Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

evywahyuniAvatar border
TS
evywahyuni 
Kumpulan Cerita Pendek Oleh. Evy Wahyuni


Libur yang Dirindukan

Oleh. Evy Wahyuni

***

Ulangan Akhir Semester(UAS) anak-anak telah usai. Saatnya masuk skedul baru, libur panjang. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu datang juga.
Anak-anakku girang bukan kepalang, tak sabar ingin liburan, walau cuma di kampung nenek tercinta.

Seperti siang ini, saat Nisa pulang sekolah. Wajahnya sumringah banget, senyumnya lebar selebar daun pintu. Hehehe !

“Umi ... Nisa besok sudah libur. Ayo telepon Abi, beri tahu kalo Nisa sudah libur sekolah,” ujar Nisa dengan girangnya.

“Iya sabar, tunggu Abi telepon saja baru di beri tahu. Kalau sekarang tidak bisa, siapa tahu Abi lagi sibuk kerja,” sahutku sambil terus melipat pakaian yang telah kering habis dicuci kemaren.

“Janji ya, Umi? Jangan lupa!”

“Iyaa ....”


Nisa berlalu menuju kamarnya lalu sibuk bermain squishy. Beberapa menit berlalu teleponku berdering, rupanya suamiku.

“Halo, assalamu alaikum Abi. Apa kabar?”

“Wa alaikum salam ... alhamdulillah baik. Gimana kabar Umi dan anak-anak? Semua sehat?”

“Alhamdulillah kami semua sehat-sehat wal afiat, oh iya Nisa besok sudah libur. Tadi dia suruh Umi kasih tahu Abi, sudah tak sabar mau liburan di rumah Neneknya di kampung.”

“Ooh sudah libur ya? Kalo Aidil gimana? Apa sudah libur juga?”
“Alhamdulillah Aidil sudah libur juga Bi.”

“Oke, nanti Abi ijin sama Pak Bos. Siapa tau bisa di ijinkan pulang sebentar sore.”

“Siip. Semoga Abi diberi ijin pulang sebentar. Umi tunggu kabarnya ya Bi?”

“Iyaa ... assalamu alaikum Umi.”
“Wa alaikum salam ....”


Sambungan telepon pun berakhir. Mungkin suamiku langsung menemui atasannya, meminta ijin agar bisa pulang naik kapal sore supaya bisa sampai di kota kami esok pagi.

Suamiku dipindah-tugaskan keluar kota, di seberang lautan beda provinsi. Jika ingin pulang harus naik ferry semalaman di atas lautan lepas baru esok pagi baru sampai ke kota kami. Sejak dipindahkan kesana otomatis suamiku tinggal terpisah dengan aku dan anak-anak. Istilah ‘dua dapur' berlaku bagi kami karena beda tempat tinggal.

Jika ingin pulang harus menunggu akhir bulan atau tanggal merah karena hari-hari penting, untunglah komunikasi lancar setiap hari, baik lewat telepon, sms lewat WA, video call semua dilakukan agar keadaanku dan anak-anak tetap terpantau olehnya.

***

Sore yang temaram, sinar mentari perlahan berubah jingga. Nisa dan Aidil berkali-kali bahkan berganti-gantian mengecek gawai mereka, kira-kira ada telepon atau sms dari sang ayah. Tak luput aku yang sedang sibuk di dapur pun kena serangan pertanyaan, “Umi ... Abi sudah beri kabar belum?”

Setelah terakhir komunikasi tadi aku segera memberitahu Nisa dan Aidil kalau abi sudah menelepon dan sekarang tinggal menunggu telepon lagi sekadar memberi kepastian apakah ayahnya akan pulang hari ini atau tidak.

***

Keesokan harinya, anak-anak masih sarapan, tiba-tiba di ruang depan terdengar suara ketukan pintu. Aku segera ke sana membuka pintu. Rupanya abi telah tiba dengan selamat.

Kuraih tangannya dan menciumnya takzim, lalu membantu membawa tas pakaian yang abi bawa. Kami sama-sama masuk, sebelumnya pintu kembali kututup.

"Anak-anak, lihat siapa yang datang!" seruku.

Mendengar suaraku sontak Nisa dan Aidil menoleh, lalu serempak meninggalkan meja makan lalu memeluk ayah mereka.

"Abiii ... akhirnya Abi datang juga!" teriak Nisa girang.

Aku hanya tersenyum haru menyaksikan kebahagiaan keluargaku. Belum liburan saja hatiku sudah sesenang ini, bisa berkumpul kembali dengan suami dan melihat keluarga utuh dengan kehadiran sosok ayah bagi Nisa dan Aidil.

Tamat. ***
Diubah oleh evywahyuni 05-04-2019 10:01
dewakere
terbitcomyt
volcom77
volcom77 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
16.4K
446
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Tampilkan semua post
evywahyuniAvatar border
TS
evywahyuni 
#21
Mawar Berduri



Dinding usang ini menjadi saksi, lumut-lumut yang menempel erat pun menjadi penonton sejati tanpa suara, ketika piring kaca itu dilempar ke arahnya.

Serakannya berhamburan di lantai, menyisakan kemarahan di ambang batas. Tak ada lagi kesabaran. Semua emosi keluar tanpa ia sadari. Entah sudah berapa piring yang ia lemparkan ke lantai dan dinding, amarah kali ini tak bisa terbendung lagi.

Deni, nama laki-laki itu. Ia adalah suami dari adikku, Lyra. Entah mengapa pulang dari kantor sore ini ia tampak tak baik-baik saja. Sementara itu, Lyra masih sesugukan di meja makan. Aku hanya menjadi penonton, baru kali ini terjadi hal seperti ini, dan kuhanya ingin menjadi saksi saja.

"Mas, maafkan aku," ucap Lyra  lirih.

"Apaa? Sekarang kau baru meminta maaf? Untuk apa, hah! Seenaknya saja kau berbuat di luar, apa kau pikir takkan ada yang memberitahuku?" geram Deni.

Tangannya mengepal, berusaha menahan diri. "Lekas benahi pakaianmu sekarang! Aku tak mau melihat wajahmu lagi!" bentaknya lagi.

Lyra segera jatuh bersimpuh di kaki Deni, tangannya memeluk lutut Suaminya. Seraya mengucap lirih, "Mas, ampuni aku. Maafkan kesalahanku, Mas. Aku berjanji tak akan mengulanginya lagi."

Deni melepas tangan Lyra, melangkah mundur ke belakang. Tangannya menunjuk pintu depan. "Pergi kataku! Pergi sana temui kekasihmu itu! Berbahagialah! Tunggu saja surat cerai dariku."

Lyra kemudian bangkit, berjalan gontai menuju kamar mereka. Deni masih bergeming, menunggu hingga Lyra selesai mengemas pakaiannya.

Dengan sigap aku mengambil sapu ijuk di pojok dapur, lantai ini harus segera dibersihkan. Bisa saja kakiku atau kaki Deni yang kena pecahan beling bila terlambat dibersihkan.


Deni melihatku, pandangannya masih setajam dulu. Ah, aku tak boleh berharap banyak.

"Kau mau apa, Tania?" tanyanya tanpa senyum.

"Aku ... aku hendak membersihkan pecahan beling ini, Mas. Nanti kakimu bisa luka bila menginjaknya," balasku.

"Tak usah. Nanti Mbok Iyam yang mengerjakannya. Letakkan sapu itu kembali, Tania," sahutnya lagi.

Kuletakkan kembali sapu itu di pojok dapur. Meninggalkan Deni yang kini duduk di meja makan. Aku melangkah menuju kamar Deni, tampak Lyra terus mengepak barang-barangnya.

"Apa kau benar-benar ingin pergi?" tanyaku, sambil duduk di pinggir ranjang mereka. Lyra menatapku, mengangguk. "Iya, Mbak. Mas Deni sangat marah, biarlah aku pergi saja. Bila ia merindukanku toh ia pasti akan mencariku."

Aku tersenyum. " Kau mau ke mana?"

"Entahlah, Mbak. Mungkin aku akan ke tempat Mas Bimo dulu. Semoga ia bisa mencarikan aku tempat selanjutnya," ujarnya optimis.

"Kenapa harus ke sana? Apa kau ingin membuat Mas Deni semakin marah? Bimo kan, yang menjadi sumber pertengkaran kalian?"

Aku heran dengan pola pikir Lyra. Suaminya mengamuk karena melihat ia jalan bergandengan tangan bersama Bimo di Mall, dan kini ia hendak ke rumah laki-laki itu. Sungguh nekat!


Aku tak punya tempat lain yang bisa kutuju sekarang, Mbak. Biarlah untuk saat ini aku di tempat Mas Bimo. Secepatnya aku akan mencari kontrakan.”


Jangan lupa menghubungiku ya? Jaga dirimu baik-baik. Ingat! Kau masih berstatus istri Mas Deni,” sahutku sambil memeluknya erat.


Tas koper miliknya telah siap, aku mengantarnya ke luar kamar. Lyra melangkah menuju Mas Deni, hendak meraih tangan laki-laki itu sekadar ingin berpamitan.


Namun, tangannya segera di tepis. Mas Deni membuang muka,  tak mau melihat wajah Lyra yang sembab oleh air mata.


Pergilah! Jangan pernah tampakkan wajahmu di rumah ini lagi.”


Lyra mengangguk pelan, kembali ia seret tas kopernya ke luar pintu depan. Mbok Iyam yang sedang menyapu halaman tergopoh-gopoh mendatanginya. Menjemput tas milik sang nyonya, lalu membantu membukakan pintu taksi yang sedari tadi dipesannya atas suruhanku.


“Terima kasih, Mbok. Saya pergi dulu.” Lyra menutup pintu taksi yang segera membawanya pergi ke rumah Bimo.


Kuhela napas panjang, akhirnya drama ini pun usai. “Mbok, tolong tutup pintu pagar ya?” Setelah berkata kepada Mbok Iyam, aku segera masuk melihat kondisi Mas Deni.


Laki-laki rapuh itu rupanya masih duduk di meja makan. Tertunduk memandangi pinggiran meja makan yang penuh ukiran Jepara.


Tak menghiraukan ucapannya tadi, aku langsung mengambil sapu yang tadi kuletakkan kembali di pojok. Segera menyapu pecahan piring yang masih berserakan di lantai. Ia menatapku, pura-pura tak melihatnya segera kuselesaikan aktifitasku, dan membuang sampah itu ke tempat sampah tentunya.


Ia masih memandangiku. Aku paham. Segera ku dekati, meraih jemarinya lalu menepuk punggung tangannya lembut.


Sabar ya, Mas. Lyra sudah pergi. Ia ke rumah Bimo. Mas tak perlu tegang begini, nanti penyakit darah tinggimu kambuh lagi.”


Deni tersenyum, senyuman itu dulu pernah kugilai semasa di bangku SMA. Namun, keakraban kami terputus karena aku memilih kuliah di luar kota. Sementara ia malah memilih menjalin hubungan dengan Lyra di belakangku.


Ah, senyuman itu masih tetap hangat. Meski ia bukan lagi seorang lelaki yang pantas kumiliki, karena statusnya sekarang adalah adik iparku.


“Terima kasih, Tania. Atas dukunganmu. Terima kasih pula karena telah membantuku membuka kedok Lyra selama ini.” Deni berkata  lagi, “Aku tak pernah tahu, jika selama ini Lyra berhubungan intim dengan Bimo, mantan kekasihnya sejak SMA. Sungguh, aku merasa dibohongi.”


Kulepas genggamanku, tak mau Deni merasakan getaran hatiku. Biarlah kenangan cinta yang hilang dulu hanya menjadi sebuah kenangan. Tak mungkin berharap lebih. Aku hanyalah seorang kakak ipar.


“Itulah ujian kehidupan, Mas. Hadapilah dengan lapang dada, semua pasti akan ada hikmahnya.”


Ia merenung cukup lama. Mungkin membayangkan kehidupan di hari- hari selanjutnya. Tanpa Lyra, tanpa istrinya.


“Mas, kalau bukan besok atau lusa aku juga mau pamit pulang ke rumah bapak. Tak enak bila berlama-lama di sini. Nanti muncul fitnah.”


Deni lantas menatapku, tak menyangka kata-kata itu bakal kuucap. “Kau mau pulang, Tania? Meninggalkanku sendiri di sini?”


Aku mengangguk. “Iya Mas, Bapak juga tak ada teman di rumah. Sakit asam uratnya sering kambuh bila makannya sembarangan. Lagi pula ada Mbok Iyam yang menemani Mas di sini.”


Deni kembali terpekur menatap jari-jari kedua tangannya yang saling bertaut. Ia tak bisa menahanku lagi. Aku harus pulang. Masih ada seorang bapak yang harus aku rawat. Sejak Ibu wafat dua tahun yang lalu, akulah yang mengurus beliau. Makanya, sampai sekarang aku masih betah sendiri. Bukan karena terlalu memilih jodoh, tetapi karena tak ingin bapak menjadi tak terawat. Orang tuaku cuma beliau seorang. Masalah jodoh sudah di atur Tuhan, tetapi masalah orang tua itu menjadi tanggung jawabku sepenuhnya.


Lagipula, izin dari kantor cuma beberapa hari saja. Banyak pekerjaan yang menantiku. Soal Deni dan Lyra, biarlah mereka menemukan solusi dari pertengkaran mereka. Semoga hubungan pernikahannya tak berakhir di meja pengadilan. Itu harapanku.


Gema suara lantunan ayat-ayat suci Alquran berkumandang, pertanda waktu salat Magrib telah masuk. Mbok Iyam juga sedari tadi telah berkutat di dapur menyiapkan menu makan malam.


“Ayo Mas, lekas ke Mesjid. Bersihkan beban di benakmu dengan air wudhu, sholat dan berdoalah. Semoga diberi jalan yang terbaik,” ucapku sambil beranjak dari kursi lalu menepuk bahunya pelan.


“Biar aku salat di rumah saja, Tania. Nanti keburu telat ke mesjid,” ujarnya.


“Mas, laki-laki itu wajib salat di mesjid lho, kalau bukan kita yang memakmurkan mesjid, siapa lagi? Ayo bergegas sekarang, sebelum suara adzan berkumandang.”  


Deni menuruti kata-kataku. Tanpa banyak bicara ia segera menuju ke belakang, mengambil wudhu lalu pergi ke mesjid dekat kompleks. Aku pun mengajak Mbok Iyam salat berjamaah di rumah.


***


Setelah selesai makan malam, aku membantu Mbok Iyam membereskan meja makan. Deni sedang menonton tivi di ruang tengah. Tampak asyik menatap layar kaca itu.


Kubuatkan secangkir kopi hitam kesukaannya, setelah menghidangkannya aku pun ikut duduk di seberang kursinya. Setelah mengucap terima kasih ia pun menyesap kopi itu perlahan, penuh kehati-hatian.


“Tania, bisakah kau pulang beberapa hari lagi? Aku butuh teman bicara, Tania. Aku … aku sangat terkesan denganmu. Kau pandai menyenangkan hati, mau mendengar keluhku, dan juga pandai mengurus rumah.”


Aku berpaling, enggan menatapnya. Ada nada keputus-asaan dari kata-kata yang ia ucapkan.


“Maaf Mas, waktu cutiku berakhir lusa. Aku hanya meminta waktu seminggu saja, itu pun sudah terlalu lama. Kasian bapak juga, Mas. Tak enak bila harus merepotkan Tante Murni, ia telah kerepotan mengurus keluarganya mana harus mengurus bapak juga.”


Tante Murni itu adik kandung bapak, rumahnya tak jauh dari rumah kami. Sehingga bila aku mengunjungi Lyra, bapak kutitip rawat kepadanya.


“Sekarang aku baru menyesal, kenapa tidak dari dulu menyadari hal ini. Sejak lama Lyra tak pernah bisa mencintaiku, hanya aku saja yang tergila- gila padanya, dan melupakan cinta sejatiku.”


Kupandangi wajah Deni, ia pun ikut memandangku. Hatiku berdentum ‘apakah aku yang dia maksudkan sebagai cinta sejatinya?’


“Maksudmu apa, Mas?” tanyaku hati-hati.


“Maafkan aku, Tania. Aku memang laki-laki yang bodoh. Sejak SMA, aku sudah tahu kalau kau diam-diam menyukaiku. Namun, pada saat itu aku hanya menganggapmu sebagai sahabat, dan malah menyukai Lyra.”


Aku tak tahu harus senang atau sedih. Hanya mencintai sebelah pihak, bagai bertepuk sebelah tangan. Cinta yang dulu ada telah terkikis oleh sebuah kata “persahabatan’.


“Sudahlah, tak usah bahas itu lagi. Kita semua sudah menemukan jalan hidup masing-masing. Mari saling menjaga toleransi, menjaga komitmen, dan saling menjaga kepercayaan. Saat ini hatimu sedang galau, maka perbanyaklah zikir dan sholawat. Semoga Allah selalu meridhoi dan memberikan petunjuk yang terbaik buat rumah tanggamu.”


Aku berdiri di hadapannya. “Maafkan saya, Mas. Bila ada kata-kata yang sedikit tajam. Aku ke kamar dulu, hendak berbenah.” Setelah mengucapkan itu, aku segera berlalu dari hadapannya.


***


Lepas salat Subuh aku sudah di dapur membantu Mbok Iyam menyiapkan sarapan pagi, Mas Deni baru juga pulang dari mesjid langsung masuk kamar. Mandi dan berganti pakaian kantor. Harus segera berangkat sebelum macet menghadang di jalan


Makanan telah tersaji, menu sarapan sederhana. Nasi goreng plus telor mata sapi, tak lupa secangkir kopi kusajikan tepat di sebelah kanan Mas Deni yang dengan lahapnya menyantap makanan yang kusajikan.


Aku pun ikut duduk di samping Mas Deni, makan tanpa suara. Seakan berburu waktu menyelesaikan sarapan dengan suasana tenang, karena sedikit terburu-buru makan Mas Deni akhirnya terbatuk-batuk. Lekas kusodorkan segelas air minum dan diteguknya sampai tandas.


“Makannya pelan-pelan, Mas. Kayak dikejar mikrolet saja,” gurauku.


“Terima kasih perhatianmu, Tania. Tinggallah dulu, jangan pulang hari ini, ya?” pinta Mas Deni.


Aku tersenyum, lagi-lagi Mas Deni berusaha menahanku. “Maaf, Mas. Sebentar aku mau pulang. Sudah pesan taksi juga.”


“Kok buru-buru gitu?” tanya Mas Deni sambil meneguk kopinya perlahan.


“Gak buru-buru juga, aku kan sudah seminggu lebih di sini, lagi pula Lyra tak ada. Mas Deni harus segera menyelesaikan urusan Mas, jangan biarkan berlarut-larut. Tak enak bila Lyra harus tinggal di rumah Bimo sementara dia masih berstatus istrinya Mas.”


Aku agak menekan kata-kataku di akhir, berharap Mas Deni mau memperhatikan dan itu berhasil. Mas Deni lalu menatapku. “Iya, hari ini aku akan mengurus semua itu, tolong hati-hati sampaikan ke Bapak masalah rumah tangga kami. Semoga Bapak bisa menerima keputusanku nanti.”


Aku mengangguk. “Baiklah Mas, nanti akan kusampaikan. Kamu hati-hati ya? Jangan salah mengambil keputusan, ini soal masa depan kalian sendiri.”


Aku berdiri, hendak berlalu. Namun, Mas Deni sigap meraih tanganku. Kaget, langsung ku menoleh ke arahnya. “Kenapa, Mas?”


“Tania, aku mencintaimu.”


Deg! Jantungku serasa mau copot mendengar pengakuan lelaki yang dulu sempat menghiasi  relung kalbu. Merenda tepi harapan penuh bunga mawar, tetapi durinya menusuk terlalu dalam. Harapanku sirna karena cinta yang kurasa tak mendapat balasan sedikit pun.


Kutarik tanganku kembali, senyumku masih mengembang. “Maaf, Mas. Aku tak mungkin mengkhianati adikku sendiri, walaupun kalian tak bersama nantinya, tetapi aku tak mungkin mengambil apa yang dulu adikku punyai. Kuakui pernah jatuh cinta padamu, tetapi rasa itu telah lama hilang. Jadi, maafkan aku, Mas.”  


Setelah mengucapkan kata-kata itu aku segera berlari menuju kamar, meninggalkan Mas Deni yang terpaku menatapku.


Dalam kamar, aku duduk di tepi ranjang sambil terus menangis pilu. Tak ada yang lebih menyesakkan hati daripada mendengar pengakuan cinta yang terlambat datangnya. Aku tak boleh menjadi duri dalam rumah tangga adikku, biarlah tetap menjadi bunga mawar berduri asalkan tidak melukai perasaan orang-orang yang mencintaiku.


Bunyi klakson taksi yang kupesan meredakan isak tangisku. Segera kuraih koper yang sejak semalam kusiapkan, aku harus tegar di hadapan Mas Deni. Aku adalah mawar berduri, sanggup menahan setiap goncangan dan tangguh menghadapi setiap masalah.


“Mbak Tania, taksinya sudah ada di depan.” Suara Mbok Iyam ada di depan pintu kamar, dengan perlahan pintu kubuka.


“Iya, Mbok. Terima kasih atas semuanya ya? Maaf bila selama di sini ada salah dan khilaf.” Kupeluk tubuh renta itu erat-erat.


Iya, Mbak. Hati-hati di jalan ya?”


Mbok Iyam membantu membawa koperku, di depan Mas Deni juga telah bersiap ke kantor. Ia terus memandangiku, mungkin ada tanya dalam hatinya. Mengapa tadi aku menangis dan sekarang telah tampil tegar bak tak ada masalah apapun.


Aku menghampirinya. “Mas, aku pulang dulu. Maaf bila selama di sini ada salah yang tidak kusengaja. Aku pamit ya?”


Tanpa menunggu jawabannya, aku segera memasuki taksi yang telah dibuka pintunya terlebih dahulu oleh Mbak Iyam. Kulambaikan tanganku pada Mbok Iyam selaras laju taksi membelah jalanan yang mulai ramai.


Biarlah seperti ini dan terus seperti ini. Tak ada yang mustahil bila Tuhan telah berkehendak, harus optimis. Jalan masih panjang untuk kulewati sendiri. Bila nanti Tuhan mempertemukan jodohku, semoga itu yang terbaik buat hidupku.


Kisah Mas Deni, biarlah tetap abadi menjadi bagian masa lalu. Setiap orang berhak mendapatkan pelajaran dari setiap luka dan mendapatkan pengalaman untuk setiap bagian hidup yang penuh warna. Hari ini bisa saja terluka, karena duri mawar yang tajam menghujam. Namun, kelak akan sembuh dan meninggalkan bekas yang akan terus terkenang menjadi sebuah pengalaman yang berharga.


TAMAT.
begundal
begundal memberi reputasi
4
Tutup