albyabby91Avatar border
TS
albyabby91
BUKAN NGIDAM #comedy
BUKAN NGIDAM

#comedy

"Rin, ibu tinggal dulu, ya. Gak lama, paling dua hari saja. Senin sore ibu sudah balik." Ibu berkata sambil menutup tas yang berisi perlengkapan di jalan. Ibu tidak membawa baju karena akan kembali ke rumah itu.

"Baik, Bu. Hati-hati di jalan, ya. Jangan mudah terima makanan atau minuman dari orang lain. Ibu sudah bawa minuman dan bekal roti di tas, kan?" Rini–sang menantu mengingatkan ibu mertuanya.

"Sudah, roti yang kamu belikan tadi ibu bawa semua. Sekalian buat oleh-oleh bapakmu. Maklum, sudah sepuh, kelakuan kayak anak kecil. Pulang, harus bawa buah tangan walaupun roti. Beli di warung juga bisa." Ibu terkekeh geli.

"Iya, gapapa, Bu. Yang penting bapak sehat. Salam untuk bapak ya. Hape ibu jangan dimatikan, ya. Begitu sampai rumah, kabari kami biar kami lega."

"Iya, nanti ibu telepon. Selama di jalan ibu gak mau buka hape. Takut diincar orang. Biar di dalam tas saja."
Ibu menyangkutkan tas selempang yang berisi dompet dan ponsel di pundaknya lalu memakai jaket di bagian luarnya. Sebuah tas kain berisi bekal dan oleh-oleh untuk diberikan pada bapak sudah siap ditenteng.

Perlahan wanita paruh baya itu melongok ke kamar, dimana kedua cucu kembarnya berada di box bayi.

"Kalian baik-baik, ya! Jangan nakal, biar ibu kalian gak terlalu capek. Nenek pulang sebentar saja."
Seolah kedua cucunya yang baru berusia enam bulan itu paham ucapan neneknya, mereka menatap ke arah neneknya.

"Sebenarnya ibu berat ninggalin kamu sama suamimu saja mengurus Arga dan Arka. Tapi ada 'janji' yang harus ibu 'bayar' segera. Ibu mau potong beberapa ayam, dimasak dan dibagikan pada tetangga karena persalinan kamu sudah lancar, cucu-cucu nenek tumbuh sehat. Kebetulan juga sekarang ada libur panjang, Senin tanggal merah, jadi suami kamu bisa bantu jaga si kembar."
Bu Ima–mertua Rini, menatap menantunya.

"Gapapa, Bu. Ibu pulang aja sebentar, sekalian nengok bapak. Sudah lama ibu tak pulang hanya telepon saja."

"Iya, katanya bapakmu kangen dengar omelan ibu secara langsung."
Rini tertawa mendengar ucapan ibu mertuanya. Seperti siaran saja, ada ngomel 'live'.

Wanita yang sudah siap berangkat itu melihat ke teras, dimana si anak kandung sedang duduk memainkan ponselnya.

"Ji!" panggilnya lembut.
Tidak ada jawaban.

"Jiyanto!" nada lebih tinggi terdengar.
Pria yang dipanggil masih asik dengan ponsel di tangannya.

"Panji Ariyanto!"
Suara menggelegar memenuhi isi rumah hingga membuat si kembar melongo.

Sosok pria yang sedang menekuri benda pipih yang konon 'pintar' itu terkesiap, meletakkan ponselnya dan bergegas menghampiri sang ibu yang sudah memasang wajah 'tegangan tinggi'.

"Iya, Bu." Jiyanto berdiri di hadapan ibunya sambil menatap sang bunda.

"Kamu bantu betul-betul istrimu. Kalau dia urus anak anak kamu, kamu kerjakan pekerjaan rumah. Kalian harus kerja sama."

"Baik, Bu."

"Jangan pakai alasan macam-macam lalu ninggalin istri sendiri di rumah. Ngurus anak itu capek. Kamu sudah tahu itu."

"Iya, Bu."

"Kalau rumah berantakan jangan ngomel. Bereskan. Kalau istri gak sempat masak, kamu pesan atau kamu masak."

"Baik, Bu."

Sang ibu beralih ke menantunya.
"Kalau suami kamu gak mau bantu, telepon saja ibu. Ibu jemput kamu dan si kembar, biar dia urus dirinya sendiri, kita tinggal di rumah ibu saja. Di sana banyak yang bantu menjaga si kembar. Bapak ada, ponakan kamu banyak."

"Eh, jangan! Iya, Bu." Jawab Jiyanto patuh. Jangan sampai istri dan anak-anaknya diboyong ibunya ke rumah masa kecilnya. Dia takkan kuat berpisah dengan si kembar dan Rini.

"Ibu ngalah tinggal di sini karena kamu bilang bisa bertanggung jawab pada mereka. Selama ini ibu yang bantu. Sekarang buktikan kamu mampu mengurus mereka selama ibu pulang."

"Siap, Bu."

"Ya, sudah, ibu pamit dulu." Ibu mengulurkan tangan dan dicium oleh Jiyanto dan Rini.

"Aku antar ibu ke terminal ya?"

"Gak usah, nanti pulang dari terminal kamu mampir-mampir, kasihan Rini sendirian. Ibu sudah dipesenin ojek online sama Rini."

Jiyanto hanya bisa mengangguk. Tak punya celah menolak keinginan sang 'ibu suri'.

Sepuluh menit kemudian ojek online yang dipesan datang. Sekali lagi Bu Ima melihat ke arah Arga dan Arka sebelum keluar rumah.

Rini melepas keberangkatan mertuanya dengan sedih dan lega. Sedih, karena selama dua hari tak ada tenaga handal yang akan membantunya. Lega, ibu mertua sudah memberi 'pembekalan' dan 'ancaman' pada suaminya.

Memiliki mertua layaknya ibu sendiri adalah berkah bagi Rini, keluarganya tinggal di luar pulau dan sang ibu hanya bisa mengunjungi saat ia baru melahirkan selama beberapa hari karena kondisi kesehatan bapaknya yang tidak bisa ditinggal lama, tapi rutin menelepon atau melakukan video call untuk mengetahui kabar cucu-cucunya.

"Bang, Abang pilih mana? Mandikan dan nyuapin si kembar atau… beres-beres rumah, jemur baju dan cuci perabotan? Tadi ibu sudah masak, hanya belum sempat nyuci perabot."

"Dek, boleh nanti, gak?"

"Boleh, aku telepon ibu sekarang biar balik, aku ikut ke rumah kamu sama si kembar. Aku bilang kamu gak sanggup bantu aku."

"Iya-iya. Jangan telepon ibu, ah. Kamu…diajak bercanda suka gitu," wajah Jiyanto merengut.

"Jangan becanda urusan kerjaan rumah. Karena kerjaan rumah gak ada yang bercanda, semua serius." Ekspresi Rini sudah mirip ibu mertuanya.

Jiyanto melakukan semua pekerjaan yang menjadi bagiannya.

Rini memandikan si kembar bergantian, menyuapi mereka dengan bubur buatan ibu mertuanya karena kedua bayi itu sudah mulai mengkonsumsi makanan tambahan, dan setelah beres, mengajak main sebentar sebelum mereka tidur siang.

"Bang, jagain mereka bentar ya. Aku mau mandi dan makan bentar aja."

"Iya, jangan lama-lama ya!"
Mendengar ucapan suaminya, Rini yang sudah siap melangkah berbalik.

"Ibu-ibu yang punya anak satu aja mandi dan makan kayak dikejar maling, apalagi aku, punya anak kembar, sudah kayak dikejar macan. Gak usah pakai pesan sponsor kayak itu. Aku pasti cepat-cepat. Kalau perlu, pipis aja aku rapel kalau bisa."

Joyanto melongo. Ternyata setelah memiliki dua anak, kemampuan Rini mengomel melebihi kecepatan cahaya.

Malam harinya.
Jiyanto sedang duduk di ruang keluarga menonton siaran berita.
Seharian membantu Rini mengerjakan pekerjaan rumah membuatnya capek.

Ternyata benar, lebih enak kerja kantoran. Pekerjaan ada ujungnya, jam istirahat jelas, jam pulang pasti, lembur dibayar. Ini? Non stop dan bayarannya gak jelas hitungannya.

"Bangggg…."

Panggilan yang membuat 'trauma' kembali terdengar.

"Apa, Dek?" Tanpa menoleh Jiyanto menjawab, matanya masih fokus ke layar televisi. Terbayang lagi 'ngidam' ala istrinya yang membuatnya pusing.

"Bangggg…."
Panggilan ke dua. Dengan malas Jiyanto menoleh dan terpana.

Rini mengenakan dress tali satu warna merah. Wow!
Rupanya kali ini Rini tidak 'ngidam' yang merepotkan tapi mengasikkan.

Dengan sigap Jiyanyo bangkit dari duduknya dan mendekati Rini yang berdiri di ambang pintu kamar. Malu-malu. Pria yang sudah lama 'puasa' itu mendekati istrinya.

Tanpa keberadaan sang ibu mertua di rumah, membuat Rini berani 'berkreasi'. Kode ala suami istri sudah terbaca.

"Abang gendong, ya?" Bisik Jiyanto pelan. Aroma tubuh istrinya yang biasanya mengeluarkan aroma minyak telon, kali ini begitu harum menggoda.

"Gak usah, kamu gak akan kuat. Aku sekarang berat dua kali lipat."

"Gapapa, aku kuat. Yakin!" Dengan penuh percaya diri pria itu mengambil ancang-ancang dan mulai mengangkat tubuh istrinya. Suasana romantis harus tercipta maksimal.

Huffff!
Ternyata benar, bobot Rini sungguh jauh lebih berat dibandingkan saat malam pertama dulu. Dengan terseok Jiyanto melangkah masuk kamar dengan membopong Rini.

Rini tersenyum geli, siapa suruh bandel, batinnya.

Tiba-tiba…
Brak!
Bruk!
Hoekkkkkkk!
Hoeekkkkkk!

Kaki Jiyanto tersandung kaki kursi meja rias, badannya terhuyung dan mereka jatuh di lantai hingga membangunkan si kembar.

"Abang! Tuh, kan! Dibilangin bandel!" Rini mengomel, menyambar daster 'kebangsaannya' dan menenangkan si kembar, memberinya minum susu formula.

Hampir dua jam barulah mereka berdua kembali terlelap.

"Dek,...gimana kalau…." Jiyanto mendekati istrinya yang merebahkan badan di kasur, wajahnya yang tadi cerah, kini terlihat lelah. Tadi Rini menenangkan Arga cukup lama karena bayi itu paling tidak suka diusik tidurnya.

"Gak, aku mau tidur. Capek! Besok aja!" Wajah Rini sudah masam.

Pria itu menghembuskan nafas panjang. Gagal sudah!

Ponsel yang diletakkan di atas meja berdering. Ibunya.

"Halo, malam Bu."

"Rini dan si kembar gimana?"

"Baik."

"Rini gapapa, kan, urus mereka sendiri?"

"Kan, ada aku, Bu."

"Kamu kayaknya hanya nonton tv aja."

"Nggak, Bu."

"Rini sudah tidur?"

"Sudah, Bu. Baru saja tidur, barusan jatuh…."
Jiyanto langsung diam.

"Ha? Rini jatuh? Dimana? Besok sore ibu balik, deh."

"Eh, gak usah Bu. Hanya tersandung kaki meja tadi, gapapa. Ibu jangan balik besok, ibu balik Senin malam, kalau perlu Selasa malam. Aku nanti minta izin satu hari lagi."

"Serius?"

"Serius, Bu!"
Bisa gagal 'eksekusi' penuh fantasi bila ibunya datang besok malam. Besok malam tidak usah pakai acara bopong-bopong segala. To the point saja, batin Jiyanto.
Sabar….

*===*
dewisuzanna
provocator3301
marwangroove920
marwangroove920 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.2K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan