muyasyAvatar border
TS
muyasy
Kumpulan Cerpen Muyasy




Quote:



emoticon-I Love Kaskusemoticon-Kiss



Kisah Mbah Tungguk



Quote:


Orang yang mempunyai umur panjang di tempatku, jelas sekali mereka dulunya mempunyai ilmu untuk membentengi diri. Memang dulu mereka masih di zaman penjajahan. Tak ayal mereka juga tidak segan untuk mengamalkan ilmu tersebut sampai kini mereka lupa bagaimana caranya agar ilmu dalam tubuhnya musnah.

Sebut saja beliau bernama Mbah Tungguk. Badannya tinggi dan badannya yang tegap. Beliau laki-laki yang tampan karena kulitnya kuning langsat.

Dulu pekerjaannya sebagai petani tembakau. Lambat laun dengan perkembangan zaman mulai berubah, di daerahnya diganti dengan menanam sayuran. Seperti kangkung, bayam, sawi, daun kenikir maupun kemangi.

Umur Mbah Tungguk sudah 128 tahun. Badannya sangat sehat, tetapi kakinya sudah susah jika buat berjalan karena kata dokter itu dari umurnya yang sangat tua. Menjadikan sebagian tubuhnya sulit untuk menopang badan kokohnya.

Suatu hari Mbah Tungguk hanya tiduran saja. Makan bubur tidak dihabiskan karena beliau sakit. Teriakan dan erangan menjadikan makanan sehari-hari. Sampai istrinya bingung mau berbuat apa.

"Apa Bapak dibawa ke rumah sakit lagi, Bu?" tanya Heni, anak kedua dari Mbah Tungguk.

"Baru kemarin Bapakmu pulang dari rumah sakit," tukas Bu Wiwik.

"Aku panggilkan Ustad Mesdi aja, Bu. Mungkin nanti Bapak bisa tenang lagi."

"Baiklah."

Heni pergi ke rumah Ustad Mesdi yang tidak jauh dari rumahnya. Kemudian, Bu Wiwik mendudukkan suaminya dengan susah payah. Mbah Tungguk minta minum.

"Gamanku jangan diambil! Jaga-jaga nanti kalo ada maling," ucap Mbah Tungguk.

"Iya," jawab Bu Wiwik.

Gaman adalah senjata. Penyebutan dari bahasa Jawa. Bu Wiwik tidak tahu senjata mana dan seperti apa yang dimaksud suaminya. Katanya ada dibawah kolong ranjang, tetapi tiap dilihatnya memang tidak ada apa-apanya. Akan tetapi, Mbah Tungguk kekeh menyebut senjata tersebut panjang seperti pedang. Kalau ada dua orang saling berdekatan, hanya sekali tebasan saking tajamnya senjata itu. Namun, senjatanya di mana?

Sesuai perkataan Heni, Ustad Mesdi datang sehabis salat Isya. Laki-laki berpeci hitam dengan baju koko putih permisi untuk masuk ke kamar Mbah Tungguk.

"Kamu kenapa datang kemari Mesdi?" tanya Mbah Tungguk tiba-tiba.

Sontak semua orang berkumpul di situ kaget. Kok bisa Mbah Tungguk tahu kalau Ustad Mesdi datang. Padahal Ustad Mesdi belum mencapai pintu. Sedangkan posisi Mbah Tungguk tiduran membelakangi pintu kamar.

"Saya mau jenguk Mbah Tungguk," kata Ustad Mesdi.

"Aku tidak sakit kok dijenguk."

"Tapi, kenapa Mbah merintih terus. Kata Bu Wiwik, badan Mbah panas, ya."

"Iya."

"Ya sudah, saya permisi dulu. Mau duduk di luar Mbah."

"Iya."

Ustad Mesdi ke luar rumah dan dipersilakan Heni untuk duduk di ruang tamunya saja. Memang rumah Heni tepat di sebelah orang tuanya. Selain itu, di rumah Mbah Tungguk banyak saudara, anak dan cucu berkumpul di situ.

"Bagaimana Ustad?"

"Mbah Tungguk sepertinya punya ilmu. Ada empat tadi yang kulihat."

"Bapak pernah saya tanya begitu. Apa punya ilmu? Tapi, kata Bapak jawabnya tidak punya."

