agilrsapoetraAvatar border
TS
agilrsapoetra
POPOK WEWE (PART 2)


***Sigit tak tau pasti apa yg sedang Sari bicarakan, karena dialek nya menggunakan bahasa jawa kawi yang tak begitu Sigit mengerti. Yg jelas Suaranya seperti seseorang yg lemah/sekarat, terdengar dari suaranya yg terbata-bata. Sigit yg memang tergolong orang yg tak kenal takut, langsung bergegas menghampiri & membuka lemari itu. Namun terkunci & bersamaan dengan itu, suara itu pun hilang. Sigit menuntun Sari kembali ke tempat tidurnya dengan penuh tanya yg langsung ia tepis.

Satu keanehan lagi yg paling kerap terjadi adalah Sari yg selalu harus duduk di pekarangan belakang rumahnya saat sore hari menjelang magrib sambil tersenyum aneh seraya mengelus perutnya. Tapi lagi-lagi, ini tak juga mereka sadari. Sampai Akhirnya Pakde Turah datang berkunjung. Beliau yg baru saja masuk ke rumah itu langsung di sambut kemarahan oleh Sari. Ini jelas tak masuk akal karena mereka jarang bertemu.

Sigit yg agaknya malu dengan Pakde Turah tentu langsung memarahi istrinya. Namun Sang istri merasa tak bisa mengendalikan kemarahannya ketika melihat wajah Pakde Turah, yg jelas Sari juga tak mau melakukan itu.

Disini Pakde Turah langsung Paham, bahwa ini ada yg tidak beres.
Dengan langkahnya yang mulai renta, Pakde Turah merangkul Sigit dan mengajaknya berbicara 4 mata di ruang tamu. Dan Dengan terpaksa Pakde Turah menceritakan semua yang selama ini ditutupi. Yaitu tentang sejarah kehidupan mendiang ayahnya yang pernah bersekutu dengan “Wewe Gombel”.
Dan beliau juga menceritakan alasan kenapa masa kecil Sigit tidak dibesarkan dirumah ini.

“Kowe mbiyen arek di gowo lho ndul”.

(Kamu dulu mau di bawa lho nak). Ucap Pakde Turah.

Antara percaya & tidak percaya, ketika Sigit mendengar cerita itu. Yg Sigit tahu ayahnya adalah sosok yg sangat menyayanginya. Meski dulu waktu di Bantul, Sigit hanya bertemu Ayahnya seminggu atau sebulan sekali, tetapi Sigit merasakan betul kasih sayangnya.

“Bapak, mesti mbeto dolanan, nek kondur ting Bantul”.

(Ayah pasti bawa mainan, ketika pulang ke bantul). Ucap Sigit dengan matanya yang mulai agak berkaca-kaca.

“Pakde mung Samar, nek Anakkmu di incer”.

(Pakde cuman khawatir kalau anakmu di incar). Ucap Pakde Turah kepada Sigit waktu itu.

“Terus, Pripun niki Pakde, apike?”.

(Terus gimana ini Pakde baiknya). Jawab Sigit.

“Wes mengko tak urusane Pakde, mugo-mugo wae Pakde isih kuat”.

(Sudah, Nanti Pakde urusin, Semoga saja Pakde Masih kuat). Kata Pakde Turah.

Pakde Turah pun menyuruh Sigit untuk membuka lemari mendiang Ayahnya itu. Dan karena kuncinya tak juga di temukan, akhirnya Sigit membuka lemari itu secara paksa. Didampingi oleh Pakde Turah, Sigit mengambil kotak kayu yang di maksud, membawanya ke pekarangan belakang lalu membukanya.

“Wes, Gocek’ono gombal kui”.

(Sudah, Peganglah kain itu). Ucap Pakde Turah menyuruh Sigit.

Tercium aroma Minyak melati dari kain lusuh itu yang kini Sigit genggam dengan agak gemetar. Bersamaan dengan itu Pakde Turah pun mengatakan bahwa kini semua berada dibawah kendali Sigit.

“Kowe kui, “Wadal Wurung”, dadi Wewe Gombel kae mesti luwih nganut karo kowe”.

(Kamu itu, orang yang urung dijadikan tumbal, jadi Wewe Gombel itu pasti lebih nurut sama kamu). Ucap Pakde Turah kepada Sigit di Sore itu.

Sementara Sigit hanya terdiam kebingungan, ia tentu tak tau harus bagaimana. Pesan Pakde Turah hanya sebatas meminta Sigit untuk waspada dan jangan pernah takut bila suatu saat sosok wewe gombel itu muncul dihadapannya. Dan segera mengabari Pakde Turah bila terjadi apa-apa.

Sebut saja Mbah Pik, Dukun beranak yang rutin memeriksa kehamilan Sari, dari awal tampaknya tahu ada sesuatu yang mengancam, tapi mungkin karena beliau sungkan dan merasa ini sudah diluar ilmu dan kendalinya, Mbah Pik hanya meminta Sari untuk tak keluar rumah pada sore dan malam hari.

Sampai akhirnya Hari pun berlalu, menuju kelahiran anak Sigit dan Sari, tepatnya di bulan juli 1997. Waktu itu hampir tengah malam, Sari merasakan kesakitan yang luar biasa pada perutnya. Sigit yang panik buru-buru membangunkan Margono, Salah satu karyawan tokonya yang memang sudah disiapkan menginap di rumah Sigit untuk membantu kelahiran ini. Margono bergegas menuju rumah Mbah Pik yang memang jaraknya tak terlalu jauh dari desa tempat Sigit tinggal.

Sementara Sigit tengah menyiapkan air hangat di dapur, seraya bolak-balik ke kamar untuk memeriksa istrinya yang sudah tampak merintih kesakitan. Dan bersamaan dengan itu mulai terjadi suatu keanehan, yaitu terdengarnya suara ciak anak ayam yang seperti mengelilingi rumahnya. Dari Awal Sigit sudah menyadari suara itu. Namun kepanikannya saat ini tentu saja membuat Sigit tak memperdulikannya.

Air hangat sudah siap dan di bawa ke kamarnya. Sigit kini duduk di samping Sari seraya menggenggam tangannya. Ditemani suara ciak ayam yang mulai terdengar merangsek masuk kedalam rumah.

“Kuthuk’e sopo kae mas?”.

(Anak ayam siapa itu mas?). Tanya Sari sambil meringis kesakitan.

“Wes rapopo, sedelo meneh Mbah Pik teko”.

(Sudah, Gak apa-apa, sebentar lagi Mbah Pik Datang). Jawab Sigit yang sudah terlihat kalut.

Intuisinya seperti mengetahui ada sesuatu yang mengancam, dan segera ia mengambil Kain popok wewe yang ia simpan di laci samping ranjangnya. Sigit menggenggam kain lusuh itu seraya berdoa dengan penuh kekhawatiran. Dan tak selang beberapa lama kemudian Mbah Pik pun datang bersama Margono dan Ratna anaknya yang kebetulan adalah bidan di desa sebelah. Disini tampaknya Mbah Pik tahu, akan ada kesulitan yang akan terjadi nanti.

Sari Dibantu Mbah Pik dan Ratna saling berjibaku untuk kelahiran si jabang bayi. Dengan Sigit yang tentu masih berada di Samping Sari untuk menguatkan istrinya itu. Sementara Margono menunggu di depan kamar mulai bosan karena setelah 2 jam berlalu, Anak dari juragannya itu belum juga lahir. Untuk membunuh kebosanannya ia mulai menyalakan sebatang rokok dan berjalan menyusuri setiap ruangan di rumah majikannya itu. Sampai ketika ia berada di suatu ruangan ia melihat sosok yang sedang duduk di atas kursi goyang milik mendiang Pak Minto Di ruang tengah.

Margono terdiam menerawang di tengah suasana ruangan yang agak gelap itu, suara krenyitan kursi yang bergoyang itu seketika menyadarkannya untuk segera menjauh. Dengan gugup Margono berbalik badan dan kembali menunggu di luar kamar Sigit majikannya itu. Sambil memikirkan siapa yang tengah duduk di kursi goyang itu. “Mesti demit iki!!!”. Ucapnya pelan seiring bulu romanya yang kini berdiri. Namun seketika rasa itu teralihkan setelah beberapa saat kemudian ada suara bayi yang menangis.
Akhirnya setelah perjuangan selama beberapa jam, Bayi itu lahir dengan selamat, berjenis kelamin laki-laki, gemuk dan tampan.


Haru biru suasana di dalam kamar itu, tali pusar telah diputus dan di masukkan kedalam kendi yang sudah di siapkan oleh Sigit jauh hari lalu, kini bayi mungil itu sudah nampak tenang di pelukan Sari sang ibu.

“Allhamdulillah, jabang bayi, sehat, lengkap, selamet”. Ucap mbah Pik.

“Ndi Sapu Sodo, lombok karo bawange nak Sigit?”.

(Mana sapu lidi, cabe dan bawangnya, nak Sigit?). Ucap Mbah Pik kembali.

Segera Sigit langsung keluar mengambil apa yang diminta oleh Mbah Pik, karena memang hal itu juga sudah di siapkan oleh Sigit sebelum kelahiran anaknya itu.

“Mas Mar, tulung jupukke sapu sodo karo lombok sing wes tak dadekke siji ning plastik kae, ning rak dapur”.

(Mas Mar. Tolong ambilkan sapu lidi dan cabe yang sudah ku jadikan satu dalam plastik di rak dapur). Ucap Sigit saat keluar dari kamar yang menyuruh Margono untuk mengambil hal itu.

Bergegas Margono berjalan menuju dapur. Namun lagi-lagi langkahnya dibuat terhenti oleh penglihatannya akan sesuatu. Yaitu seseorang yang tengah berdiri di pinggir jendela ruangan dapur itu.


Ia yang belum sampai di ambang pintu memutuskan untuk berhenti sejenank dan meyakinkan apakah apa yang dilihatnya itu benar karena memang suasana yang minim penerangan. Berkali-kali Margono mengusap matanya, namun memang benar sosok itu masih saja ada di situ. Berdiri di dekat bungkusan yang harusnya ia ambil. Sementara di ruangan lain Sigit terdengar berkali-kali memanggilnya dan berkata apakah Margono sudah menemukan bungkusan itu.

“Ketemu ra Mas Mar?”.

(Ketemu nggak, Mas Mar?). Teriak Sigit.
“Nggih niki Mas!! Sampun ketemu!..”.

(Iya ini Mas, Sudah ketemu!!). Jawab Margono dengan agak gugup.

“Asss jidor!!!”. Umpat Margono pelan sambil berlari ke dapur dan mengambil bungkusan beserta sapu lidi yang berada di dekat sosok itu seraya memalingkan pandangannya dan kembali berlari keluar menghampiri Sigit.

“Niki Mas”.

(Ini Mas). Ucap Margono sambil memberikan Bungkusan itu dengan nafas yang sedikit terengah-engah.

“Kowe kenopo sih mas Mar?”.

(Kamu kenapa sih Mas Mar?). Tanya Sigit yang melihat gelagat aneh dari Margono.

“Ndak Papa kok mas”. Jawab Margono menutupinya.

Singkat cerita, Di dalam Kamar, Mbah Pik pun merangkai sapu lidi itu dengan tusukan-tusukan cabai merah, bawang merah dan bawang putih. Kemudian meletakkannya di dekat si jabang bayi. Tak lupa Mbah Pik juga berpesan kepada Sigit untuk segera menguburkan Ari-ari dari bayinya itu paling lambat besok malam.
Singkat cerita keesokan harinya Pakde Turah datang,

“Eh Pakde, monggo pinarak”.

(Eh Pakde, silahkan masuk). Ucap Sigit menyambut kedatangan Pakdenya itu. Dan mereka pun berbincang sewajarnya perihal kelahiran si jabang bayi.

“Wes Ke’i jeneng Git?”.

(Sudah dikasih nama Git?). Tanya Pakde Turah.

“Kulo tasih bingung Pakde, nopo pakde wonten usul?”.

(saya masih bingung Pakde, apa pakde ada usul?). Jawab Sigit.

Hingga tak selang beberapa lama Sari pun datang ke ruang tamu. Seraya menggendong bayinya. Terjadi diskusi kecil di antara Pakde Turah, Sigit dan Sari hingga akhirnya tercetuslah sebuah nama untuk bayi laki-laki itu, yaitu “Gugat djayusman”.
Pakde Turah sebagai pengganti orang tua Sigit yang berikrar waktu itu sesuai adat jawa.

“Tak wenehi jeneng, si jabang bayi lanang iki, “GUGAT DJAYUSMAN”. Mugo dadi bocah sing bekti, gangsar rejeki lan migunani gawe nusa lan bangsa”. Ucap Pakde Turah Sambil memegang kepala si jabang bayi yang tengah berada dalam pelukan Sari.

Kegiatan pun berlanjut ke penguburan Ari-ari si Gugat. Di temani oleh Margono dan Pakde Turah, Sigit menggali lubang di pekarangan belakang rumahnya dan mememdam Kendi kecil berisi bagian dari Tubuh Gugat saat masih dalam kandungan itu di dalam lubang, menutupinya dengan kurungan ayam dan mendampinginya dengan lentera kecil. Dan dari sinilah cerita demi cerita dimulai.

Sekira 10 hari usia kelahiran Gugat,
Siangnya Di hari itu tali pusar Gugat terlepas, atau orang jawa biasa menyebutnya dengan istilah “Puputan”. Dan setelah “Puput” itulah biasanya bayi baru boleh di jenguk. Orang-orang, tetangga dan kerabat mulai berdatangan menjenguk si kecil Gugat yang tampak lebih sering menangis. Entah apa penyebabnya. Tapi saat itu mungkin Sigit dan orang-orang masih mewajarkannya. Hingga malamnya, mungkin sekira hampir tengah malam tiba-tiba Gugat menangis keras. Sari yang terbangun tentu langsung memberikan Asinya untuk anaknya itu. Tapi entah mengapa Gugat seperti mengindari Asi dari sang ibu dan terus menangis, hingga bersamaan dengan itu. Terdengar suara ciak anak ayam dari balik jendela. Sari mendengar dengan jelas suara itu meski sedikit tersamarkan oleh suara tangisan Gugat. Sigit yang juga terbangun setelah itu, kini tampak saling pandang dengan istrinya. Dan betapa anehnya ketika kini suara ciak ayam itu berubah menjadi nyanyian. Dengan suara wanita tua yang serak dan parau namun bernada, jelas sekali dari balik jendela.

“Tak lelo…lelo…lelo ledung…
Cep menenga, aja pijer nangis
Anakku sing Bagus rupane
Yen nangis ndak ilang Baguse
Tak gadhang bisa urip mulya”..

Sigit dan Sari langsung mengeratkan posisinya mendekat ke Gugat ketika mendengar itu. Namun anehnya Gugat perlahan mulai berhenti menangis dan mau menerima Asi dari Sari sang ibu. Sementara suara nyanyian itu masih terdengar seperti berjalan masuk ke dalam rumah dan kemudian menghilang.
Gugat kini tampak sudah terlelap, sementara kini Sigit dan Sari hanya bisa terdiam, tak tau apa yang harus mereka bicarakan setelah kejadian aneh yang baru saja mereka alami itu. Dan bersamaan dengan itu Sari yang terus memandangi jendela, ia melihat temaram api yang sepertinya berasal dari pekarangan belakang rumahnya. Sigit yang kini menyadari itu langsung memeriksa dari balik jendela. Dan betapa terkejutnya ketika ia melihat Kurungan Ayam yang menutupi kuburan Ari-ari itu terbakar. Sepertinya ada sesuatu yang menjatuhkan lentera di sampingnya. Buru-buru Sigit keluar dan menghampiri, bermaksud untuk memadamkan api itu. Ia yang berjalan mendekat kini tampak berhenti. Karena di antara api yang membakar, tampak ada seseorang yang duduk berjongkok.


Sigit takut, tapi ia ingat pesan Pakde Turah, bahwa ia harus berani. Ia mulai berjalan mendekat.

“HEHHHHHH!!!!!! SOPO KOE!!!!”.

(HEHHHHHH!!!! SIAPA KAMU!!!!). Teriak Sigit kepada sosok itu, yang kini tampak menoleh ke arahnya.

Sosok itu terlihat seperti tengah memakan sesuatu. Sigit mengambil sebuah batu dan melemparkannya. Seraya berkata “LUNGO KOE!!!” (PERGI KAMU!!!). Ucap Sigit yang sebenarnya mulai merasa takut itu. Namun untungnya setelah itu sosok itu pun menghilang. Sigit yang kini sudah benar-benar merasa takut pun, memutuskan untuk Masuk ke rumahnya dan membangunkan Margono. Memintanya untuk menemaninya memeriksa kuburan Ari-ari anaknya itu.
Singkat waktu tibalah Sigit dan Margono memeriksanya. Dan betapa kagetnya ketika mereka berdua melihat. Kuburan ari-ari itu terlihat seperti sudah di bongkar, kendi itu sudah mencuat keluar dari tanah, ari-arinya menghilang dan hanya tersisa kain putihnya saja serta nyala api dari lentera yang pecah membuat separuh dari kurungan yang menutupnya menjadi terbakar.

Buru-buru Sigit dan Margono mematikan apinya dan merapikan sisanya. Sigit tampak bingung, panik dan marah melihat kejadian itu.

“ASU KOE YO!!!!!! RENE NEK WANI METU!!!!”.

(ANJING KAMU YA!!! SINI KALAU BERANI KELUAR). Teriak Sigit waktu itu yang langsung ditenangkan oleh Margono dan kembali lagi masuk ke dalam rumahnya.

“Ono opo sih mas?”.

(Ada apa sih mas?). Tanya Sari kepada Sigit.

Namun Sigit sepertinya masih enggan untuk bercerita dan langsung menyuruh istrinya untuk beristirahat.

Singkat waktu beberapa jam kemudian, sekira mungkin pukul 2 dini hari. Sari dan si kecil gugat tampak nyenyak dalam tidurnya. Tapi tidak bagi Sigit yang masih terlihat menerawangi langit-langit sambil memikirkan hal yang tadi ia alami. Hatinya mulai khawatir, jangan-jangan benar kata Pakde Turah yang takut kalau Gugat ini tengah di incar oleh sesuatu. Yaitu Wewe gombel yang pernah bersekutu dengan mendiang Ayahnya dahulu.

“JIDOR!!! AKU KUDU WANI!!!”.

(BIARIN!!! AKU HARUS BERANI!!!). Batin Sigit seraya beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil Popok Wewe itu.

Sigit keluar dari kamarnya, dan terpaksa Mengetuk kamar Margono. Untung ia juga belum tidur. Kini berbincanglah mereka diruang tamu sambil menikmati kopi dan rokok kretek.

“Sesok kowe prei wae mas, saiki ngancani aku melekan”.

(Besok Kamu libur aja mas, sekarang temani aku saja begadang). Kata Sigit kepada Margono seraya meletakkan Popok wewe itu di atas meja.

Sigit mulai menceritakan keresahannya kepada Margono. Tentang hal-hal yang cukup mengagetkan hidupnya saat dewasa ini. Perihal “Pesugihan popok wewe” yang di lakukan oleh Ayahnya dan baru saja ia ketahui setelah menikah ini dan ancaman-ancaman yang mungkin menanti dirinya serta keluarganya. Sigit kini sedikitnya mulai menyalahkan mendiang ayahnya atas semua ini. Margono orang yang sangat mengenal almarhum Pak Minto pun berujar. Bahwa Pak Minto mungkin salah karena telah melakukan persekutuan ini. Tapi Margono tahu, Pak Minto tak mungkin sejahat itu. Obrolan pun berlanjut semakin emosional. Namun beberapa saat kemudian semua dipecahkan oleh jeritan Sari istrinya. Sigit bergegas menuju kamarnya dan seketika Sigit mematung terkejut setelah membuka pintu. Terlihat Sari yang menangis dan Si Gugat yang tengah di timang oleh Seseorang, dan ya!!! Seseorang itu jelas bukan manusia.


“Balekkkkno anakkku!!”.

(Kembalikan anakku!!). Ucap Sigit yang terbata.

Sosok itu tak bergeming, dan kini malah bersenandung, Sigit agak memundurkan langkahnya, Margono yang penasaran kini tampak ingin memeriksa ke kamar majikannya itu. Namun ia yang hampir sampai di ambang pintu sedikit bertabrakan dengan Sigit yang berlari keluar menuju ruang tamu. Ternyata Sigit mengambil kain popok wewe itu. Menggenggamnya dan berlari kembali menuju kamar.

“BALEKKNO ANAKKU!!!!”.

(KEMBALIKAN ANAKKU!!!!). Kata Sigit yang menggenggam kain popok wewe itu seraya masuk ke dalam kamarnya.

Namun Sosok itu kini sudah menghilang, tinggal Gugat saja yang tampak menangis dan tergeletak di bawah lantai. Buru-buru Sigit menggendong anaknya itu dan meletakkannya di atas tempat tidur bersama Sari istrinya yang masih tampak syok dan ketakutan. Sementara itu Margono yang ternyata sempat melihat Sosok wewe gombel itu kini juga tampak tercengang, tubuhnya gemetar setelah melihat lelembut dengan sejelas itu. Sambil menyeret kakinya yang seperti agak kaku Margono berjalan kembali menuju kamarnya.

Kejadian itu pun berlalu seiring dengan Sigit dan Sari yang mulai sangat khawatir dengan keselamatan anak mereka. Terlebih lagi sejak kejadian itu Gugat tampak tak wajar. Sebagai anak bayi, Gugat kini mulai tak menunjukkan ekspresi apapun, seperti menangis ataupun tertawa, ini tentu tak beres!!! Pakde Turah yang harusnya bisa menolong keadaan ini, kini justru malah terbaring sakit, entah apa penyebabnya, entah memang karena lanjut usia atau memang karena sesuatu. Meski begitu Pakde Turah tetap berjanji akan membantu walau hanya lewat arahan-arahan yang sejatinya kurang Sigit mengerti. Kalimat yang sering kali di ucapkan oleh pakde Turah adalah.

“Obongo popok kui ing wanci kang tepat”.

(Bakarlah popok itu di waktu yang tepat!!). Ucap Pakde Turah yang terbaring lemah di atas tempat tidurnya.

Lantas kapan waktu yang tepat untuk membakar popok wewe itu? Sigit pun tak tau pasti.

Wewe gombel itu memang sudah tak menampakkan dirinya lagi sejak kejadian itu, tapi entah mengapa Sigit seperti masih merasakan hawa kehadirannya terutama saat ia berada di dalam rumah. Sigit gusar, tampak seperti orang yang hampir gila, setiap malam ia pasti selalu menggenggam popok wewe itu, berharap ia menemukan waktu yang tepat untuk membakarnya. Sering kali Sigit terlihat mengelilingi setiap sudut rumahnya untuk mencari wewe gombel itu, rasa takutnya sudah hilang, berubah menjadi rasa amarah dan khawatir tentang keadaan anaknya yang tak juga berubah sejak kejadian itu.

“Jupukken aku, ojo anakku!!”.

(Ambilah aku, jangan anakku). Sering kali ucapnya dalam hati.

Hingga tiba pada suatu hari.

Sejak kejadian itu, Setiap hari memang selalu menjadi hari yang melelahkan bagi Sigit. Tak terkecuali hari ini. Sigit pulang dari Pasar sudah hampir maghrib. Sesampainya di rumah ia langsung mandi dan berlanjut dengan menimang si Gugat yang masih tak menunjukan ekspresi hingga ia tertidur dalam gendongan Sigit. Diletakkannya Gugat di atas ranjang, kini Sigit ikut merebah dan berbincang dengan Sari istrinya.

“Mau Gugat ngguyu mas, iso nangis meneh”.

(tadi Gugat Tertawa mas, bisa nangis lagi). Ucap Sari sang istri dengan ekspresi muka yang justru tampak tak begitu senang.

“Tenane dek!!!”.

(Beneran dek!!!). Jawab Gugat yang sedikit terperanjat dari tempat tidurnya.

Sari pun bercerita, jadi tadi siang setelah ia dari kamar mandi, dari luar kamarnya ia mendengar suara Gugat tertawa. Sari yang buru-buru masuk pun benar melihat Gugat yang tengah riang seperti ada seseorang yang mengajakknya bercanda, kalau istilah jawanya adalah “Ngliling” . Sari tentu senang melihat anaknya sudah kembali mempunyai ekspresi. Buru-buru Sari menggendongnya dengan hati yg gembira.
(Bersambung).
sicepod
pulaukapok
widi0407
widi0407 dan 10 lainnya memberi reputasi
11
567
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan