mojokdotcoAvatar border
TS
mojokdotco
Cerita Pembuat Solar Tradisional di Bojonegoro Setelah Damai dengan Pertamina
Di Wonocolo, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa Timur, ratusan orang menambang minyak bumi secara tradisional. Sumur-sumur tua peninggalan Belanda yang rata-rata berusia 150 tahun itu masih memiliki cadangan minyak mentah meski sedikit. Warga kemudian mengolahnya secara tradisional menjadi minyak tanah dan solar. Pertamina, dulunya menganggap ilegal aktivitas para pembuat solar tradisional.

*** 
Sebelum tahun 2015, masyarakat yang mengambil minyak mentah dan mengolahnya menjadi solar harus kucing-kucingan dengan Pertamina. Kini warga bebas mengambil minyak mentah dari sumur-sumur tua peninggalan Belanda, tanpa ada keharusan menjualnya ke perusahaan plat merah tersebut.

Perbukitan kawasan Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur memang terkenal sebagai ladang minyak yang tak pernah habis. Sejak 150 tahun lalu, Belanda membuat ratusan sumur minyak. Kini warga mengambil sisa-sisa minyak mentah dari sumur tua itu. 


Dulu melakukan aktivitas pertambangan merupakan aktivitas ilegal. Namun, sejak beberapa waktu lalu Pertamina menjadikan kawasan tambang minyak tua sebagai situs wisata Kilang Minyak Tradisional Wonocolo. BUMN itu memperbolehkan warga menambang minyak secara tradisional. Mereka juga tidak harus menjual minyak mentah ke Pertamina. 


Cerita tentang Wonocolo ini saya tahu dari saudara yang tinggal di Bojonegoro, tentu membawa rasa penasaran. Saya memutuskan untuk mengunjungi kawasan tersebut bermodal motor pinjaman, handphonepowerbank,  kacamata hitam, sedikit uang saku, dan panduan dari Google Maps

Kawasan kilang minyak tradisional ini letaknya cukup jauh dari pusat kota Bojonegoro, yakni sekitar 60 km. Beruntung jaraknya tak terlalu jauh dari rumah saudara, saya hanya perlu menempuh perjalanan sepanjang 13 kilometer atau 34 menit dengan sepeda motor.



Perjalanan panjang melewati hutan 


Letak kawasan kilang minyak tradisional ini berada di perbukitan kapur. Untuk sampai lokasi, saya harus melewati hutan-hutan jati yang rimbun. Pemandangan rumah-rumah kayu yang sederhana menemani perjalanan saya selama 5 kilometer pertama. Saya tak bisa memacu motor saya dengan ngebut, lantaran perlu melewati jalanan rusak yang penuh batu. 




Kilometer selanjutnya, rimbunnya pohon sepanjang jalan menemani perjalanan saya. Selain terkenal dengan penghasil minyak, Bojonegoro juga terkenal sebagai penghasil kayu jati. 
Bau menyengat yang menusuk hidung serta suara bising yang Cumiakkan telinga menyambut kedatangan saya di kawasan pengeboran sumur kilang minyak tradisional ini. Selanjutnya, saya melihat tiang-tiang dari kayu jati berbentuk kerucut yang menjulang serta kepulan asap di sekitarnya.



Pada tiang-tiang tersebut terdapat tali yang terhubung dengan mesin yang berderu. Meski tak paham betul tentang permesinan, tetapi saya tahu ada beragam jenis mesin yang digunakan. Ada yang menggunakan mesin sepeda motor, bahkan mesin mobil. Dari perbukitan itu, kilang-kilang minyak tradisional dapat ditemui sepanjang mata memandang. Jumlahnya banyak, mungkin lebih dari 300 sumur.



Saya melihat ada bapak-bapak yang bekerja di sumur-sumur tua itu. Terlihat satu orang mengoperasionalkan mesin diesel dan satu lagi mengarahkan pipa yang keluar dari lubang. Ada pula yang sibuk memindahkan minyak dari drum satu ke drum lainnya. Belakangan saya baru tahu bahwa pipa untuk menyedot minyak masuk ke sumur disebut dengan sibel.



Saya penasaran dengan tulisan “Teksas Wonocolo” ala Hollywood yang berada di perbukitan. Setelah bertanya pada warga setempat, mereka tidak merekomendasikan untuk pergi ke tempat tersebut. Menurut penuturannya, tempat itu sangat terjal dan untuk mengaksesnya hanya bisa menggunakan motor trail atau sepeda gunung. Jelas menyangsikan kemampuan Mio G tahun 2013 yang saya pakai.


Sebuah warung jadi tempat persinggahan saya. Dua orang yang terlihat sebagai pekerja tambang minyak tradisional terlihat sedang berbincang ketika saya menyeruput es teh pesanan saya. 


Sumur-sumur tua yang masih menghasilkan

Dengan sangat jelas saya mendengar obrolan kedua pekerja tersebut. Keduanya membicarakan sebuah sumur tua yang tak lagi mengeluarkan minyak. Kami kemudian berkenalan. Dari Pak Ade (45) dan Pak Aryo (55) saya mengetahui bahwa masalah tersebut kerap kali menghampiri sumur-sumur tua. Maklum umur sumur-sumur itu rata-rata sudah 150 tahun. Sumur milik Pak Aryo dan kelompok bahkan sudah turun temurun dikelola sejak kakek buyutnya.


Pak Aryo menjelaskan bahwa sumber minyak atau yang biasa disebut warga setempat dengan nama sarangan biasanya tertutup oleh endapan lumpur yang merembes. Bila hal itu terjadi, maka sibel tidak bisa menyedot minyak. 

Menurut Pak Aryo, hal tersebut tak jadi masalah besar. Cukup dengan membeli obat atau larutan kimia di toko terdekat dan menuangkannya ke dalam sumur tua itu, masalah akan teratasi. Praktek tersebut sudah lazim dilakukan.  




Dari cerita Pak Aryo, saya jadi mengerti bila kapasitas produksi tak menentu tiap harinya. Rekor yang pernah ia pecahkan yakni 5.000 liter per hari di tahun 2009. Namun, kini sumur tuanya tak mampu memproduksi banyak lantaran masih penuh dengan lumpur.

Menurut Pak Aryo, sumur-sumur tua penghasil minyak di Wonocolo, Bojonegoro biasanya milik sekelompok orang yang jumlahnya beragam mulai dari 18 sampai 30 orang tiap sumurnya. Kepemilikan sumur juga merupakan warisan turun temurun.



Quote:

  


Sumur tua itu bisa beroperasi hanya dengan 3 orang pekerja saja. Seorang menjalankan mesin, satu orang mengatur sibel penyedotan, serta satu orang lagi yang bertugas untuk memilah minyak. Biasanya ketiga pekerja tersebut bukan merupakan pemilik sumur.  

Pekerjaan-pekerjaan yang muncul karena sumur minyak tua



Kedalaman sumur-sumur tua juga bisa dibilang dangkal. Hanya berada sekitar 200 sampai 350 meter paling dalam. Pak Aryo benar-benar fokus menekuni pekerjaan ini sejak tahun 2009.



Pak Aryo sendiri tidak menghabiskan banyak waktu di kilang minyak. Ia biasanya menghabiskan 2 jam untuk mengurusi sumur tua itu. Sebab sumur tua itu sudah lama tidak digunakan untuk produksi. Ia juga fokus untuk menghasilkan minyak mentah saja, tidak mengolahnya menjadi solar. Selebihnya ia bertani jagung di kebun milik Perhutani.


Selain permasalahan mampet, Pak Aryo bertutur bahwa ‘penyakit’ sumur tua lainnya adalah putusnya sibel yang masuk ke sarangan. Hal tersebut menyebabkan sumur menjadi dangkal dan kurang maksimal dalam pengambilan minyak. Kecelakaan ini kerap kali terjadi di kilang minyak tradisional.



Banyaknya sumur minyak tradisional memberi berkah bagi warga sekitarnya. Setidaknya ada 6 jenis pekerjaan yang muncul karena keberadaan sumur minyak ini. 
 
Berkah pertama datang dari kelompok pemilik sumur. Kedua, datang bagi pekerja operasional sumur yang tugasnya menimba dan menyuling minyak mentah dari campuran air dan kotoran. Ketiga, orang-orang yang membeli dan menjual minyak mentah dari kelompok sumur tua. 


Keempat, pekerja yang menyuling minyak tanah menjadi solar secara tradisional. Kelima, mereka yang membeli solar dan menjualnya ke pelanggan. Dan yang terakhir, berkah datang bagi para penjaja makanan dan minuman.



Artikel selengkapnya bisa kamu baca di sini.
Cerita Pembuat Solar Tradisional di Bojonegoro Setelah Tak Lagi Kucing-kucingan dengan Pertamina




moddie
starcrazy
sukakuda
sukakuda dan 2 lainnya memberi reputasi
3
2.6K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan