- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ada Apa dengan Nadiem Makarim?
TS
andykeprett
Ada Apa dengan Nadiem Makarim?
Quote:
Melawan Otak Masa Lalu, Tantangan Mas Mendikbud Nadiem.
Pengangkatan Nadiem Makarim jadi Mendikbud menuai penolakan oleh sekelompok orang, tidak membuat saya kaget. Sosoknya baru 35 tahun, gak pernah ngenyam pendidikan di Indonesia dan gak punya latar belakang dunia pendidikan.
Ini ibarat, milih ketua perkumpulan klub olahraga bukan dari atlet, sudah puluhan tahun begitu, kenapa di level kementerian heboh? Nadiem, memang bukan Guru Besar, bukan rektor atau mantan. Siapa dia? Hanya anak muda yang sudah mengubah dunia!
Mari mundur sebentar, pendidikan kita masih banyak PR, baru tiga tahun terakhir menunjukkan perbaikan di beberapa lini.
Soal daya saing negara misalnya, ngutip dari tirto.id, Indonesia baru ada di posisi ke-6 tingkat ASEAN dengan skor 38,61 masih jauh di bawah Singapura skor 77,27, Malaysia yang dulu berguru ke kita di posisi ke-2 skor 58,62, bahkan di bawah Brunei Darussalam di posisi ke-3 skor 49,91.
Data tersebut menggambarkan kemampuan SDM yang dimiliki negara-negara dengan melihat indikator penilaian yakni pendapatan per kapita, pendidikan, infrastruktur teknologi komputer informasi, gender, lingkungan, tingkat toleransi, hingga stabilitas politik.
Kedua, index pendidikan Indonesia (education index) yang dikeluarkan Human Development Reports, pada 2017, masih dikutip dari tirto.id, Indonesia ada di posisi ketujuh di ASEAN dengan skor 0,622.
Skor tertinggi diraih Singapura, yaitu sebesar 0,832. Peringkat kedua ditempati oleh Malaysia (0,719) dan disusul oleh Brunei Darussalam (0,704). Pada posisi keempat ada Thailand dan Filipina, keduanya sama-sama memiliki skor 0,661.
Bahkan, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat ada tujuh masalah pendidikan Indonesia yang harus diselesaikan (republika.co.id). Pertama, nasib program wajib belajar (wajar) 12 tahun ini masih di persimpangan jalan. Kedua, angka putus sekolah dari SMP ke jenjang SMA mengalami kenaikan.
Ketiga, pendidikan agama di sekolah mendesak untuk dievaluasi dan dibenahi. Empat, masih lemahnya pengakuan negara atas pendidikan pesantren dan madrasah. Lima, pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) harus tepat sasaran dan tepat waktu. Enam, ekerasan dan pungutan liar di sekolah masih merajalela. Dan ketujuh, ketidak-sesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia kerja.
Gak bisa segudang masalah tersebut diselesaikan dengan cara-cara yang lama, dengan pemikiran jadul yang selama puluhan tahun terus-terusan seperti itu dijalankan tanpa hasil.
Kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda (A. Einstein). Meskipun expert bidangnya sekalipun yang menjalankan. Karena, selama ini terperangkap pada sudut pandang orang dalam, sadar ada masalah namun terpaku pada solusi yang ter-framing dalam aturan yang tabu untuk dilewati. Pendidikan kita butuh akselerasi!
Sudah waktunya, arah pendidikan dijalankan pada model karakteristik siswa. Indonesia begitu unggul dengan demografi SDM, namun selama ini terpenjara pada pola pendidikan yang salah, menyamaratakan.
Padahal, setiap siswa spesial. Semua siswa itu jenius. Tapi jika kita hanya menilai seekor ikan melalui kemampuannya untuk memanjat pohon, maka seumur hidupnya dia akan mempercayai kalau dia bodoh.
Sudah sering melihat murid-murid yang menorehkan manis prestasi di bidang non akademis, namun akhirnya harus menghadapi pahit DO akibat kakunya sistem absensi dan nilai-nilai ujian akademis.
Ini akibat kurikulum yang mensyaratkan berdasarkan histori bukan proyeksi. Seharusnya, perlakukan pendidikan hari ini adalah proyeksi untuk menghadapi masa 25 tahun, 50 tahun bahkan 100 tahun ke depan. Nadiem, melihat hal ini, yang selama berpuluh tahun tidak terlihat oleh oknum yang ngaku pelaku-pelaku pendidikan.
Revolusi pasti akan menghadapi tantangan. Tantangan terbesar Nadiem adalah bukan soal indeks pendidikan Indonesia dan kamuflase angka-angka, tetapi melawan otak masa lalu yang masih membelenggu pendidikan Indonesia untuk maju.
Otak-otak masa lalu adalah hantu-hantu pendidikan; menakuti, menggrogoti, menikam, menyumpahi biar Indonesia begitu-begitu saja. Biasanya, otak-otak masa lalu hanya butuh diberi (r)uang, mereka akan riang.**
Pengangkatan Nadiem Makarim jadi Mendikbud menuai penolakan oleh sekelompok orang, tidak membuat saya kaget. Sosoknya baru 35 tahun, gak pernah ngenyam pendidikan di Indonesia dan gak punya latar belakang dunia pendidikan.
Ini ibarat, milih ketua perkumpulan klub olahraga bukan dari atlet, sudah puluhan tahun begitu, kenapa di level kementerian heboh? Nadiem, memang bukan Guru Besar, bukan rektor atau mantan. Siapa dia? Hanya anak muda yang sudah mengubah dunia!
Mari mundur sebentar, pendidikan kita masih banyak PR, baru tiga tahun terakhir menunjukkan perbaikan di beberapa lini.
Soal daya saing negara misalnya, ngutip dari tirto.id, Indonesia baru ada di posisi ke-6 tingkat ASEAN dengan skor 38,61 masih jauh di bawah Singapura skor 77,27, Malaysia yang dulu berguru ke kita di posisi ke-2 skor 58,62, bahkan di bawah Brunei Darussalam di posisi ke-3 skor 49,91.
Data tersebut menggambarkan kemampuan SDM yang dimiliki negara-negara dengan melihat indikator penilaian yakni pendapatan per kapita, pendidikan, infrastruktur teknologi komputer informasi, gender, lingkungan, tingkat toleransi, hingga stabilitas politik.
Kedua, index pendidikan Indonesia (education index) yang dikeluarkan Human Development Reports, pada 2017, masih dikutip dari tirto.id, Indonesia ada di posisi ketujuh di ASEAN dengan skor 0,622.
Skor tertinggi diraih Singapura, yaitu sebesar 0,832. Peringkat kedua ditempati oleh Malaysia (0,719) dan disusul oleh Brunei Darussalam (0,704). Pada posisi keempat ada Thailand dan Filipina, keduanya sama-sama memiliki skor 0,661.
Bahkan, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat ada tujuh masalah pendidikan Indonesia yang harus diselesaikan (republika.co.id). Pertama, nasib program wajib belajar (wajar) 12 tahun ini masih di persimpangan jalan. Kedua, angka putus sekolah dari SMP ke jenjang SMA mengalami kenaikan.
Ketiga, pendidikan agama di sekolah mendesak untuk dievaluasi dan dibenahi. Empat, masih lemahnya pengakuan negara atas pendidikan pesantren dan madrasah. Lima, pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) harus tepat sasaran dan tepat waktu. Enam, ekerasan dan pungutan liar di sekolah masih merajalela. Dan ketujuh, ketidak-sesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia kerja.
Gak bisa segudang masalah tersebut diselesaikan dengan cara-cara yang lama, dengan pemikiran jadul yang selama puluhan tahun terus-terusan seperti itu dijalankan tanpa hasil.
Kegilaan adalah melakukan hal yang sama berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda (A. Einstein). Meskipun expert bidangnya sekalipun yang menjalankan. Karena, selama ini terperangkap pada sudut pandang orang dalam, sadar ada masalah namun terpaku pada solusi yang ter-framing dalam aturan yang tabu untuk dilewati. Pendidikan kita butuh akselerasi!
Sudah waktunya, arah pendidikan dijalankan pada model karakteristik siswa. Indonesia begitu unggul dengan demografi SDM, namun selama ini terpenjara pada pola pendidikan yang salah, menyamaratakan.
Padahal, setiap siswa spesial. Semua siswa itu jenius. Tapi jika kita hanya menilai seekor ikan melalui kemampuannya untuk memanjat pohon, maka seumur hidupnya dia akan mempercayai kalau dia bodoh.
Sudah sering melihat murid-murid yang menorehkan manis prestasi di bidang non akademis, namun akhirnya harus menghadapi pahit DO akibat kakunya sistem absensi dan nilai-nilai ujian akademis.
Ini akibat kurikulum yang mensyaratkan berdasarkan histori bukan proyeksi. Seharusnya, perlakukan pendidikan hari ini adalah proyeksi untuk menghadapi masa 25 tahun, 50 tahun bahkan 100 tahun ke depan. Nadiem, melihat hal ini, yang selama berpuluh tahun tidak terlihat oleh oknum yang ngaku pelaku-pelaku pendidikan.
Revolusi pasti akan menghadapi tantangan. Tantangan terbesar Nadiem adalah bukan soal indeks pendidikan Indonesia dan kamuflase angka-angka, tetapi melawan otak masa lalu yang masih membelenggu pendidikan Indonesia untuk maju.
Otak-otak masa lalu adalah hantu-hantu pendidikan; menakuti, menggrogoti, menikam, menyumpahi biar Indonesia begitu-begitu saja. Biasanya, otak-otak masa lalu hanya butuh diberi (r)uang, mereka akan riang.**
Sumber: Sumur
Quote:
Quote:
Original Posted By sriamalia►Tuh disuruh mundur tuh sama Djoko Edhie!
https://m.eramuslim.com/berita/nasio...ndurlah-ii.htm
https://m.eramuslim.com/berita/nasio...ndurlah-ii.htm
MENTERI NADIEM, TERUS MELAJULAH (I)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim tetap harus melaju. Dikritisi boleh. Namun elegan. Juga dengan nalar argumentasi yang logis serta teoritis.
Bukan berkicau aneh. Malah jadi si pengkritis menunjukkan sikap 'berotak tumpul'. Menyinggung personal kehidupan Menteri Nadiem soal agamamya, bersiap rasialis, mengkomparasi dengan ketika jadi bos Gojek atau parahnya: menyebarkan hoaks!
Lha, apa urusannya antara agama dengan kebijakan untuk pendidikan Indonesia ke masa depan? Agama itu soal urusan individu dengan Tuhan. Pendidikan itu berkaitan dengan kualitas bangsa, generasi yang cerdas, kesejahteraan Guru dan lahirnya negeri modern.
Lagi pula; kenapa ada seseorang yang sampai tahu detail soal sisi kehidupan beragama Menteri Nadiem ya? Sampai dikupas hingga ke istri dan anak-anaknya. Apa seseorang itu orang tua Menteri Nadiem hingga mengenal dekat keyakinan beragama Menteri Nadiem.
Intinya itu selama keyakinan beragama keluarga Menteri Nadiem tidak mengganggu kebjakan pendidikan; tidak jadi jadi radikalis dan intoleran; sah-sah saja Presiden Jokowi memilih Nadiem sebagai Mendikbud.
Jadi jangan usil. Urusan beragama di keluarga Menteri Nadiem adalah kehidupan pribadinya. Publik tidak butuh bagaimana sisi kehidupan beragama di keluarga Menteri Nadiem. Yang ditunggu adalah inovasi pendidikan dari Menteri Nadiem untuk membawa Indonesia makin hebat.
Ada lagi ketololan lain. Ingin mengkritisi Menteri Nadiem namun membawa-bawa ras. Jadi begini, Menteri Nadiem itu asli WNI. Menteri Nadiem secara legal WNI. Tidak berkebangsaan ganda, apalagi menjadi warga negara lain.
Soal Menteri Nadiem memiliki keturunan ras tertentu, itu kan kodrat. Mana bisa Menteri Nadiem menolak ketentuan Tuhan supaya tidak dilahirkan dari ras tertentu. Logikanya: Menteri Nadiem saja tidak tahu bakal lahir ke dunia atau tidak diberikan Tuhan.
Terus kenapa soal ras Menteri Nadiem diseret-seret? Padahal ada juga pejabat pemerintah lainnya, mulai dari tingkat kabupaten, kota, provinsi hingga pusat yang berasal dari banyak ras atau sama dengan Menteri Nadiem. Kok tidak dicerca?
Selama Menteri Nadiem masih WNI, berarti berhak menjadi Menteri jika Presiden menghendaki. Itu ketentuan perundangan. Selama Menteri Nadiem tidak berkhianat pada Indonesia, sah menjadi bagian penyelenggara pemerintahan.
Ingatlah, sadar, yang merusak dan menghancurkan Indonesia itu akibat berembusnya isu agama dan rasialis. Jangan tega meluluhlantakkan Bumi Pertiwi. Visi misi seseorang untuk memajukan Tanah Air Indonesia itu adalah kuncinya. Bukan soal agama atau rasnya.
Diubah oleh andykeprett 14-11-2019 12:40
nomorelies dan 2 lainnya memberi reputasi
3
2.1K
Kutip
20
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
smogal
#7
Pendidikan indonesia ga mutu krn terlalu menitik beratkan sm hafalan buku d banding logika....
Inget dulu waktu sekolah si guru cm suruh ketua kelas buat ngedikte buku trus murid yg lain mencatat....sigurunya malah ngeluyur d kantor guru dan baru masuk kekelas pas jam pelajaran mo habis
Kadang ada guru yg nulis d papan tulis smpe berjam2 smpe habis jam pelajaran d papan tulis...
Inget dulu waktu sekolah si guru cm suruh ketua kelas buat ngedikte buku trus murid yg lain mencatat....sigurunya malah ngeluyur d kantor guru dan baru masuk kekelas pas jam pelajaran mo habis
Kadang ada guru yg nulis d papan tulis smpe berjam2 smpe habis jam pelajaran d papan tulis...
0
Kutip
Balas
Tutup