Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Novena.LiziAvatar border
TS
Novena.Lizi
Sejarah keluarga Geert Wilders, Dideportasi Hindia Belanda, didiskriminasi Belanda
Sejarah keluarga Geert Wilders, politisi anti-Islam keturunan Indonesia - Dideportasi dari Hindia Belanda, didiskriminasi di Belanda


Geert Wilders, politisi sayap kanan Belanda dan pemimpin Partai untuk Kebebasan (PVV).

Gaya politik anti-imigran dan anti-Islam yang ditampilkan Geert Wilders tidak lepas dari sejarah masa lalu keluarganya yang diusir dari Hindia Belanda, statusnya sebagai orang Indo yang didiskriminasi dan situasi politik global condong 'ke kanan’ yang menyebabkan dia menang pemilu Belanda.

Antropolog politik dari Belanda yang pernah mengajar di Universitas Twente, Prof. dr. Nico G. Schulte Nordholt, mengatakan sebagian kelompok Indo yang memiliki campuran darah Indonesia dan Belanda, seperti Wilders, memiliki haluan politik ekstrem kanan, berideologi fasisme dan ultranasionalisme.

“Mereka ingin menunjukkan diri seolah-orang seperti orang putih, dan dari sudut itu tidak heran Wilders menganut fasis kanan ekstrem,“ kata Nico kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, Jumat (24/11).

Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada Satrio Dwicahyo mengatakan sikap ekstrem kanan sekelompok orang Indo itu tidak lepas dari pengalaman pahit mereka yang “diusir dari Indonesia, dan ditolak oleh masyarakat Belanda“.

Dalam tulisan antropolog dari Belanda Lizzy van Leeuwen disebutkan bahwa keluarga Wilders memiliki darah campuran Indonesia dan Belanda.

Kakeknya bernama Johan Ording yang lahir di Utrecht, Belanda, menghabiskan belasan tahun bekerja di Hindia Belanda. Di sana, Johan bertemu dengan istrinya, Johanna atau Annie Meijer, keturunan Indo yang lahir dan besar di Hindia Belanda.

Ording bersama istri dan ketujuh anaknya lalu dideportasi dari Hindia Belanda karena diduga melakukan penipuan dan korupsi.

Keluarga ini sempat disebut mengemis hingga terancam diusir dari kontrakan saat tinggal di sebuah desa kecil di Belanda.

Di balik perjalanan hidup keluarganya itu, Wilders dengan partainya bernama Partai Kebebasan, atau Partij voor de Vrijheid (PVV) memenangkan sedikitnya 37 kursi dari total 150 kursi parlemen di negara tersebut. Perolehan itu, sejauh ini, menjadikan PPV sebagai partai terbesar dalam parlemen Belanda.

Partai ini unggul dari rival terdekatnya blok sayap kiri, dan partai konservatif yang telah berkuasa selama belasan tahun pimpinan Perdana Menteri Mark Rutte yang hanya meraih 24 kursi.

“PVV tidak bisa lagi diabaikan,” kata Wilders. “Kami akan memerintah."

Kemenangan Wilders telah mengguncang politik Belanda sekaligus mengejutkan seluruh Eropa, termasuk komunitas Muslim di Belanda.

'Diusir dari Indonesia, ditolak Belanda’

Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada Satrio Dwicahyo mengatakan Wilders adalah salah satu politikus Belanda yang memiliki ikatan sejarah dengan Hindia Belanda, sebutan bagi Indonesia di masa penjajahan Belanda.

Keluarga Wilders, terutama dari garis neneknya, menghabiskan sebagian hidupnya di Hindia Belanda hingga akhirnya mereka tidak pernah melihat Belanda sebagai tanah airnya, kata Satrio.

Cara hidup yang mereka anut pun berbeda dengan warga di Belanda, dengan menerapkan Indisch, yaitu kebudayaan orang Eropa tropis.

Wilders pun dicap sebagai orang Indo, yaitu sebutan bagi mereka yang memiliki latar belakang percampuran darah antara orang Indonesia dengan orang Eropa saat tinggal di Hindia Belanda.

Keluarga Wilders telah kembali ke negaranya di tahun 1930-an karena dideportasi atas tuduhan penipuan.

Setelah merdeka dari pemerintah kolonial Belanda, Presiden Soekarno mengusir orang Indo saat persaingan memperebutkan Irian Barat memuncak pada 1950-an.

Kelompok Indo yang berada di Indonesia pun melakukan eksodus secara besar-besaran ke Belanda.

Namun, sesampainya di sana, mereka mengalami penolakan dari masyarakat Belanda totok - istilah yang dipakai untuk menunjuk orang Belanda yang lahir di luar Hindia Belanda.


Geert Wilders, politisi sayap kanan Belanda dan pemimpin Partai untuk Kebebasan (PVV).

“Ketika sampai di Belanda, orang Indo tidak diterima oleh orang Belanda totok. Jadi mereka selalu ada di tengah, tidak diakui dan diusir dari Indonesia dan ditolak di Belanda,” kata Satrio.

Mahasiswa S-3 studi sejarah global dan kolonial di Universitas Leiden, Belanda itu menambahkan pengalaman hidup yang dialami keluarga dan Wilders kecil ini menciptakan rasa trauma yang membentuk gaya politiknya.

“Sejarah ini yang memberi dorongan bagi orang-orang Indo, seperti Wilders, untuk berpolitik secara ekstrem, untuk mencari pengakuan dari orang-orang Belanda,” ujarnya.

“Dia berusaha menjadi lebih Belanda daripada orang Belanda. Itu salah satu cara untuk bertahan bagi orang Indo,” katanya.

Senada, antropolog politik Prof. Nico G. Schulte Nordholt mengatakan bahwa kakek, nenek dan ibu Wilders adalah orang Indo awal yang kembali ke Belanda dan merasakan bentuk diskriminasi.

Wilders yang lahir di Belanda dengan darah Indo, kata Nico, masih mengalami masa-masa diskriminasi saat tumbuh dewasa di tahun 1970-an.

Ibu Wilders lahir di Sukabumi

Ketika ditanya mengenai latar belakangnya, Wilders pernah mengatakan bahwa ayah dari ibunya adalah seorang mayor (tentara) KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda).

Sedangkan, ibunya adalah anak dari orang tua berkebangsaan Belanda.

Walau demikian, kata Wilders, dia mempunyai dua keponakan dan paman yang berasal dari Indonesia.

Selain itu Wilders mengaku bahwa ibunya tinggal di Hindia Belanda selama tiga bulan, lalu pergi ke Prancis, ketika ayah dari ibunya harus kembali ke Belanda.


Geert Wilders, politisi sayap kanan Belanda dan pemimpin Partai untuk Kebebasan (PVV).

"Semua putri kakek saya dan keluarga pasangan mereka juga kembali, jadi, ya, ada pengaruh Indisch yang nyata dalam keluarga saya. Kadang-kadangan kami mengunjungi kakak tertua ibu saya yang sudah lama tinggal di Hindia Belanda pada akhir pekan dan kami menggoreng kerupuk," kata Wilders, seperti dikutip dari buku biografinya, Veel gekker kan het niet worden, yang diterbitkan 2008 silam.

Namun pernyataan itu berbeda dengan temuan Lizzy van Leeuwen, antropolog budaya dari Belanda, yang merujuk pada tumpukan dokumen yang ia temukan dalam Arsip Nasional di Belanda.

Lizzy menyebut bahwa kakek Wilders bernama Johan Ording sempat menjabat sebagai wakil inspektur pengawasan keuangan di Jawa Timur.

Ording yang bekerja selama 17 tahun sebagai pegawai kolonial memiliki istri bernama Johanna (Annie Meijer), berasal dari keluarga Indo yang lahir dan besar di Hindia Belanda. Mereka menikah di Batavia.

Ibu Wilders adalah anak ketujuh dari keluarga Ording yang lahir di Sukabumi, Jawa Barat. Kemungkinan di daerah itu lah tempat tinggal keluarga orang tua Johanna.

Mengemis hingga terancam diusir dari kontrakan

Kemewahan hidup yang dirasakan keluarga Ording selama di Hindia Belanda berubah drastis saat Ording diberhentikan dari pekerjaannya. Dia dinyatakan bangkrut, dituduh melakukan penipuan, korupsi dan diminta untuk segera pensiun.

