Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ghofiruddinAvatar border
TS
ghofiruddin
Pulang Kampung; Selamat Datang di Rumah Sakit Jiwa (Part II)


Tri Wulan Prima. Dia bertemu gadis yang masih satu daerah dengannya itu saat malam acara pentas sastra hampir dua tahun yang lalu. Dia yang saat itu sedang berada di atas panggung membacakan salah satu puisi WS Rendra yang berjudul Rakyat Adalah Sumber Ilmu sedikit kehilangan fokus. Di tengah pembacaan puisi itu, di saat mengambil jeda, dia menatap mata-mata penonton, dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri. Namun saat wajah itu mengambil perhatiannya, pandangannya berhenti beberapa detik di situ, terpesona, sebelum akhirnya terkesiap dan tersadar.

Ketika membacakan bait keempat puisi itu: Janganlah kita menunggu Ratu Adil, Ratu Adil bukanlah orang, Ratu Adil bukanlah lembaga, Ratu Adil adalah keadaan di mana ada keseimbangan antara roh dan badan, dia kehilangan penghayatan. Karena selalu terbayang wajah itu, kata Ratu yang dia ucapkan menjelma menjadi sesosok wanita cantik, wanita yang baru saja membuatnya terpesona itu justru yang hadir dalam penjiwaan puisi yang dia baca. Di akhir bait itu, dia berhenti kemudian membungkuk dan memberi penghormatan kepada penonton dan pergi ke belakang panggung. Padahal, masih ada delapan bait lagi.

Sejak saat itu, Wulan selalu menarik hatinya, menjadi inspirasi bagi puisi-puisiatau tulisan-tulisan lain yang bertemakan asmara atau cinta. Namun tidak serta merta dia mendekati gadis itu begitu saja. Selama beberapa bulan setelah itu, dia tetap diam, memendam perasaan, menikmati kasmaran hanya dalam pandangan. Pernah sesekali dia menyapanya, bertukar tatapan dan senyuman tetapi tidak untuk kata-kata. Semua itu dia lakukan hanya karena masih satu jurusan. Selalu menjadi prinsip dalam dirinya untuk menyapa setiap civitas akademika meskipun sering dia hanya diacuhkan karena penampilan gembel atau gelandangan yang tidak seperti kebanyakan mahasiswa di kampus.

Suatu ketika, dia menemukan akun facebook Wulan melalui fitur pencari teman di dalamnya. Langsung, dia menambahkan Wulan sebagai teman di akun facebooknya. Dari facebook itu, dia mencoba mengorek beberapa informasi data diri tentang Wulan dan mendapati tanggal ulang tahunnya. Dia tidak peduli, saat itu, di akun itu tertulis status berpacaran. Lebih dari itu, dia mengunduh dan menyimpan beberapa potret Wulan yang dia rasa paling menarik. Sebuah foto yang menurutnya paling manis langsung dia pajang sebagai wallpaper di laptop maupun di telepon genggamnya hingga sekarang.

Dia mengungkapkan perasaannya pada saat ulang tahun Wulan yang ke-20, bulan April tahun lalu. Tetapi itu pun hanya dengan sedikit kata yang terucap dari lisannya. Sore itu, dengan pakaian gaya gembel yang menjadi ciri khasnya; kaos oblong warna hitam bertuliskan Kota Wisata Batu, celana jins warna hitam super kusam yang bolong di bagian lutut –kanan maupun kiri, ditambah lagi tas hitam berbahan mirip goni yang juga super kusam dengan bercak-bercak tak beraturan dan juga telah berlubang di sudut-sudutnya, dia menanti Wulan pulang kuliah di depan fakultas Ilmu Budaya yang berada di sisi utara kampus.

“Wulan,” panggilnya pada saat Wulan muncul di ambang pintu bersama kedua teman sekelasnya.

“Kami duluan ya Wul,” kata salah satu teman Wulan itu, sementara Wulan tetap di situ.

“Iya mas,” Wulan mengulaskan senyum termanisnya.

Dia terdiam, tidak menjawab dan malah mengalihkan pandang menghindari senyum yang menguras perbendaharaan katanya itu. Sementara itu, Wulan juga tetap diam, berdiri mematung dan menunggu. Keadaan di depan gedung itu semakin ramai dengan para mahasiswa yang baru saja selesai mengikuti perkuliahan di jam terakhir. Dia semakin cemas dan bingung dan akhirnya dia memutuskan dengan cepat. Dia ambil sebuah buku dengan hard cover bergambarkan bulan purnama berlatarkan langit malam cerah yang masih menyisakan biru di cakrawala barat dari dalam tasnya. Dia tersenyum dengan debaran jantung yang sangat tidak beraturan.

“Happy Birthday,” katanya lalu menyerahkan buku itu.

“Terima kasih mas,” jawab Wulan.

Dia hanya membalas ucapan itu dengan anggukan kepala, tersenyum sekilas kemudian membalikkan badan dan mulai melangkah menjauh. Wulan yang penasaran dengan isi buku itu langsung menuju bangku taman depan fakultas dan membaca kata demi kata isi dalam buku tersebut. Buku itu berisi puisi-puisi yang semuanya bercerita tentang perasaan, kekaguman dan keterpesonaan, kecantikan dan keindahan, cinta terpendam seorang Jratu Rizbach kepada dirinya. Wulan tersipu, wajahnya merona selama membaca puisi-puisi itu.

“Me too,” balas Wulan dengan mengirim sebuah pesan melalui facebook yang dia buka dari smartphone-nya. Wulan senang karena dia juga menyimpan perasaan yang sama. Hanya saja, sebagai perempuan dia hanya bisa menunggu. Dan, penantiannya tidak sia-sia. Meskipun, seorang Jratu Rizbach tidak melakukan pendekatan seperti pria-pria lain yang mendekatinya. Namun, dia suka dengan caranya mengungkapkan.

“Mas Riz, sudah sarapan,” kata Wulan begitu sampai di lelaki itu, Jratu Rizbach.

“Sudah love, ini,” katanya sambil memberi isyarat pandang ke arah rokok di tangan kirinya.

“Kebiasaan,” cerca Wulan, matanya yang lentik itu menyipit. “Rokok kan jelas ndak bisa bikin kenyang. Merokok terus juga ndak baik untuk kesehatan, kan. Sampean juga tahu itu.”

“Terima kasih,” Rizbach tersenyum, tatapannya sayu lagi sendu. “Tapi rokok ini adalah salah satu canduku, kamu juga tahu itu, selain musik dan tentu juga kamu.”

Meskipun sudah berkali-kali mendengar kata-kata seperti itu, tapi tetap saja Wulan tersipu.

“Duduklah dulu,” lanjut Rizbach. “Ndak ada agenda apa-apa kan?”

“Baiklah.”

Rizbach berdiri, mematikan rokoknya yang masih setengah dengan menujamkan ke dinding gedung hingga meninggalkan jejak hitam kemudian membuangnya ke tempat sampah di dekat situ.

“Kok dimatikan, ndak eman masih setengah lebih gitu,” sindir Wulan.

“Blas, ndak eman aku,” timpal Rizbach. “Aku masih lebih eman kamu. Aku kan ndak pernah merokok di depanmu. Kasihan kamu kalau harus menghirup asap-asap itu.”

“Lalu kenapa sampean ndak kasihan sama diri sampean sendiri?” Wulan terus saja memojokkan.

Rizbach tersenyum, menghampiri Wulan dan mereka berjalan beriringan menuju salah satu kantin kampus yang berada tidak jauh dari gedung olahraga itu.

“Aku tidak perlu dikasihani, love,” kata Rizbach. “Aku butuh cinta tapi tak perlu dikasihani.”

“Tapi aku ini cinta mas,” balas Wulan. “Dan bukankah cinta itu akan menimbulkan rasa kasihan?”

“Iya, kamu benar, love,” tutur Rizbach. “Orang yang mencinta akan mengasihi, tapi orang yang mengasihi belum tentu mencintai. Jujur ya, jangan marah. Aku ini tidak tahu apakah cintaku ini benar-benar kepadamu. Yang aku rasakan, aku merasa nyaman di dekatmu.”

Wulan cemberut mendengar penuturan itu. Dia menjadi merasa lelaki di sampingnya ini tidak serius menjalin hubungan dengannya. Dia mengartikan ‘merasa nyaman di dekat’ sebagai ‘kesengsaraan saat tidak dekat’ yang juga berarti untuk melepaskan kesengsaraan itu akan mencari sesuatu yang lain. Tapi Wulan juga tahu sesuatu yang lain bagi Rizbach itu bukan perempuan yang lain, tetapi candu-candu yang telah disebutkan tadi, rokok dan musik. Dan satu lagi yang tidak disebutkan, menulis. Wulan sering menemani Rizbach menulis, membaca tulisan-tulisannya dan mendiskusikannya pula. Bahkan, dia juga sering diajak Rizbach ke tempat-tempat tertentu, menemui orang-orang tertentu untuk menggali cerita-cerita yang menarik.

“Kok diam? Marah ya?” goda Rizbach.

“Ndak marah, siapa yang marah,” kilah Wulan. “Apakah diam selalu berarti marah. Aku diam karena takut kalau ngomong sesuatu malah buat sampean marah.”

“Berarti itu marah,” goda Rizbach lagi. Dia tersenyum.

“Ndak.”

“Marah.”

“Ndak.”

“Kalau ndak marah, tersenyum no,” kata Rizbach kemudian. “Ndak marah, masa cemberut begitu.”

Wulan tersipu lagi. Dia tersenyum memandangi lelaki gondrong, brewok dan memakai toga itu. Bagi Wulan, penampilan yang sangat berbeda daripada yang lain itu sangat memukau baginya. Dia sering merasa jengkel kepada kawan-kawan perempuannya yang menyarankan dia untuk menasihati Rizbach untuk tampil yang lebih layak. Sekali-dua pada awal-awal menjalin hubungan pernah dia mengutarakan hal tersebut, tapi ditanggapi dengan seloroh yang seperti biasa, membuatnya tersipu. Rizbach pernah mengatakan,”Kalau aku menuruti kehendak mereka, mereka nanti akan datang menghampiriku, menggodaku. Sementara aku tidak menginginkan mereka, I just want your love. Sedangkan dengan seperti ini saja, kamu sudah sangat mencintaiku.”

“Terserah aku,” jawab Wulan kemudian. Mereka kemudian bercakap-cakap biasa sepanjang perjalanan ke kantin, bercanda dan saling menggoda.

Kantin kampus dengan lima kios warung itu masih sangat sepi. Hanya ada empat orang lelaki di kios paling utara, duduk di kursi panjang, mengobrol panjang lebar saling berhadapan. Dua gelas kopi hitam, satu gelas teh dan satu gelas susu hangat ada di atas meja mereka, juga dua pack rokok bermerk yang masih tersegel dan pemantik api.

“Mari bang,” sapa Rizbach menirukan logat Medan.

“Wah abang ini,” balas salah satu dari mereka. “Akhirnya pakai toga juga.”

“Tahun depan, kami akan menyusul bang,” kata seorang yang lain.

“Sip. Aku ke situ dulu bang. Dinikmati.”

Rizbach dan Wulan menuju ke kios warung paling tengah milik mak Tar, seorang wanita yang menjadi langganan tempat mereka makan di kampus. Sementara empat orang lelaki tadi memandangi Wulan, ada yang memandang dari atas ke bawah, ada yang dari bawah ke atas. Salah satu di antara mereka menggumam,”Cantik.” Dibalas dengan gumaman oleh seorang yang lain,”Sayangnya pacarnya, waduh, kayak gembel, gembel pakai toga tuh. Mendingan gue kan. ”

“Ah, kau ini masih baru di sini, tidak kenal siapa dia,” sergah seorang lelaki yang berlogat Medan. “Bagi kami, mahasiswa jurusan bahasa, yang juga berkecimpung di satu UKM, dia itu legenda. Tulisan-tulisan, cerita-ceritanya sangat inspiratif.”

“Kalau menulis saja gue juga bisa bang, itu mudah bang, kecil.”

“Alah, paling-paling kau ini cuma bisa menulis status di facebook, ngetwit, menulis PM di BB. Itupun tulisan-tulisan alay, tulisan-tulisan lebay. Seperti kemarin itu, kau menulis ‘aduh, sialan cantik banget dosennya’. Tulisan apa itu.”

“Terserah gue bang.”

“Iya sih terserah kau. Tapi kini kau sudah mahasiswa. Jadi, jadilah mahasiswa. Berkata seperti layaknya mahasiswa, bersikap seperti mahasiswa, menulis pun juga menulis dengan gaya mahasiswa. Mending, kamu belajar menulis puisi. Belajar menemukan dan merangkai kata-kata, supaya otak kau itu juga berkembang.”

“Apa sih gunanya puisi bang. Setahu gue bang ya, puisi itu berbelit-belit dan jadinya lebih alay, dan lebih lebay daripada status biasa seperti itu.”

Mereka berempat terus berlanjut; berdiskusi, berdebat perihal puisi dan terus berlanjut ke masalah-masalah lain yang lebih luas dan lebih dalam. Sementara itu:

“Mas,” kata Wulan setelah mereka berdua duduk, menunggu dua piring nasi pecel dan dua teh hangat yang baru saja mereka pesan. “Kayaknya tadi, mereka-mereka itu, nggosipin kita.”

“Ya biarlah,” sahut Rizbach. “Itu berarti aku dan kamu itu sangat inspiratif bagi mereka.”


(bersambung)


bukhorigan
nawir98
pulaukapok
pulaukapok dan 2 lainnya memberi reputasi
3
735
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan