Sumber Gambar

Achmad Fauzi, yang menjabat sebagai Kepala Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah resmi dijadikan tersangka dalam kasus pungutan liar (pungli) yang terjadi di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Cabang KPK. Langkah tegas diambil oleh KPK dengan langsung menahan Achmad Fauzi bersama dengan 14 pegawai KPK lainnya yang juga terlibat sebagai tersangka dalam kasus tersebut.

Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan bahwa para tersangka akan ditahan selama 20 hari pertama untuk kepentingan proses penyidikan. Masa penahanan ini berlangsung mulai dari tanggal 15 Maret hingga 3 April 2024, dan para tersangka akan diawasi di Rutan Polda Metro Jaya. Di antara para tersangka lainnya adalah mantan petugas Rutan KPK seperti Hengki, Deden Rochendi yang pernah menjabat sebagai Plt Kepala Rutan KPK, dan Eri Angga Permana. Selain itu, masih terdapat sejumlah pegawai Rutan KPK aktif yang turut terlibat dalam kasus ini, seperti Ristanta, Ari Rahman Hakim, Agung Nugroho, Muhammad Ridwan, Suharlan, Ramadhan Ubaidillah, Mahdi Aris, Wardoyo, Muhammad Abduh, dan Ricky Rachmawanto.

Modus operandi para pelaku pungli ini mencakup berbagai bentuk, termasuk memberikan fasilitas eksklusif kepada narapidana seperti percepatan masa isolasi, layanan penggunaan handphone, dan powerbank, serta memberikan informasi terkait inspeksi mendadak (sidak). Besarannya jumlah uang yang diterima oleh para tersangka diperkirakan mencapai Rp 6,3 miliar, dan investigasi masih terus dilakukan untuk menelusuri serta mendalami aliran uang tersebut serta penggunaannya.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah melalui UU Nomor 20 Tahun 2001, bersamaan dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pungutan liar, atau yang lebih dikenal dengan istilah pungli, merupakan praktik korupsi yang merugikan masyarakat secara luas. Praktik ini terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang yang berwenang meminta atau meminta imbalan dalam bentuk uang atau barang lainnya sebagai syarat untuk memberikan pelayanan atau fasilitas yang seharusnya diberikan tanpa dipungut biaya tambahan. Pungli sering kali terjadi di berbagai sektor, termasuk di institusi pemerintah, lembaga pendidikan, rumah sakit, dan sektor swasta.

Dampak dari praktik pungli sangat merugikan masyarakat secara ekonomi, sosial, dan moral. Secara ekonomi, pungli dapat menyebabkan meningkatnya biaya hidup bagi masyarakat karena mereka harus membayar tambahan biaya untuk mendapatkan layanan yang seharusnya gratis atau lebih murah. Hal ini juga dapat menghambat pembangunan ekonomi yang berkelanjutan karena mengurangi daya beli masyarakat dan menyulitkan pengusaha kecil dan menengah untuk berkembang. Selain itu, secara sosial, pungli dapat menciptakan ketidakadilan dan memperburuk kesenjangan sosial karena hanya mereka yang mampu membayar yang dapat menikmati layanan atau fasilitas yang seharusnya tersedia untuk semua orang. secara moral, praktik pungli merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga dan pejabat yang seharusnya melayani mereka dengan integritas dan keadilan.

Pemberantasan pungli merupakan tugas penting bagi pemerintah dan lembaga antikorupsi untuk memastikan keadilan dan transparansi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Hal ini membutuhkan langkah-langkah yang keras dan berkelanjutan untuk mengidentifikasi, mengungkap, dan menghukum pelaku pungli serta mendorong budaya integritas dan kejujuran di seluruh lapisan masyarakat. Selain itu, perlu juga dilakukan pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka dan pentingnya melaporkan praktik pungli yang mereka alami agar dapat diatasi secara efektif.

Link Referensi