Ording, yang merupakan wakil inspektur keuangan publik di Jawa Timur, dipecat setelah diketahui terlibat dalam penipuan dan korupsi yang meluas di lembaga tersebut.

Namun setahun sebelum pemecatannya, ia baru dinyatakan pailit untuk ketiga kalinya dan terlebih dahulu dipulangkan ke Eropa dalam rangka cuti bersama istri dan tujuh anaknya.

Pasangan ini pertama kali menetap di Nice, di Prancis Selatan, pada 1933.

Keluarga Ording pun tidak bisa kembali ke kehidupan mewah mereka di Hindia Belanda. Kemudian, mereka pindah ke desa kecil bernama Grubbenvorst, dekat Venlo, di Belanda selatan.

Keluarga ini hidup dalam kemiskinan, bahkan terpaksa mengemis dan terancam diusir dari rumah kontrakan yang mereka huni.

Walau Ording dapat kembali membangun kariernya menjadi pegawai penjara militer di Belanda, pengalaman pahit ini disebut telah meninggalkan beban dan trauma pada keturunannya, termasuk Wilders yang lahir di Venlo, Belanda.

Perpindahan paksa dari Hindia Belanda, kekerasaan zaman pendudukan Jepang, dan kehidupan menjadi anak Indo yang terdiskriminasi di Belanda memberikan trauma yang membekas bagi generasi kedua, yaitu Wilders.

Perjalanan politik Wilders muda dari liberal hingga ekstrem kanan

Antropolog politik Prof. dr. Nico G. Schulte Nordholt mengatakan orang Indo di masa Hindia Belanda, sebelum Perang Dunia Kedua, banyak yang mendukung partai Gerakan Nasional – Sosialis atau Nationaal-Socialistische Beweging (NSB) yang berhaluan kanan jauh, berideologi fasisme, dan ultranasionalisme.

“Mereka ingin menunjukkan diri seolah-orang seperti orang putih, dan dari sudut itu tidak heran Wilders menganut fasis kanan ekstrem,“ kata Nico.

Hal ini memengaruhi perjalanan politik Wilders, kata Nico, seperti menghapus latar belakangnya sebagai orang Indo, salah satunya dengan mengecat rambutnya dengan warna putih.

Antropolog Lizzy van Leeuwen menjelaskan, awal langkah politik Wilders dipengaruhi oleh pertemuan ayahnya, Ording, dengan Nico Bolkestein yang juga memiliki istri Indo.

Bolkestein memilik anak bernama Frits yang menjadi politisi terkenal dan membimbing Wilders untuk terjun ke politik nasional, yaitu di bawah payung partai konservatif liberal bernama Volkspartij voor Vrijheid en Democratie (VVD).

Prof Nico melanjutkan, dalam perjalanan politiknya, Wilders muda aktif berpolitik di partai liberal itu.


Geert Wilders, politisi sayap kanan Belanda dan pemimpin Partai untuk Kebebasan (PVV).

Namun arah politik Wilders berganti haluan pada 2004. Ketika menjabat sebagai anggota parlemen, dia menolak kemungkinan Turki menjadi anggota Uni Eropa.

Wilders lalu keluar dari VVD dan mendirikan partainya sendiri bernama Partai Kebebasan, atau Partij voor de Vrijheid (PVV).

Sejak itu, dia mengambil sikap politik kanan ekstrem secara terbuka dengan menunjukkan kebencian terhadap imigran dan Islam.

Pada 2008, Wilders bahkan membuat film pendek berjudul Fitna yang berisi ujaran kebenciaan terhadap Islam.

Sementara dalam peta perpolitikan di Belanda, kata Nico, Wilders dan partainya beberapa kali kerap disingkirkan dengan tidak diajak untuk berkoalisi.

Hingga akhirnya pada Pemilu 2024, Wilders mendapatkan panggung politiknya dengan memenangkan pemilu Belanda.

Bagaimana sikap Wilders melihat Indonesia?

Walaupun memiliki darah campuran Indonesia, sikap Wilders seringkali memojokkan Indonesia.

Wilders dengan terbuka membela Raymond Westerling, komandan pasukan Belanda, yang memimpin pembunuhan terhadap ribuan orang saat operasi kontra teror di Sulawesi Selatan pada tahun 1946.

Wilders membela Westerling dengan mengatakan “ [tindakan itu] harus dilihat dalam konteks pada zamannya”.

Kemudian tahun 2022, saat Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyampaikan permintaan maaf atas kekerasan ekstrem dan sistematis saat perang kemerdekaan Indonesia, Wilders mengkritik langkah itu.

Wilders melihat permintaan maaf itu tidak pantas karena Belanda juga banyak dirugikan, sebaliknya, justru Indonesia yang harus meminta maaf.

"Di mana permintaan maaf dari pihak Indonesia atas kekerasan mereka terhadap Belanda dan Bersiap? Menghukum tentara Belanda adalah memalsukan sejarah. Mereka adalah pahlawan. Kita harus berdiri di belakang veteran kita. Permintaan maaf tidak pantas," kata Wilders di akun X pribadinya @geertwilderspvv.

Kampanye politik populis Wilder – ‘bom waktu dari kesulitan ekonomi hingga kepungan imigran’

Terlepas dari gaya politiknya yang ekstrem dan sejarah masa lalu, Prof Nico melihat kemenangan Wilders pada pemilu 2024 tidak lepas dari rangkaian permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat Belanda saat ini.

Nico melihat, warga Belanda kini harus menghadapi biaya hidup yang semakin tinggi, harga rumah yang semakin mahal, layanan kesehatan memburuk, dan beragam masalah lainnya.

Di tengah kondisi hidup masyarakat Belanda yang semakin berat, kata Nico, mereka juga harus menghadapi kepungan ratusan ribu imigran yang masuk ke Belanda dan membawa perbedaan budaya, serta perkembangan agama Islam.

Selain itu, ujarnya, dari sisi regional, sentimen negatif atas Uni Eropa yang diperintah dari Brussels dan membatasi kebebasan Belanda untuk menentukan hidupnya sendiri menjadi puncak kekecewaan masyarakat sehingga mencari pilihan alternatif politik yang menjanjikan perubahan.

“Wilders memainkan dengan sangat pintar perasaan-perasaan mendalam sebagian besar masyarakat Belanda terhadap sulitnya hidup dengan uang terbatas dan situasi politik regional,“ Kata Nico.


Seorang pengunjuk rasa memegang plakat saat demonstrasi menentang kemenangan Geert Wilders dan partai PVV-nya dalam pemilihan umum Belanda kemarin, pada 23 November 2023 di Utrecht, Belanda.

Nico menambahkan, kebangkitan politik sayap kanan yang ekstrem dan radikal tidak hanya terjadi di Belanda. Aktivitas politik kanan juga semakin menguat di Jerman, lalu tokoh Marine Le Pen di Prancis, Giorgia Meloni di Italia, Victor Orban di Hungaria.

Senada, Satrio dari UGM melihat bahwa kampanye populis yang digemakan oleh Wilders, seperti menurunkan pajak, menutup masjid dan sekolah Islam, menolak imigran dan mewacanakan Nexit (gagasan agar Belanda keluar dari Uni Eropa), membuatnya populer di masyarakat.

Satrio juga mengatakan kegagalan partai VVD yang telah berkuasa selama belasan tahun terakhir memberikan peluang bagi Wilders untuk mengambil peran.

“Kabinet Mark Rutte terjungkal oleh kasus penyelewengan subsidi perawatan anak yang memukul keras kelompok politik tengah dan kiri di Belanda, belum lagi kasus-kasus salah penagihan pajak. Masalah-masalah ini sudah dipupuk lama dan menjadi bom waktu yang meledak di pemilu 2024 ini,“ kata Satrio.

“Kekecewaan masyarakat Belanda terakumulasi menjadi dukungan kepada partai kanan. Sebenarnya orang Belanda tidak rasis secara sosial, namun berbeda dalam politik ketika dihadapkan dengan masalah realitas sehari-hari yang mereka hadapi,“ ujarnya kemudian.

Apa makna kemenangan Wilders?

Wilders terus mengkampanyekan isu-isu anti-Islam dan anti-imigran dalam peta perpolitikan di Belanda. Gaya politik ini terbukti sukses dengan berpotensi mendapatkan kursi parlemen terbesar di Belanda pada Pemilu 2024.

Selama kampanye Pemilu Belanda 2024, Prof. Nico melihat bahwa Wilders menggunakan bahasa-bahasa yang moderat dan halus.

Kenyatannya, dalam program partai yang tertulis, ujarnya, masih sangat fasis, anti-Islam, seperti ingin membongkar masjid, melarang Al-Quran, dan menutup pintu bagi siapapun yang berasal dari Timur Tengah dan Islam.

”Hasil pemilu ini menakutkan banyak orang dan politik di Belanda dalam keadaan shock,” ujar Nico.

Namun, pengajar sastra Belanda di Universitas Indonesia, Fajar Muhamad Nugraha melihat kemenangan Wilders tidak menunjukkan bahwa masyarakat Belanda memiliki sikap anti-Islam, melainkan lebih pada ekspresi kekecewaan terhadap para imigran.


Geert Wilders, politisi sayap kanan Belanda dan pemimpin Partai untuk Kebebasan (PVV).

Fajar mengatakan, mengutip dari Badan Statistik Belanda (CBS), sekitar 57% masyarakat Belanda menyatakan dirinya tak beragama, lalu diikuti 18,2% Katolik Roma, 13,2% Protestan, dan 5,6% Islam.

“Jadi ini bukan tentang anti-Islam. Tapi senggolan imigran-imigran yang mayoritas Islam [karena konflik di negara-negara Islam] dengan masyarakat lokal,” katanya.

Sebagai contoh, sepanjang tahun 2022 terdapat sekitar 400.000 imigran dari beragam negara yang datang ke Belanda.

“Analoginya, saya terima orang datang ke rumah saya dengan senang hati, tapi ketika pada satu titik orang itu mengatur di rumah saya, saya kan kesal,” ujarnya.

“Terjadi gesekan-gesekan di akar rumput hingga akhirnya berantakan kebiasaan hidup di masyarakat, lalu langsung pakai framing awal [agama],” katanya.

Senggolan itu kata Fajar disebabkan karena terjadinya kegagalan proses asimilasi dan akulturasi budaya antara masyarakat Belanda dengan para imigran.

“Program pemerintah harus direvisi karena mereka punya program imigran, entah yang bekerja, sekolah, pencari suaka, itu harus direvisi sebelum [mereka] dirilis ke masyarakat,” katanya.

Fajar menjelaskan bahwa Belanda telah menerima pendatang sejak Kesultanan Utsmaniyah abad 16-17.

Bahkan, usai Perang Dunia Kedua, Belanda juga mengundang para pendatang sebagai pekerja tamu, yang mayoritas dari Argentina, Italia, Turki dan Maroko.

“Belanda mengundang mereka datang karena negaranya porak poranda akibat perang, dan butuh manpower untuk membangun infrastruktur lagi.”

“Ini cikal bakal pendatang Muslim di Belanda, dan ini sudah lama dan tidak ada masalah. Bahkan mereka kini memiliki hak pilih. Artinya ini bukan tentang anti-Islam, tapi karena masalah imigran yang tidak diselesaikan pemerintah,” ujarnya.

Kemenangan Wilders meraih kursi terbanyak di parlemen Belanda belum menjadi hasil akhir.

Dia kini harus merangkul partai-partai lain untuk membangun koalisi yang menyaratkan lebih dari 50% kursi, guna membentuk kabinet.

“Dia harus mencari partai lain dan belum tentu dia dapat separuh plus satu kursi di parlemen karena partai lain terlihat enggan ikut kabinet dengan Wilders dalam koalisi. Itu yang menjadi tantangan selanjutnya,“ kata Prof. Nico.

https://www.bbc.com/indonesia/articl...s/cv2zrvng191o
Diubah oleh Novena.Lizi 25-11-2023 13:38
muhamad.hanif.2
muhamad.hanif.2 memberi reputasi
1
431
26
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan