ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #39 : Tidak Berakal


Terkadang aku merasa cemas dengan kehidupan sepupuku, Balil. Sebentar lagi umurnya akan mencapai kepala tiga tapi dia masih belum bisa lepas dari perawatan ibunya. Jika dia cuma sekedar pengangguran yang malas bekerja maka aku tak akan peduli padanya, tapi kondisi Balil bukanlah sesuatu yang bisa dia ubah.

Balil menderita down-syndrom sejak lahir. Tak peduli sebesar apa tubuhnya tumbuh, dia tetap tak lebih cerdas dibanding anak Sd kebanyakan. Dia tidak bisa berbicara dengan lancar, tak bisa baca tulis, dan tak bisa melakukan aktivitas sederhana layaknya orang normal. Dia … terbelakang.

Setiap kali aku memikirkan keadaannya, tak ada hal lain selain kesedihan di masa depan. Apa yang akan terjadi padanya di masa depan? Saat ini seluruh kebutuhannya dipenuhi oleh ibunya, tapi ibunya semakin tua setiap hari. Suatu hari nanti dia akan benar-benar sendirian.

Setiap kali keluarga besar bercerita tentang Balil, hanya cerita sedih yang dapat terdengar. Tak ada yang terlalu dekat dengan Balil. Sadar atau tidak, kami semua menjauhinya. Bahkan saat acara keluarga atau semacamnya, Balil hanya duduk menyendiri di sudut atau bersembunyi di dalam kamar.

Bibi Marsinah, ibu Balil, tak bisa dibilang orang yang berkecukupan. Di umur yang seharusnya sudah pensiun dia tetap bekerja mengolah tepung dan berjualan gorengan. Hubungannya dengan ibuku tidak baik. Semua karena suaminya yang meminjam uang dalam jumlah besar lalu kabur entah ke mana.

Bibi Marsinah dan Balil hidup dari hari ke hari tanpa ada sesuatu yang berarti. Hidup hanya sekedar hidup. Tampaknya Bibi Marsinah sudah menyerahkan seluruh nasibnya dan putranya pada Tuhan. Entah apa yang akan terjadi pada Balil setelah dia meninggal, mungkin dia sudah berhenti memikirkannya.

Aku benar-benar kasihan pada Bibi Marsinah. Bukan hanya hidupnya yang kekurangan, kelakuan Balil juga sering kali membuat kepalanya sakit. Balil sering jadi bulan-bulanan anak-anak nakal di kampungnya. Setiap kali dia keluar rumah ada saja yang mengganggunya. Tak jarang juga mereka menjadikannya samsak tinju.

Anak-anak kecil juga sering melemparinya dengan batu. ‘Orang gila! Orang gila!’ Begitulah mereka meneriakinya. Balil yang tak mampu melawan cuma bisa menerima semua perlakuan itu. Bibi Marsinah tau tentang hal ini, tapi kemarahannya hanya membuat Balil diperlakukan semakin buruk. Akhirnya Bibi Marsinah menyerah dan memilih tidak membiarkan Balil keluar dari rumah.

Seiring waktu Bibi Marsinah mulai sakit-sakitan. Usianya memang sudah tidak muda lagi dan dia juga bekerja terlalu keras. Ada kalanya dia cuma bisa berbaring seharian tanpa siapa pun yang bisa merawatnya. Meski jarang bicara aku tahu Bibi Marsinah cukup keras kepala. Dia tak mau menyusahkan orang lain. Karena itulah dia diam saja di rumah, berharap penyakitnya hilang setelah tidur.

Sakit, sendirian, tak ada yang menolong. Memikirkan hal itu saja membuatku takut. Aku sungguh berharap Bibi Marsinah mau meminta tolong pada kami. Jika saja dia melakukan itu, mungkin hidupnya yang sudah sedih tak akan ditutup dengan tragedi.

***


“Ali, kamu antar ini ke bibimu ya.”

Sore itu gelap, hujan bisa turun kapan saja, tapi Ibu menyuruhku pergi ke rumah Bibi. Kebetulan ada banyak buah sisa hasil panen. Meski tak akur, tapi Ibu memang diam-diam peduli pada kakak semata wayangnya.

Aku sebenarnya ingin menolak karena tampaknya akan hujan deras, tapi sudah lama juga aku tak mampir ke tempat Bibi. Aku cukup sering mampir ke sana untuk sekedar membeli gorengan. Akhirnya aku pun menyalakan motorku dan berangkat ke tempat Bibi.

Untungnya aku bisa sampai sebelum hujan turun. Rumah Bibi tampak gelap. Mungkin dia tutup lebih cepat karena hujan jadi aku mengetuk pintu rumahnya. Tak ada jawaban. Kucoba membuka pintu, tidak terkunci. Aku pun mengucapkan salam dan masuk.

“Bibi? Kak Balil?”

Bahkan lampu di bagian dalam pun tidak dinyalakan. Tiba-tiba saja perasaanku tidak enak. Aku terus mencari dan akhirnya mencapai kamar Bibi. Ragu-ragu aku membuka dan menyalakan lampu, terlihat Bibi yang terbaring di atas kasur tipisnya.

Tampaknya dia sedang tidur, tapi keringat bercucuran sampai membasahi bantal. Aku mendekat dan menyentuh dahinya.

“Ya Allah! Bi? Bibi?!”

Bibi bernapas berat. Tubuhnya terasa sangat panas sampai-sampai aku tahu ini bukan demam yang normal. bibi harus segera dibawa ke rumah sakit. Ambulan? Terlalu lama. Aku langsung mengeluarkan ponsel dan menelepon Ibu. Aku menerangkan situasi secara singkat dan memintanya datang dengan mobil.

“Kak Balil? Kakak di mana? Aku mau bawa Bibi ke rumah sakit!”

Aku berseru tapi tak ada jawaban. Kucek kamarnya, tapi dia tak ada di sana. Apa dia keluar rumah? Kok bisa dia meninggalkan ibunya dalam keadaan seperti ini?

Aku pun memutuskan keluar dan mencarinya sebelum Ibu datang. Perlahan tetesan hujan turun setetes demi setetes. Ke mana biasanya Kak Balil pergi? Aku tak tahu jadi aku hanya berlari tanpa tujuan. Jika aku tak menemukannya maka kami tetap akan membawa Bibi ke rumah sakit meski harus meninggalkannya.

Aku hampir saja memutuskan untuk berbalik dan kembali saat mendengar keributan di depan sebuah toko. Kerumunan itu tidak terlihat ramah. Mereka berteriak dan memukul seperti orang yang main hakim sendiri saat menangkap pencuri. Apa yang sudah mereka tangkap? Tidak mungkin … kan?

Perlahan aku mendekati mereka dengan rasa takut. Pemandangan itu semakin mengerikan di setiap langkah yang kuambil. Akhirnya aku mendengar suara, suara meminta ampun. Ketakutan itu langsung menjadi amarah.

“YA ALLAH KAK BALIL! KALIAN APAIN KAKAKKU?!”

Dengan sekuat tenga kutarik mereka mundur menjauh dan memecah kerumunan itu. Langsung kuberlutut di depan Kak Balil yang wajahnya tak bisa dikenali lagi. Tak ada sedikit pun kulit wajahnya yang tak dilapisi darah. Dia meringkuk memeluk sesuatu di dadanya. Meski pelan dia masih bernapas. Bibirnya bergerak dan berbisik pelan nyaris tak terdengar.

“Ibu … sakit … obat ....”

Rasanya seperti ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Apa yang sudah orang-orang ini lakukan? Bagaimana bisa mereka mencoba membunuh seorang anak yang hanya ingin membawakan obat untuk ibunya?

“NAH INI KOMPLOTAN SI MALING! HAJA—”

Sebelum orang itu bisa menyelesaikan kalimatnya tanganku sudah terkepal dan meninju wajahnya sekeras mungkin. Aku tak lagi memikirkan apa pun. Tak ada lagi ketakutan, hanya ada amarah yang membuat pikiranku tumpul.

Tanpa berkata apa-apa aku menghajar semua orang yang sudah menyakiti Kak Balil. Tak kupedulikan pukulan dan tendangan mereka padaku. Aku terus memukul dan memukul sampai darah menyelimuti kedua tangan ini. Banyak dari mereka yang ketakutan dan akhirnya kabur. Mereka yang tinggal terus memukul dan dipukul.

Hujan turun dengan begitu derasnya, tapi dinginnya air hujan tak bisa mencapai panas di dalam diriku. Di saat pikiranku menjadi sedikit lebih jernih, orang terakhir sudah tersungkur pingsan. Ada banyak orang berteriak melihatku, tapi aku tak peduli. Kak Balil … Kak Balil ….

Dengan sisa tenaga aku mengangkat dan membawanya kembali ke rumah. Aku bisa melihat mobil Ibu sudah terparkir di depan. Tanpa menjawab pertanyaan mereka aku langsung menyuruh Ayah tancap gas ke rumah sakit.

Aroma darah dan keringat memenuhi mobil. Aku menaruh kepala Kak Balil di pangkuanku. Perlahan-lahan darah di wajahnya memudar terbasuh air mataku yang jatuh. Tak terbayang rasa sakit yang harus Kak Balil terima hanya karena dia berusaha mencari obat untuk ibunya yang sakit. Niatnya sungguh mulia, tapi kenapa tak ada orang yang mencoba untuk mengerti?

Kak Balil sama sekali tak pantas mendapat perlakuan seperti ini. Mengapa dia harus dipukul dan dimaki hanya karena dirinya sedikit berbeda? Mereka mengatainya tak berakal, tapi di mana akal orang-orang yang tega melakukan ini? Meski tak berakal, Kak Balil masih punya hati. Apa orang-orang sudah kehilangan hati untuk bisa melihat itu?

Kemarahan dan kegeraman itu hilang saat kami tiba di rumah sakit. Sudah terlambat, Kak Balil maupun Bibi Marsinah tak dapat diselamatkan.

***


Terkadang aku merasa cemas dengan kehidupan sepupuku. Kira-kira apa yang akan terjadi padanya di masa depan? Adakah orang yang bisa merawatnya saat dia sudah tua? Apakah dia akan terus seperti itu seumur hidupnya? Pertanyaan itu tak pernah menemukan jawabannya.

Mungkin Tuhan memang punya rencana lain dan terkadang rencananya lebih indah. Seorang ibu yang rela merawat anaknya hingga tua dan seorang anak yang menyayangi ibunya meski tanpa logika, keduanya menemukan kedamaian tanpa harus merasakan kehilangan satu sama lain.

Mungkin dunia ini terlalu busuk untuk mereka sehingga Tuhan memanggil mereka lebih dulu. Meski demikian penyesalan terus saja menghantuiku har demi hari.

Andai saja kami bersikap lebih baik, andai saja aku mencoba untuk lebih dekat dengannya, semua ini tak akan terjadi. Semua kesempatan untuk melakukan itu sudah lewat, yang tersisa hanyalah menyesali kesempatan yang tak pernah kita manfaatkan.

***TAMAT***
Yoayoayo
bonek.kamar
spaghettimi
spaghettimi dan 18 lainnya memberi reputasi
19
1.3K
19
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan