Pembahasan ini menyambung thread sebelumnya, agar cerita ini menjadi kesatuan silahkan membaca dahulu part 1 bisa di klik disini.

Oke, kita lanjut pembahasannya. Dunia politik di era sesudah orde baru, media mulai memainkan peran yang sangat penting. Jadi spanduk atau baliho yang besar, sudah bukan merupakan kampanye utama.

Tapi memberdayakan media untuk kepentingan politik itu adalah gaya baru yang dilakukan Jokowi ketika ingin menjadi Gubernur DKI, saat itu Jokowi paham bahwa kampanye yang paling baik melalui media massa. Bahkan ketika ingin meraih kursi Presiden hal itu juga dilakukan.

Maka media massa Jokowi baik itu relawan atau yang dibayar, secara gencar, menjadi pelopor kampanye-kampanye di Indonesia selanjutnya.



Di era Indonesia saat ini media massa sangat berbeda, banyak berita yang berubah layaknya sebuah sinetron, kenapa bisa berubah? Karena plot berita disesuaikan dengan kehendak penontonnya.

Maka media saat ini dikuasai oleh oligark, para orang kaya. Semua itu dilakukan demi keuntungan, tentu imbasnya berita-berita di Indonesia lebih kearah memainkan emosi dan perasaan, dan hanya yang enak untuk ditampilkan.

Ketika para orang kaya itu tahu hal tersebut maka media mulai dikuasai para politisi, atau pemilik modal. Ketika lingkaran politisi, pemilik modal, menguasai media massa, maka rakyat hanya menjadi penonton yang diperas uangnya dan dicekoki idiologinya.



Jokowi tahu akan hal itu, dan Jokowi masuk ke dalamnya maka ini yang menjadi masalah. Dari seorang yang idealis menjadi seorang yang pragmatis.

Untuk menang dan bisa berkuasa, bahkan membantu rakyat sebaik-baiknya, maka Jokowi harus terlibat dalam media massa, politisi dan pemilik modal yang kita tahu mereka itu ada kepentingan untuk memajukan diri mereka sendiri selain untuk negara.

Menurut Richard Robison, oligarki di Indonesia atau penguasa di Indonesia siapapun dia, mereka bukanlah orang baru tetapi orang lama. Jadi walau ada reformasi, ada pergantian pemerintahan, ada pergantian para politikus namun rezimnya orang yang sama, nama-nama yang berputar masih ada orang lama yang tetap ada dibaliknya.



Bahkan ada yang lintas generasi, bahkan lintas orde, jadi tidak ada perubahan secara menyeluruh seperti Revolusi Prancis. Itulah yang membuat Jokowi tidak bisa bebas bergerak, otomatis ketika ia ingin menjadi Presiden yang mensejahterakan rakyat. Dia harus kompromi dengan orang yang ada dibelakangnya, yang sudah lama menjadi elite penguasa dan sudah lama memegang kekuasaan.

Maka hasilnya, independensi Jokowi turun terus sejak pertama ia menjabat, contohnya



Bisa dibilang Jokowi kehilangan independensinya, keinginan untuk mengubah masyarakat namun terbentur oleh keinginan sekelompok elite, untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaannya.

Seperti kisah petruk di thread sebelumnya, Jokowi pasti galau dan berontak dengan bisikan elite yang ingin mengacaukan idealisnya. Maka caranya dengan blusukan, memperkuat buzzer agar bisa melindungi diri dari para elite tersebut. Banyak orang berkata bahwa itu pencitraan, namun sebenarnya itu dilakukan agar dirinya tetap merakyat. Itu hanya pendapat saya, karena kepentingan pihak lain sangat gencar kepada dirinya.



Tetapi akhirnya beliau gagal, karena saat itu PDIP memilih calon baru untuk maju sebagai pemenang di pemilihan Presiden. Maka diusunglah Jokowi, tentu saja itu bertolak belakang dengan keinginannya.

Namun kalau menolak keinginan partai, maka kursi nomor satu belum tentu bisa ia duduki di kemudian hari. Karena ia butuh kendaraan partai, uang dan modal yang cukup besar. Dan restu dari ketua partai itu sangat penting.

Apalagi partai juga mendapatkan dana dari pemilik modal, maka Jokowi saat ini sudah berada dalam lingkaran itu dan Jokowi tidak hanya butuh dukungan rakyat, tapi membutuhkan dukungan para elite-elite itu.



Tentunya dia ingin berbuat baik pada masyarakat, tetapi dia harus masuk sistem yang sudah rusak. Bahkan dianggap Presiden terlemah di Indonesia, karena untuk menuju kursi Presiden harus menunggu restu dari ketua partai, bahkan ketika ingin menduduki jabatan penting di Istana pun banyak pesanan orang kuat dibelakangnya.



Jokowi tidak bisa berbuat apa-apa, ketika ia memberikan jatah Mentri kepada kalangan profesional hasilnya juga tidak di apresiasi oleh elite politik.

Kebijakannya pun bahkan sering inkonsisten, karena banyak bisikan dari sana sini terkait banyak kepentingan ujungnya hubungan Jokowi dan PDIP sering turun naik tidak harmonis hingga Mega harus menegaskan siapa Jokowi sebenarnya.

Pada dasarnya Jokowi ingin mengikuti kata hatinya, tapi tidak bisa dan seperti terikat.



Maka lambat laun pemerintahannya menjadi otoriter, reaktif, kasar sungguh berbeda dengan saat ia menjadi Walikota Solo. Hukum-hukum Indonesia juga tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Maka banyak orang mengatakan pemerintahan saat ini adalah neo orde baru.



Saya pikir dengan sepak terjangnya selama ini, kemungkinan besar ini bukan karena Jokowi namun sekali lagi sistem.

Ketika ia naik begitu cepat, karena rakyat butuh perubahan. Ini juga tidak baik, karena Jokowi tidak memiliki kesempatan untuk membuat jaringan dan memperkokoh posisinya. Karena Jokowi awalnya bukan elite partai, bukan juga elite pengusaha, dia orang biasa, karena orang biasa itulah dia tidak punya kekuatan di pemerintahan.



Sekali lagi kita tidak mencari siapa yang salah, karena ini bagian dari sistem yang sudah mengakar. Dan jelas butuh waktu jangka panjang untuk merubah sistem tersebut.

Jadi perjuangan untuk mencapai kebaikan tidak bisa diperoleh dengan cara yang instant. Namun jangan berhenti berharap agar Indonesia dimasa depan lebih baik.

****

Terima kasih yang sudah membaca thread ini sampai akhir, bila ada kritik silahkan disampaikan dan semoga thread ini bermanfaat, tetap sehat dan merdeka. See u next thread.





"Nikmati Membaca Dengan Santuy"
--------------------------------------
Tulisan : c4punk@2022
referensi : klik, klik, klik, klik, klik
Pic : google