Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Demonstrasi anti rasisme Papua maupun tuntutan referendum bukan tindakan makar
Demonstrasi anti rasisme Papua maupun tuntutan referendum bukan tindakan makar


News Desk - Sidang Kasus Makar Viktor Yeimo
March 18, 2023
Sidang Kasus Makar Viktor Yeimo
Sidang perkara makar yang didakwakan kepada Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat atau KNPB, Viktor Yeimo di Pengadilan Negeri Jayapura pada Jumat (17/3/2023) mendengar keterangan saksi ahli meringankan dari Universitas Katolik Parahyangan, Dr Tristam Pascal Moeliono SH MH LLM. - Jubi/Theo Kelen
Jayapura, Jubi – Sidang perkara dugaan makar yang didakwakan kepada Viktor Yeimo di Pengadilan Negeri Jayapura pada Jumat (17/3/2023) mendengarkan keterangan saksi ahli yang dihadirkan Koalisi Penegak Hukum dan HAM Papua selaku penasehat hukum Yeimo. Saksi ahli dari Universitas Katolik Parahyangan, Dr Tristam Pascal Moeliono SH MH LL M menyatakan demonstrasi anti rasisme Papua pada tahun 2019 bukan tindakan makar, karena tidak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Kasus dugaan makar yang didakwakan kepada Viktor Yeimo itu terkait dengan demonstrasi anti rasisme Papua untuk memprotes ujaran rasial yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan III Surabaya pada 16 Agustus 2019. Yeimo didakwa makar karena dianggap memotori demonstrasi yang terjadi di Kota Jayapura pada 19 dan 29 Agustus 2019.

Perkara itu terdaftar di Pengadilan Negeri Jayapura dengan nomor perkara 376/Pid.Sus/2021/PN Jap pada 12 Agustus 2021. Sidang itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Mathius SH MH bersama hakim anggota Andi Asmuruf SH dan Linn Carol Hamadi SH (majelis hakim yang baru).

Dr Tristam Pascal Moeliono SH MH LLM dihadirkan sebagai ahli Filsafat Hukum, Perbandingan Hukum, Hukum Internasional. Doktor Tristam saat ini menjabat sebagai Kepala Program Studi Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

Dr Tristam menyatakan makar berasal dari istilah hukum bahasa Belanda, “aanslag”, yang dipergunakan dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsh-Indie yang diberlakukan di Hindia Belanda tahun 1915, yang kemudian ditetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tristam menyatakan “aanslag” memiliki pengertian adanya tindakan fisik melakukan serangan, misalnya menggunakan kekerasan atau percobaan pembunuhan untuk menyerang kepala negara dan memisahkan diri secara inkonstitusional.

“Maka aanslag di situ diartikan sebagai serangan. Terjemahan KUHP dalam Bahasa Indonesia itu langsung menerjemahkan aanslag atau terminologi aanslag sebagai makar. Menyerang kepala negara, mengganti pemerintahan secara inskonstitusional itu artinya aanslag itu adalah suatu serangan,” kata Tristam dalam persidangan.

Tristam menyatakan contoh-contoh peristiwa yang dikategorikan dalam tindakan makar yang mengancam jalannya roda pemerintahan maupun keamanan negera. Misalnya pelemparan granat terhadap Presiden Soekarno dalam persitiwa Cikini 1957, penusukan terhadap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto pada 2019, dan upaya Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) mengganti UUD 1945.

“DI/TII memberontak karena tidak setuju dengan UUD [1945], mau mengganti [UUD 1945] dengan dasar lain. Dari kacamata negara, [tindakan itu] bisa disebut makar. Itu contoh yang cocok disebut tindak pidana mengancam keselamatan negara, karena bertujuan mengganggu berjalannya pemerintahan yang sah,” ujarnya.

Tristam menyatakan perencanaan awal makar dapat dikategorikan makar apabila perencanaan permulaan itu bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah atau mengganti dasar. Misalnya orang yang bersangkutan tertangkap tangan sebelum mewujudkan niatnya, untuk memulai mempersiapkan senjata, punya rencana untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.

Ia menyatakan konteks dari kegiatannya itu bisa harus disimpulkan ada niat tindakan yang mengancam keselamatan negara dalam bentuk serangan fisik terhadap kepala negeri, pemerintah, atau wakil negara asing, ataupun mengganti konsitusi secara tidak sah. “Itu cara membaca pasal-pasal makar sebagai tindakan mengancam keselamatan negara,” katanya.

Tristam membandingkannya dengan pembicaraan kemungkinan mengganti UUD 1945 yang dilakukan di ranah akademik, yang tidak bisa dikategorikan sebagai makar. Ia juga membandingkannya dengan krisis ekonomi 1998 yang memicu demonstrasi besar untuk menuntut pemerintah turun karena gagal mencegah krisis ekonomi, yang tidak bisa digolongkan sebagai makar karena tidak mengancam keselamatan negara.

Tristam juga mencontohkan demonstrasi besar mahasiswa pada 1966 yang menuntut Soekarno mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI juga tidak bisa disebut sebagai tindakan makar. “Jadi, mirip-mirip kan, meminta pertanggung jawaban dan menurunkan, tetapi bukan dengan niat jahat,” ujarnya.

Tristam juga menyatakan referendum dalam hukum nasional maupun hukum internasional merujuk kepada proses serupa pemilihan umum, dimana pemerintah meminta pendapat/pandangan rakyat tentang persoalan penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika pemilihan umum dilakukan untuk memilih calon anggota parlemen atau kepala pemerintahan di berbagai tingkatan, referendum atau plebicite dilaksanakan untuk meminta pandangan dan keputusan rakyat tentang pilihan hak menentukan nasib sendiri dari bangsa, apakah menjadi negara merdeka dan berdaulat, atau bergabung dengan negara lain.

Ia mencontohkan referendum didukung negara induk dan diselenggarakan di bawah hukum nasional, sebagaimana yang terjadi di Quebec, Kanada. Dalam The Quebec Independence Referendum yang diselenggarakan pada 1980 dan 1995, mayoritas warga Quebec dua kali memilih tetap bergabung dengan Kanada.

Tristam menyatakan Indonesia berpengalaman menghadapi tuntutan referendum dari rakyat Timor Timur untuk menyelenggarakan referendum, dengan hasil referendum yang menunjukkan mayoritas rakyat Timor Timur ingin menjadi negara merdeka dan berdaulat. Pemerintah Indonesia juga pernah berhadapan dengan tuntutan referendum rakyat Aceh pada 1999 yang diprakarsai Sentral Informasi Referendum Aceh atau SIRA.

“Di Indonesia pilihan ini juga diberikan kepada rakyat Timor Leste, Papua dengan Pepera 1969, hingga Aceh dengan perjanjian Helsinki. Jadi pemerintah punya pilihan kalau ada yang menuntut referendum, [apakah] mau melaksanakan [referendum] atau tidak melaksanakan. Untuk Aceh, ada tuntutan referendum, tapi tidak direspon [pemerintah dengan menyelenggarakan referendum]. Tuntutan itu di respon dengan perjanjian damai Helsinski. Jadi ada banyak cara untuk merespon referendum,” kata Tristam.

Tristam juga menyatakan referendum tidak bisa serta merta harus melulu tentang memerdekakan diri. Ia mencontohkan pada 2016 Inggris Raya menggelar referendum yang bertanya pendapat rakyat untuk tetap bergabung atau keluar dari Uni Eropa.

“Jadi tuntutan referendum bukan berarti ingin memisahkan diri, karena itu baru pernyataan bahwa ‘saya meminta saya ditanyai’. Inti [tuntutan] referendum itu,” kata Tristam.

Ia menegaskan segala macam tuntutan yang disampaikan dalam demonstrasi, termasuk tuntutan referendum, adalah bentuk ekspresi yang dijamin dan dilindungi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Tristam menyatakan pemerintah bebas mendengar atau tidak mendengar karena tuntutan itu bukan serangan, hanya permintaan atau pernyataan kekesalan yang disampaikan waktu demonstrasi.

Tristam juga menyatakan tindakan rasial atau rasisme itu dilarang karena, hal itu bentuk diskriminasi atau kebencian ditujukan kepada ras atau golongan tertentu dan diwujudkan dalam kekerasan atau kekejaman yang bisa berujung pada genosida. Tristam menyatakan demostrasi mahasiswa terkait apa isu pun, termasuk demonstrasi menentang rasisme, seharusnya tidak direspon dengan pemidanaan para pelaku demonstrasi.

Ia menegaskan bahwa Negara mempunyai tugas dan kewajiban melindungi masyarakat, sepanjang demonstrasi itu tidak berujung kepada upaya paksa mengganti konsitusi hingga membunuh presiden. “Tidak profesional menghukum demonstrasi mahasiswa dengan sistem peradilan pidana. Mari kita diskusikan apa masalahnya. Itu bagian dari negara demokrasi. Mari kita tanya rakyat apa mau apa? [Demostrasi] bagian kebebasan menyampaikan pendapat [di muka] umum,” ujarnya. (*)
https://jubi.id/tanah-papua/2023/dem...indakan-makar/

Bukar makar tuntutan referendum atau pemisahan diri...
areszzjay
areszzjay memberi reputasi
-1
1.2K
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan