Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

evihan92Avatar border
TS
evihan92
Rai Rata


Baleraksa, Purbalingga, tahun 1980.

Malam sudah larut. Entah pukul berapa sekarang, aku tak tahu. Yang jelas, udara sudah terasa makin dingin, sehingga aku dan dua temanku masing-masing merapatkan jaket ke tubuh agar tidak menggigil kedinginan.

Langit juga gelap, tak ada cahaya rembulan. Sepanjang jalan menuju rumah sudah sunyi, tak ada orang lewat lagi. Padahal, untuk menuju perkampungan, kami harus berjalan kaki kira-kira tiga kilometer jauhnya. Di kanan-kiri hanya ada kebun-kebun dan tanah kosong. Harus melewati kuburan, pula.



Memang begitulah suasana desa kami. Karena belum ada listrik masuk desa, maka untuk berjalan malam kami mengandalkan penerangan senter atau obor. Biasanya, yang menggunakan senter adalah para pemuda seperti kami, sedang orang tua menggunakan obor blarak, yaitu daun kelapa kering yang diikat lalu dinyalakan ujungnya.

Kami bertiga, aku, Wagiman dan Solekan, baru pulang dari menonton dangdut di desa tetangga, Karangasem. Kami sendiri tinggal di Karangsawah, Baleraksa, Purbalingga.

Sayangnya, kami tadi lupa tidak membawa senter. Kami memang pergi sejak masih siang, belum perlu senter. Biasalah, anak muda.

Namun, kini kami sadar, senter itu sangat diperlukan untuk perjalanan kami.

"Lihat, Jono," kata Wagiman, tiba-tiba memanggilku, "ada yang bawa obor di depan."

Ah, ya, benar. Di kejauhan, kulihat setitik api tampak bergerak-gerak, pasti seirama dengan lambaian tangan pembawanya.

"Ayo cepat, lumayan kita punya teman seperjalanan, bisa numpang obor," ajakku.

Kami bertiga pun mempercepat langkah. Pembawa obor itu mulai terlihat. Dari perawakannya yang kurus dan sedikit membungkuk, sepertinya dia sudah tua.

"Kakine, entosi! (Kakek, tunggu!)" seruku memanggilnya.

Kakek itu tampak sedikit melambatkan jalannya. Kami mengejar dengan mempercepat langkah. Namun, herannya, kami tidak bisa segera menyusul si kakek. Kami sampai berlari-lari kecil untuk bisa menjajari langkahnya.

Padahal kakek itu berjalan santai saja, bagaimana bisa lebih cepat dari kami yang masih muda?

"Kakine saking pundi, deneng kiyambekan? (Kakek dari mana, kok sendirian?)" Solekan bertanya, dan kupikir hanya untuk sopan santun saja.

Si kakek hanya menggumam. Lalu, tahu-tahu kami harus mempercepat langkah karena nyaris tertinggal.

"Kakine daleme pundi? (Rumah Kakek di mana?)" Aku pun ikut berbasa-basi.

Lagi, si kakek hanya menggumam tak jelas. Tiba-tiba pula, kembali kami harus mempercepat langkah, hingga nyaris berlari, karena hampir tertinggal lagi.

"Kakine sinten, sih, deneng kebat temen tindake? (Kakek siapa, sih, kok cepat sekali jalannya?)"

Kali ini, aku yakin, Solekan tidak berbasa-basi. Aku sendiri pun penasaran. Bagaimana mungkin kami selalu hampir tertinggal oleh kakek tua yang melangkah dengan santai itu?

Namun, lagi-lagi, si kakek hanya menggumam tak jelas.

Penasaran, aku mencoba mendekati si kakek, untuk melihat wajahnya. Siapa tahu sebenarnya kami mengenalnya.

Seperti paham maksudku, si kakek sedikit mengangkat obornya untuk menerangi bagian wajah. Aku, diikuti Wagiman dan Solekan, segera mengamatinya.

Dan ....

Astagfirullah!

Napasku tercekat di tenggorokan. Dada sesak, tubuh gemetar, kaki lemas. Wajah itu ... wajah itu ... rata! Hanya seperti kertas yang digambari mata, hidung, dan mulut!

"Se-setaaan ...!"

Pekikan Wagiman menyadarkanku. Segera aku berlari sekuat tenaga, tunggang-langgang menyusul Wagiman dan Solekan yang juga sudah terbirit-birit.

Setelah cukup jauh, dan kakek itu tidak terlihat lagi, kami berhenti karena kelelahan. Kami bahkan duduk menggelosor di batu-batu jalan, untuk mengatur napas.

Beberapa saat hening.

Kami masih duduk di jalan ketika dari arah depan terlihat cahaya senter yang redup.

Kami menunggu. Cahaya itu makin dekat. Dalam cahaya yang samar-samar, kami bisa melihat bahwa pembawa senter itu seorang laki-laki bertubuh sedang. Belum tua, tampaknya.

"Mas, deneng njagong ning ndalan, kenangapa? (Mas, kok duduk di jalan, kenapa?)" sapanya pada kami.

Fiuuuh ... aku bernapas lega!

Dia berbicara dengan jelas, berarti dia benar-benar manusia.

"Enten setan, Pak (Ada setan, Pak)" jawabku pelan, takut ditertawakan.

"Setan?" tanyanya lagi.

"Enggih, Pak. Raine rata (Iya, Pak. Wajahnya rata)," jawab Wagiman membenarkanku.

Bapak itu melangkah makin dekat.

"Napa kados niki? (Apakah seperti ini?)" tanyanya sambil menyorotkan senter ke wajahnya sendiri.

Allahu akbar!

Benar, wajahnya rata! Persis wajah si kakek tadi!

Tak terdengar teriakan lagi. Aku pingsan.

***

Sumber : opini pribadi dan cerita dari mulut ke mulut
Foto : dari sini










4iinch
dwikusumad
darmawati040
darmawati040 dan 20 lainnya memberi reputasi
21
4.4K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
embunsuciAvatar border
embunsuci
#22
Kalo bener adanya, ya ampun, jangan sampe ketemu deh
evihan92
darmawati040
darmawati040 dan evihan92 memberi reputasi
2
Tutup