cangkeman.netAvatar border
TS
cangkeman.net
Tragedi Kanjuruhan: Siapa Salah, Siapa Benar?


Cangkeman.net - Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober, 2022, kita semua tahu bahwa itu adalah ruang dan waktu dari peristiwa yang memilukan. Sebuah peristiwa yang agaknya sudah terlalu keras menampar kita sebagai manusia dalam melihat pola kehidupan. Tentang berapa nyawa yang sudah hilang, itu bagi saya bukan lagi persoalan yang utama untuk sekarang. Karena ketika ada satu nyawa yang hilang, itu sudah menjadi fakta yang telampau tragis untuk perkara menonton olahraga sepak bola.

Melihat fenomena tersebut, saya lantas bertanya-tanya: sebetulnya mereka ini sedang mengupayakan apa? Ada apa dengan mereka? Sehingga seolah-olah perihal nyawa sudah bukan lagi yang paling utama daripada euphoria permainan kehidupan. Entah itu dari sisi suporter, aparat, media penyiaran, panpel, atau industri olahraga sepak bola, bukankah itu yang menjadi esensi dari beberapa tendensi eksistensi mereka?

Dari kejadian tersebut, kini ruang publik dipenuhi berbagai macam opini, dan tentu keberagaman opini yang hadir itu muncul dari latar belakang dan tendensinya masing-masing. Setelah membaca beberapa opini yang beredar, sifat opini agaknya terbagi menjadi dua jenis, yaitu dari opini yang menyalahkan tindakan pemerintah, dan opini yang menyalahkan tindakan suporter. Fenomena semacam itu menurut hemat saya tidak memberikan alternatif, tetapi justru memberikan pemahaman yang sporadis dan semakin runyam melihat titik temu antara pemerintah dan suporter atas tragedi Kanjuruhan.

Namun, juga bukan berarti tulisan ini berupaya menjadi pelopor kebenaran atas fakta yang terjadi. Perihal benar dan salah, atau pengintegrasian informasi atas kejadian itu saya pikir sudah ada petugasnya masing-masing, entah itu dari tim investigasi media massa maupun pihak pemerintah. Di sini upaya saya cuma berusaha untuk mendisposisikan sesuatu agar ruang publik tidak saling sok tahu atau saling menyalahkan terlebih dahulu sebelum fakta menunjukkan otentisitasnya. Akan menjadi tidak sehat jika saling menyalahkan di tengah keadaan yang masih pekat dengan hipotesa dan kesedihan ini.

Sebelum pada substansi pembahasan lebih dalam, perlu adanya disclaimer bahwa saya bukan termasuk dari kategori orang yang suka dengan pertunjukkan sepak bola, apalagi orang yang sedang berselimut di balik kekuasaan petahana. Saya hanyalah salah satu dari masyarakat Indonesia yang sedang belajar berpikir logis dan objektif. Dengan melihat berbagai macam opini dari mulai status WhatsApp, Instagram, TikTok, Twitter, hingga media literasi, menurut saya apa yang ada di sana masih pekat dengan subjektivitas yang tidak bersandar pada objektivitas.

Secara garis besar, kedua jenis opini yang beredar bermula pada persoalan tentang ketidakdisiplinan aparat dengan aturan FIFA di Pasal 19 Nomor b tentang Pitchside stewards, yang berbunyi “No fi rearms or ‘crowd control gas’ shall be carried or used” (tidak boleh membawa atau menggunakan senjata api atau gas pengendali massa). Opini tersebut menyatakan bahwa chaos yang mengakibatkan ratusan nyawa suporter hilang, itu disebabkan gas air mata yang ditembakkan ke arah tribun dan beberapa supporter yang turun ke lapangan. Lebih lanjut, opini jenis ini menambahkan: sangat tidak masuk akal kalau gas air mata itu ditembakkan ke tribun. Kalau saja aparat mendamaikan suporter tidak dengan gas air mata, maka chaos dan ratusan nyawa yang hilang pun tidak akan terjadi.

Kalau melihat fakta dari video maupun narasi dari wawancara dengan narasumber, memang chaos di stadion tidak lepas dengan kepulan gas air mata. Tetapi apakah tepat, menyatakan bahwa sebab paling dasar dari chaos di stadion pada saat itu adalah tembakan gas air mata oleh aparat kepolisian?

Sekarang coba kita abstraksikan secara apa adanya, kalau aparat menembakkan gas air mata, apakah mungkin mereka melakukannya tanpa sebab? Banyak kok, video beredar detik-detik tragedi Kanjuruhan dan berita media massa yang menyatakan kalau awalnya terjadi chaos itu karena oknum suporter yang turun ke lapangan, lalu bertindak anarkis ke pemain Arema maupun Persebaya. Secara aturan, dalam hal ini tindakan suporter pun sudah tidak tepat dengan mereka turun ke lapangan. Fungsi dari adanya tribun dan pembatas stadion itu, ya agar mencegah kekisruhan dan agar ada proporsi antara suporter dengan pesepak bola.

Tetapi pihak suporter juga tidak bisa sepenuhnya disalahkan hanya karena mereka jadi sebab paling dasar. Pihak dari PSSI, PT LIB, Polri, panpel, mereka sebagai bagian dari pemerintah yang mengakomodir suporter, itu juga menjadi sebab dari chaos yang ada di tragedi Kanjuruhan. Tidak adanya kesadaran dari pemerintah atas regulasi ataupun mitigasi resiko bencana, akhirnya mengakibatkan aparat kepolisian kacau dalam penanganan bencana di stadion. Di sinilah menurut saya proporsi persoalannya: antara suporter dan pemerintah saling tidak punya kesadaran atas eksistensi pertandingan sepak bola.

Balik pada perkataan saya di awal tadi, bahwa mengapa seakan nyawa tidak lebih berharga daripada euphoria permaian kehidupan? Dari sisi suporter, pertandingan sepak bola itu kan, sebuah permainan kehidupan, di mana sebuah permainan itu pasti ada pemain, rivalitas, strategi, peraturan, dan tentu yang paling ditunggu adalah perihal menang-kalah. Setelah pertandingan sepak bola berakhir, apakah semua itu berdampak pada kita sebagai manusia yang sedang hidup? Mau menang ataupun kalah, itu kan hanya sebuah permainan, dan kita pun masih tetap hidup terlepas dari sesuatu yang bernama “menang” dan “kalah”. Menang dan kalah hanyalah sesuatu yang bersifat “kesementaraan”, yang terpenting dari semua itu adalah bagaimana kita tetap hidup meskipun sedang dan setelah menonton pertandingan sepak bola.

Begitupun juga dari pihak pemerintah, utamanya pihak kepolisian. Sebagai manusia yang bertugas untuk menangani keamanan manusia lainnya, harusnya perlakuannya itu berkorelasi dengan tugasnya. Bukan malah memperlakukan manusia seperti binatang, dan justru membuat manusia lainnya merasa terancam, bahkan menewaskan. Apa yang melekat pada profesi polisi, itu juga sebagian dari permainan kehidupan. Tanpa memperlakukan kekerasan, pun dia masih hidup dan profesinya masih melekat dalam dirinya. Justru akan tidak ada artinya jika sebuah aparat; seseorang yang dipandang lebih cerdas dalam strategi penanganan, tetapi ada saudaranya yang tewas karena perlakuannya sendiri.

Semoga di balik tragedi Kanjuruhan, bisa menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk mengakomodasi keberadaan warganya lebih serius lagi. Juga, bagi kita, terutama yang senang dengan pertandingan sepak bola, agar memawas diri dari segala fanatisme yang pada mulanya untuk membuat hidup, tetapi justru membuat kita luka diri. Aristoteles (284-322 SM) mengatakan, fitrah manusia adalah makhluk sosial, dan menurut saya, tidak ada yang lebih penting dari kehidupan bersosial, kecuali mengangkat martabat kemanusiaan.


Tulisan ini ditulis olkeh Achmad Fauzan Syaikhoni di Cangkeman pada tanggal 4 Oktober 2022.
fahizaput
fahizaput memberi reputasi
-1
1K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan