mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Polisi dinilai makin represif tangani demo di Papua


Direktur LBH Papua: Kalau masyarakat sipil diproses, proses juga anggota polisi yang melakukan tindakan kekerasan terhadap massa demonstrasi

Polisi membubarkan pengunjuk rasa dari Front Mahasiswa dan Rakyat Papua Anti Militerisme terkait kasus warga disiksa prajurit TNI yang digelar di gapura Universitas Sains dan Teknologi Jayapura pada Selasa (2/4/2024). - Jubi/Theo Kelen

Jayapura, Jubi – Kepolisian dinilai semakin represif dalam menangani aksi demonstrasi di Tanah Papua. Penting bagi kepolisian untuk memahami prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia atau HAM dalam menjalankan tugas.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua, Emanuel Gobay mengatakan sikap represif kepolisian dalam menangani demonstrasi menambah praktik kekerasan terhadap masyarakat sipil Papua. Gobay mengatakan sikap represif polisi itu sangat terlihat jelas saat membubarkan demonstrasi atas kasus penyiksaan warga sipil oleh prajurit TNI yang digelar di Kota Jayapura, Papua dan di Kabupaten Nabire, Papua Tengah pada 2 dan 5 April 2024.

Setidaknya 115 orang ditangkap dan sejumlah orang mengalami luka-luka terkena tembakan gas air mata dan pukulan rotan polisi saat aksi di dua lokasi tersebut. Aksi itu mendapatkan tindakan represif dan berujung pada pembubaran.

“Ini menjadi situasi atau kondisi yang aneh, karena yang didorong massa aksi menyampaikan pendapat di muka umum ini kan agar tidak usah ada penyiksaan dan pertanggungjawaban penegakan hukum, kenapa harus dibungkam dengan cara represif di sana? Itu jelas-jelas dilakukan anggota polisi yang terlibat pengamanan aksi demonstrasi,” kata Gobay kepada Jubi pada Kamis (18/4/2024).

Gobay mengatakan LBH Papua yang selama ini melakukan pendampingan melihat bahwa aksi demonstrasi sudah mengikuti mekanisme demonstrasi sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kebebasan berekspresi. Namun, Gobay menilai aparat keamanan dalam hal ini polisi, tidak mengikuti mekanisme demokrasi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berekspresi.

Mereka gunakan senjata gas air mata, senjata api peluru karet, rotan, dan water cannon untuk bubarkan demonstrasi. Penggunaan benda-benda ini tidak sesuai dengan protap penanganan aksi massa anarkis, karena aksinya damai-damai saja. Tanpa ada angin dam hujan ada tembakan gas air mata dan pemukulan. Ini fakta menyebabkan kekerasan yang berakibat luka-luka kepada massa demonstrasi,” ujarnya.


Polisi mengawal demonstrasi penolakan KTT G20 yang dilakukan Aliansi BEM se-Jayapura di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada 11 November 2022. – Jubi/Rabin Yarangga
Menurut Gobay anggota polisi yang melakukan kekerasan saat mengamankan aksi demonstrasi seharusnya diproses hukum untuk memberikan efek jera. Ia khawatir apabila tidak ada proses hukum maka pembungkaman ruang demonstrasi sewenang-wenang dibarengi dengan tindakan kekerasan terus terjadi di Tanah Papua.

“Kita adalah negara hukum dan di depan hukum kita semua sama. Kalau masyarakat sipil diproses, proses juga anggota polisi yang melakukan tindakan kekerasan terhadap massa demonstrasi. Biar kemudian ada persamaan di depan hukum dan ada efek jera. Kalau rakyat yang diproses hukum, kemudian polisi tidak pernah, kapan polisi mendapatkan efek jera,” katanya.

Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP mencatat terjadi 16 kasus pembubaran aksi demonstrasi di Tanah Papua sepanjang 2022 hingga 2023. Belasan aksi pembubaran demonstrasi itu menyebabkan 30 orang dan 2 polisi luka-luka, serta 2 orang meninggal dunia. Setidaknya 216 orang ditangkap, 2 orang divonis tindak pidana penghasutan dan 3 orang divonis pasal makar.

Ada ketakutan

Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Cahyo Pamungkas mengatakan kepolisian tidak memberikan ruang kebebasan berekspresi untuk menyampaikan kritik atas kebijakan di Papua. Menurut Cahyo kritik terhadap Otonomi Khusus, kebijakan pemekaran, dan apalagi Hak Asasi Manusia selalu dibubarkan.

“Ada ketakutan. Jadi polisi selalu pakai dalil demonstrasi dilakukan tidak ada izin dan mengganggu ketertiban umum. Seharusnya polisi melindungi dan mengawal aspirasi secara damai,” ujar Cahyo kepada Jubi, Kamis (18/4/2024).

Cahyo mengatakan alasan kerusuhan di masa lalu tidak bisa dibenarkan untuk digunakan kepolisian memberangus kebebasan berekspresi di Papua. Polisi harus mengawal dan memastikan unjuk rasa itu berjalan secara damai dan ada yang merusak ditangkap dan diadili.

Ruang kebebasan berekspresi, kata Cahyo, harus dibuka agar orang-orang yang tidak puas dengan kebijakan negara bisa menyampaikan aspirasinya.


Seorang demonstran yang diduga dipukul polisi saat mengikuti demonstrasi kasus penyiksaan warga oleh prajurit TNI yang digelar di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua Tengah, Jumat (5/4/2024). – Dok LBH Papua
“Ada perlakukan polisi di Papua berbeda dengan di luar Papua, karena betul-betul tidak ada ruang masyarakat sipil di Papua mengkritik kebijakan negara, baik itu Otonomi Khusus, maupun pemekaran dan masalah HAM secara terbuka. Mereka berusaha mempersempit, melemahkan, dan mematikan gerakan perlawanan sipil politik Papua,” katanya.

Perketat pengawasan

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mendokumentasikan terjadinya 10 kasus pembubaran paksa serta 13 kasus penangkapan sewenang-wenang selama Juli 2022 hingga Juni 2023 di Tanah Papua.

Kepala Divisi KontraS Andrie Yunus mengatakan para atasan atau pejabat kepolisian, baik di tingkat markas besar hingga level Polda dan Polres wajib memperketat pengawasan penuh terhadap anggotanya yang melakukan pengamanan demonstrasi. Menurut Andrie aparat keamanan harus mengedepankan pendekatan nirkekerasan dan humanis dalam penanganan massa aksi, terkhusus demonstrasi yang mengangkat isu keadilan dan demokrasi Papua di mana pun wilayahnya.

Andrie mengatakan setiap anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran harus bertanggung jawab secara pidana maupun etik. KontraS mendesak lembaga negara pengawas eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM, Ombudsman RI, hingga Komisi DPR RI yang menjadi mitra kerja Polri harus proaktif. Menurutnya lembaga-lembaga yang menjadi mitra kepolisian harus menjalankan kewenangannya masing-masing untuk meminta pertanggungjawaban terhadap anggota yang melakukan pelanggaran.

“Jangan kemudian justru Polri menciptakan ruang impunitas bagi anggotanya yang melakukan pelanggaran. Oleh karenanya, hal ini berkaitan dengan pengawasan oleh atasan atau pejabat terkait,” ujarnya. (*)
https://jubi.id/polhukam/2024/polisi...demo-di-papua/
\
masalah kebebasan demonstrasi di Papua tapi sering kali jadi ricuh dan mengakibatkan korban sipill oleh demosntran yang menyasar warga biasa seperti di Nabire lalu
kodokodok
dragunov762mm
Nibrashilmy2
Nibrashilmy2 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
273
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan