Nak."

Aku mencium tangan Ayah cukup lama. Tak terasa, air mata ini luruh. Ayah membawaku dalam dekapannya. Sungguh hangat.

Jika ada laki-laki di dunia ini yang tak akan pernah menyakitiku, kupercaya bahwa dia hanyalah Ayah seorang.

Ayah, putrimu ingin pulang.

***
Next?
Arunasiam
Satria029
lumut66
lumut66 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Tutup