bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[COC-SFTH-CLBK] Pandora di Sekotak Lift | Romance Short Story


***

Point of View
Pandu
Senin 08:19
Kemang, Jakarta.


"LARI, aku harus berlari!" Gumam ku risau.

Derup langkahku melibas lantai menuju Lift di ujung lorong, berharap Bu Lasmi tidak memarahiku. Benar-benar gugup, karena untuk pertama kalinya tugasku sebagai akuntan manager dipertaruhkan. Konyolnya, aku telat beberapa menit menuju kantor, padahal hari ini merupakan penentuan karir ku. Bagaimana tidak, ini merupakan laporan yang akan di audit oleh petinggi perusahaan untuk laporan pajak. Meleset sedikit dari perkiraan, mungkin saja perusahaan akan tutup tender karena tidak profesional.

"Srettt..."

"Brak...!"

Sial, terpeleset disaat genting seperti ini. Orang-orang menatapku seketika, apa daya tanganku menggurita beberapa lembar kertas yang berhamburan. Keresahan yang menikam pikiranku sejak kemarin, membuat rasa malu pun tidak berarti. Dalam cemas, lembar demi lembar ku susun padu serapih mungkin.

"Pandu!" Lengkingan suara dari kejauhan.

"Eh...i...ya, Bu Lasmi," jawabku gugup, tak ku sangka ada Bu Lasmi memanggilku.

"Aduh, kamu ini baru dateng saat rapat akan dimulai, gimana dokumen yang direncanakan? Apa selesai? Dibawa untuk hari ini?" Tanya Bu Lasmi.

"Sudah selesai Bu, silahkan bisa dicek," jawabku cemas, seraya menyerahkan beberapa lembar dokumen itu.

Terlihat jelas kening Bu Lasmi mengkerut tanda ada hal yang tidak beres. Tepat di samping pintu lift, orang-orang masih memperhatikan kami berdua. Bu Lasmi terkenal akan sikap disiplinnya di perusahaan ini, walaupun wajahnya selalu terlihat tenang, dia bisa dengan tegas melayangkan surat PHK jika ada karyawan yang tidak kompeten dalam bekerja. Minggu lalu aku mendengar ada karyawati yang dimarahi oleh Bu Lasmi, sampai dia menangis sepanjang hari. Untuk itu, disini aku resah apakah dokumen yang aku susun memuaskan standarnya atau tidak.

"Ada beberapa hal yang memang harus dikoreksi. Ambil dokumen ini lalu koreksi di meja kerjamu sekarang juga, template-nya saya kirim lewat Surel. Setelah itu kirim ke meja kerja saya di lantai atas," Ucapnya menjelaskan.

"Baik Bu," jawabku mengangguk.

Bu Lasmi terlihat melanjutkan langkahnya, mungkin memberitahu karyawan di lantai satu jika rapat akan dimulai sebentar lagi. Saat aku memasukan dokumen dalam tas, Bu Lasmi membalik badan sambil membetulkan kacamatanya melihatku.

"Pandu ingatlah, saat kamu setengah hati untuk memulai sesuatu, maka apapun yang kamu lakukan tidak akan pernah selesai. Disini karirmu dipertaruhkan,"

"I..i...ya Bu," jawabku tersenyum canggung.

"Ting..." Sesaat kemudian pintu lift terbuka, dengan tergesa aku masuk ke dalamnya.

Beberapa detik aku berpikir tentang apa yang dikatakan Bu Lasmi padaku. Apakah itu ultimatum jika aku tidak layak untuk berkerja disini? Kata-katanya membuat ruang lift terasa lebih sempit dari biasanya. Aku menyeka keringat dingin yang perlahan mengalir ke ujung dagu, sambil menghembuskan nafas panjang yang terbalut cemas. Sebelum lift tertutup, aku menekan angka lima, menuju lantai kerjaku.

Tetiba terdengar langkah yang terbirit menuju pintu lift. Dari lobi aku bisa melihat jika itu langkah seorang perempuan, tangannya memberi isyarat untuk menjaga pintu lift agar tidak tertutup. Sigap, aku memegang pintu lift agar dia bisa masuk sesegera mungkin. Beberapa kali dokumen yang dibawanya hampir terlepas dari genggaman.
Aku tersenyum kecil, saat sepatu haknya mengikat langkah perempuan itu untuk berjalan lebih pelan. Tentu saja jika dia berlari lebih kencang dari itu, maka bisa membuat dia terjatuh, seperti yang aku alami tadi.

Waktu terasa terhenti, saat aku melihat parasnya yang rupawan. Walau rasa panik terlihat di wajah perempuan itu, namun tidak menutup segala keanggunan yang dimilikinya. Wajahnya tirus lancip dengan mata yang binar. Dia tergesa berharap bisa masuk sesegera mungkin, aku hanya mengangkat alisku terheran, karena ada perempuan yang segesit dirinya di kantor ini. Sempat aku terbelalak karena dia hampir menabrak ku di muka pintu. Aku berinisiatif untuk melangkah mundur saat dirinya masuk, kemudian dengan cepat ia menekan angka empat.

Ternyata dia ada di bagian staf survey lapangan, pantas saja jarang melihatnya di kantor ini. Yang ku tau itu adalah lantai 'Neraka'. Dimana Bu Lasmi dan jajarannya bersemayam menunggu laporan karyawan lapangan.

"Ting..." Lift tertutup rapat.

Sebenarnya Aku tidak terlalu suka keadaan dalam lift, karena saat ruang kotak ini naik ke atas, dada terasa dihimpit erat. Untung saja kehadiran dia disampingku membuat rasa tak enak itu sedikit pudar. Kami berdiri sejajar menghadap pintu lift yang menuju lantai dua. Seketika ruangan ini tercium parfume-nya yang melegakan cemas ku sejak tadi. Wangi Citrus yang dipadu Cendana, Musk, dan Akar wangi. Aromanya menyeruak ke setiap sudut lift, tenang dan menghanyutkan.

Sempat mataku meliriknya dari samping, hidungnya masih kembang kempis dengan bibir yang mengatup cemas. Dadanya masih mengatur nafas setelah berlari kecil, mungkin hari ini ada deadlineyang harus diserahkan pada Bu Lasmi. Lift mulai beranjak ke lantai tiga, dan aku masih terpana akan kehadirannya. Perempuan itu memakai Jilbab putih dengan Blazzer sewarna, ditambah setelan panjang yang senada. Cantik khas wanita kantoran sekarang. Dokumen yang dia pegang sedikit lebih tebal dari yang aku bawa, wajar saja surveyor lapangan membawa laporan setiap tiga bulan sekali. Mereka itu tipikal pekerja keras, aktif dan pantang menyerah, mungkin cocok dengan ku yang kaku dan pasif. Sungguh, setelah sekian lamanya bekerja di kantor ini, kenapa ditakdirkan bertemu dengannya sekarang?

Aku tersadar, ternyata selama ini aku tidak berpikir sedikitpun mengenai perempuan. Terlebih tentang isi hati dan perasaan cinta. Selama ini, pikiranku hanya melihat tujuanku di tangga teratas, tanpa berpikir tentang seseorang yang menemaniku dari samping.
Tunggu dulu, jadi apakah ini yang dimaksud jatuh cinta? Lucu, selama ini aku belum merasakan hati yang sesak akan perasaan. Yang ku tahu, setiap harinya dada ini hanya sesak akan sempitnya Lift ini. Perasaan sesak itu semakin terhimpit, berdebar-debar akan kehadirannya sekarang.

Beberapa kali aku berpikir apakah pantas menyapanya? Siapa namanya? Dimana rumahnya? Apa sudah punya...? Ah kenapa pikiranku bisa sejauh ini?!
Samar-samar bayangan tubuhnya terlihat dari kilapan pintu lift. Lihatlah Pandu! Bahkan dari samping pun kamu merasakan getaran keanggunannya. Apa kamu tidak ingin menyapanya sama sekali? Kau bodoh Pandu!

"Hi...dari staff surveyor ya?"

"Apa ada deadline?"

"Bagaimana situasi lapangan sekarang?"


Kata-kata itu bergerombol mencekik pikiranku untuk segera menyapanya. Kenapa tidak mengatakan maksudmu Pandu, jika kamu ingin berkenalan lalu mengajaknya keluar? Perempuan tidak suka basa-basi, begitu bukan kata teman-temanmu?
Tidak! aku selalu terpengaruh dengan kata-kata orang lain, aku harus percaya dengan segala kata-kata yang datang dari hatiku sendiri.

Kotak lift ini memantulkan bayangan kami berdua, ya hanya berdua. Menggoda kami untuk berdiri semakin dekat. Beberapa kali aku melihat dirinya membetulkan jilbabnya yang sedikit goyah. Dan pemandangan itu menggoyahkan segala nalar ku, jatuh ke pusaran perasaan. Rasa gugup, cemas, panik, debar, denyut berpadu. Bukan hanya tentang pekerjaan, lebih dari itu kotak lift ini memberi getaran yang menghipnotis tubuhku membeku. Terpaku dalam ruang dan waktu.

"..." Sunyi, hening, dan membeningkan perasaan.

"Ting..."

Pintu lift terbuka, ternyata sudah sampai di lantai empat. Sesaat dia merapihkan Blazzer-nya, kemudian melangkah pelan meninggalkanku di belakang. Langkahnya masih membelit pandanganku, masih terlihat cantik dari belakang kepalanya, punggungnya, dan dua ruas kakinya yang jenjang.

"Tap...tap...tap..." Mataku menatap kakinya yang perlahan keluar, diiringi pintu lift yang kembali tertutup.

"Ting..."

Harapanku telah keluar, jejak-jejak aromanya membekas di ruang lift. Terhembus masuk ke hidung hingga relung hati yang dalam. Menyisakan perasaan patah, hilang, dan tersudut usang. Benar kata orang tua ku, jatuh cinta berlangsung cepat, namun rasa patah hati mampu menyiksa dengan lambat. Detik yang berjalan di kotak lift ini terhenti.

Tegap lah pandu! Ini bukan akhir. Masih ada hal yang lebih penting dari perasaan. Sekarang ini, laporanmu pada Bu Lasmi itu jauh lebih penting. Tapi, bukankah kehidupan yang membahagiakan juga penting? Andai saja berkenan, akan ku ungkapkan langsung pada Bu Lasmi.

"Bu ini laporannya, sekarang saya ingin naik jabatan sekaligus naik tunjangan, lalu apa Ibu tahu seseorang di staf Ibu yang memakai Jilbab putih beraroma Citrus? Tolong sampaikan padanya aku telah jatuh cinta!"

Aku tertawa kecil memikirkan kata-kata ku sendiri. Seandainya bisa mengungkapkan segala isi perasaan ku.

"Ya, seandainya..." Ungkap ku dalam hati.

"Ting..." Lift telah sampai di lantai lima. Suara lift tadi, menyadarkan ku untuk bergegas menyelesaikan laporan ini.

Langkah ku beranjak pergi, meninggalkan lift yang menjadi saksi bahwa aku telah jatuh cinta untuk pertama kalinya. Absurd dan tidak terselesaikan dengan indah, tidak seperti dongeng-dongeng syahdu zaman dahulu.

Kotak lift itu kembali tertutup, menyisakan diriku yang berdiri tertegun di lobi. Seperti lift yang melanjutkan perjalanannya, aku pun harus segera pergi dengan sisa sisa perasaan yang masih membekas.

***

Point of View
Amora
Jumat, 16:32
Kemang, Jakarta.


"Moraaa...kenapa sih lo harus resign? Gue bakal kangen lo tau," Ucap Rini memeluk ku.

"Gue juga bakal kangen lo, sering-sering kabarin gue ya Rin. Maafin gue, harapan gue disini udah selesai, waktunya nyari yang lebih baik lagi ya kan?"Jawabku lirih mengelus punggungnya.

Rini tersenyum sedih, melepas kepergian ku. Bukan hanya dia saja, beberapa staf lapangan mengiringi langkahku menuju pintu lift. Pekerjaan ku terbiasa di lapangan, jadi aku terbiasa keluar masuk ke kantor. Namun, sekarang aku benar-benar keluar dan tak akan kembali lagi.
Gemerlap gedung-gedung Jakarta di sore hari, dan lembayung petang diantara pencakar membuat perasaanku semakin tak menentu.
Di puncak gedung ini merupakan tempat jajaran manager dan staf HRD. Rini dan beberapa temanku yang lain mempunyai kewajiban untuk melaporkan tentang situasi lapangan. Berbeda denganku yang hanya mengambil berkas tunjangan karena sudah resign.

Jujur, aku benar-benar merasakan kasih sayang sebuah keluarga di tempat ini. Senang bercampur sedih. Senang karena aku tidak harus berada di lapangan yang menguras tenaga, sedih karena harus berpisah dengan rekan seperjuangan ku.
Langkah kami terhenti di ujung lorong. Pintu lift berkedip seakan menanti ku mengucapkan kata perpisahan.

"Ting..." Aku menghadap pintu lift yang terbuka, lalu melirik ke arah teman-temanku dengan senyuman.

"Amora, ini barang-barang kamu," ucap Galih.

Galih menyerahkan sekotak kardus berisi keperluanku selama bekerja disini. Beberapa lembar dokumen pribadi, tempat pensil, lilin aroma terapi, hingga bingkai foto diriku bersama keluarga. Mereka masih tak percaya jika aku akan pergi dari gedung ini. Aku melambai sedih pada mereka lalu melangkah masuk ke dalam lift.

"Amora..." Rini dan yang lainnya melambaikan tangan perpisahan.

"Tetap semangat semuanya," ucapku sesak, lalu pintu lift pun tertutup.

"Ah..." Aku menghembuskan nafas panjang, mengusap air mata yang sejak tadi mendesak ingin keluar.

Mataku menerawang ke langit-langit, ke setiap sudut kotak lift ini. Berusaha memasukan kembali air mata yang masih ingin menetes. Setelah sekian lamanya bekerja disini, akhirnya aku mendapat panggilan baru di Sudirman Central Busines District. Orang-orang biasa menyingkatnya dengan SCBD. Aku bersyukur mendapat kesempatan untuk bekerja di sana, tujuanku untuk mendapat karir yang lebih baik dari tempat ini akhirnya terpenuhi.

Sejak pertama melamar hingga akhirnya memutuskan resign, pengalaman kerja di lapangan memang sangat menguras tenaga dan pikiran ku. Belum lagi harus membuat laporan pada Bu Lasmi. Seperti Minggu lalu yang mengharuskan aku untuk menyelesaikan laporan proyek lapangan. Beberapa kali aku terkena amarah beliau, sampai aku menangis penat di sudut ruang kerja. Di kotak lift ini-pun, ingatanku kembali disuguhkan segala kenangan yang tertulis jelas dalam bayangan. Bahagia, sedih, tawa, lara, suka, duka, lelah, tenang, benci dan cinta.
Tunggu dulu, cinta? Aku masih belum menemukannya, bertemu lagi dengan sosok itu. Sosok tampan yang mampu berkorban waktu untuk sekedar menahan pintu lift, tentunya untuk diriku. Andai saja aku bisa bertemu dengannya walau sebentar. Karena aku belum sempat berterimakasih padanya. Sosok misterius yang jarang sekali aku temukan di kantor yang apatis ini, mengapa aku baru pertama kali melihatnya?!
Mungkin pekerjaan di lapangan membuatku jarang sekali bertemu dengan orang-orang khususnya para karyawan yang lain. Terlebih, sosok pria rupawan seperti dia pasti dikerumuni wanita-wanita cantik, jadi mana mungkin dia melirik ku? Pantas saja, saat pertama kali kami berpapasan di Minggu kemarin, dia tidak menyapaku sama sekali. Ahhh, andai saja waktu bisa terulang.

"Ting..." Lift sampai di lantai lima.

Deg!

Tetiba sosoknya muncul. Melangkah masuk, lalu berdiri sejajar denganku. Rasa debar di dada membuatku terpaku beberapa detik. Kaki ini seperti terbang beberapa saat, ditinggalkan lift yang mulai meluncur ke lantai bawah.

Aura pria itu seperti merayu untuk bersandar di pundaknya, tuk mencium wangi jas hitam yang dia kenakan. Seperti menggoda ku untuk melepas segala sedih ini yang mungkin akan terganti rasa bahagia. Rasa debar ini persis seperti Senin kemarin, hati yang jauh berdetak kencang. Seperti dentingan lonceng darurat, mendorong hasrat untuk menyapanya.

"Hey maaf, terimakasih sudah..."

Tunggu, kenapa harus pakai kata hey? Perempuan lapangan seperti ku tidak terdidik untuk menyapa secara anggun, layaknya perempuan kantoran. Melalui pantulan lift, beberapa kali aku melihat setelan ku dari atas sampai bawah. Membenarkan jilbabku yang sedikit bengkok. Aku harus memastikan diriku bisa terlihat rapih sebelum menyapanya.
Suara lift berdenting melalui lantai demi lantai, membuat waktu terasa lebih cepat. Rasa kagum, cinta, panik, cemas menyatu di pikiranku. Sekarang, lift terasa pengap, antara sedih dan bahagia.

"Amora, kamu harus bisa. Sapa dia sebelum waktunya berakhir, kamu takan ada di kantor ini lagi kan?" Gumamku dengan bibir terkatup, tentu dengan memejamkan mata.

"Ting..." Lift perlahan terbuka, sampai dari perantauan mengantarkan kami.

Kaki ini terasa berat untuk melangkah. Jujur, langkah ini lebih berat dari sekedar resign meninggalkan tempat ini. Untuk beberapa saat monitor lift berkedip merah untuk segera keluar atau pintu kembali tertutup. Entah perasaanku saja atau tidak, kami masih diam berdiri. Entah apa yang kami tunggu, yang ku lihat lobi penuh dengan hirup pikuk karyawan. Apa mereka menunggu kami berdua untuk menyapa satu sama lain? Ah, mana mungkin! dia terlihat acuh tak acuh melihatku.

Benar saja, beberapa saat kemudian dirinya melihat jam tangan lalu mulai melangkah terlebih dahulu. Menyisakan aku dalam kotak lift yang memandangnya pergi. Hilang dalam kerumunan orang yang lalu lalang.

"Amora kamu bodoh," aku melangkah keluar dengan sendu.

Ternyata, harapan ku bukan hanya karir yang lebih baik. Lebih dari itu, aku ingin hati yang jauh lebih bahagia. Dengan melihatnya saja aku bisa terhanyut, apalagi jika ditakdirkan bersama.

Namun, kesempatan terakhir untuk menyapa takdirku sekarang telah sirna. Aku melangkah dengan hati yang redup, bersamaan dengan pintu lift yang tertutup.

***

Point of View
Third Person/Reader
Jumat, 13:29
SCBD, Jakarta.

Satu Tahun kemudian.


Jakarta siang hari terasa jauh lebih panas, pantulan sanubari dari gedung pencakar seperti memancarkan api yang menjilat-jilat dahaga. Seperti memaksa karyawan di dalamnya untuk segera berteduh dari lelah. Jam makan siang mulai berdetak maju, tak ayal membuat pintu-pintu perkantoran Sudirman menghamburkan langkah para Karyawan untuk mencari pelepas haus.
Tidak seperti Amora, dia masih berjibaku dengan dokumen yang harus ia selesaikan sore ini. Karir yang dia impikan ternyata semakin rumit, membuatnya merindukan bekerja di lapangan. Tidak terlalu buruk memang, karirnya sekarang bisa melunasi cicilan rumah, membeli mobil, hingga memberangkatkan orang tuanya menuju tanah suci.
Orang tua Amora bersikeras untuk pergi ke tanah suci, walau kondisinya sedang sakit-sakitan. Mereka hanya ingin berdoa di Sekotak Ka'bah, perantara doa-doa Manusia kepada Tuhan. Mereka berharap, jika anak mereka--Amora bisa menikah secepatnya.

Ingatan Amora akan orang tuanya, tidak menghentikan ia untuk memberi tanda tangan pada beberapa lembar dokumen. Siang ini dia akan bertemu delegasi perusahaan lain dalam kerjasama tender dari Pemkot Jakarta. Beruntung sekali, hal itu membuat karirnya jauh lebih pesat dari yang ia kira sebelumnya.

"Tring..." Satu chat masuk ke gawainya.

"[Selamat siang Bu Amora, perkenalkan saya Pandu dari delegasi tender perusahaan kita. Manager memberi nomer ini kepada saya untuk bertemu dengan Ibu hari ini. Saya sudah sampai di lobi, sedang menunggu lift menuju ruangan Ibu.]"

"[Tidak usah, biar saya yang ke lantai bawah. Pak Pandu bisa menunggu di lobi.]"

Di lantai bawah, Pandu memasukan kembali gawainya ke jas hitam yang ia kenakan. Dia duduk di sofa lobi lalu memeriksa beberapa dokumen dalam tas jinjing yang akan diberi tanda tangan Amora. Jabatan dia naik sebagai ketua Manager akunting, dan mewakili perusahaan pusat untuk mendelegasikan tender yang akan diselesaikan sore ini.

Pandu duduk terdiam, melihat jam tangannya yang berputar beberapa menit untuk menunggu. Sempat Pandu bersandar meregangkan segala jenuh yang menerpa, waktunya selalu dihabiskan dalam menunggu.

"Ting..." Pintu lift terbuka, Pandu berpikir jika yang dia tunggu telah tiba. Dia langsung berdiri tegap, menyambut kedatangan Amora.

Sempat mereka berdua begerak beberapa langkah. Pandu melangkah dari sofa, Amora melangkah dari pintu lift. Lalu saat wajah mereka saling menatap seketika itu mereka terdiam satu sama lain. Terpana dan menghembuskan rasa yang sempat hilang.

Amora melihat id-cardyang menggantung di leher Pandu, tidak salah lagi dia delegasi dari perusahaan itu. Pandu-pun seolah tak percaya, bahwa sosok yang pernah membuatnya jatuh hati ternyata muncul dari sekotak lift itu. Walau sempat terdiam, mereka akhirnya memberanikan diri untuk menyapa.

"Inilah saatnya..." Gumam mereka bersamaan.

"Pak Pandu?"
"Bu Amora?"

Ucap mereka serentak, seketika membuat suasana lebih cair dari sebelumnya. Mereka tersenyum diselingi tawa bahagia.

"Jadi..."

"Ya jadi..."

"Apa?"

"Aku tak tau..."

"Aku pun sama..."

"Maaf, namanya Amora ya?"

"Dan kamu, Pandu ya?"

"Boleh aku minta nomer kamu?"

"Bukankah sebelumnya sudah chat duluan?"

"Oh iya ya, haha,"

"Hihi..."

Gedung yang ramai seperti hening akan pertemuan mereka di sudut lobi. Dongeng yang masih berlanjut sampai sekarang. Benar, jika mitos isi kotak Pandora bukan hanya mengeluarkan rasa sakit, tapi harapan akan kebahagiaan bagi umat Manusia. Khususnya bagi mereka yang percaya.

Quote:

THE END

Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 10-07-2022 16:44
DiNa853
Dheaafifah
terbitcomyt
terbitcomyt dan 14 lainnya memberi reputasi
15
1.6K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan