ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #44 : UNO


Mungkin UNO adalah salah satu permainan kartu paling populer di dunia. Setiap pemain harus membuang kartu di setiap giliran dan siapa pun yang membuang semua kartunya lebih dulu akan jadi pemenangnya. Permainan yang sederhana, tapi sudah banyak meme bertebaran tentang UNO yang bisa menghancurkan pertemanan.

Kupikir itu cuma lawakan, tapi siapa yang menyangka UNO benar-benar bisa merusak pertemanan kami.

***


“Bosen nih. Main UNO yuk!”

Ajakan dari Rendi menjadi awal malam yang panjang itu. Aku, Rendi, Angga, dan Nia. Kami berempat melakukan kerja kelompok di rumah Rendi sampai malam dan saat hendak pulang hujan badai mengguyur seluruh kota. Akhirnya kami pun memutuskan untuk menginap.

“Okay. Mau taruhan nggak?” tanya Rendi.

“Jangan ada taruhan aneh-aneh lo,” ucap Nia cepat. Sebagai satu-satunya perempuan dia pasti merasa panik di sini. Kami memang sudah berteman sejak lama, tapi siapa yang tahu, kan?

“Duit aja kalau gitu,” balas Rendi.
Awalnya tak banyak yang kami pertaruhkan, tapi perlahan-lahan taruhan menjadi semakin tinggi. Tanpa sadar kami sudah mulai mempertaruhkan proklamator kemerdekaan dengan mudahnya.

Kami sudah memasuki babak ke-16 saat Angga yang sedari tadi diam bergumam, “Kok aku kalah terus ya?”

Dari 14 babak, Angga cuma menang 2 kali. Aku 3 kali dan Rendi dan Nia masing-masing 5 kali. Memang benar kerugian Angga tidak kecil, tapi kerugianku juga tak bisa dibilang rendah.

“Biasa aja kali Ngga. Kan kau memang nggak jago main ginian,” jawab Nia yang di ronde sebelumnya berhasil mengeruk 500 ribu dari kami semua.

Angga merengut. Mukanya semakin masam saat Rendi memenangkan babak 16. Kalau dihitung, tampaknya Angga sudah kehilangan satu juta dari permainan ini. Dan dari situlah semua menjadi aneh.

“Satu juta!”

Angga melempar uang itu sebagai taruhan untuk ronde berikutnya. Kami bertiga bertukar tatap. Tampaknya Angga ingin mendapatkan kembali semua uangnya, tapi jumlah taruhan ini sudah benar-benar gila. Aku enggan untuk ikut, tapi Rendi dan Nia kompak menaruh uang taruhan mereka sehingga mau tak mau aku ikut bertaruh.

Suasananya ... menjadi aneh. Rasanya seperti saling mematai-matai satu sama lain dan berusaha untuk saling menjatuhkan. Permainan ini sudah menjadi begitu serius. Mungkin aku sudah membuat keputusan yang salah.

“Ki, jangan ganti warna.”

Ucapan Angga yang mendadak membuatku batal melempar kartu. Aku sudah nyaris mengganti warna kartu menjadi merah karena itu kartuku yang paling banyak, tapi kok bisa Angga tahu apa yang ingin aku lakukan?

“Kenapa?”

“Kalau kau ganti warna nanti Rendi bisa keluarin kartu merahnya. Kalau dia keluarin itu dia tinggal keluarin dua kartu plus dan langsung menang. Memangnya kau mau kalah?”

Alisku terangkat saking terkejutnya. Rendi yang menjadi subjek pembicaraan jauh lebih terkejut.

“Lah? Kok kau nyuruh-nyuruh sih? Ini kan bukan game tim.”

“Memangnya kau pikir aku nggak sadar kau sama Nia saling kasih kode dari tadi? Mentang-mentang baru pacaran kalian kerjasama nguras duit kami kan?”

“Ha?”

Ha?

Rendi dan Nia pacaran? What the hell? Padahal kan aku yang suka sama Nia? Sejak kapan dua manusia ini punya hubungan macam itu?

“Ahh, kau nuduh buktinya apa?” Nia ikut angkat bicara. Sama sekali tak menyangkal dia pacaran dengan Rendi.

“Nggak ada buktinya, tapi aneh aja kalian menang terus dari tadi.”

Memang benar mereka berdua yang paling banyak mendapat kemenangan jadi apa yang Angga bilang sama sekali bukan tanpa dasar. Meski demikian apa yang aku lakukan berikutnya sama sekali tidak berdasar kecurigaan melainkan cemburu.

“Reverse!”

Aku melempar kartu reverse tanpa merubah warna. Giliran kembali ke Nia yang mau tak mau harus mengambil kartu dari tumpukan. Angga ikut melempar kartu reverse yang membuat Nia harus mengambil kartu lagi. Setelah itu aku mengeluarkan kartu stop untuk mengabaikan giliran Rendi dan langsung ke Angga.

Game berakhir dengan kemenanganku. Angga yang tak puas langsung melempar dua juta untuk taruhan berikutnya.

“Aku nggak mau ah, nggak seru kayak gini.”

Nia cemberut tapi aku merespon tantangan Angga dan ikut melempar dua juta. Kuakui akal sehatku sedang tertidur, emosiku lebih banyak mengambil alih.

Rendi menggigit bibir. Tak mungkin aku dan Angga cuma bermain berdua, tapi taruhan kami sudah semakin gila. Karena itulah aku kaget Rendi tetap memaksa mengikuti kami. Di situlah akhirnya aku paham apa yang Angga bilang. Rendi menatap Nia dengan cara yang tak kumengerti dan mendadak saja Nia juga memutuskan ikut.

Ronde ke-18 pun dimulai. Belum pernah rasanya aku ingin menghancurkan seseorang seperti ini. Semakin aku memperhatikan semakin jelas kalau Rendi dan Nia memang saling bertukar kode selama permainan entah itu dengan batuk, kedipan mata, atau tangan yang mereka letakkan di meja.

Mereka curang. Mereka pacaran. Mereka jelas merencanakan sesuatu. Meski demikian tak ada yang mencegahnya. Permainan terus berlanjut dan kartu demi kartu terus ditumpuk.

“Ngomong-ngomong ada restoran baru buka di depan kampus,” ucap Angga tiba-tiba. “Dua hari yang lalu aku ke sana, siang hari, enak makanannya.”

Kenapa dia tiba-tiba ngomong begitu di tengah permainan berhadiah 8 juta? Aku melirik Rendi dan dia tak mengacuhkan Angga. Meski demikian Nia membeku meski hanya sesaat. Ada yang aneh dengan ekspresinya dan saat Angga merubah warna permainan menjadi hijau Nia tak langsung menaruh kartu.

Kami bertiga menatapnya dengan pandangan yang berbeda-beda. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Aku mulai bisa merangkai apa yang sebenarnya terjadi di sini dan itu membuat tatapanku teralih pada Angga.

Angga tahu sesuatu dan dia menggunakan itu untuk mengancam Nia. Entah apa yang dia ketahui, tapi di saat Nia akhirnya melempar kartu warna wajah Rendi berubah merah.

Kartu +4. Untungnya aku punya kartu yang serupa sehingga aku bisa terbebas dari efek kartu itu. Namun Rendi pastilah tak punya sehingga mau tak mau dia harus menarik delapan kartu dari tumpukan. Posisinya yang sebelumnya paling depan kini mundur paling belakang.

Angga. Aku tak tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan, tapi tujuan kami sejalan. Dia ingin menang dan aku ingin memberi Rendi pelajaran. Tampaknya kami akan menjadi partner-in-crime dalam permainan ini.

Dari situ kode demi kode kembali diluncurkan, celoteh demi celoteh mencurigakan terus terdengar, dan akhirnya Angga berakhir sebagai pemenang. Tampaknya Angga belum balik modal karena berikutnya dia melempar 5 juta rupiah sebagai taruhan.

“Kalo 5 juta mana ada yang punya, Ngga. Kau pikir kita lagi main di kasino?”

Aku protes dengan jumlah itu tapi Angga tetap bersikeras. Kalau tidak dia tak mau main. Sebenarnya aku punya segitu, tapi kalau sampai kalah aku akan benar-benar bangkrut. Bagaimana Rendi dan Nia menyikapi ini?

“Aku nggak ikut ah. Nggak ada uang segitu.”

Nia memutuskan mundur. Angga memelototinya tapi Nia cuma menoleh dan tidak menggubrisnya. Lalu bagaimana dengan Rendi?

“Aku … ikut.”

Aku dan Nia tak bisa menyembunyikan keterkejutan kami. Ada sebuah studi yang menjelaskan kenapa orang-orang yang merugi akibat judi tak bisa berhenti berjudi meski tau itu buruk. Judi selalu memberi ilusi bahwa akan selalu ada peluang menang bagi semua pemain. Peluang itulah yang terus membuat orang berpikir, “Mungkin satu kali lagi.”

Sekali lagi Rendi melempar tatapan ke arah Nia. Entah apa yang ada di balik tatapan menjijikkan itu, tetapi itu membuat Nia takut dan akhirnya kembali duduk mengitari meja.

“Okey, tapi ini yang terakhir ya,” ucapnya.

“Dasar pasangan bodoh!” hinaku dalam hati. Bagiku uang sudah tidak lagi penting. Yang paling penting adalah melihat hubungan dua orang ini retak dihantam kekalahan.

Akhirnya ronde terakhir pun dimulai. Hanya ada ketegangan yang terasa saat semua orang berjuang memperebutkan 20 juta. Dengan cepat kartu di tangan menipis dan setelahnya kode dan ancaman kembali bertebaran.

Aku tak tahu mengapa Rendi memulai semua ini, tetapi situasi terlihat sangat baik untuknya. Hanya tinggal tiga kartu dan dia akan menang. Aku bisa mendengar napasnya jadi tidak karuan. Memangnya siapa yang bisa menahan godaan 20 juta di depan mata? Bahkan meski harus menghajar teman aku pun mau.

“Lapar,” Angga berbisik keras, “pengen makan restoran itu lagi.”

Itu dia. Ancaman ke Nia. Apa sebenarnya yang membuat Nia sebegitu ketakutan? Apakah ketakutan itu cukup besar untuk membuatnya melepas 20 juta?

Sekarang Nia ada di posisi terakhir. Idealnya dia akan membantu Rendi untuk menang, tapi apa yang akan dia lakukan?

“Tiga … hijau.”

Cuma kartu normal, tak ada yang spesial. Aku melempar kartuku dan Rendi melempar kartunya. Sekarang dia tinggal dua kartu.
Tampaknya tindakan Nia membuat Angga tidak senang. Angga menarik kartu dari tumpukan, tapi mulutnya tidak tinggal diam.

“Ngomong-ngomong kemarin kau makan sama siapa, Nia?”

Kartu yang Nia pegang terjatuh begitu saja. Bibirnya gemetar tanda takut sementara kedua mata Rendi melotot seolah hendak keluar dari rongganya.

“Hah? Siapa?”

“Nggak, itu cuma sepupuku dari luar kota,” kilah Nia.

“Tingkahmu nggak mirip sepupu tuh,” Angga semakin memojokkannya.

“Cowok? Rambutnya pirang?” tanya Rendi berang.

“Iya, setengah rambutnya pirang.”

Mendengar itu Rendi langsung menggebrak meja.

“NGAPAIN KAU MASIH SAMA SI RIO?!”

“Kami cuma nggak sengaja ketemu. Sumpah!”

“HALLAHHH!!”

Hilang sabar Rendi melempar uang taruhan ke wajah Nia. Uang kertas memang tidak sakit, tapi indikasi kekerasan membuatku spontan menahan Rendi untuk tidak melakukan lebih jauh. Nia mulai menangis takut. Di tengah kegaduhan ini Angga malah tanpa dosa berkata, “Lanjut Nia, giliranmu.”

Tampaknya tak ada kata stop bagi Rio yang menginginkan uangnya kembali. Kedua tangan Nia masih gemetar, tapi lembaran uang yang dilemparkan ke arahnya ternyata memberinya keberanian. Akhirnya Nia melempar kartu 5 merah, merubah warna yang sebelumnya hijau.

Tampaknya Nia sudah tak lagi berniat membantu Rendi. Jika Rendi menang tak mungkin dia akan membagi uangnya dengan Nia setelah kejadian barusan. Karena kartu sudah berubah warna maka aku bisa melempar kartu stop dan mengabaikan giliran Rendi.
Keadaan pun berbalik.

Dengan hati-hati Angga menaruh kartunya lalu diikuti oleh Nia. Aku melempar kartu reverse dan mengembalikan giliran ke Nia. Nia bimbang dan melirik Rendi untuk sesaat, tapi kemudian dia melempar kartu +2. Angga menimpali dengan melempar kartu +2 yang lain.

Sekarang adalah pertaruhan. Jika Rendi punya kartu +2 atau malah +4 maka tak ada lagi yang akan bisa menghentikannya.
Namun dengan penuh gaya Rendi melempar kartu +4. Rasanya seperti ada benton memenuhi perutku saat melihat senyum Rendi merekah lebar. Kedua tangannya terulur dan mulai merapikan uang taruhan di atas meja. Tepat saat aku mengira ini sudah berakhir Nia terbatuk.

“Nggak bilang UNO.”

Puas rasanya melihat kemarahan dan kekejaman yang tak bisa keluar dari wajah Rendi. Karena dia tidak bilang UNO maka dia harus menarik satu kartu lagi dari tumpukan dan tampaknya itu adalah kartu yang jelek karena dia harus terus mengambil kartu lagi.

Setelah beberapa putaran Nia pun keluar sebagai pemenang. Dia langsung memasukkan semua uang itu ke dalam tasnya dan keluar dari rumah. Meski sudah malam tapi hujan sudah reda dan dia memaksa untuk pulang. tak mungkin dia mau ambil resiko satu ruangan dengan Rendi setelah semua yang terjadi.

Rendi mengejarnya keluar dan meninggalkan aku dan Angga berdua saja. Tampaknya hubungan Rendi dan Nia akan berakhir jadi ini akhir yang cukup memuaskan bagiku, tapi bagaimana dengan Angga?

“Kenapa kau agresif banget dari tadi?” tanyaku padanya sembari membereskan barang-barangku. Aku juga memilih untuk pulang malam ini juga.

“Cuma nggak suka aja,” jawabnya cuek sambil ikut menyiapkan tasnya. “Kau tau kenapa Rendi ngajak kita taruhan main UNO? Dia sama Nia mau liburan ke Bali tapi nggak ada uang. Makanya mereka rencana buat meras kita.”

Aku penasaran dari mana dia tahu itu, tapi memilih tidak bertanya. Kami berdua pun bangkit berdiri dan pergi dari rumah Rendi tanpa pamit.

Sejak saat itu kami berempat tak lagi pernah berkumpul bersama. Nia dan Rendi putus. Tak lama setelah itu Nia jadian dengan Rio. Aku sudah bodo amat dengannya (bohong), tapi aku menyesalkan akhir dari hubungan kami.

Kukira kami cukup dekat untuk disebut sahabat, tapi ternyata belum tentu orang lain memikirkan hal yang serupa. Jika bukan karena UNO mungkin kami masih akan sering ngumpul bareng dan mempererat pertemanan kami. Namun semua itu cuma angan-angan belaka. UNO merubah hidup kami semua.

***TAMAT***
azhuramasda
ardian76
bonek.kamar
bonek.kamar dan 9 lainnya memberi reputasi
10
18.8K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan