dandipermanaAvatar border
TS
dandipermana
Hinaan dari keluarga dan suami
"Ini untuk kebutuhanmu selama seminggu,” Ibu Mertua meletakkan uang lima puluh ribu di atas meja. Aku yang sedang menyusui anak pun terkejut.

"Ya, Bu," jawabku sambil memungut uang itu. Terpaksa, aku sangat butuh.

"Makanya cari kerja sana!" Ia melotot seolah aku benalu di kehidupannya. Padahal aku menantunya.

"Aku sedang menyusui, Bu," lirihku.

"Jangan jadikan menyusui alasan! Kamu kira aku takpernah kerja dan tak punya anak!"

"Jika aku kerja, gimana dengan anakku, Bu?"

"Seharusnya kamu lebih giat bekerja dan bisa mengandalkan diri sendiri. Bersyukurlah kamu masih bisa tinggal di rumah ini. Bahkan seminggu ini aku masih bisa menyisihkan sedikit
uang untukmu. Ini semua karena aku menghargai istri Bayu."

Menghela napas besar berulang kali. Aku berusaha tak mengeluarkan air mata. Jika hati terlalu sakit, untuk menangis pun rasanya tak sanggup. Kugenggam uang itu seiring menahan rasa sakit hati yang setiap hari terpendam.

Ini seperti uang gajiku seminggu, karena melakukan semua pekerjaan rumah. Secara kasarnya, menantu sekaligus pembantu. Tak ada pilihan, karena mas Bayu sudah di PHK semenjak kaki kirinya diamputasi karena kecelakaan.

"Sabar, Rin. Ibu memang seperti itu, tapi sebenarnya hatinya baik," ucap mas Bayu melihat semua ini.

"Mas, aku ...." Ingin mengatakan 'tak sanggup' rasanya tak tega. Mas Bayu tak mampu berbuat banyak. Apa yang bisa dikerjakannya? Berdiri saja dengan satu kaki yang dibantu tongkat untuk berjalan.

"Maafkan Mas, Rin. Mas janji akan terus cari kerja."

"Ya, Mas," jawabku pilu.

'Kerja apa, Mas? Untuk diri sendiri saja kamu tak mampu, apalagi menafkahiku,' bathinku.

Dulu, saat mas Bayu kerja, kami disanjung. Aku pun tak masalah jika gaji mas Bayu juga dijatah untuk ibu dan adiknya setiap bulan. Aku tahu itu juga kewajibannya. Lagian tak perlu dipermasalahkan karena kewajibannya sebagai suami sudah dipenuhi.

Dan warung sembako ibu, yang ada depan rumah pun juga modal dari suamiku.

"Rina! Aku titip zilan ya, ntar kukasih dua puluh ribu." Mbak Inur menyodorkan bayinya yang masih dibedung. Ia istri mas Jaka-- kakak dari mas Bayu. Karena ia banyak menanggung biaya dapur, maka ia menantu disanjung.

"Ya, Mbak," jawabku. Tentu aku tak bisa menolak. Uang dua puluh ribu itu sangat besar bagiku saat ini.

"Mau ke mana, Nur?" tanya ibu.

"Mau ke renuian SMA, Bu. Lumayan dapat jatah jadi panitia. Lagian nanti aku bisa bawa pulang makanan sisa acara. Lumayanlah, Buuu."

"Oooh, itu baru mantu pintar, nggak seperti itu tuuu." Ibu menunjukku dengan meruncingkan bibirnya ke arahku. Sudah biasa dibandingkan, tapi tetap saja bikin sesak.

"Bu, aku minta jajan dong." Tiba-tiba Stela keluar dari kamar. Lalu mengadahkan tangan ke ibu mertua.

"Baru kemaren di kasih seratus, kok minta lagi?" tanggapan ibu.

"Kan udah habis beli quota internet, Bu. Minta setengahnya aja ya?" ucap Stela manja.

Lalu ibu mengeluarkan dompet.

"Nih." Uang lima puluh ribu diberikan ke Stela.

Ibu sepertinya banyak uang. Aku butuh uang buat buka nomor rekening bank. Karena cerbung yang aku diposting di dua aplikasi prabayar, sudah menghasilkan sekitar sembilan belas juta rupiah. Hanya saja, pembayaran harus melalui rekening.

"Bu, aku bisa pinjam uang dua ratus ribu buat modal jualan online?" Bicara jujur sepertinya tak perlu. Paling mereka akan menghinaku lagi.

"Mau jualan apa? Paling nggak laris, kamu tu cuma tamat SMP, cocoknya jadi babu, beda sama Stela yang sedang kuliah S1, ha ha ha."

Ia memperbandingkan pendidikan putrinya dengan pendidikanku. Dan mereka berdua tertawa mencemooh seolah aku tak bisa apa-apa.

"Iya, Mbak. Bagusan nyuci baju aja karna udah numpuk." Entengnya Stela memerintahku.

Mas Bayu langsung menggeleng pelan menanggapi seolah tak setuju dengan sikapku meminjam uang ke ibunya. Aku pun tak cerita kenapa mau pinjam uang. Sengaja kurahasiakan agar bisa mengumpulkan uang buat usaha buka warung dan cari kontrakkan. Cita-citaku dari dulu ingin punya rumah makan padang, modalnya besar dan saat ini belum sanggup menggapainya. Tapi aku yakin suatu saat pasti bisa.

Tuhan, kenapa aku baru menyadari sikap buruk mereka setelah mas Bayu di PHK. Sekarang kondisiku pun sedang menyusui anak. Tak punya kerjaan dan setiap hari mendengar ocehan mertua dan ipar. Sebenarnya aku menantu atau pembantu mereka?

Hanya ponselku ini tempat curhat. Ibarat diary yang kuketik di aplikasi catatan k**p. Ini ponselku dan sudah hampir setahun kumiliki.

Apakah tamat SMP seperti orang tak berpendidikan? Bukan aku tak mau sekolah, tapi kondisinya orang tua tak mampu membiayai. Dan akhirnya, aku kerja di rumah makan Padang. Awalnya hanya sebagai tukang cuci piring, terakhir sebelum mengundurkan diri karena menikah, jadi tukang masak. Dari sanalah pertemuanku dengan mas Bayu, ia sering makan siang di tempatku bekerja.

"Jangan banyak berharap, sudah sana lanjutkan nyuci, biar Raka dan zilan kujaga di kamar. Nanti kalau menangis akan kupanggil," ujar mas Bayu pelan.

"Ya, Mas."

Aku harus cari pinjaman ke yang lain.

***

Dua hari berlalu.

"Rina! Rina!" Tiba-tiba ibu mertua memanggil. Seperti biasa, jam segini aku harus masak makan malam.

"Tuh Ibu nyuruh masak, Mbak," ucap Stela.

"Mas, tolong jagain Raka. Aku mau masak."

"Aduh, Rin. Aku juga mau nyuci motor Mas Jaka. Lumayan dapat upahnya dari pada dibawa ke tempat cucian," tolak mas Bayu.

"Oh, ya, Mas."

Kugendong anakku ke dapur. Di sana, ibu sedang mengeluarkan sayuran dari kantong kresek.

"Lama amat, kerongkonganku sakit teriak-teriak. Cepat masak! Goreng ayam itu dan bikin sambal terasi." Ibu mertua terlihat kesal. Sebenarnya ini sudah biasa kuterima, tapi tetap saja hati ini sakit saat ucapan itu dilontarkan dengan nada tak enak di telinga.

"Ya, Bu," jawabku pelan. Lalu meletakkan Raka di lantai dapur dan diberi kerupuk agar ia tak ke mana-mana. Raka sedang lincahnya karena baru satu bulan ini bisa berjalan.

"Kamu tu beruntung tinggal di sini. Tak keluarin uang banyak buat biaya makan. Listrik dan air tak perlu mikir," ujar ibu mertua sambil mencuci tangan.

"Ya, Bu," jawabku, lagi menahan.

"Mana uang dapurmu?" Ibu mengadahkan tangan.

"Ini, Bu." Kusodorkan uang lima puluh ribu padanya. Itu uang yang ia berikan dua hari yang lewat.

Satu hari aku dijatah uang seribu lima ratus rupiah. Satu minggu total sepuluh ribu lima ratus rupiah. Kata ibu mertua aku tak perlu mikirkan tentang makan lagi karena ia yang bantu. Uang lima puluh ribu yang diberinya, kuberikan lagi.

Biasanya, sepuluh ribu lima ratus rupiah itulah kugunakan untuk membeli quota internet. Karena dapat uang dua puluh ribu dari mbak Inur, uang lima puluh ribu itu masih utuh kupegang.

"Ini kusisakan seperti biasa." Ibu menyodorkan uang sepuluh ribu lima ratus rupiah padaku. Lalu ia berlalu ke luar membiarkan aku memasak sendiri.

Keadaan ini sudah biasa kualami. Ibarat pembantu, semuanya aku yang kerjakan. Mau pergi dari sini, aku tak punya tempat tujuan selain rumah orang tua. Tak mungkin aku pulang karena kondisi ibu bapak juga serba kekurangan. Seharusnya aku yang membantu mereka. Tapi itu hanya dulu.

Setiap malam aku curhat ke seorang penulis. Memberanikan messenger dan Alhamdulillah tanggapannya baik dan ramah. Sebenarnya aku tertarik membaca cerbungnya yang tak jauh dari kondisi rumah tanggaku. Jujur, aku merasa tercerahkan. Dan rasa kasihannya menyuruhku mencoba menulis cerbung.

Awalnya aku tak percaya diri. Mana mungkin tamat SMP seperti aku bisa menulis seperti Author top yang sukses di beberapa aplikasi baca novel. Hasilnya, satu minggu aku belajar menulis darinya secara diam-diam, dan sekarang kuberanikan menposting di dua aplikasi prabayar. Alhamdulillah, aku sudah punya pendapatan kurang lebih dua puluh tiga juta rupiah. Hanya saja uang itu besok atau lusa baru kuterima.

"Rina! Rina!"

Astagfirullah'alaziim, aku mengucap saat mendengar ibu mertua berteriak memanggil.

"Rina! Sini cepat!"

Ya Tuhan, aku melakukan kesalahan apa? Kali ini teriakkan mas Bayu memanggil. Dari nadanya terdengar sangat marah.

"Ya, Mas!" sahutku sambil mematikan kompor.

"Cepat sini!" Ibu mertua seperti tak sabar ingin memarahiku. Ya Tuhan, ada apa ini?

"Iya, Bu," jawabku sambil menggendong Raka.

Jantungku berdegup tak enak. Ini bukan karena aku merasa bersalah, tapi suara ibu dan suamiku terdengar lantang.

"Ya, Bu," jawabku sudah berdiri di depan mereka. Mereka yang kumaksud ada mbak Inur, mas Jaka, Stela, ibu mertua dan suamiku. Tapi kok ada mbak Leha? Jangan-jangan ....

"Sudah untung kamu kutampung di rumah ini!" tukas ibu mertua.

"Sadar diri dong, Bayu cacat dan hanya bisa mengadahkan tangan," timpal mas Jaka.

"Ya paling kalau mau mengadahkan tangan di lampu merah, pasti dapat uang." Stela berucap tak menghargai kakaknya. Padahal ia bisa tamat D3 adalah biaya dari mas Bayu.

"Sini!"

Mas Bayu tiba-tiba marah. Raka dalam gendongan langsung menangis.

"A-apa salahku, Mas?" lirihku, mas Bayu terlihat sangat marah.

"Berani kamu pinjam uang! Bayar pakai apa? Lihat kondisiku!" Mas Bayu berucap lantang. Aku tahu ia merasa terhina dengan ucapan ibu dan saudaranya.

"Sabar, Bayu. Lagian ini urusanku dengan Rina. Jangan gitu dong, kasihan istrimu sudah kurus kok dimarahi?" Terlihat mbak Leha menatap prihatin.

"Biar aja, Leha! Toh ia salah kok. Tak punya uang sok minjam," tukas mbak Inur.

"Hei! Seharusnya kamu berpikir lebih jernih? Beraninya minjam uang ke Leha. Bisa bayar nggak?" Ibu melotot sambil mencubit lenganku. Sakit, tapi hatiku lebih sakit.

"Mana bisa, Bu. Lah kerjanya hanya mengadahkan tangan aja, lagian Mas Bayu bisa apa?" timpal Stela yang membuat diriku semakin terpojok.

Ya, aku minjam uang dua ratus ribu ke mbak Leha buat buka nomor rekening. Gunanya untuk tranfer hasil dari menulis. Itulah kenapa aku berani meminjam uang. Namun, uang itu lupa kutarik via Atm karena kondisi Raka rewel saat berada di bank. Lagian aku takut dimarahi ibu, jika belum kunjung pulang. Itulah kenapa hari ini mbak Leha datang menagih hutang.

Aku hanya terdiam. Raka rewel dan segera kususui sambil berdiri. Lagi, tak ada air mata yang tumpah. Mungkin aku sudah kebal.

"Kenapa diam aja! Jangan kamu kira aku yang akan membayar hutangmu. Sepersen pun aku tak sudi!" Ucapan lantang ibu mertua seolah aku ini bukan menantunya.

Amarah mereka kuterima dalam diam. Sambil berkata di hati, "Sebentar lagi apakah kalian akan meremehkan aku? Tamat SMP saja, bukan berarti aku bodoh."

"Mbak Leha, maaf ya, uangnya besok atau tiga hari lagi kuganti, aku janji akan melebihkan seratus ribu karena telat bayar," kataku yakin.

"Apa? Hey! Mau bayar pake apa. Kamu sedang mimpi punya uang banyak?"

"Mungkin dapat warisan dari orang tuanya kali, Bu. Tapi boong, ha ha ha." Ucapan Stela disambut yang lain tertawa menghina. Kecuali suamiku yang hanya terpana. Entah apa yang ia pikirkan. Aku tahu ia tak terima jika aku dihina. Hanya saja ia tak bisa melawan.

Saat mereka tertawa menghina. Aku masih bersabar untuk diam. Biar mereka puas dulu dan nanti akan kutampar dengan tiba-tiba punya uang banyak. Uang yang lebih dari dua puluh juta rupiah adalah nominal yang seumur hidup tak pernah kupegang. Dan ini seperti mimpi aku bisa memilikinya. Dan itu nominal akan cair, belum yang pending.

"Hey! Mantu terkaya, kepalanya nggak terbentur kan? Atau perlu kubawa ke rumah sakit jiwa?"

"Ha ha ha, Ibu nih. Emang mantu terkaya ibu rada iniii?" Stela memiringkan telunjuknya di kening memberi isyarat jika aku menantu gil*.

"Aduh, Stela, jangan gitu dong, gimana pun juga Rina tetap kakak iparmu, kalau yang yang kamu ucapin jadi kenyataan gimana? Ha ha ha." Mbak Inur pun ikut bersuara. Bukan membela justru ia ikut menanggapi lelucon menghinaku.

"Tunggu dulu, Bu Ida. Maaf, bukan ingin ikut campur. Sepertinya aku salah waktu menagih hutang." Mbak Leha seperti merasa bersalah melihat raut wajahku, saat menatap mereka sedang menghina. Menantu gil* sebutan untukku.

'Silahkan kalian tertawa,' bathinku. Dan mungkin ini tak akan bisa dimaafkan karena luka hati ini semakin dalam. Ya Tuhan, maaf dengan hati ini ingin membalas.

"Leha, kamu tu mikir nggak sih? Udah jelas Bayu keadaanya seperti ini. Mantu terkayaku dapat duit dari mana buat ganti uangmu? Jika kamu tuntut aku, ya tidak bisa dong. Lah hasil warungku saja tak seberapa, belum lagi menanggung makan satu keluarga. Seharusnya mereka yang beri aku uang, ini malah kebalik. Sialnya aku punya anak yang tak bisa bantu di hari tuaku."

"Jangan ngomong gitu, Bu. Kata-kata itu do'a loh."

"Ini bukan do'a tapi kenyataan kok." Ibu mertua masih kukuh dengan ucapannya.

Mas Bayu menunduk. Terlihat ia sedih. Dan mungkin luka hatinya lebih dalam dariku. Ini ibu kandungnya yang bicara menghina.

"Bu, Mas Bayu tetap putra Ibu. Apa Ibu tak ingat jasa Mas Bayu saat kerja dulu?" Kuberanikan menjawab.

"Hey!" Pundak kananku didorong hingga aku terduduk di kursi. Untung di belakangku kursi, jika lantai bisa ikutan jatuh bersama Raka yang sedang menyusu.

"Ibu." Mas Bayu berusaha menolongku. Gerakan sulit karena ia berjalan dengan bantuan tongkat.

"Apa? Kamu menyalahkan Ibu? Kurang apa lagi Ibumu ini. Bahkan aku yang mencari uang untuk biaya makan anak dan istrimu! Untung ada Jaka yang bantu, kalau tidak bisa mati aku cari uang sendirian."

Mas Bayu terdiam lagi. Aku tahu ia ingin menjawab. Tapi kondisinya belum bisa cari uang. Terpaksa diam menahan saat kami dihina.

"Seharusnya kamu sadar diri, Bay. Sudah untung tak repot kerja. Kalau dikumpulkan uang pengeluaran untuk biaya makan kalian, mungkin kami sudah bisa beli mobil." Mas Jaka pun tak tinggal diam membela ibunya.

"Aneh ya, udah nggak mampu berlagak pula," gumam mbak Inur menatap kami sinis.

"Maaf, ya. Aku permisi dulu. Oh ya, Rin, dua hari lagi aku ke sini, jangan janji aja ya, itu uang dapurku. Kamu tau sendiri lah suamiku cuma kerja di toko kain."

"Iya, Mbak. Insya Allah pasti kuganti dan dilebihkan," jawabku lagi, lalu berusaha bangkit berdiri.

"Rin, kamu dapat uang dari mana? Bahkan di sakuku aja hanya ada uang tiga ribu rupiah," ucap mas Bayu pelan. Aku tahu ia khawatir.

"Tuh tukang menghayal belum juga sadar." Stela ikutan menyindir.

"Mas, Insya Allah pasti ada jalan. Aku akan kerja, Mas," jawabku. Dalam hati berucap, 'kerja menulis, Mas.'

"Tapi di mana-mana kerja dulu baru digaji. Lah kamu kerja apa, Rin?"

"Aduh! Kenapa harus berpura-pura? Sebenarnya kamu mau bekerja di mana, Rin? Sangat sulit untuk bisa langsung mendapatkan uang. Berjualan makanan?"

"Astagfirullah'alaziim, Ibu!" Mas Bayu tak terima aku dihina. Seketika ia melotot.

"Kenapa? Berani melototi Ibu sekarang?"

"Sudahlah, Bu. Aku lapar nih, jika ini kita perpanjang kapan Rina masak?" Mas Jaka menarik tangan ibu menjauhi kami.

"Kamu seharusnya lebih berbakti kepada orang tua. Ingatlah itu,” kata Ibu sambil menjauhi kami.

"Dasar kalian ya, seharusnya berterima kasih ke Ibu." Stela pun berlalu setelah meninggalkan kata-kata.

"Maaf ya, Rin. Seharusnya aku tak kasih tahu mertuamu."

"Nggak apa-apa, Mbak Leha. Mbak meminjamkan uang berarti percaya jika aku pasti menggantinya. Insya Allah dalam waktu dua atau tiga hari ini. Jika aku tak bisa bayar, cincin nikahku jaminannya."

Mas Bayu langsung menatapku.

"Sebaiknya jual aja cincin nikah itu sekarang, bayar hutang kalian dan tambah biaya dapur, beres kan?" tukas mbak Inur enteng, yang duduk tak jauh dari kami.

"Itu urusanku, Mbak!" jawabku tak tahan terus diam.

"Oooh, urusanmu, oh aku lupa, kamu kan mantu terkaya, ha ha ha."

"Aamiin," jawabku meng-Aminkan katanya karena kata-kata itu bagiku semacam do'a.

"Uh! Dasar aneh." Lalu ia berlalu.

"Sabar ya, Rin. Semoga ada jalan kamu bisa hidup mandiri. Sunghuh, aku merasa tak enak kamu diperlakukan seperti ini. Maaf ya."

"Aamiin. Nggak apa-apa, Mbak. Kami udah biasa kok." Bibirku pun berusaha tersenyum.

"Aku pamit dulu."

Setelah mbak Leha pergi, mas Bayu langsung merogoh saku.

"Rin, aku hanya punya ini." Uang lembaran dua ribu dan koin seribu, disodorkan padaku.

"Iya, Mas." Kuterima uang itu.

Ini nafkah tiga ribu rupiah dari suamiku. Meskipun sedikit tapi entah kenapa aku merasa ia suami yang masih berusaha bertanggung jawab. Keadaan kakinya bukan keinginan kami, tapi ini Tuhan berkehendak. Dosa bagiku menyalahkan takdir.

"Hey Mantu terkaya! Cepat sana ke dapur, kami sudah lamar nih." Teriakkan ibu mengatakan aku 'menantu terkaya' kuanggap do'a meskipun mereka mencemooh.

"Ya, Bu," sahutku belum bisa membantah.

"Raka tidur, Mas. Tolong jagain dulu di kamar."

"Iya, ayok."

Kubaringkan Raka di ranjang. Ia terlelap dan Alhamdulillah sehat, meskipun kondisi kami sangat kekurangan.

"Rin, maafkan keluargaku. Seandainya aku mampu pasti kubawa pergi dari sini." Mata mas Bayu berkaca. Ia di tengah keluarga kandung tapi tersisih. Kejadian seperti ini kuanggap hanya sebuah tontonan di sinetron, tapi kenyataanya kami yang mengalami. Sesak sekali dada ini ....

"Mas, yang penting kita tak berhenti berusaha dan berdo'a. Aku masak dulu."

Lalu aku berlalu ke luar kamar. Tak ingin membahas itu berlama-lama karena aku tak ingin menangis. Sekarang yang kubutuhkan kuat menghadapinya.

***

Masakan kuhidangkan di meja makan. Ada ayam goreng, sup bakso dan asam padeh ikan. Mereka lahap menyantapnya. Aku tahu karena masakanku enak. Tentu saja karena pernah kerja di rumah makan padang. Dari pengalaman dapat ilmu karena aku sadar tak berpendidikan tinggi.

"Rin, besok pagi buatkan aku asam padeh ikan ini lagi. Mau kubawa ke kantor," pinta mas Jaka, saat aku meletakkan sepiring prekedel tahu.

"Iya, Mas," jawabku.

"Nanti bilang itu masakanku ya, Mas. Biar teman-temanmu memujiku," timpal mbak Inur.

"Lah kamu aja nggak bisa masak seenak ini. Barati aku bohong dong."

"Alaah, itu aja dipermasalahkan. Nanti Inur bisa belajar masak enak dari Rina. Toh sekarang ini Inur tak perlu repot masak, lah ada Rina kok. Bilang ajalah biar Inur ikut disanjung." Ibu seide dengan menantu kesayangannya.

kerasrendi402
kerasrendi402 memberi reputasi
1
618
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan