skiesmanAvatar border
TS
skiesman
Banjiha, Potret Krisis Tempat Tinggal Layak Huni Bagi Kaum Milenial
Konten Sensitif

(sumber gambar : historia)

Jika kita perhatikan, Korea Selatan terhitung cukup sukses dalam memperkenalkan budaya dan negaranya melalui dunia hiburan, yaitu musik, drama, dan film. Para pelaku dunia hiburan di sana menggunakan strategi yang cukup baik, dimana semua judul lagu, drama, serta film yang diproduksi di sana hampir semuanya menggunakan bahasa Inggris, meskipun lirik maupun percakapan di dalamnya menggunakan bahasa Korea. Oleh karena itu, tak heran kultur dari masyarakat Korea Selatan dapat dikenal oleh hampir sebagian orang di dunia.


Akan tetapi, di tengah kemewahan dan kenyamanannya suasana Korea Selatan yang diperlihatkan kepada dunia melalui dunia hiburan tersebut, ternyata ada satu sisi potret yang memprihatinkan dalam kehidupan masyarakat menengah kebawah di sana, yaitu polemik mengenai banjiha, semacam rumah petak yang cukup sempit, tetapi terletak di bawah permukaan tanah.


Jika agan-agan sekalian pernah menonton film Parasite (2019), agan-agan tentu akan mengingat para tokoh utamanya yang berasal dari kalangan bawah tinggal di rumah semacam itu, dimana setiap tokoh yang miskin akan selalu berjalan ke bawah setiap pulang ke rumah karena rumah mereka ada di bawah, sedangkan tokoh yang kaya akan selalu berjalan ke atas karena rumah mereka ada di atas. Sungguh skenario satire yang sangat mewakili kisah si kaya dan si miskin di sana.



(sumber gambar : BBC Indonesia)

Pada mulanya, banjiha adalah bunker bawah tanah yang wajib didirikan oleh setiap pengembang apartemen tingkat menengah karena adanya konflik antara Korea Selatan dan Korea Utara pada tahun 1960-1970an. Pada saat itu, agen rahasia Korea Utara ditugaskan untuk membunuh presiden Korea Selatan pada saat itu, Park Chung Hee. Meskipun upaya pembunuhan itu menemui kegagalan, Pemerintah Korea Selatan membuat kebijakan ini sebagai antisipasi perang nuklir, tujuannya agar rakyatnya dapat bersembunyi di banjiha ini ketika perang terjadi.

Meski tujuan awalnya terdengar cukup baik, ketika memasuki periode 1980an, permintaan kebutuhan akan pemukiman mulai menanjak tinggi di Seoul akibat dikebutnya laju industri di negeri gingseng tersebut, maka pemerintah mulai melegalkan sewa maupun jual-beli banjiha ini.

Tinggal di banjiha yang berposisi di bawah jalanan kota metropolitan seperti Seoul tentu penuh dengan masalah. Ketika musim panas, maka ruangan akan sangat pengap karena tidak ada sirkulasi udara. Begitu pula saat musim dingin, tembok-tembok akan mulai berjamur dan lembab, tentu tempat tinggal seperti itu tidak akan baik untuk kesehatan manusia. Belum lagi karena posisinya yang ada di bawah apartemen lain, kebocoran akan saluran sanitasi sangat besar kemungkinannya untuk terjadi.

Posisi toilet yang dibuat sedemikian rupa di bawah tanah banjiha juga cukup unik, dimana toilet sendiri posisinya akan lebih tinggi daripada lantai permukaannya, sehingga ketika penghuni banjiha ingin menggunakan toilet, mereka harus menundukkan badannya sedemikian rupa agar kepalanya tidak menghantam langit-langit. Begitupula saat banjir, seperti adegan penutup yang ada di film Parasite, seluruh ruangan yang ada di banjiha dapat tenggelam sepenuhnya, bahkan beberapa waktu yang lalu peristiwa banjir di Seoul mengakibatkan setidaknya tiga warga penghuni banjiha tewas tenggelam.

Apa boleh buat, tinggal di banjiha adalah sebuah alternatif bagi para generasi milenial yang bekerja di Korea Selatan. Alasannya adalah soal biaya sewa, dimana kisaran harga sewa banjiha di Seoul adalah 540,000 won per bulan atau sekitar 6 juta rupiah. Sedangkan, upah minimum bagi para generasi muda di sana sekitar dua juta won (22 juta rupiah), yang berarti sudah memakan porsi hampir 40% penghasilan bulanan mereka (jika dalam rupiah mungkin terlihat besar, tetapi biaya hidup di sana untuk makan saja kisaran 600,000 won - 900,000 won).

Jika mereka memilih tinggal di tempat yang lebih layak, maka biaya sewanya bisa mencapai 1,000,000 won per bulan, yang bahkan sudah memakan 50% penghasilan mereka. Padahal, rasio penghasilan yang ideal adalah 50% untuk biaya hidup, 30% untuk keinginan, serta 20% untuk tabungan dan investasi. Jangankan untuk menabung dan membeli rumah, memenuhi kebutuhan sehari-hari juga sudah sulit.

Krisis pemukiman layak huni ini juga mungkin sebentar lagi akan melanda Indonesia. Jika beberapa tahun yang lalu kita pernah dihebohkan dengan kosan petak dengan luasan bak peti mati, mungkin dalam beberapa tahun ke depan kosan seperti itu akan menjadi alternatif tempat tinggal bagi generasi muda yang bekerja di kawasan Jabodetabek meski sudah dilarang oleh pemerintah.

(sumber gambar : hipwee)

Penjualan rumah di Indonesia itu cukup unik. Coba agan-agan mendatangi kawasan perumahan perumahan elit di sekitaran Jakarta seperti Alsut, BDS, Gading Serpong, Lippo Karawaci, dan sejenisnya. Agan-agan akan menemui banyak sekali rumah kosong dengan spanduk bertulisan "DIJUAL" yang terpampang di gerbang-gerbang rumahnya. Akan tetapi, tidak ada generasi milenial yang mampu membelinya, padahal mereka adalah target market utama dari penyedia perumahaan (generasi boomer rata-rata sudah punya rumah, bahkan lebih dari satu).

Jika kita perhatikan, rata-rata penghasilan milenial di Jabodetabek adalah 4juta - 5juta rupiah. Oleh karena itu, plafon maksimal untuk cicilan rumah adalah sekitar 1,5 juta rupiah per bulannya. Sayangnya, rumah paling pinggiran kota sekalipun cicilan bulanannya sudah ada berada di kisaran 2,4juta per bulan, itupun dengan keterbatasan akses serta lokasi yang lumayan sepi dan rawan pencurian, sehingga meskipun cicilannya murah, tetapi biaya transportasi serta resiko kerugian akan kemalingan juga tinggi, belum lagi generasi milenial mungkin hanya mampu membeli motor sebagai moda transportasi, dimana akses jalan yang tidak baik dan sepi karena lokasi yang dipinggiran kabupaten bisa meningkatkan resiko kecelakaan, begal, serta masuk angin setiap hari.

Oleh karena itu, tidak salah jika menteri keuangan RI sendiri menyatakan milenial di negeri tercinta ini akan sulit memiliki rumah. Ya, kita tunggu saja apakah krisis hunian bagi masyarakat kita ini bisa selesai dengan sendirinya atau tidak. Atau, mungkinkah bubble harga rumah di Indonesia bisa pecah ? Hanya waktu yang dapat menjawab.

dilansir dari berbagai sumber

emoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Ganemoticon-Cendol Gan

0
1.2K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan