Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Saat meliput konflik, wartawan diharapkan menulis dengan perspektif korban dan HAM



Para wartawan di Kota Jayapura dari sejumlah media menghadiri diskusi “Potret Kekerasan di Papua dalam Perspektif Media” bersama Komnas HAM Perwakilan Papua, Jumat (19/11/2021). – Jubi/Yuliana Lantipo


Papua No. 1 News Portal | Jubi
Jayapura, Jubi – Para wartawan diharapkan memiliki perspektif tentang Hak Asasi Manusia dan perspektif korban dalam melakukan peliputan konflik di Tanah Papua. Kisah-kisah humanis, yang kerap menimpa warga sipil sebagai pihak yang terdampak langsung dalam konflik, dinilai masih kerap luput dari pantauan media.

Hal tersebut disampaikan Ketua Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Kota Jayapura, Lucky Ireeuw, pada diskusi “Potret Kekerasan di Papua dalam Perspektif Media” bersama Komnas HAM Perwakilan Papua di Kota Jayapura, Jumat (19/11/2021). Oleh karena itu, wartawan harus memahami Hak Asasi Manusia (HAM).


“Memahami menulis dalam konteks perspektif HAM, itu penting. Jadi dia pahami dulu apa itu hak asasi manusia. Ketika dia pahami dan menuangkan itu di dalam tulisan itu [akan] jauh lebih bagus. Yang kedua, menulis dari perspektif korban. Dalam satu kasus pelanggaran ham kekerasan pasti ada pelaku dan selalu ada korban,” kata Ireeuw.

Ia mengakui menulis dengan perspektif korban sulit dilakukan, karena mereka menjadi korban kadang mereka menutup diri.

“Media harus memiliki perspektif dari korban, untuk membantu para korban ini, untuk memenuhi hak-hak yang dia punya sebenarnya. Itu yang penting sekali dibekali bagi para jurnalis kita yang saat ini ada di Papua,” kata Ireeuw.


Sejumlah warga yang mengungsi di sekitar Kantor Bupati Intan Jaya menerima bantuan bahan makanan pada Minggu (14/11/2021). – Dok. Bernadus

Kobogau Ireeuw menyatakan pemberitaan tentang konflik di Papua, khususnya di media online, bertambah banyak. Kendati demikian, Pimpinan Redaksi Koran Cenderawasih Pos itu menilai penyajian beritanya konflik Papua kerap kali hanya menonjolkan tentang peristiwa di antara kedua belah pihak yang berkonflik. Sementara, masyarakat sipil yang selalu menjadi korban langsung, justru jarang diulas media.

Ireeuw mencontohkan kasus penembakan terhadap dua anak di Sugapa, Intan Jaya, pada Selasa, 26 Oktober 2021 lalu. Salah satu korban, Nopelinus Sondegau (2), tewas setelah peluru menghujam bagian perutnya. Seorang lainnya, Yoakim Majau (6), selamat setelah menjalani operasi pengangkatan peluru yang bersarang di punggung di Rumah Sakit Mitra Masyarakat (RSMM) Timika. ;

Ireeuw menilai banyak media dari berbagai platform memberitakan peristiwa kontak tembak antara pihak TNI-Polri dengan kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang kemudian menimbulkan korban nyawa dari dua anak tersebut. Akan tetapi, korban masyarakat sipil setempat—orang asli Papua maupun nonpapua—yang tercabut rasa amannya sehingga harus mengungsi ke gereja-gereja setempat, jarang diulas media.

“Kita media hampir semua ramai-ramai tulis tentang peristiwa kekerasan, tentang siapa tembak siapa, berapa korban, tentang data saja. Tapi, [wartawan] lupa melihat siapa korban dari masyarakat sipil, mereka sedang apa saat itu, bagaimana mereka berlindung, bagaimana mereka bisa tidur, atau sekolah atau akses ke rumah sakit. Sampai yang sering lupa dikawal itu bagaimana proses mereka dapat rasa aman dan keadilan dan seterusnya,” kata Ireeuw kepada Jubi, Selasa (23/11/2021).

Kepala Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramandey, juga menegaskan bahwa perusahaan media dan awak wartawannya memiliki peran sangat penting dalam menyampaikan informasi yang benar kepada publik. Dalam konteks konflik di Tanah Papua, Ramandey mengatakan wartawan, dari pucuk pimpinan hingga reporternya, penting memiliki perspektif korban dan HAM. Ramandey menyatakan jurnalis juga digolongkan sebagai pekerja kemanusiaan secara universal.

“[Karena] mengingat tanggung jawab dalam perspektif hak asasi manusia itu, wartawan dikualifikasi sebagai pekerja HAM. Hanya wartawan saja yang menjadi perwakilan publik. Wartawan juga menjadi tempat di mana orang menyuarakan hak asasi manusia, dan sekaligus bagaimana media itu menjadi bagian dalam memasyaratkan serta mempromosikan hak asasi manusia. Keberagaman media di Papua sudah terlalu banyak, [maka] pendidikan HAM menjadi penting,” kata Ramandey.

Untuk menindaklanjuti diskusi tersebut, AJI Kota Jayapura dan Komnas HAM Perwakilan Papua, bersama para wartawan akan mengadakan pelatihan lebih lanjut.

“Eskalasi kekerasan dan konflik di [Tanah] Papua ini tidak stop-stop, malah naik terus. Kekerasan verbal maupun nonverbal, laporan penembakan, laporan pengungsian, penutuan tempat layanan puskesmas, rumah sakit, dan banyak lagi yang semuanya berkaitan dengan kebutuhan masyarakat sipil. Jadi, dalam waktu dekat, kita akan bicarakan lagi untuk bikin pelatihan untuk meningkatkan kapasitas bagi wartawan tentang bagaimana meliput di daerah konflik  dengan perspektif HAM dan korban tadi,” kata Ramandey. (*) Editor: Aryo Wisanggeni G

https://jubi.co.id/saat-meliput-konf...medium=twitter

Jangan terlalu bergantung dengan keterangan TNI/polisi. Wawancara juga masyarakat lokal di daerah konflik. Hal ini jarang media nasional lakukan karena kontributor susah masuk daerah konflik.
0
643
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan