Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kiyazmAvatar border
TS
kiyazm
Cerbung: Kepentok Cinta sang Gus

Kepentok Cinta Sang Gus

Bab 1

"Selalu ada permulaan di setiap perjalanan. Pertemuan yang manis belum tentu akan berakhir manis pula. Sedang perkenalan terburuk sekalipun tak akan menjadi penentu akhir yang buruk juga. Semua kemungkinan itu ada.


~JustWriter~

❤❤❤

“Aku enggak mau di sini, Bu,” ujarku seraya menarik-narik gamis ungu muda wanita di depanku.

Ibu menaruh tas besar yang sedari tadi dijinjingnya kemudian berjongkok, menyejajarkan tingginya denganku. “Ini demi kebaikanmu, Sayang,” jawabnya lembut sembari tersenyum hangat.

“Tapi aku enggak mau, Bu. Aku mau pulang!” ucapku bersikeras dengan air mata yang perlahan turun membasahi pipi.

“Sayang, percaya sama Ibu. Apa Ibu pernah bohong?” tanyanya yang kujawab dengan gelengan kepala.

“Nah, kamu harus mau berada di sini. Kamu mau memberikan mahkota buat Ibu dan Bapak di surga, 'kan?” Ibu menatapku lekat sembari mengusap air mataku.

Dengan lunglai aku mengangguk. Teringat akan ucapan Bu Halimah, guruku mengaji beberapa waktu lalu ketika menghadiri pengajian akbar di kampung sebelah.

“Terima kasih, Sayang.” Ibu mencium keningku kemudian dengan tangan kirinya meraih tas besar itu. Aku menatap tangan mungilku yang berada dalam lingkupan tangan besar Ibu juga kedua kaki kami yang berjalan beriringan.

Aku menyusuri pelataran yang luas. Di kanan-kirinya terdapat gedung-gedung berjejeran yang didominasi warna hijau. Orang-orang berbaju putih dengan bawahan sarung batik terlihat berlalu-lalang dengan buku di tangannya. Dari wajah dan postur tubuhnya, kutebak usia mereka beberapa tahun di atasku. Aku merapatkan tubuh kepada ibu ketika beberapa dari mereka menatapku penasaran.

“Assalamu’alaikum, Ustadzah. Saya Mirna yang kemarin menelepon,” salam Ibu ketika sampai di ruangan yang kira-kira seluas kamarku. Kutatap kagum pada kaligrafi yang terpasang indah di dinding juga kitab-kitab yang mengisi penuh lemari kaca di seberangku.

“Wa’alaikumussalam, Bu Mirna. Silakan duduk terlebih dahulu,” jawab wanita berkerudung cokelat susu itu lembut.

Aku berganti menatap wanita yang berbicara panjang lebar dengan Ibu. Wanita itu sesekali tersenyum hangat, memperlihatkan gigi gingsul serta lesung pipinya yang membuatku makin betah melihatnya.

“Sayang, perkenalkan ini Ustadzah Nur. Beliau yang akan membimbingmu di sini,” ujar Ibu seraya menatapku.

“Hai, selamat datang, Zahwa. Semoga betah di sini. Jangan sungkan sama Ibu, ya,” sapa wanita yang disebut oleh Ibu, 'Ustadzah' itu. Wanita itu berjongkok kemudian tersenyum dan menatapku hangat.

Aku makin terpesona kepada wanita di depanku itu. Bukan hanya berlesung pipi dan bergigi gingsul, tetapi bulu matanya lentik dengan iris mata cokelat terang.

“Bu, saya titip anak saya, ya. Mohon dimaklumi jika belum banyak mengerti tentang agama. Maklum, saya dan suami hanya orang awam,” ujar Ibu.

Ustadzah Nur tersenyum kemudian mengusap pipiku. “Enggak apa-apa, Bu. Saya maklum kok. Pesantren, 'kan, memang tempatnya menuntut ilmu, Bu. Jadi, salah ataupun belum mengerti itu hal wajar.”

“Sayang, ibu pulang dulu, ya. Bulan depan ibu sama bapak akan ke sini lagi,” pamit Ibu yang kubalas dengan gelengan kepala.

“Kenapa harus aku, Bu?” tanyaku.

“Kenapa enggak Mas Heru atau Mbak Nadia saja, Bu?” Isak tangis yang sedari tadi kutahan meluncur begitu saja.

“Sayang, dengerin Ibu, ya. Ibu sayang banget sama kamu dan ingin yang terbaik buat kamu. Ini demi kebaikanmu,” jawabnya yang makin membuatku terisak. Aku memeluk erat kaki wanita di sampingku itu, berharap ia tidak meninggalkanku.

“Sayang, ibu harus pergi. Kasihan nenekmu yang menunggu ibu di rumah. Percaya sama Ibu, kamu akan betah di sini.” Ibu kembali meyakinkanku yang lagi-lagi kujawab dengan gelengan kepala.

Aku makin memeluk erat kedua kaki ibu ketika wanita itu mulai melepaskannya. Aku menangis kencang ketika teringat kedua kakakku yang bebas bermain di rumah sementara aku akan terkurung di sini.

“Ibu jahat! Ibu enggak sayang sama aku!”

Aku berlari kencang, mengabaikan teriakan kedua wanita di belakangku. Aku tak peduli orang-orang yang bergerombolan menatapku aneh.

“Kata ibuku, banyak pondokan yang di sini. Kok kamu jauh-jauh ke Kediri kenapa, Wa? Jangan-jangan ibumu mau membuangmu di sana.” Perkataan Aliya, teman sebangkuku terngiang-ngiang. Benarkah Ibu berniat membuangku?

Aku menggeleng kuat. Air mataku makin tak terbendung. Kubekap mulut agar tak terdengar isakannya. Aku menoleh ke belakang dan tak mendapati Ibu mengejarku. Ah, apa mungkin beliau tak sayang kepadaku? Selalu saja Mas Heru dan Mbak Nadia yang diprioritaskan. Sementara aku lagi-lagi yang harus mengalah demi mewujudkan impian Ibu.

Tak terasa jalan yang semula berpaving kini berganti menjadi tanah biasa yang dipenuhi kerikil. Tak peduli akan terjalnya, aku tetap melangkah. Tumpukan batu, ilalang serta rumput yang lumayan tinggi menyapaku.

Sepi. Hanya ada aku di sini. Isakanku terdengar kencang ketika aku membuka bekapan di mulutku. Kuusap kasar air mata kemudian melanjutkan langkah ke belakang tumpukan batu itu.

Dengan hati-hati, aku duduk di batu paling dasar kemudian menyandarkan kepala di antara kedua lekukan lututku dan melanjutkan tangisanku yang sempat terhenti.

“Ibu enggak saya sama aku! Kenapa harus aku?” racauku.

“Karena kamu adalah orang yang terpilih.”

Mendengar suara bariton asing yang terasa dekat, aku pun mendongak. Menatap tubuh tegap yang kini duduk di sampingku.

“Tak usah bersedih. Kamu adalah orang istimewa dan Allah telah memilihmu,” ujar lelaki itu lagi dengan senyuman manis serta tatapan hangat yang membuatku terpaku. Lelehan air mataku tiba-tiba berhenti. Hanya isakan kecil yang  tersisa.

“Percayalah, apa yang menurutmu baik, belum tentu menurut Allah begitu. Pun sebaliknya yang menurutmu buruk, bisa saja menurut Allah adalah yang terbaik.”

Aku mendengarkan saksama perkataan lelaki berkaus hitam dengan sarung kotak-kotak itu. Rambutnya yang sedikit panjang melambai mengikuti arah angin.

“T-tapi mengapa harus di sini?” tanyaku terbata.

“Allah sudah menakdirkan kamu berada di sini. Bisa saja ada rencana indah yang Allah persiapkan untukmu,” jawab kata lelaki itu yang kutebak seusia ustadzah tadi.

Aku tercenung. Pikiranku memutar setiap perkataan lelaki di depanku. Dengan lunglai, aku pun mengangguk, membenarkan ucapannya. Guru agamaku di sekolah pernah berbicara seperti itu.

“Lalu apa yang harus kulakukan?” tanyaku takut-takut. Aku menunduk dan memainkan jemari gelisah.

Lelaki itu diam sejenak kemudian menghela napas panjang. “Kamu harus yakin! Percaya sama saya, kamu akan betah di sini.”

Aku tersentak. Kutatap kedua kaki yang terbalut sepatu kesayanganku kemudian berganti memindai wajah tegas di sampingku, meneliti kebenaran dan kesungguhannya ketika berucap tadi.

Apa ini memang jalanku, ya Allah? Menghabiskan masa anak-anak serta remajaku di sini. Bisakah aku?

Mataku kembali berkaca-kaca ketika senyuman wanita yang melahirkanku serta lelaki paruh baya yang begitu kuhormati membayang. Bayangan akan mahkota yang kujanjikan menari-nari di pikiran.

Aku menggeleng, mencoba menghilangkan pikiran buruk yang membayang. Kutarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan kemudian mengangguk dan tersenyum hangat menatap lelaki berkaus hitam itu.

“Suf, kamu dipanggil Bapak. Cepetan ke sini!” teriak seseorang yang tak kutahu siapa. Lelaki yang sedari tadi memberiku nasihat dengan terburu-buru beranjak. Tersenyum sejenak kemudian berlalu.

Meski tak sempat untuk bertanya, setidaknya aku mengetahui nama panggilannya.

“Suf. Nama panggilan yang indah. Semoga saja bisa sering bertemu,” ujarku kemudian tersenyum.


Lanjut gak nih?

 

 

 

 

 

 

 

bukhorigan
bukhorigan memberi reputasi
1
330
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan