Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
The Way You Are
Quote:




Friendship is not always about finishing each other's sentences or remind you to the lyrics you forget. Many times, friendship is about how fluent are both of you in speaking silence.

-- Maxwell.




Diubah oleh ladeedah 08-09-2019 00:30
someshitness
bukhorigan
evywahyuni
evywahyuni dan 11 lainnya memberi reputasi
12
24.3K
185
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
ladeedahAvatar border
TS
ladeedah
#50
Snuff
“Diajeng kenapa sih muntah-muntah terus?” Papa tampak tenang meskipun tak bisa menyembunyikan kepanikannya saat membantu gue minum cairan elektrolit dari dokter. Gue menggeleng tidak tau. Isi perut gue sudah habis namun kontraksi refluks masih terus terjadi hingga gue rasakan sakit yang amat sangat di sisi kanan-kiri dan bagian bawah diafragma.

“Kamu jajan di luar?” Papa menarik selimut untuk menutupi tubuh gue. Gue menggeleng lagi. Jangankan untuk bicara, untuk bernafas saja rasanya energi sudah tidak ada.

“Kamu berantem sama siapa lagi, Sayang?” Mama mengelus rambut gue. Gue menghadap Papa disisi kanan, Mama disisi kiri. Mereka akhirnya tau gue berantem karena dokter memeriksa seluruh tubuh gue dan menemukan bekas cakaran juga lebam di paha dan lengan.

“Temennya Bobby.” Jawab gue lemas sambil memeluk tangan Papa di dada gue.

“Kenapa?” Tanya Papa.

“Mereka minta uang Dee sama rebut skateboard Max.”

“Oh!” Ada shock di wajah Papa. Ia belalakkan matanya dan melihat gue tak percaya.

“Terus?”

“Gelut.”

“Coba makan lagi ya Sayang!” Mama ikut berbaring dan memeluk tubuh gue.

“No, Mama.”

“Dikit aja ya! Kasian belum makan--”

“NO MAMA! GO AWAY!!”

Raut wajah Papa yang tenang seketika berubah dingin.

“DIAJENG! Ini kesekian kalinya kamu bicara ke Mama begitu!” Bentaknya pelan.

“Udah Bram, namanya lagi sakit. Biarin dong!”

“NO MAMA! GO AWAY!! GO AWAY!!”

Gue menangis dan menarik selimut menutupi kepala gue.

It hurts. A lot.

Enam bulan sudah berlalu sejak kepulangan kami dari Kuala Lumpur dan gue masih merahasiakan apa yang Mama lakukan dari Papa.

It hurts. A lot.

Tiap lihat Papa memeluk Mama. Mama memeluk Papa. Gue tau Papa sangat mencintai Mama. Selalu membelikan dia bunga mawar dalam buket setiap dua minggu. Selalu membawa Mama dan gue makan di luar di akhir pekan. Selalu mencium Mama di bibir, di pipi, hingga ke lehernya dan Mama harus berbisik bahwa ada gue sehingga Papa hanya tertawa melihat gue.

It hurts. A lot.

Papa selalu memberinya hadiah saat uang beasiswa Papa turun, entah gelang, entah baju, entah anting, entah lipstik baru, entah voucher belanja. Pasti.

It hurts. A lot.

Saat Papa sangat inosen dengan cintanya dan Mama menyembunyikan rahasia pengkhianatan di baliknya.

It hurts me too. A lot.

Gue muak melihat kemesraan mereka. Gue kasian pada Papa tapi gue juga takut pada Mama.

“Dee, belum tidur?”

Papa menghampiri gue yang masih membaca buku. Gue membuka selimut dan melihatnya sudah berganti pakaian. Celana training dan sweater abu-abu membalut hangat tubuh tegapnya.

“Is there something wrong, Sweetheart?” Tanyanya setelah duduk di samping tempat tidur gue. Gue menggeleng.

“Akhir-akhir ini kamu sering marah ke Mama. Ada apa, Sayang?”

Gue tetap diam.

“Kamu marah karena Mama ga sering di rumah lagi?”

Gue tetap diam.

“Mama kan sekarang kerja, Nak. Kamu tau Mama udah ngajar dance dan ga kayak dulu lagi.”

“Mama berubah, Pa.”

“I know. Karena pekerjaan Mama juga makin sibuk. Papa juga minta maaf sering ninggalin kamu sama Max. Papa juga sebentar lagi sidang doktoral, setelah semua ini selesai, I am yours! I promise!”

Gue mengangguk. “Do you love Mama?” Gue tarik tangannya untuk berbaring bersama gue.

“With my life.”

“Do you love me as much as you love Mama?”

Gue sembunyikan kening gue di dadanya, berusaha mendengarkan detak jantungnya yang iramanya gue sukai.

“I love you with my life, my death, and come back to life again.”

“What does it mean, Papa?”

“I love you to forever and back.”

“Kata White Rabbit di Alice in Wonderland, forever itu bisa cuma sedetik Pa.”

“Kalo gitu kita pakai acuan matematika, bahwa forever itu infinity.”

“Terus gimana Papa tau kapan akan kembali dari forever, as to forever and back.”

“Maka dari itu, untuk ke selamanya saja ga sampai-sampai, its an infinite love.”

“Ke Mama juga infinity?”

“Kalian berdua adalah hidup Papa. Kamu ga perlu cemburu ke Mama dong, Papa punya banyak cinta buat dikasih ke kalian berdua. Ga akan pernah habis. You want more, I will give you more. Akan Papa beri kamu cinta tanpa kamu minta.”

“I want you, Papa. I don’t want Mama.”

“Nonsense! I cant live without you and Mama. Tidur yuk, kamu harus istirahat, semoga besok sudah boleh pulang!”

“Max kesini lagi besok. Dee ga sabar pengen liat K9 Max.”

“Kamu sekarang sering gelut ya Dee? Bad girl!”

“Mereka yang mulai Pa. Dee sama Max cuma melindungi diri.”

“Oh, that’s good then. Stay away dari anak-anak yang nakal. Kasian anak gadis Papa yang kinyis-kinyis badannya biru-biru!”

Gue sudah boleh pulang keesokan siangnya. Gue yakin Max masih sekolah dan gue sudah memaksa Papa untuk menelepon Mama Max agar tidak usah ke rumah sakit, melainkan ke rumah saja.

Masa kecil gue dan Max itu smooth. Kami sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah berantem atau marahan. Jika gue melihat masa remaja hingga dewasa yang seringkali berantem, gue heran mengapa Little Maxwell and Little Dee justru lebih dewasa dan bisa saling mendinginkan kepala. Aneh.

Sarah lebih dulu datang ke rumah setelah pulang sekolah. Masih dengan seragam olahraganya, ia datang bersama Mamanya.

"Dee! Kangen!" Sarah memeluk gue dan memberi gue kartu ucapan semoga lekas sembuh dan gantungan kunci yang dia buat dari manik-manik dan lem.

"Sama!"

"Lo sakit apa?" Sarah membantu gue duduk di ranjang.

"Kata dokternya kena bug gitu deh."

"Atau mau mens ga? Kakak gue SD udah mens loh dan waktu mau mens kayak gitu parahnya, muntah-muntah dan sakit perut!"
"Ga tau deh."

Pernyataan Sarah membuat gue berpikir juga. Tapi gue masih 10 tahun. Gue masih terlalu kecil untuk mens.

"Gue aja udah mens, tapi sekali doang sih dua bulan yang lalu. Dan ga sakit. Terus gue ga mens lagi abis itu."

What!!

Perubahan-perubahan di tubuh gue membuat gue ngeri bayanginnya wkwkwk.

"DEE!" Suara teriakan Max menghentikan obrolan kami. Dia membuka pintu kamar gue dengan sebuah petbox berwarna hitam. Wajahnya sumringah dan dia buka pintunya lalu ia keluarkan isinya.

Seekor puppy German Shepherd berbulu fluffy berwarna coklat kehitaman. Kecil, kedua telinganya berdiri, dan tampak bingung.

"What is that??"

"Ini Vin! K9 kayak yang lo minta!"

"Max, gue nyuruh lo bawa K9 gede kayak yang dibawa polisi bukan...puppy!"

"Nanti juga gede Dee!"

"Masih lamaaa Maxweeeelll!! Dia gabisa ngelindungin kita, kita butuhnya sekaraang! Lo harusnya bawa K9 yang udah gede!!"

"Oh, now you are right." Max menatap sedih ke puppy di gendongan Sarah.

Hai Vin My Boy, kamu masih 3 minggu saat kamu hadir di antara kami...

==========


"Kok lo ga cerita ke gue sih abis disiram minuman sama ceweknya Hans hahahahaha!"

Max bicara dengan mulut penuh hotdog. Ada fundraiser sekolahan di dekat rumah Tantenya dan kami masing-masing sudah membeli dua hotdog dan tiga sosis namun masih juga belum berhenti mengunyah.

"That bitch!" Jawab gue kesal.

"Terus Hans ga ngomong apa-apa ke lo soal itu?"

Gue melihat dua orang guru keluar dari gedung sekolah dengan nametag di leher, seorang pria dan wanita berkerudung yang sedang hamil besar.

Celana pendek dan kaos dry fit yang menempel di badan guru laki-laki membuatnya makin atletis. Guru PE selalu HOT.

Mereka menghampiri booth grilled sausage tempat kami berdiri.

Rambut sang guru pria hitam dan abu-abu. Tidak muda namun justru membuat dia EXTRA HOT! Around 40 I guessed.

Sang guru pria tersenyum ke arah kami yang melihatnya. Gue balas senyumnya sambil melihat perut guru yang sedang hamil. Huge belly.

"Howdy, Guys! Your car out there?" Dia menunjuk ke The Devil.

"Good afternoon, Teacher! Yep, he is Sir!" Jawab Max.

"Nice car!"

"Wanna ride?" Tawar gue.

"I am looking for it, Sweety!" Jawabnya dengan kerlingan matanya.Aawww!!

"We're visiting relative here. Sure you can find me again in this small village." Gue tidak mau kalah berani.

"Don't run if I find you, Darling!"

Dia memesan dua hotdog dan pamit untuk kembali ke dalam gedung.

"Lo demen sama yang tua-tua sih Dee!" Max memesan sosis ke empat.

"Lo tau David? Temen Bokap gue? Dia hot loh Max! Kalo lagi renang di rumah, gue ngeliatin aja dari jendela! Bayangin dia peluk-peluk gue!"

"Kan si David sering peluk lo dan ngajak lo dansa kalo ada acara! Duda kan?"

"Iya duda anaknya lebih tua dari gue Nyet!"

"Godain ajalah! Laki cem David pasti mau lo ajak ngumpet!"

"Ketauan Papa bisa dibunuh dia."

"Kenapa yang dibunuh dia, kan lo juga yang demen sama dia!"

"Kalo gue dibunuh ga ada yang nerusin sejarahnya keluarga terhormat Bramanti Dahasrarya Wengka!"

"La Dee Dah shit all over again!" Max menjitak kepala gue.

Yes itulah asal LaDeeDah, Lady Dahasrarya.

"Hans neleponin gue tapi ga pernah gue angkat." Gue menyambung obrolan tentang Hans.

"Terus kalo dia ke rumah lo, lo ngapain?"

"Biasa ajalah! Gue cuekin doang. Rumah rumah gue gini! Dia selalu ikut sarapan tapi gue diemin aja."

"Cantik ga Dee si Tammy?"

Argh!

"baik kagak ada yang cantik."

"HEY! Watch your mouth, Dee! You yourself is a baik!"

"Hahahaha! Siapa yang bilang gue cantik!"

Kami kembali ke rumah Maggy, Tante Max, kekenyangan lalu tidur di tengah-tengah Paddington Abbey yang sedang kami tonton.

Quote:

Gue langsung membuka mata!

"Lo kasih alamat ke dia??"

"Yeah! Dia bilang udah otewe kesini!"

"FUCK MAX!!"

"Language, Guys!"

Daryl, suami Maggy ternyata sudah duduk di ruang makan.

"Sorry, Daryl!" Lirih gue.

Fuck you! Gue acungkan jari tengah ke muka Max sambil mouthing tanpa suara dan dia hanya melet lalu melanjutkan tidur lagi.

Gue telepon Papa.

Quote:

Gue tutup telepon Papa. Butuh dua setengah jam dari City untuk meraih tempat ini. Dengan mobil Hans dan cara nyetir Hans, gue yakin butuh lebih cepat dari itu. Gue gelisah dan seketika mood gue ambruk.

Gue ambil kunci dan keluar rumah. Hujan. Fuck!

"Mau kemana Dee?" Tanya Maggy.

"Umm...mau jalan-jalan tapi ujan!" Jawab gue salah tingkah.

Gue masuk ke dalam kamar tamu yang menghadap ke jalanan depan rumah. Melihat jam di meja dan jalan bergantian.

Mungkin gue harus ke sekolahan tadi dan jemput guru seksi tadi di ruangannya. Udah balik kali ya, rumahnya dimana ya. Maggy pasti tau.

Pikiran gue sudah tak karuan.

1 jam 45 menit.

Porsche putih itu berhenti di depan rumah Maggy tepat dengan berhentinya hujan.

Dari pintu kemudi, Hans dengan setelan dark blue jeans, kemeja putih dan jas sewarna dengan jeansnya turun dari mobil. Dia lihat rumah di depannya sebelum membuka pagar dan berlari kecil ke arah pintu.

Satu detik kemudian: ding ding. Bel pintu berbunyi.

"I'll get it Maggy! Its Max's friend."

"Dee's boyfriend!" Max bangkit dengan malas dari sofa. Bekas cesnya di sofa segera ia tutupi dengan selimut dan bantal.

"Hai Dee!" Dia berdiri di depan pintu dengan wajah cerah tanpa rasa bersalah.

"Go away!" Tegas gue pelan.

"Hai Hans! Masuk!" Max sudah berdiri di belakang gue.

"Hai Max! Sorry dadakan ngasih tau mau kesini!" Hans bersalaman dengan Max.

"Easy, Bro! I got you!" Max menjawab uluran tangan Hans dengan pelukan singkat.

"I miss you!" Bisiknya saat melewati gue yang masih bersungut-sungut di pintu.

"Oh wow! Pinter Dee kalo nyari pacar!" Maggy memeluk Hans, begitu juga Daryl.

"Sayangnya Dee ga bisa liat yang kamu liat, Maggy!" Jawab Hans sambil merajuk.

"Aww belum aja! Udah makan Hans?"

"Jujur, belum hehe!"

"Pas banget kita juga belum makan malem! Bentar lagi mateng, aku masak paella!"

"Paella?? Wow! Mama aku suka masak itu juga! Kamu bikin aku kangen Mama!"

"Ujannya deres ya?" Max menyerahkan satu botol bir untuk Hans. Gue membantu Maggy mengatur meja makan tanpa bicara apa-apa.

"Iya. Sepi juga ya jalan kesini."

"Apalagi lo malem jalannya, gelap banget kan pas lewat Dandenong Range Park!"

"Iya! Kalian berdua udah hafal Melbourne banget ya!"

"Hahaha iya kami sering nyetir tanpa tujuan, ya ga Dee!"

Gue menjawab Max dengan senyuman.

Ini aneh. Max dan Hans belum kenal dekat selain hanya hai-haian saat ketemu dua kali. Lalu sekarang ada Hans di rumah saudara Max! Max beberapa kali melihat gue dengan kode NGOMONG, BEGO! INI TAMU LO!

"Nginep semalem lagi aja Kids, pulang ke City besok aja! Jalanan juga licin kan dan sekarang hujan lagi!" Pinta Daryl.

"Besok gue kerja, Dee juga! Hans juga! Bulan depan deh kita kesini lagi sama Mama juga!" Jawab Max dengan mulut penuh nasi.

"Hati-hati di jalan! Penuhin bensin dulu, ada stock di gudang!" Perintah Daryl.

Benar kata Daryl, kami memang tidak akan menemui pom bensin setidaknya dalam 100 kilometer terdekat.

"Max!"

Hans menghampiri kami yang masih mengisi bensin.

"Mau bawa mobilku ga?"

"HELL YEAAHHH!!" Jawab Max tanpa ragu setitikpun! Hans nyengir melihat gue.

"Pulangin besok aja ga apa-apa!"

"Wuuuhhhh ALLRIGHT BROOO!!"

Max joget-joget mengejek gue dan masuk ke dalam Porsche Hans setelah mengisi penuh tangki mobil gue.

"I miss you." Ulangnya saat kami sudah meninggalkan kompleks Maggy. Gue tetap menyetir. Jalanan basah dan rintik gerimis masih cukup rapat.

"Kamu udah bilang tadi." Jawab gue tanpa melihatnya. Max entah sudah dimana.

"Maaf soal minggu lalu."

Gue diam.

"Tammy emang posesif. Kami emang deket tapi ga pacaran."

Gue tertawa.

Gue menemukan alasan seperti itu lucu. Bukan hanya dari pria, dari wanita juga sama. Saat ada yang bilang "kami ga ada hubungan apa-apa" atau "kami ga pacaran"  gue selalu tertawa. Jawaban itu mungkin jujur, tapi kesan melarikan dirinya juga sangat ketara.

"Apa yang lucu Dee?"

"You are a prick, Hans!"

"I know."

"Aku tau waktu Tammy ada disitu, pasti akan ada yang ga beres. Dia juga sering berantem sama temen-temen perempuanku yang lain."

"WOW! dan kamu masih nempel dia terus? Don't you have dick or something?"

"I have dick! Aku udah sering bilang dia buat ga deketin aku lagi Dee, tapi dia sering dateng aja. Apalagi kalo lagi kumpul sama temen-temen, dia pasti ada. Kemarin ga sengaja ketemu pas sama kamu. Maaf kalo aku gabisa ngapa-ngapain."

Gue menarik nafas dan berpikir, apapun alasan Hans kenapa gue harus percaya atau tidak percaya. Apa pentingnya buat gue? Its like...nothing. Whatever it is, its nothing.

"Papa tau soal tragedi di bar?" Tanya gue.

"Iya."

Jelas Papa tau. Bartendernya kenal akrab dengan Papa. Pengunjung-pengunjungnya juga banyak teman Papa. Tragedi seperti itu akan sampai di telinga Papa cepat atau lambat.

Hujan turun deras. Gue hentikan mobil di tengah hutan Dandenong Park. Pepohonan tinggi di sisi kanan dan kiri menjulang seperti kaki-kaki monster dalam gelap.

"Kenapa berhenti?"

Gue tarik nafas dalam-dalam dan menatap jalanan kosong di hadapan kami. Hanya lampu mobil yang menyala menerangi beberapa meter ke depan.

"May I kiss you, Hans?"

Hans menoleh dan menatap gue terkejut.

"Tonite I will sleep in hell if I say don't."

"Lets get out!" Ajak gue.

Kami berdua keluar dari dalam mobil. Tak peduli dengan hujan yang deras, gue dorong tubuh Hans ke sisi pintu mobil, gue cium bibirnya dengan semua kekuatan yang gue miliki, dengan semua kesedihan yang gue simpan....

"I miss you so bad, Baby!" Bisik Hans.

Yang gue rasakan berikutnya adalah Hans memeluk pinggang dan punggung gue sangat erat saat bibir kami bertemu dan terpagut panas.
Diubah oleh ladeedah 23-08-2019 09:37
i4munited
kicquck
kicquck dan i4munited memberi reputasi
2
Tutup