Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Intoleransi Menguat di Sulut, Saprillah : Ada Problem Serius
Intoleransi Menguat di Sulut, Saprillah : Ada Problem Serius

1 Januari 2024


Kepala Balitbang Agama Makasar , Saprillah Syahrir. (foto:istimewa)

Manado,Barta1.com – Kepala Balitbang Agama Makasar , Saprillah Syahrir, menyebut bahwa gejala intoleransi mulai menguat di Sulut (Sulawesi Utara), apalagi dengan meledaknya peristiwa di Kota Bitung beberapa bulan yang lalu.
“Bagi teman-teman yang mendalami atau melihat perubahan sedikit demi sedikit  terjadi di Sulut. Sebetulnya, gejala ini terlihat  dari 10 tahun terakhir pasca konflik Ambon, kemudian pasca reformasi dan dibarengi dengan munculnya  kelompok-kelompok milisi sipil di beberapa  tempat di Indonesia, termasuk di Manado dengan menguatnya Brigade Manguni. Sebetulnya, hal itu juga mulai mempengaruhi secara kecil  imajinasi kita tentang Manado, misalnya ketika muncul penolakan Masjid di kampung Texas Manado yang sangat politis,” ungkap Saprillah pada diskusi  akhir tahun  yang  digelar Gusdurian Manado bersama GCDS (Gerakan  Cinta Damai Sulut)  dengan tema keragaman: Refleksi dan proyeksi, melalui  Zoom Meeting, Minggu (31/12/2023).

Ia menyebut, ini merupakan sebuah anomali (penyimpangan) untuk daerah Sulut, tetapi harus melihat bahwa Sulut mengalami perubahan.  “Saya menemukan kenyataan bahwa ada lapisan generasi baru. terutama di kelompok islam yang lebih mempertegas jarak, dibandingkan berinteraksi. Saya pernah melakukan riset (penelitian) di Manado tahun 2008 dan mendapatkan  data  kerabat beda agama itu inheren (berhubungan erat). Dari 10 orang Manado, ada 4 sampai 8 orang itu punya kerabat beda agama,” ujarnya.

 
Diskusi akhir tahun keragaman: Refleksi dan proyeksi. (foto: istimewa)>
“Kemudian terjadi perubahan perilaku sosial yang terjadi 10 tahun belakangan ini, terutama saat gerakan islamisasi mulai menguat di Indonesia. Munculnya generasi baru islam Manado, yang mempunyai kerabat Kristen, yang mulai tidak mau makan di rumah bibinya atau tantenya, meskipun hadir di pernikahan. Kalau dahulu tetap makan, karena hubungan akrab sesama kerabat. Saat ini mulai muncul masyarakat yang hadir di pernikahan atau di acara, yang enggan untuk makan. Melihat hal itu, berarti sedang terjadi perubahan sosial,” tuturnya.
Ke depannya bukan saja enggan makan, kata Saprillah, tetapi juga enggan berkunjung atau menghadiri pernikahan atau pesta kekerabatan. Berarti Manado sedang terjadi perubahan yang sangat radikal. Ketika melihat riset KUB  (Kerukunan umat beragama) Kementerian Agama bahwa Manado itu tidak pernah menempati urutan pertama dalam kerukunan umat beragama, selalu berada dalam posisi 3 atau 4. Tidak pernah berada di posisi 1. Daerah NTB dan NTT biasa nomor 1, Papua Barat bisa nomor 1. Manado riset 2018 hingga 2023 tidak pernah mendapatkan urutan teratas, berarti ada problem serius di Sulut yang perlu dihadapi secara bersama-sama.

“Soal relasi yang saat ini dipandang sangat harmonis ternyata basisnya mulai rapuh (mudah tersinggung) di beberapa tempat, kemudian meledaklah di Kota Bitung sebagai pembenaran tentang merapuhnya relasi basis yang dahulu diagungkan dengan berbagai jargon, misalnya torang samua basudara dan sebagainya. Kemudian apa yang harus dilakukan, yang pertama harus menguatkan kembali modalitas sosial kita. Manado ini kan daerah yang di mana kecepatan untuk healing ( proses penyembuhan) dari persoalan sangat cepat, berkaca dengan kejadian di Kota Bitung. Jika, tidak punya kecepatan untuk menyelesaikannya ini akan menjadi kasus nasional,”ucapnya.
Saprillah menambahkan, ketika melakukan pelatihan moderinasasi beragama di beberapa tempat di Indonesia, kejadian itu selalu menjadi contoh. “Saya bisa membayangkan jika kasus ini tidak cepat diselesaikan dengan cepat, paling tidak di area permukaannya itu bisa memantik gejala-gejala yang sama di tempat lainnya  di Indonesia. Maka dari itu, kita patut syukuri karena Manado memiliki kemampuan untuk resolusi  (mengatasi) konflik cukup besar,” terangnya.

“Munculnya BKSAUA (Badan Kerjasama Antar Umat Beragama)   itu juga sebagai prototyping (proses yang ditujukan) FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) di Indonesia, yang juga lahir dari Manado sebagai respon dari konflik yang terjadi di Sulut tahun 60-an, yang melibatkan orang Gorontalo dengan kelompok Cina, jika saya tidak salah yeah. Nah, artinya modalitas yang kuat di Manado perlu ditafsirkan lagi, sesuai dengan konteks kekinian dan melibatkan media sosial salah satu letak persoalannya. Sejauh ini kita meletakan nilai lokal dengan mengabaikan media sosial, sebagai salah satu ruang. Padahal pandangan  ‘torang samua basudara’  sudah tidak sesuai dengan situasi yang terjadi di media sosial, yang memperkeruh suasana.”
Lanjut Saprillah, mungkin ada anak-anak Manado yang mempertanyakan jargon ‘torang samua basudara’, kemudian melihat fenomena global yang tidak berbicara tentang hal tersebut (torang samua basudara). Di sini, terjadi disparitas (perbedaan atau jarak) tentang apa yang mereka pahami sebagai basis nilai, tapi juga akan menjadi praktek global, yang mereka lihat dari media sosial. Nah, media sosial ini akan mengakselerasi sesuatu tentang apa yang terjadi di Batam misalnya. Apalagi soal lain yang melibatkan agama kristen, pastinya akan terasa di Kota Manado karena begitu cepatnya media sosial mengakselerasi informasi.
“Kita menyebut nilai lokal itu tidak pernah memperhitungkan kecepatan media sosial, sebagai salah satu basis tantangannya. Kemudian, kita harus bekerja bersama-sama mengartikulasikan kembali atau menafsirkan kembali apa yang kita sebut nilai lokal sebagai pondasi ikatan bersama antar umat beragama, untuk disesuaikan dengan perubahan sosial termasuk era digital saat ini. Kita perlu bersama-sama bergerak di area ini. Digital ini harus kita kuasai,” kata Saprillah lagi.

Menurutnya, anak-anak muda muslim dan kristen di Manado mengasup (mengonsumsi)  berita-berita di media sosial, yang kemudian mereka jadikan salah satu pandangan baru, tanpa menggantikan pandangan lama, tapi mereka mencoba mengurai (menceraikan) pandangan lama itu, sehingga pandangan lama sudah tidak semakin kuat lagi.
“Hal Ini menjadi kegelisahan kita bersama, menjadi pekerjaan bersama, untuk bagaimana kita memformulasikan atau menafsirkan ulang apa yang kita sebut dengan nilai lokal sesuai dengan situasi hari ini,” pungkasnya.
Diketahui, diskusi  refleksi keberagaman di akhir tahun  dipandu langsung oleh Pdt Ruth Ketsia dengan menghadirkan beberapa pembicara lainnya,  seperti  Yoseph Ikanubun selaku Koordinator GCDS dan AJI Manado, kemudian ada Denni Pinontoan Direktur Pukkat, Nurhasanah dari Swara Parangpuan Sulut.
Berikutnya ada perwakilan dari Ahmadiyah, Hafiz Mutu, Rohit Mahatir Manese dari IMM, Marselin dari Aktivis Perempuan, Satryano Pangkey selaku Direktur LBH Manado, dan Rahman Mantu dari Gusdurian Manado. (*)

https://barta1.com/v2/2024/01/01/int...roblem-serius/
0
441
32
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan