Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

WardahRosAvatar border
TS
WardahRos
[SFTH] Senja yang Tak Kembali
cerbung roman baper




Katakan kalau dia peri, aku lebih bisa mempercayainya. Mungkin sekarang diriku sedang terjebak di dimensi mimpi.
Oh, bukan.
Katakan kalau dia siluman, itu lebih terlihat nyata karena seingatku tadi, aku tersesat di rimba belantara.


Satu

Lingga ingat dulu sewaktu kecil, Retna–mamanya–selalu membacakan dongeng sebelum tidur. Cerita tentang Pak Tua Gepeto yang membuat robot anak bernama Pinokio. Seorang penjelajah luar angkasa bernama Peterpan. Di malam yang lain Retna bercerita tentang Pangeran Kecil berambut pirang dari suatu planet nun jauh di luar galaksi Bimasakti.

Biasanya cerita-cerita yang dibawakan Retna selalu menjadikan anak laki-laki sebagai tokohnya, menyesuaikan Lingga sebagai pendengar setianya. Namun, Retna sekali waktu bercerita tentang gadis bertudung merah. Tidak biasanya, kali itu tokoh utamanya adalah seorang gadis kecil.

Pada jaman dahulu, terdapat sebuah desa terpencil di lereng bukit. Di desa itu ada seorang gadis kecil yang sangat cantik. Kulitnya kuning Langsat, bibirnya mungil dan berwarna merah. Rambutnya hitam legam. Semakin lama dia semakin terlihat cantik, hingga mamanya khawatir akan ada orang jahat yang berniat menyakiti gadis itu karena kecantikannya. Dia membuatkan gadis itu sebuah kerudung berwarna merah, warna kesukaan si gadis.

Pada suatu hari, sang mama meminta gadis itu ke rumah neneknya. Si nenek tinggal agak jauh, yaitu di tepi hutan bukit. Antara desa dan hutan dipisah oleh sebuah sungai besar. Menurut para laki-laki tpenebang kayu yang turun bukit, si nenek sedang sakit. Sang Mama membawakan sebuah keranjang yang berisi sup daging dan sebotol madu untuk nenek. Dia berpesan, “Jangan terlalu pelan kalau jalan, agar bisa segera sampai dan pulang sebelum matahari terbenam. Tapi jangan berlari, karena takut nanti botol madunya jatuh dan pecah.”

Gadis itu dengan riang memakai kerudung barunya, lalu berjalan menuju tepi hutan. Setelah melewati jembatan, gadis itu melalui sebuah jalan setapak. Hari sudah agak siang sehingga jalanan terlihat jelas karena sinar matahari yang menembus dari celah dedaunan dan pohon. Tinggal sebentar lagi, maka dia akan sampai ke rumah neneknya. Namun, ada seseorang yang menyapanya.

“Halo, gadis manis,” katanya.

Akan tetapi, ternyata dia bukan orang, melainkan seekor serigala berbulu hitam legam. Gadis itu mundur beberapa langkah. Serigala itu meskipun terlihat ramah, tapi sebenarnya ia licik. Pertama ia tertarik dengan aroma sup daging yang dibawa si gadis. Namun, ketika melihat gadis berkerudung merah, timbul rasa haus yang lain. Serigala itu ingin memakan gadis berkerudung merah.



Akhir dari kisah itu justru serigala yang mati. Perutnya yang terbuka karena terkena kampak para pemburu dimasuki batu supaya berat. Lalu mayat serigala ditenggelamkan ke sungai.

Setelah Mama menyelesaikan cerita itu, seperti umumnya seorang anak kecil Lingga jadi benci dengan binatang serigala yang jahat dan licik. Termasuk kepada anjing yang wajahnya mirip serigala.

Namun, kini karena umur yang semakin bertambah, dia bisa melihat dari sisi yang berbeda. Di dalam diri seorang pria, ada seekor serigala yang bersemayam. Serigala itu adalah entitas dari hasrat.

Layaknya saat ini, sejauh netranya memandang hanya ada pepohonan. Jalan setapak yang dia lalui tadi lenyap entah ke mana. Hanya suara dedaunan yang bernyanyi terlena oleh rayuan angin. Suhu udara mulai turun. Mentari kelihatannya sudah tak sabar ingin kembali ke peraduan. Semburat jingga mewarnai semak-semak, batang pohon, juga dedaunan.

Lingga meraih ponsel di saku celana jins yang ia kenakan. Batang sinyal tak ada satupun yang menyala. Tak ayal keputusannya untuk menemui Yang Kung dan Omah dia sesali saat itu juga. Semula, Lingga enggan untuk susah payah menempuh perjalanan selama enam jam dengan mobil kalau tidak dipaksa oleh Retna. Yang Kung dikabarkan sakit sendinya kambuh. Penyakit sahabat para lansia itu tak bisa memaksa Lingga untuk segera menghampiri si kakek. Namun, Retna mengomelinya selama setengah jam berturut-turut disertai sebuah ultimatum kalau sampai Lingga tidak menjenguk Yang Kung, maka Retna, Lingga, dan Aji–papanya–akan dicoret dari daftar hak waris karena telah menjadi anak dan cucu durhaka.

Jadi di sinilah Lingga berusaha menemukan rumah yang ditinggali Yang Kung dan Omah. Padahal terakhir Lingga ke sana adalah saat masih memakai seragam putih merah. Berbekal foto peta yang digambar Retna, yang lebih mirip maze untuk anak TK, Lingga harus menemukan rumah itu sebelum matahari terbenam.

Gawatnya, Lingga sekarang tersesat di tengah hutan belantara. Seingat Lingga, Retna tak pernah menyebutkan tentang hutan. Mana mungkin Yang Kung yang hartanya takkan habis sembilan turunan itu hidup di tengah hutan. Namun, Lingga yakin kalau dia sudah mengikuti petunjuk jalan yang digambar Retna. Lingga memikirkan juga kemungkinan justru Retna yang salah menggambarkan petanya.

Ketiadaan suara binatang di sekitar Lingga malah membuat pemuda berumur dua puluh tahun itu semakin bergerak waspada. Jika makhluk kecil tak ada yang berani bersuara, kemungkinan ada pemangsa yang berkeliaran. Lingga mendadak terlonjak saat mendengar suara auman.

“Gak mungkin! Harimau Jawa ,kan udah punah,” ujarnya tak percaya. “Apa jangan-jangan harimau ....” Bulu kuduknya meremang. Panik, ia balik badan lalu segera mengambil langkah lebar menuju arahnya berasal, tempat Lingga memarkir mobilnya. Beberapa menit yang lalu, Lingga tak dapat meneruskan perjalanannya dengan mobil karena jalan semakin menyempit, dan Retna sendiri yang bilang kalau memang jalan menuju rumah Yang Kung memang berupa jalan setapak. Tidak bisa dilewati oleh Aston Martin-nya.

Kaki jenjang Lingga yang tak terbiasa melewati semak-semak malah terperosok oleh dedaunan yang lembab. Lingga tak dapat mengimbangi tubuhnya lalu ... BRUK! Lingga terjatuh dan kepalanya membentur tanah.

“ ... ngun ....”

“Bang ....”

Tubuh Lingga terasa seperti diguncang-guncang pelan. Namun, dia belum membuka pelupuknya. “Bang! Bangun!” Saat indera pendengaran Lingga dapat menangkap jelas suara seseorang yang mengguncang tubuhnya, Lingga memaksa matanya untuk terbuka. Ia mengerjap sambil mengernyitkan dahi. Seorang gadis bermata jeli tengah duduk bersimpuh di sampingnya.

Bau tanah yang sama seperti tadi. Udara yang terasa lebih dingin daripada tadi. Suara berisik dedaunan yang sama. Lingga yakin kalau saat ini tengah terbaring di hutan, bukan di jok mobil delapan M-nya.

Gadis di sampingnya tersenyum sambil berkata, “Bang, kamu ga papa?”

“Katakan kalau dia peri, aku lebih bisa mempercayainya. Mungkin sekarang diriku sedang terjebak di dimensi mimpi.
Oh, bukan.
Katakan kalau dia siluman, itu lebih terlihat nyata karena seingatku tadi, aku tersesat di rimba belantara.”


Masih teringat jelas sebelum Lingga pingsan, dia mendengar suara auman. Jika harimau Jawa sudah punah, kemungkinan besar itu adalah harimau ghaib dan di antara kemungkinan-kemungkinan lainnya pastilah gadis berkulit putih, bermata jeli, berambut sehitam arang dengan bibir semerah kelopak mawar di sampingnya saat ini juga gadis ghaib.

Lingga langsung membuang badannya ke samping menjauhi gadis itu dan sigap bangkit. Denyut nyeri tiba-tiba menyerang kepalanya.

“Bang!” teriak gadis itu lagi. Dia berdiri lalu melangkah mendekati Lingga.

Lingga mengisyaratkan dengan telapak tangannya agar gadis itu berhenti. “Kamu siapa?” tanya Lingga. Sontak ia menyesalinya, untuk apa dia menjalin komunikasi dengan makhluk astral? Yang harus dia lakukan saat ini adalah merapalkan ayat pengusir setan.

“Namaku Nuri.”

Siluman burung, sebutan yang Lingga sematkan untuk gadis di hadapannya.

“Kepala Bang Lingga sakit, ya?” Nuri mengulurkan lengannya. Lingga mundur selangkah lagi.

Gadis itu menghela napas lalu mengulum senyum. “Kayanya ga papa. Ayo buruan, Yang Kung dan Omah Ratih sudah nunggu Bang Lingga dari tadi.”

“Tunggu ... kamu siapa? Kamu kenal denganku?” tanya Lingga heran. Jika gadis di hadapannya sekarang kenal dengan kakek dan neneknya bisa jadi dia adalah saudara yang dia belum kenal, atau pelayan dari kakek dan neneknya.

“Eh Abang lupa, ya? Aku kan Nuri anaknya Bu Ningsih.”

Nama Nuri saja dia tidak kenal, muncul lagi satu nama, Ningsih.

“Buruan, gih. Ini udah mau Maghrib.” Gadis itu berbalik lalu melangkah lebih dulu, Lingga segera mengikutinya. Dia lupa akan julukan Siluman Burung yang dia sematkan kepada gadis di depannya.

Tinggi Nuri seperti anak masih SD, tapi langkahnya cepat. Kalau bukan karena warna cardigan yang ia pakai berwarna merah pastilah Lingga ketinggalan jejaknya. Lingga susah payah melewati beberapa semak, sedangkan Nuri terlihat biasa saja. “Tunggu!” teriaknya kepada Nuri.

“Ayo, Bang cepat! Itu rumahnya udah keliatan,” jawab Nuri sambil menunjuk ke arah depan.

Lingga bisa melihat atap rumah Yang Kung. Memori masa kecilnya terpanggil kembali. Dulu Lingga pernah diajak anak kampung untuk melempari monyet yang berdiri di atap rumah Yang Kung dengan biji berwarna merah. Namun, di antara keempat anak ingusan itu tak ada yang bernama Nuri.

Jadi siapa gadis itu?

Yang pertama kali menyambut kedatangan Lingga adalah Pak Wandi, Lingga masih ingat beliau adalah peladen serba bisa Yang Kung. Pak Wandi bisa menjadi tukang kebun, juru masak, penjaga binatang peliharaan Yang Kung seperti kuda, kucing, ayam mutiara, kelinci, dan binatang lainnya, Lingga lupa apa saja. Dan yang paling Lingga sukai adalah, Pak Wandi bisa membuatkan Lingga layang-layang yang besar.

Pak Wandi segera mengelap tangannya ke kemeja yang ia pakai sebelum mengulurkan tangannya kepada Lingga. Seolah-olah tangannya yang keriput itu kotor dan harus dibersihkan sebelum menyalami Lingga. “Den Lingga sudah datang, gimana kabarnya?” Tanpa melakukan hal itu pun Lingga tak akan protes, bahkan meskipun tangan Pak Wandi dipenuhi bubur dedak bahan pakan ayam mutiara Yang Kung pun, Lingga tak akan segan untuk menyambut uluran tangannya. Pak Wandi sudah Lingga anggap sebagai bagian dari keluarga Yang Kung.

“Baik, Pak Wandi gimana kabarnya?” Lingga bukan hanya menyambut uluran tangan Pak Wandi, ia meraih bahu Bapak tua itu dan merangkulnya.

“Alhamdulillah sehat.” Pak Wandi mengurai pelukan lalu melihat ke arah belakang Lingga. “Loh, Den Lingga sendirian?” tanyanya.

“Iya, Mama dan Papa masih seminggu lagi baru bisa ke sini,” jawab Lingga.

Pak Wandi lalu menggiring Lingga masuk menemui Yang Kung dan Omah. Nuri, gadis itu menghilang entah ke mana.

“Lingga, cucuku sayang. Gimana perjalanannya?” tanya Omah Ratih setelah Lingga memberi salam kepada kedua orang tua di hadapannya.

“Alhamdulillah, capek Omah,” jawab Lingga.

“Kemeja kamu kenapa? Kamu jatuh tadi?” tanya Yang Kung sambil menyentuh bingkai kacamatanya.

“Iya tadi, jalannya licin.”

“Kalau gitu, sana mandi dulu, gih. Habis itu makan,” kata Yang Kung.

“Nuriii!” teriak Omah Ratih.

“Iya, Omah!” Gadis itu menjawab dari belakang Lingga. Kemudian ia mendekat.

“Tolong antar Lingga ke kamarnya,” pinta Omah Ratih.

“Baik, Omah.” Lingga menghela napas lega, ternyata Nuri bukan makhluk astral.



Birsimbing✌️


Assalamualaikum
WardahRos di sini 😁
Kali ini ane mau buat cerbung. Update tidak terjadwal.

Enjoy the story 💗

Warning! Mungkin ada beberapa scene yang agak dewasa karena genrenya young adult. Mohon dimaafken emoticon-Malu

Sumber pict:
Pinterest

Diubah oleh WardahRos 08-08-2020 00:46
kyukyunana
sabenik.iky
081364246972
081364246972 dan 55 lainnya memberi reputasi
54
6.3K
136
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
WardahRosAvatar border
TS
WardahRos
#89
Part 4: Hampa Tanpa Masalah
Cerbung baper




[SFTH] Senja yang Tak Kembali

Lingga bukan anggota Pecinta Alam, tapi mendaki gunung pernah ia lakukan bersama teman-teman kampus. Hanya dua kali waktu liburan semester. Seiring bertambahnya beban SKS, Lingga sudah tak melakukannya. Langkah kakinya memang lebar karena tungkainya yang panjang, tapi tetap saja dia merasa kalau langkah kaki Nuri sangat cepat.

Memahami seorang Nuri menjadi hobi baru baginya. Tubuhnya pendek hanya sampai perut atas Lingga. Rambutnya panjang berwarna hitam legam, tapi kontras dengan kulitnya yang putih. Bagaimana anak itu berjalan cepat meskipun jalanan menanjak, bagaimana cara ia memanjat pohon yang tinggi, bagaimana Nuri tertawa riang karena berhasil mengumpulkan jamur untuk Eyang.

Rambut Nuri sedikit acak-acakan saat ia turun dari pohon. Membuat tangan Lingga terasa gatal untuk merapikannya.

“Sejak kapan kamu mulai nyari jamur ini?”

“Seminggu yang lalu mungkin.”

“Kamu tahu, kan kalau jamur di alam itu berbahaya. Sembilan puluh persen jamur tidak dapat dimakan. Emang kamu yakin kalau jamur-jamur ini layak konsumsi? Jangan-jangan gak jadi obat malah jadi racun.”

Nuri menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadapi Lingga sambil berkacak pinggang. “Bang Lingga, apa Abang pikir Nuri ini bodoh, iya?”

Entah kenapa melihat Nuri yang marah membuat Lingga merasa terhibur. Bibir mungil berwarna ombre pink itu mengerucut. “Aku, kan cuma mau memastikan,” ujar Lingga sambil menaikkan kedua bahunya.

“Sebelum jamur-jamur ini Nuri masak, Nuri tanya dulu ke dokter,” ujar Nuri penuh percaya diri. Lalu gadis itu menjelaskan proses panjang sebelum ia menyuguhkan jamur itu ke hadapan Yang Kung. Sudah seperti sales obat yang meyakinkan calon pembeli dengan kelebihan produk dari perusahaannya.

Lingga tersenyum hingga gigi putihnya mengintip segaris.

“Dibilangin malah ketawa. Ah, malas ngomong sama Bang Lingga.” Nuri mengangkat tangannya lalu mengibaskan telapak tangan ke udara. Ia berbalik lalu berjalan kembali.




Bunyi alarm dari jam tangan Lingga mengingatkan mereka harus kembali pulang. Nuri memimpin jalan mereka menuju rumah Yang Kung.

Seperti malam sebelumnya, Lingga merasakan perubahan suasana malam yang drastis. Kalau di kota, malam masih terasa ramai. Apalagi kalau keluar sedikit dari komplek kosnya. Jalanan ramai kendaraan dan pedagang kaki lima. Sedang mager, tinggal pesan makanan lewat aplikasi driver online.

Sepi, dingin, gelap. Jadi alih-alih berdiam diri di dalam kamar, Lingga mencari kehangatan dengan berkumpul dengan anggota keluarga lainnya di depan televisi. Nuri, gadis itu seperti keluarga sendiri, apalagi kalau bukan karena interaksinya dengan kakek dan nenek Lingga.

Lingga mencari keasyikan menonton acara dangdut, padahal juga tak terlalu bagus menurutnya. Acara yang seharusnya fokus menampilkan hiburan malah seperti acara reality show. Dengan cuplikan-cuplikan kisah pilu si penyanyi. Dengan sekali menonton saja bisa diterawang kalau mereka lakukan itu untuk menarik simpati penonton, sehingga banyak yang memberikan vote ke penyanyinya. Vote yang banyak supaya tidak tersisihkan dan maju ke babak final.

Padahal semua orang juga tahu. Untuk bertahan di dunia hiburan tidak bisa melulu menjual kisah pribadi si artis. Cara pansos seperti itu memang bisa membuatnya terkenal dengan instan, tapi jika tidak diimbangi dengan kemampuan dan kualitas mumpuni, tetap saja jatuhnya juga instan.

Yang terlihat antusias menyimak drama itu hanya Oma, tapi semua tak ada yang berinisiatif untuk mengganti saluran televisi. Mereka menikmati acara berkumpul bersama, tak peduli televisi sedang menayangkan apa.

Nuri sibuk memijat kaki Yang Kung. Melihat hal itu dia setuju dengan cerita Pak Wandi, Oma dan Yang Kung merindukan anak dan cucunya. Sehingga Nuri yang orang asing pun dengan mudah dekat dengan mereka.

“Bagaimana kuliah kamu, Lingga?” tanya Oma di sela-sela iklan.

“Lancar Oma, doakan lancar sampai lulus.”

Oma mengangguk. “Semoga berhasil. Cucu Oma pintar-pintar, asal Lingga rajin berdoa dan perbaiki shalat, in syaa Allah tak ada halangan.”

Lingga yang sedang mengunyah ubi kukus tiba-tiba tersedak, seperti tertohok dadanya. Shalat yang ia kerjakan selama ini hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Tak ada rasa spesial seperti menjadikannya kebutuhan hidup. Kebutuhan untuk menyembah Sang Pencipta. Apa karena itu akhir-akhir ini dia merasa hidupnya hampa? Namun, cepat-cepat Lingga menepis pikiran buruk itu. Dia masih berusia dua puluh tahun, memang masalah apa yang harus dia hadapi supaya hidupnya lebih bermakna? Tanpa masalah seharusnya Lingga bersyukur dengan itu.

Baru juga dibatin, ternyata masalah itu datang. Pelan-pelan tidak berisik, bunyinya seperti tutup botol yang dibuka.

POP! Berulang-ulang. Namun efeknya membuat sekujur tubuh Lingga memanas. Pacar Lingga, memutuskan hubungan mereka lewat pesan chat.

Lingga meremas gawainya sambil menahan umpatan. Cepat-cepat ia ijin untuk masuk ke kamarnya.

Quote:


Sumber pict: Pinterest
Diubah oleh WardahRos 25-06-2020 06:31
mayyarossa
081364246972
embunsuci
embunsuci dan 23 lainnya memberi reputasi
24
Tutup