ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #21 : Apakah Mati Sakit?


“Hei … kira-kira mati itu sakit nggak ya?”

Anginnya sangat kencang di sini. Angin di tempat tinggi memang lebih kuat dibanding di tanah, apalagi di pergantian musim seperti sekarang. Jika semakin tinggi maka angin semakin kuat, berarti puncak gedung Mustika ini adalah tempat dengan angin terkuat di seluruh kota.

“Nggak sakit,” jawab Panji si Petualang. “Nggak ada bedanya dari tidur. Kau nggak akan ngerasain apa-apa.”

“Dari mana kau tahu? Kau pernah mati?”

“Mbahku dulu dukun. Dia bisa manggil arwah orang mati jadi aku sering nanya-nanya,” jawab Panji datar. Entah yang dia katakan benar atau tidak kurasa itu tak ada bedanya.

Kematian memang misterius. Semakin dipikirkan semakin membuat takut. Padahal kematian sangatlah dekat. Aku sekarang cuma berjarak satu langkah dengan kematian.

“Udah siap?” tanya Panji kemudian. “Aku rekam sekarang.”

Hanya ada kami berdua di atap gedung pencakar langit ini. Sekilas tampak seperti pasangan homo yang pacaran sembunyi-sembunyi, padahal alasan sebenarnya jauh lebih buruk daripada itu.

“Baiklah … aku mulai. Namaku Reza, hari ini aku akan mati … dan boskulah yang membunuhku.”

Semua dimulai satu minggu yang lalu. Saat itu aku sedang berdiri di atap rumah sakit dan bersiap melompat mengakhiri hidupku. Namun, pertemuanku dengan Panji membuatku memutuskan menunda kematianku.

“Kalau mau bunuh diri jangan bunuh diri di sini,” ucap Panji yang tanpa kusadari ada di sana. “Orang-orang di sini baik, jangan kau buat mereka susah. Kalau mau bunuh diri lompat dari gedung bank di depan sana. Pemilik bank itu tukang korupsi.”

Keberadaannya di sana amatlah aneh. Dia bukan pasien, bukan juga dokter maupun kerabat. Namun, dia ada di tempat yang tepat dan waktu yang tepat. Sebenarnya aku takut mati dan berharap seseorang mencegahku melompat.

“Jangan nangis! Kalau kau mau mati minimal matilah dengan berguna, jangan malah nyusahin orang. Kau pikir siapa yang harus bersihin mayatmu yang berceceran? Mereka nggak dibayar buat lembur ngegosok lantai. Ini dia masalah anak jaman sekarang, terlalu cuek dengan sekitar.”

Mendengar itu aku malah menangis semakin keras. Tahu apa dia tentang hidupku? Kalau aku bisa aku juga tak ingin melakukan ini.

“Lah? Malah makin nangis? Memangnya kalau nangis masalahmu bisa selesai? Kalau butuh saran sini cerita. Minimal bebanmu bisa lebih ringan.”


Keputusanku untuk bercerita pada Panji benar-benar membuat hatiku terasa lebih ringan. Berkatnya jugalah aku bisa lebih tenang dan tidak takut menyongsong kematian yang kutunda satu bulan. Sekarang, aku akan mati. Namun sebelum itu aku harus menyampaikan kebenaran.

“Bos perusahaan Mustika, Ronald Ginanzar, adalah seorang kriminal. Dia bekerjasama dengan Gubernur Ahmad Pratama dan melakukan pencucian uang besar-besaran. Mereka berencana menggunakanku sebagai kambing hitam. Mereka menyuruhku untuk bunuh diri dan akan menuduhku membawa lari semua uang tersebut. Aku benar-benar tak punya pilihan. Ibuku sedang sakit keras dan butuh banyak uang untuk pengobatan jadi mereka berjanji akan membiayai pengobatannya. Aku takut, aku tak punya bukti, tapi aku tak bisa melawan.”

Rasanya seperti ribuan jarum berdesakan keluar dari kepalaku. Aku cuma fresh graduate yang bekerja di divisi akuntan, tapi kini harus menanggung beban perbuatan yang tak pernah kulakukan. Aku berhutang banyak pada bos. Dia membiayai kuliah dan juga pengobatan ibuku, tapi ternyata semua itu dilakukan karena ini. Dia membesarkanku sebagai kambing hitam yang kini siap disembelih.

Jika aku menolak maka semua peralatan medis yang menopang kehidupan ibu akan dicabut dan ibu pasti akan mati. Aku tak punya pilihan selain setuju. Tak punya. Namun, Panji ternyata punya pilihan ketiga.

”Kau bisa menolak tuduhan itu dan menyelamatkan ibumu,” ucapnya secara tak terduga saat aku menceritakan semuanya. ucapannya bagai air sejuk di tengah padang gurun, tapi apa yang dia katakan berikutnya membuat air itu menguap. “Tapi kau harus mati.”

“Hah?!”

“Kau tak punya bukti jadi meski melapor kaulah yang akan rugi. Kalau kau menolak maka ibumu mati dan mereka akan mencari kambing hitam lain. Tapi bagaimana kalau kau sebarkan semua hal ini ke publik? Penyelidikan akan dilakukan dengan cepat. Mereka tertangkap dan ibumu tak akan disentuh.”

“T-tapi kenapa aku harus mati?”

Panji menatapku dengan ekspresi yang sulit dimengerti. Entah itu iba atau tidak peduli, tapi rasanya ada bau darah dari dalam kedua bola mata itu.

“Kalau kau hidup dampaknya akan lemah. Mereka bisa berkilah dan malah akan menuntutmu. Beda cerita kalau kau mati. Masyarakat sangat mudah tergerak oleh cerita emosional. Semakin banyak orang menaruh perhatian maka semakin besar pula tekanan yang dihasilkan.”

Perkataannya, meski memang masuk akal, tetap membuatku takut. Tampaknya tak ada cara agar aku bisa terus hidup. Pilihanku cuma dua. Mati begitu saja atau mati dengan sedikit perlawanan.


“Ibu, maafkan anakmu ini. Aku tak mau Ibu mati. Selamat tinggal. Tolong, jaga kesehatanmu.”

Dan rekaman pun berakhir. Panji bilang air mata akan membuatnya lebih baik dan aku sudah mencurahkan semuanya di sana. Rekaman itu akan menjadi pesan kematianku. Sekarang, sudah waktunya untuk mati.

“Hei, apa mati itu sakit?” aku bertanya sekali lagi.

“Tidak. Melompat dari gedung setinggi ini akan membunuhmu dalam sekejap mata. Kau mungkin akan takut saat jatuh, tapi ingatlah kau sudah melakukan yang terbaik.

“Thanks Panji. Aku bisa percaya padamu untuk rekaman itu kan?”

“Ya. Serahkan saja padaku. Aku akan pergi sekarang. Nikmati waktumu.”

Dan akhirnya Panji pun pergi. Aku masih tak tahu siapa dia, tapi aku percaya dia akan melakukan apa yang dia katakan. Meski tak merubah kenyataan, tapi aku cukup senang mengetahui kematianku punya suatu makna.

Sekarang aku sendirian di atap gedung ini. Satu-satunya yang tersisa hanyalah melompat. Anehnya, tubuhku terasa begitu nyenyak dan tenang. Mungkin tanpa sadar aku sudah menerima kematian. Ingin rasanya aku melihat wajah bos saat nanti dia ditahan untuk semua kejahatannya. Sayang sekali aku tak bisa melihatnya.

Sayang sekali … cuaca hari ini benar-benar indah.

Aku tahu, semakin lama aku menunda semakin besar ketakutan akan tumbuh. Tenanglah, memang sejak awal harus begini. Apalagi yang aku takutkan? Semua terasa jauh lebih baik dibanding seminggu lalu.

Kubiarkan angin membalut tubuhku. Rasanya ringan dan memabukkan. Aku merasa bebas. Saat semua orang di bawah sibuk memikirkan pekerjaan dan segala urusan duniawi yang berat, aku merasa tubuhku kehilangan berat dan melayang seolah berada di luar biasa. Luar biasa. Sayang itu tak berlangsung lama.

Panji benar. Mati memang tidak terasa sakit.

***TAMAT***
Diubah oleh ih.sul 21-02-2024 12:03
namakuve
gembogspeed
viensi
viensi dan 16 lainnya memberi reputasi
15
2.7K
34
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan