Saat pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping diantara semua pejabat di Yogyakarta; itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberap minggu kemudian staf yang bekertja dikantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan kepada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti “Menteri Betulan.”

(George Mc T Kahin, Guru Besar Cornell University)

Mengurai sepak terjang Mohammad Natsir, Sejarawan Anhar Gonggong angkat bicara, ia mengatakan bahwa para politikus sekarang ini seharusnya memperhatikan etika politik, sebagaimana yang dilakukan M. Natsir. Bukan tidak mungkin jika melalaikan etika, Indonesia bisa mengalami kehancuran seperti kekuasaan Turki Ottoman di masa lalu. Anhar yang pernah menjadi anggota tim penyeleksi pahlawan nasional juga mengungkapkan mengenai seputar masalah diangkatnya M. Natsir sebagai pahlawan nasional.

Bukan tanpa sebab hal tersebut menjadi masalah mengingat catatan emas perjalanan Mohammad Natsir juga sempat ditulis dengan “tinta hitam” yaitu ikut terlibat dalam RPI (Republik Pemerintahan Islam), setelah pasca kegagalan PRRI (Pemerintahan Revolusioner RI). “Seharusnya tentara juga menjadi ikut bicara menanggapi hal ini. Karena masalah RPI, bagi tentara adalah pemberontak dan RPI itu adalah cita-cita yang rapuh,” kata Anhar dalam salah satu kuliahnya yang menilai bahwa keterlibatan Natsir dalam PRRI adalah sebuah tragedi. Banyak pertanyaan mencuat kenapa seorang demokrat sekelas Natsir bisa terlibat tragedi PRRI.

Memang, dalam kaitannya Natsir dengan PRRI ataupun RPI, banyak kalangan menilai bahwa keterlibatan Natsir di PRRI tidak lepas karena Presiden Soekarno sudah sangat dalam terlibat dengan komunis, ditambah Pemerintah pusat pun pada saat itu, dianggap terlampau menindas Pemerintah Daerah. Nah, dengan situasi politik yang demikian karut-marut, yang oleh sejarawan Taufik Abdullah disebut sebagai “Dasawarsa Ideologi” muncullah PRRI/Permesta sebagai antitesa dari tekanan situasi politik yang mengerucut.

Natsir kecil dulunya lahir di sebuah rumah yang besar yang terletak di dekat Jembatan Berukir, Alahan Panjang 17 Juli 1908. Saat menetap di Alahan Panjang karena menjadi pegawai Belanda di pemerintahan setingkat kecamatan di Alahan Panjang, Ayah M. Natsir, Mohamad Idris Sutan Saripado tinggal di rumah seorang saudagar kopi kaya di Alahan Panjang, Sutan Rajo Ameh. “Mungkin kakek saya Sutan Rajo Ameh bersahabat dengan Mohamad Idris Sutan Saripad, Bapaknya Pak Natsir sehingga mereka diajak tinggal di rumah itu,” kata Hamdi, cucu Sutan Rajo Ameh yang juga lahir di rumah itu.

Sebuah rumah besar satu atap dan terdiri dari dua Kelurga Inti di dalamnya. Keluarga Sutan Rajo Ameh bersama istrinya Siti Zahara dan anak-anaknya tinggal di bagian kiri rumah, sementara Mohammad Idrus Saripado dan Istrinya Khadijah bersama anaknya menempati rumah bagian kanan.

Dilahirkan di Alahan Panjang, Solok pada tanggal 17 Juli 1908. kedua orang tuannya berasal dari Maninjau. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi asisten Demang di Bonjol. Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Gelarnya Datuk Sinaro Panjang di pasar Maninjau membuatnya secra resmi menjadi penghulu atau kepala suku Piliang. pada mulanya Natsir bersekolah di sekolah dasar di Maninjau, hingga kemudian sampai pada AMS A 2 (SMA jurusan Sastra Barat) di Bandung. Walaupun akan mendapatkan beasiswa seperti di Mulo dan AMS untuk belajar di Fakultas Hukum Jkarta ataupun Fakultas Ekonomi di Rotterdam, pada kenyataanya dia lebih tertarik kepada perjuangan Islam ketimbang melanjutkan studinya.

Sejak semula Natsir juga bergerak di bidang dakwah untuk membina kader. Sejak semula memang Natsir aktif dalam pendidikan agama. Keseriusannya dapat dilihat pada waktu ia mendirikan lembaga pendidikan Islam (Pendis) yang mengasuh sekolah mulai dari TK, HIS, MULO dan Kweekschool yang dipimpinnya dari tahun 1933 hingga 1942. berbagai artikel pun banyak ditulisnya dan tersebar di berbagai majalah terkemuka, seperti Panji Islam, Al Manar, Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat.

Dalam tulisannya dia membela dan mempertahanan Islam dari serangan kaum nasionalis yang kurang mengerti Islam seperti Ir. Sukarno dan Dr. Sutomo. terkusus dengan Sukarno, seorang Natsir terlibat polemik hebat dan panjang antara tahun 1936 sampai 1940-an yaitu tentang bentuk dan dasar negara Indonesia yang akan didirikan.

Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara serikat, penentangan dilakukan Muhammad Natsir dengan mengajukan Mosi Integral yaitu pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka usaha penjajah untuk membelah satu kesatuan ideologis bangsa Indonesia kandas sudah.

Usul yang disetujui oleh 90% Masyumi sekaligus mengantarkannya ke posisi dengan tanggungjawab yang lebih besar yang mana pada tahun 1950 beliau diminta supaya membentuk kabinet sekaligus menjadi perdana menterinya. Namun demikian, belum genap setahun, beliau dipecat karena berlawanan pendapat dengan Presiden Soekarno.

Beliau tetap memimpin MASYUMI dan menjadi anggota parlemen hingga tahun 1957. sebagai putra di zamannya, gelar tokoh ataupun pahlawan nasional bukanlah hal penting. Tentang ini, Taufik Abdullah berpendapat dalam buku 100 tahun Mohammad Natsir (2008);

“kekalahan paling dramatis bukanlah yang terjadi pada diri Natsir.

“Kekalahan“ paling tragis terjadi ketika para “Bapak Bangsa” dan “Pemimpin Besar Revolusi” yang sejak muda telah berjuang bagi kemerdekaan bangsa, menemukan dirinya ditolak oleh bangsa yang dicintainya.”

Selengkapnya di.. http://dewantara.id/home/en_US/blog/...rang-pahlawan/