Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

annaharryAvatar border
TS
annaharry 
Mama Muda Memilih
Mama muda tetap harus produktif.


sumber foto: koleksi pribadi, salah satu karya bersama para penulis hebat. Antologi bertajuk 'samudraning asmara'

Angin membelai lembut, rambut kemerahan yang sesekali berayun. Sepasang mata coklat menatap takjub, ia memandangi matahari sore yang menyiratkan warna jingga ... Langit sore itu begitu cantik, secantik gadis kecil yang duduk di depan rumah, memandangi langit sore sebelum langit benar benar gelap.

Andini, gadis berusia delapan tahun, memiliki rambut ikal kemerahan, panjang sebahu ... Ia tengah duduk di sebuah bangku kecil di teras rumahnya. Tersenyum manis, pandangan matanya tak lepas dari senja yang tengah bersambut.

Di dalam rumah, sang ibu menatapnya nanar, ada gundah di sana. Ia memandangi gadis kecil itu, gadis yang pertama kali memanggilnya ibu. Riak bahagia seketika menyeruak, saat gadis kecil yang saat itu berusia setahun, memanggil dirinya 'ibu'.

'Bagaimana ibu bisa bahagia nak, jika ibu harus kehilangan banyak waktu berharga bersamamu. Satu sisi, ibu ingin fokus membesarkanmu, sisi lain ada gejolak di hati tentang sebuah cita cita, 'bermanfaat untuk orang lain'.

Beberapa hari belakangan, ibu muda berusia belum genap tiga puluh tahun itu galau bukan kepalang. Ultimatum suaminya membuatnya ragu, tetap bertahan atau akan berhenti sampai di sini. Ia kembali menangis, tatapannya nanar.

Dulu, sebelum menikah dia seorang aktifis. Setiap hari, ada saja kesibukannya. Dia menghabiskan hampir sepuluh jam sehari di luar rumah, sibuk dengan kegiatan sosial bersama pemuda karangtaruna. Semenjak menikah, semua itu praktis ia tinggalkan. Ikhlas.

Kini sembilan tahun berlalu, gadis kecilnya semakin cerdas dan kritis. Banyak pertanyaan yang kadang menyulitkan sang ibu. Sesakali ia merasa kesulitan saat membantu gadis kecilnya mengerjakan pekerjaan rumah. Ia berpikir, bagaimana dengan ibu ibu lain, yang notabene pendidikannya sebatas sekolah dasar. Miris.

Grup whattsapp walimurid kala itu menyadarkannya. Ia harus berbuat sesuatu, agar kesulitan wali murid 'dengan keterbatasan' bisa mendapat solusi yang tepat.

Beberapa kali musyawarah dengan pihak guru dan orangtua akhirnya diperoleh sebuah keputusan,
Quote:
.

Sejak itulah, waktu bersama anaknya praktis berkurang, lambat laun kegiatan semakin padat. Ia semakin sering di luar rumah. Menghabiskan banyak waktu dalam kegiatan sosial.

Quote:
.

Quote:


Pernyataan --protes sekaligus peringatan--suaminya membuatnya harus memilih. Yah ... Pilihan yang sama- sama berat.

Akhirnya dia harus berada di satu titik, keputusan.

Quote:
.

Bagaimana dengan forum yang ia gawangi? Terbengkalai?

Quote:


Quote:


***

Quote:


Quote:


Quote:


Quote:


Quote:


Quote:


Quote:


Semoga Tuhan menjadikannya sedekah jariyah, sampai kelak ia menutup mata.

mau makan enak, coba ini

Malang, 10 Maret 2019
Diubah oleh annaharry 21-03-2019 01:08
12
4.9K
113
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
annaharryAvatar border
TS
annaharry 
#62
Cermin Bahagia Part 1
By: Anna Harry

Mengikuti setiap inci alur kehidupan dengan kemantapan hati itu tidak mudah ... apalagi harus menjalani takdir dengan kenyataan bahwa-aku-seorang gadis dengan keterlambatan menikah.


Sumber photo: koleksi pribadi


Jantung seperti di pompa lebih cepat, setiap kali pertanyaan kapan menikah itu mampir di telinga, bagai deru sound sistem yang dentumannya Cumiakan telinga--sangat bising--.

Indah prameswari, seorang perempuan berparas rupawan dengan rambut sebahu hitam berkilauan. Memasuki umur tiga puluh tiga tahun aku masih sendiri. Pertanyaan 'kapan menikah?’ awalnya aku anggap biasa, sekedar basa basi. Tidak lagi sama sejak usiaku masuk tiga puluh tahun. Pertanyaan itu seperti menohok, menguliti harga diriku. Seburuk itukah wanita dengan keterlambatan menikah?

Suara mengaburkan lamunan, aku yang sehari-hari bekerja sebagai kepala divisi publik relationship layanan telepon seluler di perusahaan berskala internasional itu, tersadar dari alam bawah sadar. Ternyata Ratih sudah datang membawa makanan yang ku pesan. Kurogoh tas Hermes berwarna maroon, membayar dan mengucapkan terima kasih. Kemudian kuletakkan begitu saja makanan itu di ujung meja kerja, agak kudorong hingga mengenai tumpukan berkas yang Sherly serahkan padaku tadi pagi.

Di ujung sana, tepat dibalik kaca transparan sedang duduk seorang laki-laki, penampilan parlente, setelan jas dark silver dengan list warna light silver dibagikan dada, sebentuk rambut klimis belah samping, semakin berwibawa dengan dasi warna maroon menggantung di ujung kemeja warna putihnya, keren. Tahukah engkau siapa dia? Namanya pak Indro, atasanku.

Beberapa kali netra kami beradu, ada rasa canggung dalam tatapannya. Desir hangat menyusup di relung hati, namun segera kutepis sebelum anganku melambung tinggi.
Perkataan Asri tadi pagi, sesaat sebelum aku berangkat kerja, membuatku melamun sepanjang hari. Bagaimana tidak, Asri dengan entengnya bilang “Sudah umur segitu, ndak pingin nikah to Mbak?” jadi perempuan mbok ya jangan terlalu pemilih, ntar malah ndak menikah seumur hidup, susah sendiri toh.” keterlaluan, padahal Asri hanya tetangga depan rumah. Orang yang setiap hari aku minta datang ke rumah untuk membantu pekerjaan ibu yang mulai sepuh.


Sumber photo: Koleksi pribadi

Aku Indah, anak semata wayang, ayah meninggal sejak aku masih balita. Tak merasakan kasih sayang seorang ayah membuatku merasa asing jika harus berdekatan dengan laki-laki. Ibu yang kala itu bekerja sebagai pegawai kelurahan, memilih tak menikah lagi. Kami bertahan hidup dengan honor serta uang pensiun milik almarhum ayah. Hingga Ibu mampu menyekolahkan aku sampai perguruan tinggi.

Setelah wisuda Dengan predikat cumlaude, aku bertekad ingin membahagiakan ibu. Aku terus bekerja dengan sepenuh hati. Terlalu asyik hingga aku mengabaikan lamaran yang beberapa kali datang. Sejak usia tiga puluh tahun, hari hari didera sepi. Tabungan dan beberapa kendaraan mampu ku beli. Perihal jodoh, masih samar.

Lamaran terakhir datang saat aku berusia dua puluh sembilan tahun, kala itu aku masih bekerja di sebuah kantor BUMN, seorang advokat yang sedianya bekerja sama denganku malah menaruh hati dan berniat mengajakku menikah. Bukan tanpa alasan aku menolak, tapi aku memilih mundur setelah tahu akan dijadikan istri kedua. Dimadu? Siapa tahan.

***
Bersambung

***


Lanjut atau enggak ya
4
Tutup