"Biasanya orang kalo tidak kuat dengan ilmunya itu bisa dimusnahkan sendiri. Mungkin Mbah Tungguk lupa caranya memusnahkan Ilmu di badannya. Karena umur Mbah juga sangat tua."

"Mungkin begitu."

"Jadi, setelah ini saya minta tolong dua orang untuk menemani saya untuk mengambil ilmu Mbah dari sini. Semoga saja bisa."

"In Sya Allah, semoga bisa Ustad. Kasian Bapak."

Di tempat lain, rumah Mbah Tungguk ramai dengan candaan cucunya. Dalam kamar Mbah Tungguk ada Latif sedang mendengarkan kisahnya dulu.

"Di bawah ranjang ada senjata. Bentuknya panjang. Bisa menebas dua orang sekaligus karena sangat tajam."

Latif menunduk melihat kolong ranjang. Kosong.

"Tidak ada senjatanya, Mbah?"

Bu Wiwik memukul bahu Latif dengan pelan. "Senjatanya ada kok. Latif tidak tau karena aku sembunyikan," ucap Bu Wiwik.

"Mana senjatanya? Memang tidak ada," ujar Latif sembari berbisik.

"Kamu masa' tidak tau senjata gaib. Jawab iya saja kalo Mbahmu ngomong. Nanti marah kalo dengar senjatanya tidak ada. Padahal dilihat dengan mata melotot pun tidak terlihat," ungkap Bu Wiwik secara berbisik pula.

"Dani, di luar ada Dani, kan." Tetiba Mbah Tungguk bertanya dengan cukup keras.

Mendengar namanya dipanggil Dani gegas masuk ke dalam. Lipah, selaku ibunya Dani terheran-heran. Kok Mbah Tungguk tahu kalau cucunya itu datang ke sini. Padahal sedari tadi Dani ada di luar sambil merokok.

"Ada apa Mbah?" tanya Dani.

"Di kebun belakang ada dua orang mencurigakan. Mereka mengendap-endap mau ke kandangnya Paidi. Coba ke sana! Tapi, jangan sendiri. Bawa senjataku. Atau langsung tembak saja," ucap Mbah Tungguk dengan lantang.

"Apa mereka maling, Mbah?"

"Mungkin saja," ucap Mbah Tungguk dengan santai.

Gegas Dani ke luar dari kamar Mbah Tungguk. Lalu, menceritakan kepada orang-orang yang duduk maupun rebahan di ruang tamu.

"Coba cek saja. Pergi sama Rio dan Mas Safiq. Mungkin maling beneran."

Dani terburu-buru. Dia menelpon Rio dan Mas Safiq, kakak iparnya. Dia membawa celurit dan Rio yang membawa tembakan yang biasa dia gunakan untuk menembak burung.

"Di rumah Heni ada tiga orang. Siapa mereka? Apa yang dilakukan padaku?" teriak Mbah Tungguk.

Bu Wiwik mendekat. "Di rumah Heni ada anak-anaknya sedang belajar. Sudah, Pak. Ayo kubantu duduk. Mau minum atau makan."

"Minum saja."

Di tempat lain, Ustad Mesdi dibantu Duladi dan Imam. Duladi punya indera keenam dan bisa membantu untuk berbicara secara telepati dengan Kyai Puji di Tulungagung.

Imam adalah suaminya Heni. Nanti mereka serentak mencabut ilmu dari jauh.

Entah bacaan apa yang mereka baca. Mereka bertiga sangat serius dan tidak bisa diganggu. Saat ketiganya sibuk dan secara hati-hati mencabut salah satu ilmu Mbah Tungguk, ternyata Mbah Tungguk berteriak kesakitan. Katanya badannya sangat panas dan sakit.

Beberapa saat kemudian Ustad Mesdi istirahat sejenak. Beliau dan lainnya berhasil memusnahkan tiga ilmu yang bersarang di tubuh Mbah Tungguk. Setelah itu, Ustad Mesdi berunding dengan Duladi dan Imam.

"Satu ini cukup sulit, Dul. Mbah Tungguk ternyata punya susuk. Ada tiga lagi. Salah satu susuknya sudah nempel di organ jantung. Kalo dipaksa mencabutnya, takutnya Mbah Tungguk meninggal seketika. Sama saja kita yang bunuh beliau."

"Iya Ustad. Saya juga bingung ini. Sudah berapa lama Mbah pakai susuk? Sampai nempel di jantung."

"Pasti cukup lama, Dul. Jadi, bagaimana? Apa kita lanjutkan besok saja. Kasihan Mbah Tungguk nahan sakit dari tadi."

"Iya, Ustad. Saya jug mikirnya begitu tadi."

"Iya sudah. Kalo begitu, saya pamit undur diri. Besok saya ke sini habis salat Isya. Mari Mas Imam, Dul."

"Mari Ustad."

Sudah jam setengah satu dini hari. Duladi dan Imam kelelahan membantu Ustad Mesdi untuk mengambil ilmu Mbah Tungguk.

"Sudah selesai, Mas?" tanya Heni menghampiri suaminya. "Bapak tadi merintih terus. Tiba-tiba sekarang bisa tidur nyenyak."

"Alhamdulillah, kalo bapak bisa tidur nyenyak."

"Bayangkan, Dul. Tiap hari apalagi malam, bapak merintih terus. Kasian juga ibu hampir tidak tidur. Kalo gantian jaga sama anak-anaknya, bapak malah menolak. Makanya kita juga serba salah," lanjut Imam dengan raut wajah capai.

"Dul, bagaimana tadi?" Heni berganti bertanya pada Duladi.

"Mbah Tungguk punya ilmu empat, Mbak. Tadi syukurlah ketiga ilmunya bisa dimusnahkan. Tapi, ya, minta bantu Kyai Puji di Tulungagung sana untuk melepas ilmunya Mbah. Ya, sekarang ada satu yang belum bisa dihilangkan. Mbah Tungguk punya susuk tiga buah dibadannya. Yang dua susuk sudah dimusnahkan kok. Tapi, ada satu yang nempel di organ jantung. Jadi, Ustad Mesdi besok datang lagi untuk membicarakan ini," jelas Duladi panjang lebar.

"Bapak sudah ganteng kok pakai susuk segala, sih," gerutu Heni.

"Namanya orang dulu. Mungkin main coba-coba saja ketimbang penasaran," tukas Duladi.

Imam dan Duladi ikut bergabung di rumah Mbah Tungguk. Para wanita sudah pulang. Saat ini ada beberapa cucu Mbah Tungguk yang masih betah melek.

"Tadi aku dari kebun belakang sama Safiq dan Dani. Kata Mbah Tungguk ada dua orang yang mencurigakan mau ke kandangnya Paidi. Aku bawa tembak tadi," ucap Rio.

"Terus?"

"Mereka nggak pake baju, tapi masih pake celana. Sepertinya mereka sengaja tidak bawa senter. Jadi mata kita cukup awas memandang orang-orang tadi. Tapi, mereka langsung kabur karena Dani mencoba klik senter dari hapenya. Memang gelap banget tadi."

"Kita pulang saja. Mbah Tungguk rupanya nyenyak banget," ajak Duladi.

"Aku tidur di sini aja sama yang lain," ucap Imam merebahkan tubuhnya di sofa.

***

Innalillahi wa innailaihi rojiuun.

Sanak saudara berkumpul jadi satu di rumah Bu Wiwik dan rumah Heni. Seperti lautan manusia sedang mengantre untuk memasukkan beras ke dalam karung yang sudah disediakan oleh tuan rumah.

Pagi ini kabar cukup mengagetkan bahwa Mbah Tungguk sudah berpulang ke yang Maha Kuasa. Sekitar jam tiga dini hari beliau berusaha mengatur napasnya dan tidak lama kemudian Mbah Tungguk meninggal dunia.

"Katanya susuk Mbah Tungguk masih ada, kok beliau bisa meninggal sebelum susuknya diambil," tanya Sarah, istri Duladi.

"Biasanya yang punya susuk itu sendiri sudah melepaskannya. Jadi, mungkin saja Mbah Tungguk sudah merelakan susuk atau ilmu dibadannya itu hilang," jawab Duladi.

Namanya hidup zaman dulu, ada saja ilmu untuk mempertahankan diri, mempercantik diri, umur panjang, kebal dari benda tajam, kemakmuran, pengasihan dan lain sebagainya.

Alfatihah untuk Mbah Tungguk.

TAMAT

dwiky23
belajararif
MFriza85
MFriza85 dan 14 lainnya memberi reputasi
13
791
99
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan