Surabaya - Manajer Persebaya, Yahya Alkatiri membeberkan kesaksiannya saat Tragedi Kanjuruhan. Dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, timnya tak henti-hentinya jadi sasaran provokasi dan serangan dari Aremania.
Yahya membeberkan kesaksiannya saat mendapat pertanyaan dari penasihat hukum terdakwa. Menurutnya, sejak timnya tiba dengan rantis timnya telah menjadi sasaran makian Aremania.

"Kami naik barakuda. Sampai sana sekitar pukul 18.00 WIB. Rantis itu belum dapat teror cuma dimaki-maki aja, tapi rantis nggak dengar. Intinya kelihatan di luar orang marah-marah," kata Yahya, Selasa (14/2/2023).

Yahya kemudian menyebut saat para pemain Persebaya melakukan pemanasan juga tak luput dari nyanyian rasis. Nyanyian itu ditujukan kepada pendukung Persebaya, Bonek. Saat pemain masuk ke ruang ganti itu lah, ada koordinator suporter yang membentangkan spanduk bertuliskan "Kiamatmu di Malang".

"Pukul 19.10 WIB kami masuk ke lapangan pemanasan. Ketika itu pemain (Persebaya) sedang pemanasan mulai terdengar lagu 'Bonek jancuk dibunuh saja' terus kemudian setelah itu, setelah selesai pemanasan kami masuk ke kamar ganti," jelasnya.

"Setelah itu kick off, waktu itu main, ada di tribun depan saya kalau nggak salah di timur, ada salah satu mungkin koordinator suporter membentangkan spanduk 'Kiamatmu di Malang," imbuh Yahya.

Menurut Yahya, selama laga antara Arema dan Persebaya, timnya selalu menerima teror dan pelemparan hingga babak pertama tuntas. Teror itu bahkan terjadi hingga babak kedua tuntas hingga tak sempat merayakan kemenangan 2-4 untuk Persebaya.

"Kemudian sepanjang pertandingan lagu 'Bonek jancuk dibunuh saja' terus berkumandang. Terus kemudian waktu istirahat babak pertama kami masuk ke lorong, di tralis suporter udah ngancam 'mati kon hei' (mati kamu hei). Kemudian kami masuk kamar ganti," terang Yahya.

"Ada pemain kami keluar cedera dibawa keluar (pinggir lapangan), sudah terjadi pelemparan. Setelah selesai pertandingan, pemain lari itu, terjadi pelemparan semua lari masuk ke kamar ganti. Terus masuk ke kamar ganti memang ada euforia sedikit," beber Yahya.

"Terus MO (panitia pertandingan) nyamperin kami, waktu evakuasi cuma 5 menit (lalu) menuju ke rantis barakuda. Kami cepat-cepat saya berada di rantis nomor 4. Jadi ada patwal, terus saya rantis paling belakang. Belakang saya ada truk. Kami masuk di situ. Rantis mau jalan tiba-tiba berhenti di,situ," sambung Yahya.

Yahya menyebut saat rantis berhenti itu, ia dan tim mendengar suara dari HT petugas yang turut di dalam rantis. Suara tersebut menyebutkan ada 2 personel polisi yang meninggal dunia. Sementara itu, di luar rantis suasana sudah chaos dan barakuda yang ditumpangi jadi sasaran amuk massa Aremania.

"Sekitar pukul 10.15 atau 10.20 WIB kami ada di rantis sekitar 10-15 menit mungkin. Di rantis kami ada HT Brimob. Mereka di HT jelas suaranya (ada) anggota (polisi) meninggal dua. Kami di luar belum lihat, nggak ada gas air mata. Di sebelah kanan saya udah mulai lempar-lempar barakuda. Kemudian massa memukul mundur, polisi ditendang. Kami tetap dilempari waktu itu," ungkap Yahya.

"Ada yang lempar tong sampah posisi mabuk, helm batako dan lainya dilemparkan ke kami. Pembakaran mobil polisi mungkin nanti salah satu manajemen Persebaya (yang tahu) kebetulan ada yang di patwal bagian depan yang terbakar itu. Kami baru keluar 11.15 WIB. Rantis kaca pecah. Satu lagi, sekitar menit ke 90 waktu pertandingan lagu 'gak iso mulih' (gak bisa pulang) itu terus berkumandang," tandas Yahya.

Seperti diketahui, Tragedi Kanjuruhan pecah sesaat setelah laga Arema FC vs Persebaya tuntas dengan skor 2-3. Massa Aremania lalu turun ke lapangan, awalnya mereka ingin mendekati pemain Arema. Namun massa yang turun semakin banyak dan melakukan serangan ke aparat.

Petugas yang kewalahan kemudian menembakkan gas air mata ke massa yang turun dan juga ke tribun. Akibatnya sebanyak 135 orang tewas dalam tragedi yang terjadi pada 1 Oktober 2022.

detik.com