Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

febrianarynaAvatar border
TS
febrianaryna
Mimpi-mimpi Sang Buruh Aksara
Kumpulan cerpen yang dibuat dengan gula merah dicampur santan, dijamin agan dan sista mabuk kepayangemoticon-Peluk




Jeritan Malam

By Febriana Ryna



Petir menggelegar. Dinding rumah ikut bergetar. Suara hujan menimpa atap rumah seperti dituangkan bergalon-galon air tanpa henti. Nyaring Cumiakkan telinga. Tiada terdengar suara-suara lainnya. Habis dilibas oleh bunyi hujan.


Air merembes masuk lewat bawah pintu, menyeruak membasahi lantai porselen putih. Aliran air tersebar dan menggenang. Siti enggan mengelapnya. Dia biarkan air semakin menjelajah ke arah tengah ruangan. Siti masih bergelung di dalam kelambu sambil memeluk guling bersarung ungu, berbaring di atas kasur tanpa ranjang yang juga bersarung ungu.


Siti seorang diri di dalam kamar. Dia biarkan pintu kamar terbuka. Kasur yang langsung menghadap ke arah pintu memudahkan Siti melihat air di lantai ruang tengah yang terus bergerak.


Siti bersyukur listrik masih membersamainya dalam cahaya terang. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan Siti seandainya gelap gulita menghampiri.


Komplek perumahan tempat tinggal Siti dengan sang suami masih baru dibangun, sehingga hutan alami masih terlihat di bagian halaman belakang perumahan.


Tepat di belakang rumah Siti ada sebatang pohon besar. Siti sering bertanya dalam hati mengapa pohon itu tidak ditebang sekalian oleh pihak developer.




Penampakan pohon yang besar saat dilihat pada senja hari sungguh membuat nyali Siti menciut. Kelebihan pohon itu hanyalah hawa kesejukan saat berada di areal dapur apabila terik mentari kian menyengat. Sementara kala angin berhembus kencang, maka dapat dipastikan suara daun dan ranting yang menyenggol atap memberikan irama mencekam bagi penghuni rumah.


Pukul 21.00 WITA, Amat, suami Siti belum menunjukkan tanda-tanda akan datang. Siti tidak dapat mendengar tanda-tanda dari luar suaminya akan tiba, terkalahkan oleh suara hujan yang menderu saking lebatnya. Gawai Amat tak dapat dihubungi Siti. Pasti baterai gawai suamiku habis energi. Batinnya. Siti hanya bisa berdoa agar suaminya tetap sempurna hingga sampai di rumah.


Seharusnya pukul 19.00 WITA suaminya sudah pulang bekerja. Hujan lebat mengenai hampir di setiap Kabupaten di Kalimantan Selatan. Siti membaca info tersebut dari status teman-temannya di facebook. Mereka saling berbalas komentar.




Ting.


Satu balon obrolan messengermucul di layar, dari Isah.


[Hati-hati kamu, Siti. Seharusnya kamu kunci pintu kamar kamu itu.]


Siti menuruti saran Isah. Dikuncinya pintu kamar dan kembali ke dalam kelambu memeluk guling. Dia anggap guling itu jelmaan Amat, suami tercintanya.


[Amat belum pulang, Sah.]


[Pasti Amat terjebak hujan, Ti.]


[Agak takut juga sih sendiri di rumah, tapi mau gimana lagi. Belum ada anak buat nemenin aku saat ditinggal bekerja oleh suami ;-).]


[Sabar aja, Ti. Tuhan pasti bakal ngasih, kok. Insyaa Allah.]


[Makasih, ya.]


[Kamu hebat gak penakut, ya. Kalau aku ih gak bakal sanggup, deh.]


[Terpaksa keadaan kali. Untung ada kamar mandi di dalam kamar, nih. Jadi gak was-was kalau kebelet.]


[Kata nenek aku dulu, kalau perempuan sendirian di rumah, apalagi malam hari, musti hati-hati. Hantu senang gangguin.]


[Masa, sih. Ini kan udah zaman now. Hantunya emang kekinian juga?]


[Ish, kamu ini dibilangin. Kata nenek aku, hantunya bisa menyerupai orang yang kita kenal ....]


[Lalu, gimana cara ngebedainnya itu hantu atau manusia?]


[Kalau dia kita ajak bicara diam aja, berarti itu hantu!]


[Oh, gitu doang. Gampang lah.]


[Itu pohon gede di belakang rumah kamu cepetan ditebang. Takutnya roboh pas angin kencang.]


[Iya, bakal ditebang, kok. Aku kan baru seminggu pindah ke komplek ini, setelah sepuluh bulan di pondok mertua indah.]


[Sip, dah. Eh, udah jam sebelas malam nih. Aku mau bobo. Daaah, Siti. Selamat nungguin Amat, ye.]


[Yeee ... dasar!]


Hujan telah reda. Tersisa riak-riak kecil saja. Sudah tahu temannya sendirian di rumah malam hari, e malah tega menakut-nakuti. Bisik hati Siti.


Tok tok tok.


Siti terperanjat. "Ayang?" tanya Siti cemas.


Tidak ada jawaban. Ketukan pintu di luar kamarnya kembali berulang. Siti bangkit untuk membuka pintu. Wajah Siti melongok sedikit dari balik pintu yang belum terbuka sempurna.




“Yang ... kamu udah pulang?”


Sosok itu berdiam diri. Matanya seperti nyala lampu 5 watt menatap menghujam tepat di manik mata Siti. Kontan saja hati Siti serasa mencelos. Siti memegang dadanya, mencoba merasakan debaran jantung lebih dalam dan menghitung detaknya. Hah, detaknya tak dapat Siti hitung saking cepatnya.


“Yang ... kenapa kamu basah?” Astaga. Siti merasa tiba-tiba menjadi orang bodoh karena takutnya. Kakinya gemetar dan dingin. Memori Siti segera bergerak kepada percakapan dengan Isah sebelumnya. Kemudian ....


“Kyaaa ...!” jerit Siti histeris. Siti dengan cepat masuk ke kamar mandi mengambil air segayung, dia baca ta’awudzdan byur! Dia semburkan air ke muka Amat. Tak pelak muka Amat menjadi basah kuyup.


Siti mendengar bunyi motor dari arah depan. Tanpa menghiraukan Amat, Siti segera berlari ke depan dan membuka pintu. Tubuhnya melesat ke teras, dan .... Siti melihat tetangga samping rumahnya sedang memasukkan motor ke pekarangan rumah. Aih, mana Amat? Lalu, siapa yang ada di dalam rumah Siti?


Takut-takut Siti berjinjit masuk lagi ke dalam rumah. Matanya nanar menatap waspada. Dia lihat Amat duduk di sofa. Kepalanya berbalut handuk. Siti bergeming di dekat pintu. Amat memandang lelah. Tangannya menyangga dahi dengan siku bertopang pada lengan sofa.


“Aku lapar. Apa ada makanan?” tanya Amat pada Siti yang masih berdiri dalam diam.


“Ini beneran kamu, Yang?” tanya Siti balik.


“Memang siapa lagi?” Mereka saling berbalas tanya.


Siti bertanya lagi, “Max?”


“Mogok. Aku tadi ikut teman. Dia buru-buru mau balik arah. Jadi diantar hanya sampai depan gerbang komplek. Aku berjalan kaki sampai rumah,” terang Amat.


“Oh. Pantas aja aku gak dengar suara Max. Padahal hujan udah reda.”


“Tolong ambilkan makanan kemari, kalau masih ada.”


“Eng ... gak ada lagi, Yang. Mau mie instan? Biar aku rebusin dulu, pakai telur dan sawi, ya.”




“Apa aja lah. Yang penting nanti kamu duduk di pangkuanku, temenin aku makan,” ajak Amat mengedipkan sebelah mata, menggoda Siti. Muka Siti memerah bak kepiting masak. Siti berjalan mendekati Amat, lalu duduk di sampingnya.


Amat menowel ujung hidung istrinya. “Lain kali kamu menyembur aku jangan tanggung. Sekalian seember ....”


Siti menunduk malu. Bibirnya maju beberapa sentimeter. Monyong. “Semua ini gara-gara Isah, Yang. Dia nakut-nakutin aku.”


“Aku yang kena getahnya. Beruntung banget aku malam ini, ha ha.”


“Terus kenapa kamu diam aja saat aku tanyain?”


“Aku lelah, Yang. Kedinginan juga. Tenaga terkuras membelai si Max biar mau diajak jalan lagi, ternyata tetap ogah dia. Untung teman aku lewat, jadi bisa numpang pulang. Max aku tinggal di samping pos satpam kantor. Moga aja gak hilang ....”


“Kenapa juga gak pake ngucapin salam dulu?”


“Udah, Yang. Kamu gak dengar. Aku langsung masuk aja ke dalam, kan bawa kunci. Terus mengetuk pintu kamar, dan apes deh, he he.”


“Maafin ya, Yang. Nanti aku kasih serviceplus-plus, deh. Mau, kan?” Siti mengedip-ngedipkan matanya. Amat terkekeh.


“Ayo ke dapur. Aku temenin kamu masak. Kamu yang masak mie, aku mandi. Biar kita segar nanti.” Amat menggandeng tangan Siti. Senyum mengembang di wajah oval Siti.




Siti melangkah ringan mengikuti suaminya menuju dapur. Tangannya menggelayut manja. Ah, betapa irinya melihat kemesraan pasangan ini.


***


Barabai, 2019 M


Quote:



{thread_title}
Diubah oleh febrianaryna 30-04-2019 06:55
fenrirlens
Kurohige410
embunsuci
embunsuci dan 17 lainnya memberi reputasi
18
5.9K
246
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
febrianarynaAvatar border
TS
febrianaryna
#93
Mimpi-mimpi Sang Buruh Aksara 2



Cinta Berkalang Takdir

By Febriana Ryna



Hujan yang kuduga akan melembabkan suasana ternyata tidak terjadi. Hawa pengaplah yang kurasa. Jiwaku gerah. Berkali-kali kuhembuskan nafas panjang. Dari balik kaca dapat kulihat tetesan air hujan nan bergemuruh Cumiakkan telinga. Begitu lebatnya hingga membuatku termangu menatap tanpa jeda, seorang diri, di dalam kamar bernuansa ungu. Terjangan angin tak luput menggoyang tirai ungu ke kanan dan kiri. Seharusnya dingin. Namun, apa daya telah aku habiskan sekotak tisu yang kini bekasnya berserakan di lantai, bekas mengelap air mata yang menganak sungai, dan keringat yang membasahi wajahku. Pedihnya hati menerjang sanubari kala kubaca lagi chat dari dia. Ya, dia Sandy.


[Adinda Sintya, mari bertemu. Saat kau ke Banjarbaru, kirimkan saja chat isi titik satu saja. Aku akan segera menemuimu. Kau mau apa saja akan kubelikan.]


Kenangan masa silam muncul seperti tayangan drama Korea yang kerap aku tonton. Ah ... aku berharap ini hanya mimpi. Tetapi inilah kenyataannya. Apa yang harus aku lakukan? Menjauhinya? Bagaimana mungkin? Tidak membalas chat-nya? Tidak mengangkat teleponnya? Atau memblokir kontaknya? Lalu, alasan apa yang pantas kuberikan tanpa menyakitinya? Hufh! Sebenarnya alasan itu untukku, yang bukan membuatku sakit. Namun, apa? Berkali-kali bertanya dalam hati tetap tak ada jawaban! Mungkinkah diriku ternyata menikmati keaadan ini?


Terharu perasaanku, seandainya itu terjadi sembilan tahun yang lalu! Kini semuanya telah berbeda. Aku, seorang istri dari seorang laki-laki dan ibu dua orang anak. Begitu juga dia, ‘kan? Entah siapa yang memulai. Sejak pertemuan kembali pada reuni SMA di Banjarbaru, lalu bergulir kembali aliran rasa yang telah bersembunyi, menyeruak tanpa bisa dibendung. Menerobos titik-titik syaraf dalam jantungku dan berkobar menyulut api asmara, hingga setiap hari membingkai senyum di wajahku. Pujian dan sapaan sayang membuatku merasa ada banyak kupu-kupu berwarna-warni berterbangan di sekitarku.


Awal berbalas chat, kemudian mengungkit-ngungkit kisah masa silam. Aku tak menyangka dia ingat detail kebersamaan kami. Kenangan terakhir saat acara rekreasi perpisahan sekolah rupanya sangat membekas baginya. Bahkan aku sudah lupa. Bus yang ditumpangi sudah sesuai urutan presensi kelas dan tidak dizinkan guru untuk berpindah-pindah. Namun, dia tidak peduli. Aku terkejut mendapati dia duduk di sebelahku dengan menguntai senyuman menawan, matanya bercahaya. Aku merasakan kegembiraan yang meluap-luap dari sikapnya. Ternyata dia telah bersepakat dengan pasangan dudukku untuk bersedia pindah bertukar dengannya di bus yang lain.


Aku yang lupa sebelumnya minum antimo lalu muntah di tengah perjalanan. Kepalaku sangat pusing. Badan berkeringat dingin. Tidak tahan ber-AC di dalam bus. Dialah yang sibuk mencarikan minyak kayu putih dan kantong plastik kepada guru. Dia merapikan kantong bekas muntahanku untuk kemudian dibuang olehnya di tempat pembuangan sampah saat bus singgah di SPBU. Mematikan AC di atasku, kemudian menyelimuti tubuhku dengan jaketnya. Aroma mentimun segar menguar dari jaketnya. Aku merasa tenang. Tanpa kusadari sepanjang perjalanan aku terlelap.


Setelah lulus SMA di tahun 2005 sosial media belum seperti sekarang. Zaman itu sempat memakai friendster-semacam facebook kalau sekarang-, dan aku putus kontak dengannya. Dia melanjutkan studinya ke STAN di Banten, sedangkan aku ke UNLAM Banjarbaru. Tak kudengar lagi kabar darinya.


Setelah empat tahun studiku, aku kembali ke kampung halaman di Kandangan, tempat ibu kandungku tinggal. Selama SMA dan kuliah aku tinggal dengan ayah. Kandangan pulalah tempat aku bertemu jodoh. Kala itu, aku dalam perjalanan pulang kampung seorang diri mengendarai motor. Saat singgah di warung mengisi bensin, ada seorang laki-laki berkulit putih menyapaku. Karena searah dia menawarkan diri untuk menemani mengiringi di perjalanan hingga sampai di depan rumahku. Lima buah rumah setelah rumahku adalah rumahnya. Ya, kami sekampung. Teman waktu SD. Tiga bulan kemudian dia beserta keluarganya datang melamarku. Aku menerimanya. Memang tanpa ada getar-getar apapun. Keluarga kami saling mengenal baik, jadi rasanya aku tidak ada alasan untuk berkata tidak saat dilamar. Sembilan tahun kemudian keluarga kecil kami tambah sempurna dengan hadirnya satu anak laki-laki dan satu anak perempuan. Kebahagiaan mana yang dapat aku dustakan?


Ketika acara manyeratus* ayah mertuaku di rumahnya, tak sengaja Raffa anak sulungku menemukan selembar foto usang. Itu adalah foto diriku berseragam SMP yang telah hilang. Selama ini aku telah mencari foto itu, tapi tidak berhasil menemukannya. Pantas saja, ternyata telah disimpan olehnya begitu lama. Saat aku konfirmasi, ternyata dia telah menyukaiku sejak SMP. Namun, bagaimana cara suamiku mengambil foto itu masih menjadi misteri hingga kini. Dia menyimpan rapat rahasia itu.


Apakah aku memang bahagia? Mungkin ya. Mungkin juga ... entahlah. Gawai di tanganku bergetar. Tanpa melihat ke arah gawai aku sudah menduga pasti dari laki-laki bermata sipit itu lagi. Seperti tidak ada selera untuk membalas chat sebelumnya. Hatiku berkecamuk. Aku merasa ini tidak benar. Aku bukanlah gadis lagi.


[Adinda, tempo hari kau menolak saat kuajak ke Surabaya. Sekarang apakah kau juga kembali menolak?]


[San ... kau sadar?]


[Tentang?]


[Kau dan aku berbeda jauh ....]


[Apa maksudmu?]


[Kau paham maksudku!]


[Adinda, sabarlah. Memangnya apa yang telah kita lakukan? Tidak ada bukan?]


[Kita hanya masa lalu!]


Aku matikan gawai. Kalau lama tak kubalas Sandy akan menelepon. Kutatap jam dinding. Masih pukul 16.30 WITA. Setengah jam lagi aku harus menjemput buah hatiku dari SDIT. Bagaimana dengan mata sembabku ini? Bergegas aku cuci wajahku, kemudian mengoleskan krim wajah. Kupulas lipstik pink di bibir untuk mengurai pucat. Tak lupa melukis eyebrow pada kedua alis, juga eyeliner di bawah mata. Kupilih dress putih motif bunga tulip ungu. Semoga keceriaan kembali terlihat pada diriku. Di luar hanya terdengar gerimis kecil. Pukul 17.00 suamiku akan pulang.
Pintu ruang tamu terbuka. Kulihat laki-laki berkepala plontos itu masuk ke dalam rumah. Aku segera menghampirinya, kucium punggung tangannya. Pisang goreng dan teh panas telah aku sediakan di atas meja makan bundar. Setelah berpamitan aku tinggalkan dia seorang diri di rumah.


Anak-anakku begitu gembira melihat ibunya datang menjemput. Bersama anak-anak aku merasa berenergi dan lincah. Tawa riang dan cerita polos berebutan mereka sampaikan. Aku menjadi pendengar yang baik merasa sangat terhibur. Mereka mengajakku singgah di kedai mie ayam. Kuturuti saja karena aku pun lapar.


Sampai di rumah hari menjelang senja. Kulirik laki-laki bersarung hijau yang sedang duduk di kursi teras depan. Dia diam saja tak menjawab salam kami. Kami berlalu ke dalam untuk membersihkan diri. Aku menghirup aroma pisang goreng. Apakah suamiku belum memakannya?


“Sintya, setelah isya antar Raffa dan Rara ke rumah ibuku. Bujuk mereka bermalam di sana,” ucap suamiku datar.


Aku menoleh penuh tanda tanya. “Tapi kenapa, Rezky?”


“Lakukan saja!” sahutnya ketus. Aku hanya bisa mengelus dada. Tidak pernah aku bisa bertanya lebih lanjut, yang ada hanya disambut bentakan.


Ternyata duo Ra sangat antusias menginap di rumah nenek. Sekembalinya dari mengantar anak-anak, kudapati Rezky duduk termenung dengan muka terlipat bak kain kusut belum disetrika. Laki-laki berbaju kaos putih tersebut hanya memandangku sekilas lalu melengos. Sudah kuduga dia marah. Kulepaskan ikat rambut. Rambut hitam lurus sepundak milikku tergerai bebas.


“Rezky ....” Pelan aku panggil namanya. Aku rasakan pijakan kakiku goyah, tanganku gemetar. Apa yang akan Rezky lakukan sekarang?


“Begini rupanya kelakuan kamu saat aku tidak bersamamu, ha!” teriak Rezky menunjuk-nunjuk wajahku dengan sesuatu di tangannya.
Astaga! Bukankah itu gawaiku? Aku terkesiap. Dadaku bergoncang hebat bagaikan dihantam tsunami. Degub jantungku sendiri dapat terdengar sampai ke telinga. Bodohnya aku meninggalkan gawai mati di rumah sebelum menghapus semua chat Sandy. Tentu saja Rezky selalu mengecek isi gawaiku, setiap hari!




Dengan gugup aku berusaha menjelaskan, “I-itu ... aku bisa meluruskan semua-.“


“Cukup! Aku tidak perlu penjelasan apa pun darimu!” Rezky memotong ucapanku.


Kali ini aku terpancing untuk marah. Aku tidak terima dituduh seperti dalam pikirannya.


“Lalu, apa yang sudah kamu ketahui?” tanyaku menantang.


Rezky mendesis. Tangannya mengepal. Masih jelas dalam ingatanku saat dia marah sebulan yang lewat, lemari es kami hancur akibat dipukul olehnya dengan kayu. Makhluk yang tidak bisa mengontrol emosi itu adalah suamiku!


“Kamu ...!” Nafas besar Rezky naik turun, seperti sangat ingin segera menumpahkan lahar amarahnya. Aku mencebik. Aku siap untuk perang saat ini.


Prang! Gawai putihku bertebaran di lantai keramik. Hancur berkeping-keping.


“Rezky!” Aku berteriak panik. Tidak! Gawai ini kuperoleh dari hasil menabung sedikit demi sedikit. Bukan hadiah dari Rezky. Bagi orang lain mungkin harganya tidak seberapa, tapi bagiku itu sangat berharga. Dari gawai itulah aku dapat menutupi keperluan rumah tangga kami. Semua kontak para pelanggan online shop-ku ada di gawai, dan gawaiku hanya satu! Aku tidak dapat menahan air mata yang berjatuhan membasahi pipi. Aku terisak. Benar-benar raja tega!


“Kamu merasa hebat dariku, ha! Setiap hari kamu bekerja memakai seragam, sedangkan aku hanya kaos butut. Kemana-mana kamu dipanggil Ibu, dan aku disebut apa! Hanya kuli pembuat dodol! Kamu sarjana. Aku hanya lulus paket C! Jadi kamu bermain api di belakangku? Kamu tidak puas memiliki suami seperti aku? Ha ha. Kamu ternyata tidak beda dengan ayahmu. Dasar anak istri kedua!”


Aku terperanjat. Bisa-bisanya dia memaki seperti itu, dan dia menghina ayahku yang sudah meninggal? Hatiku bergejolak.


“Cukup, Rezky! Cukup!” Aku tak tahan lagi. “Kenapa tidak kamu selesaikan saja kalau kamu sudah tidak suka aku lagi, Rezky?”


Dia berteriak seraya memegang kepala. Tanpa berkata apa pun lagi Rezky beranjak meninggalkan aku yang sedang memunguti pecahan gawai. Pintu utama menutup dengan keras dibanting olehnya. Tujuannya pasti ke pos ronda. Terserahlah. Aku selalu salah di matanya. Aku lelah.


Pukul tiga dini hari, aku terbangun dari tidur yang tak lelap. Aku beranjak keluar. Kulihat Rezky tidur di sofa ruang tamu. Kalau saja sikapnya bijaksana. Dia hanya merasa rendah diri. Namun, aku yang menjadi sasaran amukan perasaannya. Apa pun yang sudah aku lakukan tak bisa meredakan pikiran tercabik-cabik hasrat sang kepala keluarga.


Hari-hari berlalu seperti biasa. Perang dingin kembali menyelimuti keluarga kecilku. Andai tabunganku cukup banyak tak akan jadi masalah mengganti gawai seketika. Beruntung, teman kantorku Kalyla berbaik hati meminjamkan gawainya yang lain untukku. Kalyla, lajang 31 tahun dengan kecantikan wajah bak dewi kayangan. Namun, itu semua seolah tak cukup mampu untuk menggaet jodoh di usia muda. Entah di mana salahnya. Bahkan Kalyla sudah mapan dengan status PNS-nya. Sementara aku hanyalah tenaga honorer yang harus nyambi berjualan online agar dapur rumahku menyebarkan asap wangi ke penjuru asa. Kalyla paham gawaiku terseret dalam perang dunia antara aku dan Rezky. Ini bukan kali pertama. Sebelumnya gawai jadulku dulu pun retak jadi tumpuan kemarahan Rezky. Perihal Sandy Kalyla pun tahu. Kalyla sahabatku yang bijak walaupun kehidupannya belum sesempurna diriku.


Ting. Mataku membulat. Messenger menampilkan pesan dari seseorang yang sudah seharusnya aku jauhi.


[Adinda, mari bertemu. Lusa sore. Di Taman Rakat Mufakat Kandangan.]


Aku menghela nafas. Sandy, berani sekali dia ingin menemuiku di kota tempat aku tinggal. Selama ini aku tak pernah mengizinkan pertemuan kami terjadi lagi sejak acara reuni. Aku masih selalu berusaha berada dalam kewarasan. Apa kata dunia kalau aku menuruti hawa nafsu?




Namun, tak urung diriku ternyata sekarang duduk di salah satu bangku yang berjejer di pinggir jalan depan taman. Kebetulan dua hari yang lalu suamiku pamit mengantar orderan dodol majikannya ke toko-toko dan warung juga kios di kabupaten-kabupaten lain. Aku tidak mengerti mengapa dalam dua hari ini dia belum pulang juga, walaupun dia sudah menyampaikan alasannya lewat gawai ibu mertuaku.


Sengaja aku tak membalas chat Sandy tempo hari. Aku ingin biarlah takdir yang bekerja kalau benar-benar kami akan bertemu kembali. Kulihat awan hitam berarak di ketinggian langit. Angin sepoi-sepoi mengayunkan ujung rambutku yang kuikat ekor kuda. Selalu seperti itu. Setiap kali berkaitan dengan Sandy pasti mendung dan gerimis kecil menghampiri. Dingin membuat bulu kudukku berdiri.


Tiba-tiba aku dikejutkan dengan hadirnya sosok maskulin berkemeja biru muda ketika aku menoleh ke samping kiri. Aroma mentimun segar kuhirup dalam-dalam. Ini benar Sandy. Selera parfumnya tidak lekang oleh waktu. Mata sipitnya masih bercahaya. Aura dewasa terpancar dari wajahnya. Tentu saja dia mudah menemukan aku, jelas-jelas aku berada di pinggir jalan raya utama lintas provinsi. Namun, tak kulihat kendaraan yang dipakai Sandy. Bibirnya pucat. Pasti dia lelah menempuh perjalanan kunjungan kerja ke Kandangan. Tersenyum dia menyerahkan sebuah kotak ungu berhias pita pink.


“Untukmu. Pakailah. Aku harus segera kembali. Terima kasih sudah menungguku.” Dia genggam tanganku. Dingin.


“Sandy ... a-aku-.“ Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, dia sudah berlalu. Laki-laki yang aneh. Sekejap pandanganku teralihkan demi melihat isi di dalam kotak, dia sudah tidak nampak lagi olehku. Ke arah mana perginya laki-laki penyemangat kalbuku itu?


Gawai di dalam tasku mengalunkan lagu Bidadari Tak Bersayap. Kulihat layar menampilkan nama Kalyla. Kalyla langsung menyerocos begitu aku bilang halo.


“Sin! Kamu di mana? Cepat ke rumahku! Sekarang!”


Panggilan langsung Kalyla matikan. Aneh sekali. Dalam satu hari ada dua orang yang bersikap aneh padaku.


Rumah Kalyla yang berukuran 12 x 9 meter sangat sunyi. Kalyla hanya tinggal dengan asisten rumah tangganya. Betapa mapannya gadis ini. Kalau saja aku adalah laki-laki, kurasa Kalyla adalah paket komplit kriteria istri idaman.


“Kamu baca ini. Banjarmasinpost hari ini,” ujarnya memberikan koran padaku dengan ekspresi tegang. Alisku mengernyit. Penasaran aku dibuatnya.


“Kal! Mana mungkin! Aku barusan bertemu dengannya di taman! Kamu lihat ini!” Aku ambil kotak ungu dan memperlihatkan isinya. “Ini bukti aku bersamanya tadi, Kal!”


“Menurut koran itu kejadiannya pagi tadi. Pegawai kantor pajak bernama Sandy ditabrak dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Penabraknya lari. Mobil yang menabraknya bernopol Kandangan, Sin ....”


Aku menatap Kalyla tak percaya. Astaga! Rezky! Hatiku bagai diiris dengan sembilu, jatuh ke dalam air mata.


“Tidak!”

***

-The End-



NB :
*Acara peringatan seratus hari meninggalnya seseorang mengundang warga dan handai taulan, dengan pembacaan Surah Yasin dan yang lainnya.


Barabai, 2019 M


Quote:
Diubah oleh febrianaryna 11-05-2019 11:46
makola
Indriaandrian
khodijahsiti92
khodijahsiti92 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Tutup